29/01/14

Waktu Yang Salah (Trilogi Catatan Perjalanan 2013 Bagian 1)

Kemarin saya melihat status yang ditulis di akun jejaring sosial milik istri sepupu saya tersayang. Status yang berisi ucapan selamat kepada mereka berdua karena telah berhasil melewati delapan tahun kebersamaan sebagai sepasang suami istri. Saya lalu menyadari, hari ini, tepat delapan tahun yang lalu saya merantau ke ibukota untuk mencari jati diri. Waktu itu saya masih mahasiswa tingkat enam yang akan mengikuti program magang selama enam bulan di salah satu perusahaan internasional yang bergerak dibidang telekomunikasi. Almarhumah mama melepas kepergian anak bontotnya yang sakit-sakitan dan sejak kecil jarang berada jauh darinya ini dengan berat hati. Sejuta pesan dan doa dibisikkan beliau ke telinga saya saat itu. Berbeda dengan mama yang sibuk menahan haru, bocah durhakanya ini malah asyik tertawa-tawa dengan para sahabat yang turut mengantar ke bandara. Membayangkan petualangan seru yang menanti di ibukota, membuat perut saya bergejolak saking tidak sabar.

Hari ini, tepat delapan tahun kemudian, saya kembali berada di rumah orang tua saya, tanpa mama yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kami lima tahun yang lalu, tujuh hari sebelum ulang tahun saya yang ke dua puluh empat. Duduk di teras rumah memandangi rimbunan tanaman kesayangan almarhumah mama, saya kemudian merenung tentang apa yang sudah saya lewati selama delapan tahun sejak saya meninggalkan kota ini. Banyak hal yang telah membentuk saya seperti sekarang ini. Terlalu banyak jika ingin saya tuliskan sejak kali pertama saya hengkang ke ibukota. Akhirnya saya memutuskan untuk menuliskan saja beberapa peristiwa yang terjadi dalam tahun 2013 kemarin. Saya bukan orang yang latah beresolusi setiap awal tahun baru. Buat saya, bisa bangun setiap hari dan menghirup segarnya udara pagi sudah merupakan pencapaian yang istimewa. Namun tahun ini, saya seperti tersadar akan tujuan hidup jangka panjang. Hidup santai dan tanpa beban memang menyenangkan, tetapi semakin lama saya akhirnya gerah dan bertekad untuk menyusun visi dan misi hidup saya dengan lebih serius dan tertata.

Seperti kebiasaan saya selama ini, saya senang menuliskan banyak hal yang ada di pikiran demi menyelamatkan telinga kawan-kawan saya yang akan pecah seandainya terlalu banyak mendengar keluh kesah yang saya ceritakan secara langsung menggunakan suara. Untunglah jaman saya remaja sampai duduk di bangku kuliah, era internet dan jejaring sosial belum semarak seperti saat ini. Tidak terbayangkan betapa alay dan noraknya saya dalam mengekspresikan isi hati di akun pribadi, hahaha.

Kebiasaan mengamati pola tingkah manusia yang hadir di sekitar, membuat saya berkesimpulan bahwa ada beberapa fase hidup yang secara normal akan kita lewati. Lahir, berkembang, sekolah, lulus, bekerja, menikah, punya anak, menjadi orang tua dan berperan di masyarakat, kemudian meninggal. Alur yang mungkin bisa jadi sedikit melenceng ketika Tuhan menginginkan kita untuk belajar dari kehidupan. Peristiwa sakit, terlambat lulus kuliah, tidak bekerja sesuai impian, putus hubungan dan susah move-on (hahaha), perceraian, susah punya anak, atau bahkan menjadi pesakitan di tengah masyarakat hanya karena hidupnya lain dari orang kebanyakan merupakan beberapa contoh “dosa sosial” yang membuat tatanan hidup ala orang normal sedikit tercoreng. Betapa manusia selalu menganggap manusia lain berdosa hanya karena dosa mereka berbeda satu sama lain.

JANUARI 2013

Saya mengawali tahun 2013 dengan kegiatan yang kurang menyenangkan. Terjebak bersama dengan seorang teman baru yang dikenalkan oleh Cecil, sahabat saya (konyolnya Cecil malah pulang lebih dulu sebelum pergantian tahun), di tengah padatnya penduduk Jakarta yang merayakan pergantian tahun di bawah curah hujan yang buat saya kurang romantis. Isi pembicaraan kami beragam, mulai dari saya yang mengeluhkan kamar kost yang banjir padahal berada di lantai lima (penyebabnya sepele: atap bocor pemirsa! Haha), menyebabkan saya harus kerepotan mencari tempat baru dimana saat itu kebanyakan teman-teman saya sedang menikmati liburan akhir tahun di luar kota, atau pekerjaan si teman baru yang sangat menyita waktunya, sampai keluhan khas perempuan akhir 20-an yang masih melajang dan kebingungan akan dibawa kemana hidup kami nanti. Mengagumkan! -_-

Saya dan Peni (nama si teman baru, gadis manis yang sangat ceria di mata saya malam itu), akhirnya sempat beresolusi bahwa kami akan lebih menikmati hidup di 2013 dengan cara lebih sering melakukan kegiatan jalan-jalan dan berjanji tidak akan terlalu memusingkan soal status lajang yang menjadi momok kaum perempuan yang menginjak akhir 20-an seperti kami. Malam itu saya juga sempat berbisik pada Tuhan, mudah-mudahan tahun 2013 memberi saya lebih banyak pelajaran hidup, berdoa agar Tuhan mengajarkan saya menghargai hidup saya dengan cara yang unik dan berkesan. Tetapi yang paling penting, saya berjanji (sambil berdoa dengan airmata bercucuran, haha) bahwa saya tidak akan lagi menghabiskan acara pergantian tahun di tengah kerumunan manusia yang menggila karena ribuan cahaya dari kembang api. Entahlah mungkin karena pengaruh usia, buat saya tidak ada yang lebih menyedihkan daripada terjebak di tengah hujan yang dingin lengkap dengan kepungan asap dari ribuan kembang api yang sukses membuat saya sesak nafas, hahaha.

Dua hari setelah pergantian tahun, saya bertolak ke Madiun, menghadiri pesta perkawinan sahabat sedari kecil, Kuncoro. Sebuah keajaiban di awal tahun buat kami para sahabatnya, melihat dia akhirnya lelah berpetualang dan memilih untuk menetapkan hatinya kepada seorang perempuan, hahaha. Alhamdulillah. Bisa dibilang, Kukun (nama panggilan kesayangannya) hampir sama dengan saya dalam memaknai hidup. Santai dan menikmati karunia Tuhan yang diberikan, tanpa harus menekannya dengan target masa depan. Seperti air yang mengalir, kami menjalani hidup dengan cara yang menyenangkan. Alih-alih merasa terharu dan menitikan airmata, saya dan para sahabat yang hadir kala itu malah tertawa terbahak-bahak melihat Kukun memakai pakaian khas Jawa berwarna ungu. Kami bahkan sempat bergantian menggunakan keris dan kembang Melati pengantin sebagai properti untuk berfoto-foto ala anak alay yang kecanduan kamera. Kukun yang mengakhiri masa lajangnya dihari yang sama dengan ulang tahunnya itu, membuat saya berpikir, bahwa sahabat saya sudah menemukan jalan ke arah fase hidup manusia selanjutnya yaitu menikah. Hari itu, Kukun memilih untuk lebih dulu mengikuti ujian selanjutnya, menikmati tahap baru yang lebih menantang yang membuat bulu kuduk saya sedikit meremang, membayangkan sensasi tantangan demi tantangan yang akan mereka lewati sebagai sepasang manusia yang akan hidup berdampingan sampai maut memisahkan. Melalui Kukun, saya belajar, suatu saat kita akan diharuskan memilih untuk hal yang kita anggap mustahil, sebagai jalan pembuka pada lembaran hidup selanjutnya. Tidak mudah, tapi sebagai sahabat, saya bangga dan pastinya akan turut mendoakan.

pasangan unyu2 yang kewalahan nerima rombongan Manado yang rusuh hahahapasangan unyu2 yang kewalahan nerima rombongan Manado yang rusuh hahaha

Selepas dari Madiun, saya memilih untuk meneruskan perjalanan ke Malang. Disana saya menginap di rumah saudara dari sebelah ayah. Rini dan Rifat, dua adik sepupu yang lahir di Manado namun diboyong kembali ke tanah kelahiran almarhum ayahnya. Rini yang dulu merupakan teman bermain saya, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saat ini sudah dikaruniai seorang bocah lelaki lucu yang dinamai Faraz. Mendahului saya dalam tahap ujian kehidupan yaitu punya anak. Senyum keibuan selalu menghiasi wajahnya ketika melihat Faraz bertingkah. Rasa kagum menyelimuti benak saya ketika melihat sosok yang bertransformasi dari wujud perempuan gaul di masa lajangnya, menjadi seorang perempuan keibuan yang bisa mentolelir kenakalan anak semata wayangnya. Rini bahkan bercerita bahwa dia dan suaminya baru membeli sebuah rumah sederhana untuk mereka bertiga. Lagi-lagi saya terkesima mendengar penuturannya. Dalam kesederhanaan keluarga kecilnya, ditambah dengan mahalnya bahan kebutuhan pokok akhir-akhir ini, Rini dan Lukman suaminya, bisa dikatakan berhasil bekerjasama menjadi sepasang nahkoda yang mengatur kemudi ditengah kencangnya arus, sambil terus mengarungi samudera kehidupan menuju mimpi mereka bersama. Bulan ini, saya belajar dua hal yang penting sebagai referensi dalam fase hidup manusia. Menikah dan menjadi orang tua itu tidak mudah, tetapi patut untuk dicoba. Mungkin belum sekarang, mungkin nanti ada saat ketika Tuhan sudah mengijinkan.

FEBRUARI 2013

Sekembalinya saya di Jakarta, saya menerima kabar buruk. Saya tidak termasuk dalam daftar orang yang dipromosikan pada awal tahun di kantor tempat saya bekerja. Kenyataan bahwa saya gagal dalam salah satu tahap “ujian hidup” yaitu bekerja, membuat saya menangis sejadi-jadinya. Rasa sakitnya sulit untuk saya tuliskan. Terbayang hal-hal yang sudah saya korbankan dalam mengejar impian saya setahun kemarin. Saya terlalu sibuk untuk mengejar posisi ini, meninggalkan semua kebiasaan lama saya, hobi dan kesenangan, sehingga menjadi seperti sosok yang asing di mata beberapa orang terdekat, menyebabkan beberapa diantaranya memilih untuk menjauh dan membiarkan saya dengan dunia yang baru.

Satu yang membuat hati terpukul adalah kejadian dimana saya harus rela kehilangan seseorang yang dianggap dekat dan (saya kira) mengerti saya sejak lama. Dia yang memilih keluar dari hidup saya, memilih melanjutkan hidupnya tanpa saya yang katanya membuat keadaannya semakin tidak nyaman. Waktu itu saya tidak sepenuhnya mengerti akan jalan pikirannya. Kami merupakan rekanan dalam berbagai hal yang (buat saya) menyenangkan. Teman makan, teman jalan, teman bercanda, teman berdiskusi, teman berantem, teman bergosip, teman belanja, teman berolahraga, intinya…teman bersosialisasi. Saya melewati banyak hari penuh tawa bersamanya, seperti dia juga yang selalu bersedia menyediakan waktu dan nasihat yang terselubung dalam kalimat-kalimat sarkastik khasnya kala wajah saya diselimuti duka. Ironisnya, mendengar kabar buruk mengenai pekerjaan yang merubah saya menjadi sosok yang tidak menyenangkan di matanya sehingga dia hilang dalam hidup saya, pada saat itu pula lah saya justru sangat membutuhkan siraman nasihat satir ala dia. Ketika akhirnya saya sadar, mungkin saya terlalu fokus dengan diri saya sendiri. Dia hanya manusia biasa yang dikirimkan Tuhan untuk ada di samping saya, seperti orang-orang terdekat lainnya. Mereka juga punya batas kemampuan untuk menganulir semua ulah saya. Ketika tiba saatnya batas itu terlampaui, saya kira dia juga berhak memilih akan hidupnya. Untuk bisa membalas semua kebaikan yang dulu pernah dia berikan, semua canda dan tawa penghiburan, semua pelajaran yang sempat dia ajarkan, semua waktu panjang yang tidak bisa diukur dengan nilai mata uang, saya hanya bisa merelakan dan menyimpan berbagai tanya dalam-dalam. Saya bahkan sempat membuatkan dia sebuah puisi yang sempat saya bacakan di salah satu acara komunitas budaya yang diadakan untuk memperingati hari kasih sayang tahun 2013. Kisah kami berdua bukan tentang asmara klasik, tapi percayalah, kehilangan sosoknya malah lebih sakit dari patah hati yang disebabkan oleh deretan lelaki yang saya sebut pacar. Sekarang saya hanya sesekali mendengar cerita tentangnya, aneh rasanya karena dulu jarak saya dengannya hanya antara jari dan sederet angka telepon genggam. Saya belajar untuk tidak rindu dan membuang muka ketika tidak sengaja bertemu. Saya hargai keputusan yang merupakan haknya. Selalu ada sederet kalimat doa untukmu kawan, agar kau menjaga kesehatanmu. Jangan pernah lupa untuk berbahagia yah.

Jogjakarta, selalu menjadi tempat menyembuhkan luka meradang yang menggerogoti pikiran dan tubuh saya. Kabar tidak menyenangkan itu menyepak saya ke lubang terdalam, ke titik terendah. Saya pergi ke Jogya, berharap kota yang berslogan “Kota Berhati Nyaman” itu bisa sedikit menularkan semboyannya kepada saya. Disana saya tinggal dirumah tante Anni. Perempuan berusia enam puluhan berpenampilan dua puluhan ini saya kenal tiga tahun lalu, ketika kami sama-sama menjadi relawan di pusat pengungsian korban gempa Jogya. Tante Anni yang ceria dan selalu enerjik adalah salah satu sosok perempuan idola saya. Dia selalu bilang, hidup itu tidak mudah, tapi hidup itu pasti indah. Beliau selalu menceritakan masa lalunya yang warna-warni. Sulit mempercayai sosok yang selalu sibuk ini dulunya pernah sekarat dan hampir menjemput ajal. Terkadang kami berkeliling kota Jogya dengan mengendarai motornya. Sekali, saya sempat diajak ke rumah kerabatnya. Rumah keluarga keraton Jogya yang sangat luas dan membuat mata saya membelalak saking terpesona. Disana tante Anni menyuruh saya mengambil gambar beliau puluhan kali. Saya tertawa melihat beberapa buah kacamata hitam dan baju-baju yang sengaja tante Anni bawa untuk menunjang hasil foto dirinya. Belum lagi dengan pose-pose aduhai yang `terkadang membuat saya terbahak atau sekedar geleng-geleng kepala. Ahhh… rupanya ini rahasia awet muda beliau. Tante Anni menemukan cara untuk berbahagia dengan formulanya sendiri. Saya bahkan lupa tahun berapa saya menghentikan kenarsisan untuk memotret diri sendiri atau meminta orang lain mengambil gambar saya, seperti yang tante Anni lakukan sekarang. Saya terlalu sibuk menjadi dewasa dan melupakan cara untuk berbahagia yang sederhana. Tante Anni lalu mengunduh berbagai foto berpose macam-macam tersebut di akun jejaring sosialnya, setiap hari, disertai dengan kalimat-kalimat motivasi yang entah disadur dari mana, untuk menghibur kami yang melihatnya. Tante Anni tidak peduli dengan berbagai komentar yang muncul tentang foto tersebut. Komentar positif akan dibalasnya dengan canda, pun komentar negatif akan dibalasnya dengan doa. Tante Anni mengajarkan saya tentang fase hidup lainnya yaitu hidup bermasyarakat. Bulan kedua yang penuh kejutan, mengajarkan saya banyak hal. Belajar tentang keikhlasan ditengah badai, serta belajar untuk kembali berbahagia. Tuhan mengajarkan saya bahwa hidup tidak selalu sesuai perencanaan manusia.

tante Anni yang enerjik luar biasa...luv u tante ^_^tante Anni yang enerjik luar biasa...luv u tante ^_^

MARET 2013

Ketika di Jogya, saya menerima kabar tentang pengajuan promosi tahap dua, dan nama saya berhasil masuk di dalamnya. Tuhan memang terlalu baik kepada saya. Sehari setelah menerima kabar tersebut saya kembali ke Jakarta. Berharap saya akan ikut dalam acara peneguhan promosi, menjadi obat yang menenangkan. Apa daya, saya dan beberapa rekan memang berhasil masuk daftar tahap dua, tapi tidak diperbolehkan mengikuti prosesi peneguhan. Betapa kecewanya hati melihat para rekan yang setahun kemarin berjuang bersama namun mendapatkan penghargaan dan saya tidak bisa turut didalamnya. Seperti ada ruang kosong di tengah kegembiraan yang meluap. Saya menjadi sangat cengeng dengan produksi airmata yang berlebihan.

Satu-satunya hal yang menghibur saya adalah kami para rekanan yang baru dipromosikan akan diikutkan dalam pelatihan kepemimpinan. Kegiatan empat hari yang menyenangkan. Suasana kekeluargaan yang tampak mustahil ketika suasana kerja mengharuskan kami untuk saling bersaing, membuat saya banyak belajar dari pribadi teman-teman seangkatan promosi. Kebetulan saya berada dalam satu kelompok yang hebat. Sang ketua kelompok adalah orang yang meraih posisi terbaik tahun 2012 dikantor cabang kami. Rendy, lelaki beranak dua yang selisih usianya hanya tiga tahun diatas saya. Mantan sosialita Jakarta yang memilih untuk fokus berkarir demi keluarga tercinta. Kelak dia menjadi teman diskusi yang spektakuler tentang pekerjaan. Peserta termuda dan tertua juga hadir meramaikan kelompok kami. Gita, gadis berusia sembilan belas tahun yang selalu berhasil membuat para peserta lainnya terkagum-kagum karena tekadnya. Di usia yang relatif muda, Gita berhasil membeli rumah dari hasil pekerjaannya, dan sebentar lagi akan menikah. Dua hal yang masih mustahil bagi saya saat itu. Rendy bahkan menganalogikan saya ibarat mobil balap yang kalah dua putaran dari Gita. Lalu ada tante Esther, seorang berusia lima puluhan yang awalnya kalem dan menganggap dirinya tidak cocok lagi berada di lingkungan kami, para anak muda. Situasi antar kelompok yang kompetitif namun disajikan menarik oleh para pengajar, mengharuskan kami memikirkan cara agar selalu bisa kompak. Saya yang kurang percaya diri karena masuk dalam daftar promosi tahap dua, memilih untuk banyak berdiam diri, tidak aktif dan heboh seperti biasanya. Satu kesalahan Rendy adalah ketika dia memilih saya untuk menciptakan “yel-yel” alias nyanyian kelompok. Pencitraan fiktif yang susah payah saya bangun runtuh seketika. Dibantu oleh Gita dan sedikit bocoran dari bos saya yang mengikuti pelatihan serupa tahun lalu, membuat saya memutuskan untuk membuat “yel-yel” yang lain daripada biasanya. Begitu pula ketika kami diharuskan membuat visi misi pribadi dan mempresentasikan keesokan harinya. Saat peserta lain mengerjakan tugas sebelum sesi pelatihan dimulai, saya memilih untuk begadang sambil mencari contoh visi misi beberapa perusahaan sukses, membuatnya dalam satu konsep berbeda, dan keesokan harinya meminta semua rekan dalam kelompok saya untuk turut menyajikan bahan tersebut agar menjadi tugas bersama. Tak usah ditanya, kelompok kami menang telak dalam presentasi. Begitupun hari terakhir ketika “yel-yel” kami didaulat menjadi pemenang karena kehebohan memakai jas dan blazer seragam ala pramugari maskapai hitam-merah plus kacamata hitam ala tokoh film The Matrix. Empat hari menyenangkan yang diakhiri dengan kemenangan kelompok kami sebagai tim terbaik. Saya sadar, itu hanya pelatihan yang membutuhkan pembuktian dalam dunia kerja nanti. Saat itu saya belajar, sesuatu hal yang dikerjakan sungguh-sungguh dan direncanakan dengan matang tanpa terburu-buru, akan berakhir manis dan membanggakan. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan harapan mengajarkan saya akan fase hidup yang terkadang melenceng dari rencana. Tergantung dari kita bagaimana merancang formula agar timbul “Pelangi Setelah Hujan”.

APRIL 2013

Euforia kemenangan pasca pelatihan tidak membuat saya menjalani pekerjaan saya dengan tetap fokus. Saya malah sibuk merayakan posisi baru saya yang anggap sebuah prestasi membanggakan. Rapat dengan para manager dan mempelajari mekanisme memimpin sebuah tim membuat saya lupa daratan. Saya seakan bekerja hanya untuk memperlihatkan kepada para orang terdekat bahwa saya akhirnya telah membuktikan semua konsekuensi dari pilhan saya tahun kemarin. Namun sesuatu yang dilakukan dengan hati yang penuh dendam perlahan akan mengikis jiwa. Kekosongan tanpa ada kecintaan terhadap apa yang saya lakukan membuat saya merasa hampa. Terlebih waktu itu sahabat saya Ican (pernah saya ceritakan di catatan sebelum yang berjudul “Melangkahlah Sampai Ke Batas Waktumu), telah memulai mimpinya untuk melakukan perjalanan keliling Indonesia. Itu mimpi bersama sebenarnya, tapi Ican telah berani untuk lebih dulu mewujudkannya, sementara saya masih sibuk mencari cara untuk membuktikan hal yang akhirnya tidak bisa saya definisikan tujuannya. Berbagai pelatihan serta seminar motivasi yang diadakan kantor untuk menunjang kinerja saya ikuti, demi mencari sesuatu yang saya namakan mimpi jangka panjang. Saya juga sempat pulang ke Manado untuk mencoba peruntungan dengan membangun tim di kota kelahiran saya itu. Pulang dengan sejuta harapan dan perasaan bangga karena sudah menduduki jabatan baru membuat saya mengurangi jadwal untuk bertemu dengan kawan-kawan lama yang masih berdomisili disana. Saya berjanji tahun ini harus bisa melewati ujian hidup berupa mendapatkan pekerjaan impian agar saya merasa aman. Saya lupa, rasa aman itu takkan pernah berjalan beriringan dengan rasa nyaman.

MEI 2013

Hari-hari saya jalani dengan penuh perjuangan meyakinkan diri sendiri bahwa hidup saya sudah berada di jalur yang tepat. Saya menghibur diri saya dengan membeli banyak buku yang memang menjadi hobi saya sejak kecil. Keuangan yang semakin membaik, membuat koleksi buku saya semakin menggunung. Penulis favorit saya di Indonesia adalah Dewi Lestari dan Alit Susanto. Dua penulis beda segmen yang sama-sama cerdas menurut saya. Kebetulan mereka juga berasal dari dua kota yang saya senangi se-Indonesia, Bandung dan Jogya. Suatu hari ketika saya sedang asyik membaca buku baru karangan Alit, saya lalu terpikir ide gila untuk menyambanginya di Jogya. Akhirnya saya kembali bertualang ke Jogya demi menemui tokoh idola saya tersebut, setelah sebelumnya menghadiri acara pernikahan Yosi, sahabat saya jaman kuliah,di kota Solo. Kami bertemu di depan stasiun radio tempat Alit bekerja.

akhirnya ketemu Alitttt...yeayyy \^_^/akhirnya ketemu Alitttt...yeayyy \^_^/

Seperti mimpi ketika saya bertemu, ngobrol panjang lebar dan akhirnya berkesempatan menemaninya siaran. Disana saya juga menyadari satu hal, artis juga manusia. Banyak sisi humanisme dari Alit yang diperlihatkan olehnya malam itu. Terlambat lulus kuliah, menjadikan Alit terkenal karena berhasil mengusung tema tersebut menjadi berbagai karya dalam bidang tulisan yang menginspirasi banyak orang. Moto “Wisuda adalah pengangguran yang tertunda” adalah contoh kalimat motivasi konyol namun sarat makna ala penulis yang tidak betah di Jakarta itu. Alit sukses merubah status mahasiswa abadi menjadi suatu hal yang dinamis dan layak jual. Tidak sia-sia saya datang ke Jogya. Kota itu beserta para penghuninya memang selalu berhasil membuat saya kembali berhati nyaman. Alit mengajarkan saya tentang fase hidup yang melenceng seperti terlambat lulus kuliah juga bisa dijadikan keuntungan yang membuat hidup kita lebih keren dibandingkan orang kebanyakan. Tergantung bagaimana kita mengolah nasi yang sudah terlanjur jadi bubur. Tambahkan ayam, voilaaa… bubur ayam siap kita santap (maafkan analogi saya yang agak bodoh).

JUNI 2013

Tidak terasa, tahun 2013 sudah memasuki bulan keenam. Saya menjalani “Hidup Normal” tanpa banyak variasi. Berbagai tekanan pekerjaan yang saya ciptakan sendiri tampak selalu meleset. Tim saya kocar-kacir, jauh memenuhi target seperti tahun yang lalu. Saya akhirnya menyadari, menjadi sukses itu butuh banyak perjuangan dan airmata, tidak semulus jalan Sudirman-Thamrin yang setiap hari saya lewati. Saya jadi sering bertengkar dengan anggota tim saya sendiri. Saya mencoba keras dengan mereka, namun itu membuat saya dibenci oleh salah seorang anggota tim yang ironisnya adalah teman baik saya sejak kami tinggal di Jakarta. Saya sempat berpikir mungkin benar tahun 2013 adalah tahun sial karena angkanya tersebut. Saya menjadi semakin sinis terhadap hubungan yang dinamakan pertemanan. Harta yang saya anggap penting berupa teman itu, banyak yang lepas dari tangan saya tahun ini. Saya membekukan hati saya atas luka yang ditimbulkan oleh orang-orang yang saya anggap “harta berharga”. Hal yang menyebabkan saya jadi susah untuk membuka obrolan dengan orang baru yang menyebabkan saya susah untuk mendapatkan teman baru. Menyibukkan diri dengan pekerjaan yang semakin kacau balau karena dikerjakan dengan terpaksa demi mimpi yang bahkan tanpa tujuan yang jelas. Impian yang diarahkan oleh pimpinan di kantor seperti terpaksa saya jejalkan kedalam pikiran. Ketakutan demi ketakutan perlahan merambat dalam diri saya, memakan aura positif yang setengah mati saya bangun, dan yang paling parah, membuat saya kecewa pada Sang Pencipta Kehidupan. Saya berubah menjadi mahluk skeptis yang menolak beribadah. Menganggap kewajiban sholat lima waktu sebagai hal yang tidak berguna. Ketidakpuasan dan kemarahan saya timpakan kepada Tuhan, menolak berkomunikasi dengan cara berdoa seperti yang selama ini saya lakoni. Semua pelajaran hidup yang saya alami beberapa bulan belakangan seakan lenyap tak berbekas.

“Sometimes, acceptance is the hardest thing to do. Not because we cant, but because we just don’t want to. We hold on to things that are no longer there, because we’re not ready to let go”. Alexander Thian

Kata teman-teman, saya terlalu keras dengan hidup saya sendiri, kontras dengan kata orang kantor yang berpendapat bahwa saya terlalu lemah dengan hidup saya, sehingga saya semakin jauh dalam menggapai mimpi saya. Sekarang saya malah kebingungan, impian apa yang sebenarnya saya cari? Hidup seperti apa yang sebenarnya saya impikan? Apakah benar akan ada manis setelah rasa pahit? Kenapa segala hal jadi terasa begitu serius dan menakutkan? Apakah tidak bisa kita hidup tanpa harus mengikuti tatanan hidup normal yang sempurna dan  berbahagia dengan cara yang sederhana? Apakah saya yang terlalu mendramatisir hidup ataukah semua orang juga menghadapi masalah yang sama dengan konteks yang berbeda?


Manado, 29 Januari 2014 pukul 12:02 WITA  



Teras rumah papa, menatap rintik hujan yang perlahan memanggil ratusan kenangan masa silam.