31/05/20

Tumbang, My Laff!

Sudah beberapa hari ini saya sakit. Gejalanya mirip virus yang belakangan jadi momok menakutkan seantero dunia.


Hari ketiga lebaran, saya mulai merasakan gak enak badan. Tidak demam tinggi sih, rasanya cuma semacam meriang ketika pacar tak kunjung balas chat aja. #lhaaa
Lalu dua hari kemudian, kepala saya sakit, badan lemas dan indera perasa plus penciuman saya mendadak hilang.
Ciloko, ini emang gejala covid 19 yang sejak awal saya takutkan. Tapi ajaibnya, saya malah tidak batuk. Padahal, dari semua gejala covid 19 yang paling mungkin menyerang saya yang punya penyakit paru sejak kecil ini, yah si batuk jahanam itu. Gak musim corona aja, saya langganan batuk hampir tiap bulan. Entah karena kena debu, kelamaan kedinginan, atau menghirup asap.

Praktis selama sakit, saya hanya mengurung diri di kamar. Keluar kalo mo ke kamar mandi aja. Makan pun saya minta dibawakan ke kamar.
Saya tak tahu kejangkit ini dari mana, yang jelas, orang rumah pun sudah hampir 3 bulan hanya mengurung diri di rumah. Etapi, seminggu sebelum lebaran memang keluarga si kakak sering keluar rumah karena kedukaan nyokap mertuanya.
Duh, apa virusnya keikut dari baju mereka atau apa, yang jelas kemarin mereka sempat bersin-bersin juga.

Sebenarnya, saya mungkin mustahil tertular, jika saja kemarin saya gak iseng tidur subuh dua hari berturut-turut, buat baca novel daring secara marathon. Kebiasaan ini jadi semakin menjadi karena WFH yang kelamaan ini.
Jujur, saya stres sekali mikirin kerjaan saya yang agak terbengkalai dikarenakan kesulitan kami menjangkau lokasi yang kebanyakan kena penutupan lokal oleh aparat desanya. Makanya larinya ke baca. Abis nonton ngabisin banyak kuota. #malusamakantor hahaha 

Well, kembali lagi ke sakit yang belum ketahuan ini. Hari ini memasuki hari keempat. Gejala sakit sudah perlahan membaik, walaupun kepala saya terkadang masih nyut-nyutan kalau diajak berdiri lama. Saya pun sudah lebih bisa menelan makanan dengan porsi agak banyakan, walaupun rasanya tetap hambar di lidah. Padahal, saya tipikal orang yang sangat mementingkan rasa makanan yang akan saya konsumsi. Namun, dalam kondisi seperti ini, saya harus memaksakan diri untuk makan, daripada imun tubuh terjun bebas lalu membahayakan orang-orang yang kondisinya rentan di sekitar saya.
Hal yang belum mampu saya lakukan meski saya paksakan adalah berjemur di bawah sinar matahari dan berolahraga. Kemarin saya mencobanya, baru 5 menit mata langsung berkunang-kunang dan hampir muntah. Alhasil saya harus tidur selama 3 jam setelahnya agar perasaan mual itu berkurang.

Saya pun memperbanyak konsumsi multi vitamin dan madu. Buah juga. Sama jus sayur. Nah, ini menolong banget sih. Bukannya sok iye, tapi fungsi jus sayur dan buah ini banyak menolong kondisi saya di awal drop kemarin. Saya justru tidak meminum satupun obat untuk mengurangi simptom yang menyerang saya seperti sakit kepala, mual atau kehilangan indera penciuman dan perasa tersebut.

Saya jadi deg-degan menunggu hari Selasa. Well, kantor saya memang menyuruh kami–para petugas lapangan, untuk test rapid menjelang keberangkatan semuanya keluar kota di minggu ini. Walaupun saya masih enggan terbang, tapi tetap saja saya khawatir dengan hasil testnya. Terbayang jika hasilnya positif, saya harus diisolasi di RS bersama para pasien bergejala berat lainnya. Duh...

Mudah-mudahan hasil test hari Selasa nanti baik-baik saja. Saya mungkin hanya kelelahan #dirumahaja.
Aminnn...Insya Allah...


Manado, 1 Juni 2020
00:18 Waktu Aksara Udah Pules Karena Kekenyangan. 

25/05/20

Makna Lebaran


Seumur hidup, saya hanya empat kali merasakan lebaran Idulfitri dengan suasana berbeda.

Pertama, tahun 2007 ketika mama sedang dirawat di Jakarta. Tadinya, mama sudah diizinkan untuk pulang menjelang lebaran karena kondisinya sudah membaik pasca operasi. Kala itu saya sedang penempatan di Batam. Empat hari menjelang rencana kepulangan kami ke Manado, saya sudah mengambil cuti agar bisa menjemput mama dan papa di Jakarta. Namun tiba-tiba dokter memberitahu kami bahwa mama tidak bisa terbang karena takut drop di perjalanan. Betapa kecewanya saya membayangkan tidak jadi reunian dengan teman-teman di kampung halaman. Saat itu yang ada di pikiran saya memang cuma bersenang-senang. Idulfitri adalah momen langka setahun sekali, apalagi buat anak yang baru merantau seperti saya. Tahun sebelumnya-waktu saya masih ditempatkan di Semarang, mama masih sehat, saya pun masih mudik ke Manado dengan ceria. Merayakan Idulfitri dengan keluarga, tetangga dan teman-teman yang tiap tahun selalu datang mengunjungi kami. Siapa yang bisa menebak nasib, tahun berikutnya mama sakit lalu menjalani pengobatan dan mengharuskan kami terdampar di Jakarta untuk berlebaran.

Kami bahkan melaksanakan solat Ied di Priuk, di gang depan rumah tante-kakak kandung mama, rumah tempat menumpang mama dan papa selama bolak-balik menjalani pengobatan di sana. Selama ini, saya tidak pernah melaksanakan solat di tengah jalan, apalagi jalan yang sehari-hari dilewati manusia dan beberapa hewan peliharaan warga kompleks. Jujur, sepanjang solat dan khutbah, saya merasa tidak nyaman karena mengingat betapa “kotor” jalanan tersebut, walaupun sebelum pelaksanaan sholat, jalanannya pasti sudah dibersihkan terlebih dahulu oleh panitia. Saya menatap wajah mama di samping saya yang khusuk mendengar khutbah. Raut wajah mama tenang sekali. Saya mengutuk keadaan mama yang lemah dan sakit, sehingga kami tidak bisa pulang dan bersenang-senang di Manado. Padahal, saya tahu persis mama pun ingin sekali pulang dan berlebaran di rumahnya sendiri.

Selesai solat, karena tante saya tidak merayakan lebaran, maka kami hanya sarapan sedikit dan langsung menuju rumah kakak laki-laki tertua dari papa di Rempoa. Di sana kami disambut dengan keadaan rumah yang sepi. Sepupu-sepupu saya katanya sudah berangkat silaturahmi ke rumah mertua mereka masing-masing. Karena tante sudah meninggal, jadinya tersisa Papa Jala-om saya, yang menyambut kami dengan makanan ala lebaran di Jawa. Opor ayam dan ketupat. Saya memakannya dengan hati gamang. Saya merindukan makanan ketringan yang biasa dipesan mama jika kami merayakan Idulfitri di Manado. Setelah makan, mama dan papa ngobrol lama dengan Papa Jala, sementara saya dibiarkan menonton televisi sendirian. Waktu itu belum ada ponsel berinternet, jadi saya hanya bisa pasrah sambil menonton acara khas lebaran di televisi sambil membayangkan betapa beruntungnya kakak saya yang bisa berlebaran di Manado.
Sore hari kami pamit pulang ke Priuk. Saya mendiamkan mama dan papa sepanjang perjalanan Bintaro-Priuk, bahkan sampai di rumah. Mama tahu saya marah dengan keadaan ini. Sesampainya di rumah mama menangis sambil meminta maaf kepada saya atas keadaan beliau. Saya yang masih kesal hanya bisa diam dan memilih keluar kamar, mematung di balkon sambil memandangi empang samping rumah yang dipenuhi anak kecil bermain. Saya berjanji dalam hati, itu adalah kali pertama dan terakhir saya harus berlebaran di kampung orang. Selama saya belum menikah, saya harus pulang ke Manado, di rumah sendiri, tidak peduli apapun yang terjadi.

Kedua, tahun 2008 ketika saya berhasil berlebaran di Manado, namun tanpa mama dan papa. Itu adalah tahun kedua mama berobat dan tidak bisa pulang ke Manado saat lebaran. Sebenarnya, mama sudah dinyatakan sembuh beberapa bulan sebelum Ramadhan, namun mama yang saat itu masih aktif bekerja sebagai ASN, diharuskan menjadi saksi sidang sengketa lahan di Polda, yang menyebabkan mama harus terkurung selama hampir 13 jam saat ditanyai penyidik. Sehari setelahnya mama drop dan harus dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya mama harus kembali dirujuk ke Jakarta. Waktu itu saya sudah dimutasi ke Jakarta, tetapi karena pengalaman kurang mengenakkan di tahun sebelumnya, maka saya menunaikan janji saya pada diri sendiri untuk pulang ke Manado, berlebaran di sana, tanpa mama papa ataupun tidak. Saat minta izin pulang pun, saya seperti kurang niat, karena tanpa diizinkanpun tekad saya sudah bulat, saya harus pulang. Kapok lebaran dengan suasana sunyi kembali.

Mama memeluk saya sebelum saya berangkat ke bandara, menitipkan salam kepada seluruh keluarga di Manado sambil berurai airmata, memohon maaf atas keadaannya yang menyusahkan keluarga dan kerabat. Saya hanya tersenyum dan menepuk punggung mama seraya berkata kalimat menenangkan untuk basa-basi. Di benak saya sudah terbayang asyiknya berlibur di Manado, main di pantai, nge-mall nongki cantik, dan seabrek rencana spektakuler lainnya. Saya tidak peduli perasaan mama atau papa yang saya tinggalkan di Jakarta. Saya hanya tidak mau merayakan lebaran membosankan seperti tahun kemarin. Sesampainya di bandara, saya dijemput salah satu sahabat saya lalu langsung pergi ke Megamal, nongkrong sambil menunggu buka puasa. Saya bahkan tidak menelpon mama untuk sekadar berkabar seperti anak-anak lainnya.

Saat lebaran tiba, saya kaget ketika kakak saya memutuskan kami tidak akan menyelenggarakan open house prasmanan seperti biasa. Lalu bagaimana kami akan merayakan lebaran? Masa iya hanya menyuguhkan kue dan minuman soda ke tamu yang datang? Itu cara “berlebaran” yang asing bagi saya. Alhasil, walaupun pada saat solat ied saya dan kakak berpelukan sambil menangis di masjid karena itu lebaran pertama kami merayakan terpisah dari mama, tetap saja sesampainya di rumah, saya tetap menggerutu karena malu menjamu tamu “hanya” dengan kue dan minuman ala kadarnya. Padahal, semua tamu yang datang seakan memaklumi keadaan mama dan tak lupa menyemangati kami dengan mendoakan mama agar cepat sembuh. Saya hanya mengaminkan setiap ucapan mereka sambil tersenyum kaku. Berusaha sopan meski perasaan saya kembali tidak nyaman dengan keadaan lebaran yang “tidak normal.” Tanpa menyadari, bahwa itu akan menjadi lebaran terakhir kami bisa mengucapkan mohon maaf lahir dan batin kepada mama.

Ketiga, tahun 2009 ketika mama sudah berpulang ke rahmatullah. Tahun itu adalah lebaran penuh tangisan sepanjang sejarah hidup kami. Tahun pertama sang nyonya rumah tiada, menyebabkan lebaran di rumah kami sendu walaupun dirayakan dengan open house prasmanan sesuai permintaan terakhir mama (karena beliau tidak ingin melihat anak bungsunya kembali bersungut saat melayani tamu). Lebaran penuh penyesalan bagi saya, si anak egois yang lebih mementingkan rencana-rencananya sendiri, tanpa memikirkan orang yang justru di titik nadirnya masih memikirkan perasaan anak yang ia sayangi. Lebaran pertama yang saya jalani tanpa menerima omelan dari mama karena pudding yang saya masak terlalu encer. Lebaran pertama saya menemukan kebiasaan baru. Duduk di tepi pantai sambil menatap langit, berharap saya diberikan kesempatan sekali lagi untuk berlebaran bersama mama. Di manapun tempatnya, yang penting bareng mama. Harapan mustahil seorang anak yang terlambat menyadari arti lebaran itu sendiri. Saya hanya bisa berjanji, sesusah apapun keadaan keuangan saya kedepannya, saya tetap harus berusaha pulang ke Manado untuk bertemu keluarga di rumah. Bukan untuk masalah seremonial setahun sekali, namun untuk menghabiskan waktu berharga yang selama ini salah saya maknai.

Keempat, tahun 2020 ketika pandemik covid-19 menyerang seluruh dunia. Lebaran tahun ini, terasa berbeda, karena selain kami harus menjaga jarak dan dilarang mengadakan kumpul-kumpul, tahun ini juga keluarga kami kembali berduka. Mami Lily, ibu dari kak Bobby-kakak ipar saya, meninggal dunia delapan hari sebelum lebaran. Mami, sudah saya anggap seperti orangtua sendiri. Beliau juga salah satu deretan awal orang-orang yang membantu masalah Aksara dulu. Orang baik dipanggil di hari baik. Sedih sekali melihat keluarga besar kakak ipar saya yang kehilangan poros mereka. Saya kembali teringat momen sendu ketika mama meninggalkan kami, dua belas tahun yang lalu. Raut muram kakak ipar saya ketika kembali pulang ke rumah, mengingatkan saya betapa erat hubungan antara kebahagiaan lebaran dan orangtua, terutama ibu. Seperti ada bagian yang kosong jika salah satu orangtua ada yang sudah berpulang di momen lebaran. Perasaan hampa atas kebiasaan yang tadinya selalu dilakukan bersama.


Tadi sore, ketika melihat Aksara asyik bermain dengan opanya, saya kembali bertanya apa arti lebaran buat diri saya pribadi. Setiap tahun, ada saja karunia Tuhan yang saya dapatkan tapi rasanya setiap hari raya saya hanya merayakan secara seremonial tanpa benar-benar bersyukur atas apa yang masih bisa saya nikmati sampai hari ini. Bagaimana jika tahun ini adalah lebaran terakhir dari orang-orang yang saya sayangi? Atau bahkan tahun ini jadi tahun terakhir saya juga? Di tengah pandemi seperti ini, semuanya bisa terjadi.

Malam ini, sambil menatap Aksara yang sedang terlelap, saya hanya bisa menarik napas panjang sambil mengingat semua kenangan lebaran di rumah ini. Airmata saya deras berhamburan. Jujur, sampai hari ini saya masih bingung, ingin mengajarkan makna lebaran seperti apa kepada Aksara agar dia menemukan kedamaiannya sendiri? Di satu sisi saya ingin mengajarkan kebahagiaan lebaran versi saya, menuntunnya sejak dini agar dia tidak salah langkah seperti saya dulu. Tapi apakah standar saya harus saya paksakan kepadanya? Bukankah kami manusia berbeda walaupun sedarah?
Mudah-mudahan, apapun caranya kelak, Aksara bisa menemukan kedamaian hari raya versi terbaik dirinya. Selama saya masih hidup, saya akan mendoakannya agar bisa jadi manusia yang kembali menemukan fitrahnya di hari lebaran setiap tahunnya. Insya Allah...


Manado, 26 Mei 2020
03:28 dini hari, masih galau sama keadaan pandemi :(