Seumur hidup, saya hanya empat kali merasakan lebaran
Idulfitri dengan suasana berbeda.
Pertama, tahun 2007 ketika mama sedang dirawat di
Jakarta. Tadinya, mama sudah diizinkan untuk pulang menjelang lebaran karena
kondisinya sudah membaik pasca operasi. Kala itu saya sedang penempatan di
Batam. Empat hari menjelang rencana kepulangan kami ke Manado, saya sudah
mengambil cuti agar bisa menjemput mama dan papa di Jakarta. Namun tiba-tiba
dokter memberitahu kami bahwa mama tidak bisa terbang karena takut drop di
perjalanan. Betapa kecewanya saya membayangkan tidak jadi reunian dengan
teman-teman di kampung halaman. Saat itu yang ada di pikiran saya memang cuma
bersenang-senang. Idulfitri adalah momen langka setahun sekali, apalagi buat
anak yang baru merantau seperti saya. Tahun sebelumnya-waktu saya masih
ditempatkan di Semarang, mama masih sehat, saya pun masih mudik ke Manado dengan
ceria. Merayakan Idulfitri dengan keluarga, tetangga dan teman-teman yang tiap
tahun selalu datang mengunjungi kami. Siapa yang bisa menebak nasib, tahun
berikutnya mama sakit lalu menjalani pengobatan dan mengharuskan kami terdampar
di Jakarta untuk berlebaran.
Kami bahkan melaksanakan solat Ied di Priuk, di gang
depan rumah tante-kakak kandung mama, rumah tempat menumpang mama dan papa
selama bolak-balik menjalani pengobatan di sana. Selama ini, saya tidak pernah
melaksanakan solat di tengah jalan, apalagi jalan yang sehari-hari dilewati
manusia dan beberapa hewan peliharaan warga kompleks. Jujur, sepanjang solat
dan khutbah, saya merasa tidak nyaman karena mengingat betapa “kotor” jalanan
tersebut, walaupun sebelum pelaksanaan sholat, jalanannya pasti sudah
dibersihkan terlebih dahulu oleh panitia. Saya menatap wajah mama di samping
saya yang khusuk mendengar khutbah. Raut wajah mama tenang sekali. Saya
mengutuk keadaan mama yang lemah dan sakit, sehingga kami tidak bisa pulang dan
bersenang-senang di Manado. Padahal, saya tahu persis mama pun ingin sekali
pulang dan berlebaran di rumahnya sendiri.
Selesai solat, karena tante saya
tidak merayakan lebaran, maka kami hanya sarapan sedikit dan langsung menuju
rumah kakak laki-laki tertua dari papa di Rempoa. Di sana kami disambut dengan
keadaan rumah yang sepi. Sepupu-sepupu saya katanya sudah berangkat silaturahmi
ke rumah mertua mereka masing-masing. Karena tante sudah meninggal, jadinya
tersisa Papa Jala-om saya, yang menyambut kami dengan makanan ala lebaran di
Jawa. Opor ayam dan ketupat. Saya memakannya dengan hati gamang. Saya
merindukan makanan ketringan yang biasa dipesan mama jika kami merayakan
Idulfitri di Manado. Setelah makan, mama dan papa ngobrol lama dengan Papa
Jala, sementara saya dibiarkan menonton televisi sendirian. Waktu itu belum ada
ponsel berinternet, jadi saya hanya bisa pasrah sambil menonton acara khas
lebaran di televisi sambil membayangkan betapa beruntungnya kakak saya yang
bisa berlebaran di Manado.
Sore hari kami pamit pulang ke Priuk. Saya
mendiamkan mama dan papa sepanjang perjalanan Bintaro-Priuk, bahkan sampai di
rumah. Mama tahu saya marah dengan keadaan ini. Sesampainya di rumah mama
menangis sambil meminta maaf kepada saya atas keadaan beliau. Saya yang masih
kesal hanya bisa diam dan memilih keluar kamar, mematung di balkon sambil
memandangi empang samping rumah yang dipenuhi anak kecil bermain. Saya berjanji
dalam hati, itu adalah kali pertama dan terakhir saya harus berlebaran di
kampung orang. Selama saya belum menikah, saya harus pulang ke Manado, di rumah
sendiri, tidak peduli apapun yang terjadi.
Kedua, tahun 2008 ketika saya berhasil berlebaran di
Manado, namun tanpa mama dan papa. Itu adalah tahun kedua mama berobat dan
tidak bisa pulang ke Manado saat lebaran. Sebenarnya, mama sudah dinyatakan
sembuh beberapa bulan sebelum Ramadhan, namun mama yang saat itu masih aktif
bekerja sebagai ASN, diharuskan menjadi saksi sidang sengketa lahan di Polda,
yang menyebabkan mama harus terkurung selama hampir 13 jam saat ditanyai
penyidik. Sehari setelahnya mama drop dan harus dilarikan ke rumah sakit.
Akhirnya mama harus kembali dirujuk ke Jakarta. Waktu itu saya sudah dimutasi
ke Jakarta, tetapi karena pengalaman kurang mengenakkan di tahun sebelumnya,
maka saya menunaikan janji saya pada diri sendiri untuk pulang ke Manado,
berlebaran di sana, tanpa mama papa ataupun tidak. Saat minta izin pulang pun,
saya seperti kurang niat, karena tanpa diizinkanpun tekad saya sudah bulat,
saya harus pulang. Kapok lebaran dengan suasana sunyi kembali.
Mama memeluk saya sebelum saya berangkat ke bandara,
menitipkan salam kepada seluruh keluarga di Manado sambil berurai airmata,
memohon maaf atas keadaannya yang menyusahkan keluarga dan kerabat. Saya hanya
tersenyum dan menepuk punggung mama seraya berkata kalimat menenangkan untuk basa-basi. Di benak saya sudah terbayang asyiknya berlibur di Manado, main di
pantai, nge-mall nongki cantik, dan seabrek rencana spektakuler lainnya. Saya
tidak peduli perasaan mama atau papa yang saya tinggalkan di Jakarta. Saya
hanya tidak mau merayakan lebaran membosankan seperti tahun kemarin.
Sesampainya di bandara, saya dijemput salah satu sahabat saya lalu langsung
pergi ke Megamal, nongkrong sambil menunggu buka puasa. Saya bahkan tidak
menelpon mama untuk sekadar berkabar seperti anak-anak lainnya.
Saat lebaran
tiba, saya kaget ketika kakak saya memutuskan kami tidak akan menyelenggarakan
open house prasmanan seperti biasa. Lalu bagaimana kami akan merayakan lebaran?
Masa iya hanya menyuguhkan kue dan minuman soda ke tamu yang datang? Itu cara
“berlebaran” yang asing bagi saya. Alhasil, walaupun pada saat solat ied saya
dan kakak berpelukan sambil menangis di masjid karena itu lebaran pertama kami merayakan
terpisah dari mama, tetap saja sesampainya di rumah, saya tetap menggerutu
karena malu menjamu tamu “hanya” dengan kue dan minuman ala kadarnya. Padahal,
semua tamu yang datang seakan memaklumi keadaan mama dan tak lupa menyemangati
kami dengan mendoakan mama agar cepat sembuh. Saya hanya mengaminkan setiap
ucapan mereka sambil tersenyum kaku. Berusaha sopan meski perasaan saya kembali
tidak nyaman dengan keadaan lebaran yang “tidak normal.” Tanpa menyadari, bahwa
itu akan menjadi lebaran terakhir kami bisa mengucapkan mohon maaf lahir dan
batin kepada mama.
Ketiga, tahun 2009 ketika mama sudah berpulang ke
rahmatullah. Tahun itu adalah lebaran penuh tangisan sepanjang sejarah hidup
kami. Tahun pertama sang nyonya rumah tiada, menyebabkan lebaran di rumah kami
sendu walaupun dirayakan dengan open house prasmanan sesuai permintaan terakhir
mama (karena beliau tidak ingin melihat anak bungsunya kembali bersungut saat
melayani tamu). Lebaran penuh penyesalan bagi saya, si anak egois yang lebih
mementingkan rencana-rencananya sendiri, tanpa memikirkan orang yang justru di
titik nadirnya masih memikirkan perasaan anak yang ia sayangi. Lebaran pertama
yang saya jalani tanpa menerima omelan dari mama karena pudding yang saya masak
terlalu encer. Lebaran pertama saya menemukan kebiasaan baru. Duduk di tepi
pantai sambil menatap langit, berharap saya diberikan kesempatan sekali lagi
untuk berlebaran bersama mama. Di manapun tempatnya, yang penting bareng mama.
Harapan mustahil seorang anak yang terlambat menyadari arti lebaran itu
sendiri. Saya hanya bisa berjanji, sesusah apapun keadaan keuangan saya
kedepannya, saya tetap harus berusaha pulang ke Manado untuk bertemu keluarga
di rumah. Bukan untuk masalah seremonial setahun sekali, namun untuk
menghabiskan waktu berharga yang selama ini salah saya maknai.
Keempat, tahun 2020 ketika pandemik covid-19
menyerang seluruh dunia. Lebaran tahun ini, terasa berbeda, karena selain kami
harus menjaga jarak dan dilarang mengadakan kumpul-kumpul, tahun ini juga
keluarga kami kembali berduka. Mami Lily, ibu dari kak Bobby-kakak ipar saya,
meninggal dunia delapan hari sebelum lebaran. Mami, sudah saya anggap seperti
orangtua sendiri. Beliau juga salah satu deretan awal orang-orang yang membantu
masalah Aksara dulu. Orang baik dipanggil di hari baik. Sedih sekali
melihat keluarga besar kakak ipar saya yang kehilangan poros mereka. Saya
kembali teringat momen sendu ketika mama meninggalkan kami, dua belas tahun yang
lalu. Raut muram kakak ipar saya ketika kembali pulang ke rumah, mengingatkan
saya betapa erat hubungan antara kebahagiaan lebaran dan orangtua, terutama
ibu. Seperti ada bagian yang kosong jika salah satu orangtua ada yang sudah berpulang di momen lebaran. Perasaan hampa atas kebiasaan yang tadinya selalu dilakukan bersama.
Tadi sore, ketika melihat Aksara asyik bermain dengan
opanya, saya kembali bertanya apa arti lebaran buat diri saya pribadi. Setiap
tahun, ada saja karunia Tuhan yang saya dapatkan tapi rasanya setiap hari raya
saya hanya merayakan secara seremonial tanpa benar-benar bersyukur atas apa
yang masih bisa saya nikmati sampai hari ini. Bagaimana jika tahun ini adalah
lebaran terakhir dari orang-orang yang saya sayangi? Atau bahkan tahun ini jadi
tahun terakhir saya juga? Di tengah pandemi seperti ini, semuanya bisa terjadi.
Malam ini, sambil menatap Aksara yang sedang terlelap,
saya hanya bisa menarik napas panjang sambil mengingat semua kenangan lebaran
di rumah ini. Airmata saya deras berhamburan. Jujur, sampai hari ini saya masih
bingung, ingin mengajarkan makna lebaran seperti apa kepada Aksara agar dia
menemukan kedamaiannya sendiri? Di satu sisi saya ingin mengajarkan kebahagiaan
lebaran versi saya, menuntunnya sejak dini agar dia tidak salah langkah seperti
saya dulu. Tapi apakah standar saya harus saya paksakan kepadanya? Bukankah
kami manusia berbeda walaupun sedarah?
Mudah-mudahan, apapun caranya kelak, Aksara bisa
menemukan kedamaian hari raya versi terbaik dirinya. Selama saya masih hidup,
saya akan mendoakannya agar bisa jadi manusia yang kembali menemukan fitrahnya
di hari lebaran setiap tahunnya. Insya Allah...
Manado, 26 Mei 2020
03:28 dini hari, masih galau sama keadaan pandemi :(