30/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Keenam

Kepada: Lelaki yang Terkikis Waktu.

Kamu selalu bilang, semua bisa dibicarakan tanpa meradang. Nyatanya, sosokmu selalu menghilang ketika persoalan menghadang. Apa salah jika aku mulai bimbang?

Tadinya, aku selalu menyugesti diri bahwa senyum teduhmu terlalu berharga untuk ditukar dengan emosi dangkalku. Tetapi, kali ini aku memilih untuk diam dan perlahan meninggalkanmu. Jangan dikira melepas genggamanmu seringan mengetik pesan singkat berakhiran logo senyum itu. Aku tidak sekuat prasangkamu.

Melupakanmu, laksana menulis di hamparan pasir pantai yang kerap tersapu ombak; bisa, tapi susah. Aku akan mengingat renyah tawamu di setiap film komedi yang kelak kutonton. Merasakan pedasnya argumen sarkasmu di semua hidangan batagor bertabur sambal yang kutemui di seluruh penjuru negeri. Mengenang wajah tenangmu yang tertidur damai dalam hembusan angin malam yang menerpa kulitku.

Kita masih akan melihat langit bertabur bintang yang sama. Hanya saja tempat kita berbeda, hati kita terpisah. Aku akan menitipkan sisa rinduku pada hangatnya mentari, ada pesan kuselipkan untuk memelukmu selalu. Kamu akan terus bersamaku di setiap molekul air asin yang menyapa lembut telapak kaki ketika aku bertandang di bibir samudera tempat kita kerap bercanda.

Kita masih bisa berteman dalam kenangan, karena berpisah tidak mutlak untuk saling bermusuhan. Walau nanti akan tiba saatnya, semua kan terasa biasa pada akhirnya. Jangan lupa untuk berbahagia, wahai lelaki kelima dalam deretan aksara.

Salam Hangat,

Perempuan yang Tersapu Realita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar