Kepada: Lelaki yang Terkikis Waktu.
Kamu selalu bilang, semua bisa dibicarakan tanpa meradang. Nyatanya,
sosokmu selalu menghilang ketika persoalan menghadang. Apa salah jika
aku mulai bimbang?
Tadinya, aku selalu menyugesti diri bahwa
senyum teduhmu terlalu berharga untuk ditukar dengan emosi dangkalku.
Tetapi, kali ini aku memilih untuk diam dan perlahan meninggalkanmu.
Jangan dikira melepas genggamanmu seringan mengetik pesan singkat berakhiran logo senyum itu. Aku tidak sekuat prasangkamu.
Melupakanmu, laksana menulis di hamparan pasir pantai yang kerap
tersapu ombak; bisa, tapi susah. Aku akan mengingat renyah tawamu
di setiap film komedi yang kelak kutonton. Merasakan pedasnya argumen
sarkasmu di semua hidangan batagor bertabur sambal yang kutemui di
seluruh penjuru negeri. Mengenang wajah tenangmu yang tertidur damai
dalam hembusan angin malam yang menerpa kulitku.
Kita masih
akan melihat langit bertabur bintang yang sama. Hanya saja tempat kita
berbeda, hati kita terpisah. Aku akan menitipkan sisa rinduku pada
hangatnya mentari, ada pesan kuselipkan untuk memelukmu selalu. Kamu
akan terus bersamaku di setiap molekul air asin yang menyapa lembut
telapak kaki ketika aku bertandang di bibir samudera tempat kita kerap
bercanda.
Kita masih bisa berteman dalam kenangan, karena
berpisah tidak mutlak untuk saling bermusuhan. Walau nanti akan tiba
saatnya, semua kan terasa biasa pada akhirnya. Jangan lupa untuk
berbahagia, wahai lelaki kelima dalam deretan aksara.
Salam Hangat,
Perempuan yang Tersapu Realita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar