Hari ini jadi hari paling drama selama saya kerja di kantor yang sekarang. Entah kenapa, selama pandemi, si bos kadar nyebelinnya nambah berkali lipat. Mungkin karena dasarnya dia traveler, pas lama kekurung jadi blingsatan sendiri. Alhasil, kami—para bawahan ceria, yang jadi sasaran pelampiasan.
25/11/20
Ritual Membersihkan Hati
21/11/20
Tentang Seseorang Yang Selalu Ada
Ini tulisan saya di tahun 2015. Waktu pertama kali pulang Manado setelah lama "bertualang."
Setelah baca lagi, kayaknya emang kudu diabadikan di blog biar kelak bisa dibaca-baca lagi sama Aksara. 😊
Kemarin, tepat 7 tahun yang lalu mama berpulang. Sorenya, gw berkunjung ke rumah peristirahatan beliau, sekedar baca doa, nangis curhat colongan, plus selfie-selfie, ahahaha. Kebiasaan gw setiap tahun memang begitu. Gw selalu memilih untuk datang sendiri kesana, gak ramean dengan anggota keluarga lainnya, karena ingin lebih leluasa berdialog secara monolog dengan mama.
Sejak 7 tahun kepergian mama, mungkin hanya 3 tahun setiap peringatan hari kematiannya, gw pergi berziarah langsung ke Manado. Selain karena memang kota domisili gw yang susah ditebak macem perasaan gebetan (cieee), mama meninggal di bulan yang sama dengan bulan kelahiran gw, di mana setiap tahunnya selalu gw persiapkan istimewa dengan merancang rencana jalan-jalan ke tempat-tempat untuk sekedar bermeditasi dan merefleksi perjalanan setahun kemarin (sok iye hahaha). Jadinya gw mengesampingkan pulang ke Manado untuk berziarah dan memilih berpetualang merayakan hari kelahiran.
Padahal, gw rasa kalo posisinya dibalik alias gw yang "pergi" duluan dan mama masih hidup sampe sekarang, pasti setiap tahun beliau bakal nyiapin sekedar acara doa bersama kecil-kecilan di rumah, atau membawa apapun ke panti asuhan agar anak2 yatim piatu yang mama sangat percaya doanya bisa "by pass" langsung ke Tuhan. Dengan kata lain, mama bakal memastikan ada kiriman pahala super banyak tiap tahunnya yang bertujuan melapangkan kuburan gw plus mendoakan anak bandelnya ini agar tenang di sana. Mama akan melakukan apa saja untuk menyenangkan dan membahagiakan keluarganya, bahkan sampai ke liang kubur kami jika memungkinkan. Menetes airmata gw mengingat betapa egoisnya gw sebagai anak. Makin kenceng tangisan gw setelah berpikir bahwa kelak gw juga bakal jadi ibu. Alangkah sedihnya ketika gw mati dan anak2 gw tidak peduli bahkan untuk sekedar mengunjungi kuburan gw. Terlalu klise jika gw berkata "Yang penting tiap hari gw berdoa, toh mama juga bakal seneng liat gw menikmati hidup."
Tahun ini juga gw memperhatikan, "tetangga baru" mama semakin banyak. Kebiasaan gw memperhatikan lingkungan sekeliling membuat gw juga membuat semacam daftar sensus deretan "tetangga" mama mulai dari nama, tanggal kelahiran, dan tanggal kematian. Ahh, betapa umur manusia tidak bisa diprediksi. Kematian bisa datang kapan saja dan mendatangi siapa saja. Terbukti dengan beragam usia yang tertera di nisan mereka. Itu membuat gw makin mikir, kalo esok giliran gw dipanggil, persiapan gw apa sampe saat ini? Mau pergi jalan-jalan ke kota atau negara berbeda aja gw nyusun rencananya bisa rempong sebulanan ngatur ini itu, apalagi ini perginya ke alam lain? Apakah gw sudah cukup berguna di kehidupan gw dan kelak gak bakalan nyesal kalo tiba-tiba dipanggil menghadapNya?
Ternyata, datang ke kuburannya mama bisa membuat gw belajar untuk lebih menghargai setiap hari kehidupan gw sebagai sebuah karunia. Masih bisa bernafas dan berkesempatan melihat matahari setiap pagi, adalah kebahagiaan sederhana yang patut gw syukuri. Refleksi tepat di hari kematian mama, seminggu sebelum hari kelahiran gw.
Maaf Ma, sampai hari ini ade belum bisa memenuhi keinginan mama sepenuhnya. Masih belum bisa gantian menjaga papa, masih belum bisa ngajak kak Santi belanja sepuasnya tanpa mikirin harga, masih belum bisa bawa teman seperjuangan buat Kak Bobby yang kerepotan ngehalau air banjir kalo hujan deras, masih belum bisa ngasih Jordan dan Nia sepupu buat main bareng. Mudah-mudahan tahun ini terakhir kalinya Ade datang berziarah sendiri yah Ma. Ini bukan kode kok, cuma doa anak sholeh doank lho Ma, ahahaha.
Mohon doanya Ma, diumur yang baru nanti, ade bisa jadi berguna dan lebih bijaksana, agar bisa membuat mama tersenyum bangga di atas sana.
Semoga bahagia terus disana yah Ma. Aminnn
23/09/20
Kejutan Ulang Tahun
Seumur hidup, saya cuma pernah dikasih kejutan pake kue tuh sekali doang. Hah? Serius lu, Shin? Emberrrrr... Sekali doang! Waktu itu pas saya dan mas mantan ceritanya lagi liburan buat ngerayain ultah di Bali.
Saya juga sering membuat tulisan di blog atau di sosial media lain milik saya, untuk dihadiahkan kepada para sahabat yang kebetulan ulang tahun. Kebanyakan sih menceritakan tentang kehidupan mereka dari kacamata saya. Semacam napak tilas kali yah. Ada yang terharu, ada yang pengen nabok karena pasangannya jadi tahu aib pacarnya gara-gara dibongkar sama sahabatnya yang kelewat jujur nan sarkas. Mihihihi.
31/05/20
Tumbang, My Laff!
Ciloko, ini emang gejala covid 19 yang sejak awal saya takutkan. Tapi ajaibnya, saya malah tidak batuk. Padahal, dari semua gejala covid 19 yang paling mungkin menyerang saya yang punya penyakit paru sejak kecil ini, yah si batuk jahanam itu. Gak musim corona aja, saya langganan batuk hampir tiap bulan. Entah karena kena debu, kelamaan kedinginan, atau menghirup asap.
25/05/20
Makna Lebaran
Kami bahkan melaksanakan solat Ied di Priuk, di gang depan rumah tante-kakak kandung mama, rumah tempat menumpang mama dan papa selama bolak-balik menjalani pengobatan di sana. Selama ini, saya tidak pernah melaksanakan solat di tengah jalan, apalagi jalan yang sehari-hari dilewati manusia dan beberapa hewan peliharaan warga kompleks. Jujur, sepanjang solat dan khutbah, saya merasa tidak nyaman karena mengingat betapa “kotor” jalanan tersebut, walaupun sebelum pelaksanaan sholat, jalanannya pasti sudah dibersihkan terlebih dahulu oleh panitia. Saya menatap wajah mama di samping saya yang khusuk mendengar khutbah. Raut wajah mama tenang sekali. Saya mengutuk keadaan mama yang lemah dan sakit, sehingga kami tidak bisa pulang dan bersenang-senang di Manado. Padahal, saya tahu persis mama pun ingin sekali pulang dan berlebaran di rumahnya sendiri.
Selesai solat, karena tante saya tidak merayakan lebaran, maka kami hanya sarapan sedikit dan langsung menuju rumah kakak laki-laki tertua dari papa di Rempoa. Di sana kami disambut dengan keadaan rumah yang sepi. Sepupu-sepupu saya katanya sudah berangkat silaturahmi ke rumah mertua mereka masing-masing. Karena tante sudah meninggal, jadinya tersisa Papa Jala-om saya, yang menyambut kami dengan makanan ala lebaran di Jawa. Opor ayam dan ketupat. Saya memakannya dengan hati gamang. Saya merindukan makanan ketringan yang biasa dipesan mama jika kami merayakan Idulfitri di Manado. Setelah makan, mama dan papa ngobrol lama dengan Papa Jala, sementara saya dibiarkan menonton televisi sendirian. Waktu itu belum ada ponsel berinternet, jadi saya hanya bisa pasrah sambil menonton acara khas lebaran di televisi sambil membayangkan betapa beruntungnya kakak saya yang bisa berlebaran di Manado.
Sore hari kami pamit pulang ke Priuk. Saya mendiamkan mama dan papa sepanjang perjalanan Bintaro-Priuk, bahkan sampai di rumah. Mama tahu saya marah dengan keadaan ini. Sesampainya di rumah mama menangis sambil meminta maaf kepada saya atas keadaan beliau. Saya yang masih kesal hanya bisa diam dan memilih keluar kamar, mematung di balkon sambil memandangi empang samping rumah yang dipenuhi anak kecil bermain. Saya berjanji dalam hati, itu adalah kali pertama dan terakhir saya harus berlebaran di kampung orang. Selama saya belum menikah, saya harus pulang ke Manado, di rumah sendiri, tidak peduli apapun yang terjadi.
Saat lebaran tiba, saya kaget ketika kakak saya memutuskan kami tidak akan menyelenggarakan open house prasmanan seperti biasa. Lalu bagaimana kami akan merayakan lebaran? Masa iya hanya menyuguhkan kue dan minuman soda ke tamu yang datang? Itu cara “berlebaran” yang asing bagi saya. Alhasil, walaupun pada saat solat ied saya dan kakak berpelukan sambil menangis di masjid karena itu lebaran pertama kami merayakan terpisah dari mama, tetap saja sesampainya di rumah, saya tetap menggerutu karena malu menjamu tamu “hanya” dengan kue dan minuman ala kadarnya. Padahal, semua tamu yang datang seakan memaklumi keadaan mama dan tak lupa menyemangati kami dengan mendoakan mama agar cepat sembuh. Saya hanya mengaminkan setiap ucapan mereka sambil tersenyum kaku. Berusaha sopan meski perasaan saya kembali tidak nyaman dengan keadaan lebaran yang “tidak normal.” Tanpa menyadari, bahwa itu akan menjadi lebaran terakhir kami bisa mengucapkan mohon maaf lahir dan batin kepada mama.
Manado, 26 Mei 2020
03:28 dini hari, masih galau sama keadaan pandemi :(
25/01/20
Luka Itu Masih Ada
Dan malam ini saya menantang diri sendiri, tepatnya memberanikan diri, untuk mengatasi semua ketakutan yang selama ini saya pendam.