12/08/11

Hey Soul Sister (Selamat Hari Jadi Santi Arwati Saloewa)

Hari ini ulang tahun si ibu Jendral, yang saya sebut dengan penuh hormat (sambil muntah-muntah tentu saja), Santi Arwati Saloewa. Produk “sepabrik” dengan saya, bahkan nama saya hanya dibalik dari namanya (dalam hal pemberian nama anak-anaknya, memang ayah saya kehilangan daya kreatifitasnya yang selangit itu).

Semalam, saya tidur seperti mati, akibat pulang kemalaman dari kantor. Maka habislah niat menjalankan momen sok romantis dengan menelpon si pirang alami yang tiga bulan terakhir ini menutup auratnya akibat satu alasan yang ketika pertama saya mendengarnya, hampir terjatuh dari tempat tidur saking hebohnya tertawa terbahak-bahak (tidak perlu saya sebutkan disini, kalau tidak, bisa habis saya dimaki dan dirajam mahluk kejam berbaju Mango dan bertas Hermess KW 1 ini,hahahaha). Bukannya saya lupa juga untuk sekedar mengucapkan “selamat hari jadi” di dinding jejaring sosial miliknya, tetapi hari ini, sejak pagi sampai menjelang sore, lumayan banyak masalah yang ditimbulkan “si duo kerjaan” alias dua jenis pekerjaan yang mati-matian saya jalani sekarang.

Ketika sudah agak santai, saya membuka akun jejaring sosial milik saya, bermaksud ingin sekedar liat-liat dan mengintip aktifitas pergaulan di dunia maya. Di halaman yang memuat “recent update”, saya melihat beberapa sahabat saya, menulis di “dinding”nya kakak saya, yang notabene hari ini memperingati kejadian bersejarahnya, 33 tahun yang lalu. Waduh, bahkan para sahabat itu sudah meluangkan waktu mereka untuk sekedar mengucapkan selamat, sekedar mengirimkan doa lewat kumpulan kata sederhana. Dan saya, si adik manis yang agak jahil namun ngangenin ini, agak-agak tidak tau diri, karena belum menyampah di dindingnya sama sekali.

Santi, saya sadar bahwa dia adalah satu-satunya kakak kandung yang harus saya tulis dibiodata, ketika masuk kelas 1 sekolah dasar. Dulu dirumah kami, banyak sekali saudara sepupu baik dari pihak ayah maupun ibu, yang tinggal bersama kami, dan Shinta kecil menganggap bahwa semuanya adalah “kakak” (si kecil polos yang tidak mengerti tentang definisi kakak kandung dan kakak sepupu). Santi, yang sewaktu SMP lebih beken dengan nama Sasha, diambil dari singkatan namanya “Santi Saloewa” (sampai sekarang saya masih penasaran dengan asal muasal huruf H dinama itu). Sejak masuk Sekolah Dasar, buat saya, jadi adik dari si Santi ini adalah “totally sucks!!!”.

Jaman Belanda, Kala Remaja (Masih lucu-lucunya) :)))


Santi yang selalu juara kelas, Santi yang selalu masuk dalam sepuluh besar lulusan terbaik sesekolahan (dari dulu ibu saya selalu memaksa saya masuk sekolah bekas kakak saya dulu, dengan alasan selain sekolah itu memang sekolah negeri terbaik dikota saya, ibu saya juga sudah mengenal sebagian gurunya, jadi bisa lebih lega melepas anak bontotnya yang agak hiperaktif dan mengkhawatirkan ini), dan yang paling penting…Santi yang sejak TK sudah ada yang mengirimi surat cinta dari teman sekolahnya…alias Santi yang cantik jelita bak bidadari turun dari pohon cemara. Jujur saya kesal sekali dengan predikat “adiknya si Santi”. Saya ingin orang-orang mengenal saya sebagai si Shinta, bukan sekedar bayang-bayang dari si Santi yang serba blablabla.

Lupa bikin PR dan disetrap didepan kelas waktu SD “Aduh Saloewa kecil…kamu ini kok malas sekali, beda banget sama si Saloewa besar yang rajin” (cihh…dia kerjaannya dikit Bu, saya punya kerjaan lain dirumah, menggembala anjing tetangga misalnya), naik di atas meja dikelas waktu SMP, kepergok guru “Kamu ini Shintaaaaa….beda sekali sama kakak kamu yang anggun dulu” (bah…apa salahnya naik dimeja jaman SMP), kepergok bolos dan ketahuan merencanakan rencana “jahat” untuk mempengaruhi teman-teman sekelas untuk rame-rame bolos,lalu kemudian masuk ruang BP waktu SMU “Ya Tuhan Shintaaaa…kamu itu harusnya mencontohi prestasi kakak kamu, bukannya menuh-menuhin buku catatan BP dengan kenakalan kamu” (ya elah bu, namanya juga hasil pabrikan, bisa aja donk ada produk gagal dikit). Belum lagi komentar nyinyir dari teman-temannya kalau melihat “penampakan” si adik imut ini “Ya ampun, beneran ini adiknya Santi? Kok beda yah? Kok gak sebagus kakaknya?” (heh, maksudnya apaan tuh, sembarangan). Sampai dulu saya mengutuk iklan salah satu cairan pemutih kulit yang mempunyai jargon "kulit Santi tak seputih Shinta" yang pada kenyataannya berbanding terbalik dengan keadaan kulit saya yang sawo kematengan dibanding dengan kulit putih susu khas sang kakak.

Ketika masuk kuliah, kami masuk universitas yang sama, fakultas yang sama, dengan jurusan yang berbeda. Kakak saya yang sejak kecil memang mempunyai hobi belajar (tuh kan, dia itu aneh tau, belajar kok hobi sih, heran saya), masuk jurusan akuntasi dengan pelajaran mayoritas hitung-hitungan. Dan karena umur ketika masuk kuliah sudah memungkinkan untuk saya memilih sendiri jurusan, dengan kewarasan tingkat dewa, saya memilih jurusan internasional yang merupakan program baru difakultas tersebut. Alhamdulillah, saya mulai menemukan jati diri saya dan berhenti menjadi bayang-bayang si nona cantik yang setiap mantan pacarnya dulu selalu membawakan oleh-oleh sebagai upeti wajib buat adik judesnya jika ingin selamat bertamu dirumah kami,hehehe.

Jujur, saya justru mulai dekat dengan kakak saya ini, malah ketika saya sudah memutuskan untuk hijrah keluar daerah. Kakak yang selalu menanti kisah-kisah konyol saya ketika saya pulang mudik, bercerita sejak malam (sejak saya tiba dari bandara) sampai pagi menjelang (padahal terkadang dia harus bangun pagi untuk pergi menjalankan tugasnya sebagai tukang ngitungin duit Negara).

Kakak yang selalu siap sedia mengatur masalah keluarga kami ketika almarhumah ibu saya terserang penyakit kritis yang menyebabkan semua masalah rumah tangga keluarga saya harus diserahkan kepadanya. Kakak yang akhirnya memutuskan memboyong kembali keluarga kecilnya dirumah ayah ibu saya, untuk mengurus ayah saya sepeninggalan ibu yang akhirnya menyerah pada penyakitnya tiga tahun yang lalu, karena melihat tampak sia-sia mengharapkan si bontot untuk pulang dan kembali mengabdi dikota kelahiran kami. Kakak saya yang selalu mempunyai saran-saran hebat, ditengah pemikirannya yang sederhana itu. Kakak yang mempunyai sepasang bocah super manis, yang selalu mengeluhkan keajaiban anak-anaknya yang katanya entah turunan dari siapa (yelowwww….lupa apa punya tante yang super ajaib pula..hahaha). kakak, yang selalu mendukung saya, dalam situasi apapun, seperti ketika tahun lalu saya mengabarkan keputusan saya untuk berhenti dari pekerjaan dan memutuskan untuk bersenang-senang, atau ketika pulang mudik lebaran dan mengabarkan berita buruk (buat mereka sih), bahwa saya sudah mengakhiri hubungan saya dengan seseorang “calon anggota keluarga inti”, yang merupakan “titipan” ibu saya sebelum beliau menghadap sang Maha Tinggi, atau yang paling gres adalah ketika mengetahui potongan rambut ajaib saya sejak bulan bulan Januari sampai sekarang yang total sudah lima kali ganti model dan warna. Tanggapan kakak saya pada awalnya memang selalu agak-agak histeris layaknya Maria Mercedes ketika mendengar masalah Soraya Montenegro, tapi pada akhirnya, dia pun selalu muncul dengan kata-kata bijak khas orang tua yang membuat saya terkadang tercengang “astaga…bisa juga ni orang punya ide brilian” lalu kemudian “iya juge ye,susah emang kalo ngemeng ama orang pinter”.

kala si komandan belom Insap...haahahaha


Sampai pada akhirnya, saya benar-benar menyadari, tidak ada tempat terbaik didunia ini selain berada di rumah, dan kakak saya, melalui suara cempreng khasnya (yang kadang dibagus-baguskan kalo ada maunya) membuat saya selalu merasa nyaman dan merasa berada benar-benar diberanda teras rumah kami, tempat saya dan dia ber-haha hihi bergosip ala pembantu rumah gedongan. Melalui sambungan telepon yang membuat jarak antara Jakarta dan Manado menjadi begitu dekat (walaupun terkadang kualitas jaringan telepon yang membuat emosi jiwa naik ke level tingkat jahanam), kakak saya selalu berceloteh lincah, mengabarkan semua cerita tentang perkembangan keluarga dan kota kami tercinta. Kakak yang selalu berusaha meluangkan waktu, untuk sekedar mendengarkan keluh kesah penting gak penting adiknya yang tidak pernah beranjak dewasa ini,hahaha.

Kami, memang bukan kakak beradik yang romantis. Bukan juga kakak beradik yang sangat akrab sejak kecil. Tapi saya, hari ini, bersyukur sekali kepada Sang Kekasih Abadi, untuk menghadiahkan salah satu karya terbaikNYA sebagai teman saya dalam keluarga, orang yang waktu kecil sering saya rusak boneka dan semua permainannya, sampai mungkin nanti kami menjadi tua, dan tetap menggila bersama, bergandengan tangan untuk meneruskan garis keturunan keluarga kami tercinta.

banyak yang bilang kami sama, kalo kata saya "pergilah beli kacamata dulu" hahahaha




Hari ini, dengan tulus saya mengucapkan “Selamat Hari Jadi buat si cantik Santi Arwati Saloewa”, Semoga Tetap Sehat, Terus Bahagia, dan Tambah Sejahtera. Belum bisa beliin kado mahal apa-apa, tapi Insya Allah, doa dan permohonan saya lebih berarti dari segalanya (basiiii gak sihhh…hahahaha).

“A sister is a gift to the heart, a friend to the spirit, a golden thread to the meaning of life”.  ~Isadora James~



Jakarta, 12 Agustus 2011
Untuk si cantik yang hari ini sedang merobek 1 kalender untuk jatah umurnya.

Menara BCA, masih putus asa melihat macet dijalanan ibukota.

11/08/11

Creating Destiny Part. 1

Jam di layar computer yang sudah hampir dua bulan ini membantu saya mencari sekedar uang untuk makan dan bersosialita, telah menunjukan angka 7.26 PM.

Lampu kelap-kelip kota Jakarta terlihat sangat indah dari jendela lantai 55, disalah satu gedung pencakar langit yang berdiri angkuh dibilangan Bundaran Hotel Indonesia, jantung kota ibukota polusi ini, dimana disalah satu sudut persis disamping kaca terletak meja kerja saya yang berantakan dengan berbagai dokumen dan barang-barang berwarna kuning khas saya, lengkap dengan tiga buah pigura berwarna kuning yang berisi foto-foto orang-orang terdekat saya.

Masih banyak deadline yang harus saya kejar minggu ini. Kerjaan kantor formal menjelang Lebaran gini sibuknya nauzubillah. Kerjaan lepas informal minggu ini belum mencapai target yang sudah saya susun diawal minggu. Pengen nangis rasanya, sama pengen jambakin rambut orang (hahaha).

Padahal, masih segar diingatan, 2 bulan yang lalu, saya masih berfoya-foya disalah satu gugusan pantai diujung pulau Jawa. Tertawa-tawa ditengah sapuan ombak, meliuk lincah pada kedalaman air laut yang walau jam 12 siang, terasa sejuk dikulit. Pantai, angin, dan langit biru, serta bintang malam, merupakan sinergi unik yang selalu menenangkan syaraf dan otot lelah saya menghadapi kerasnya Jakarta (apa coba).

menikmati hidup digugusan pantai


Hampir dua bulan saya kembali bekerja, beraktifitas layaknya “orang normal”, bahkan sekaligus mengerjakan dua pekerjaan yang sama-sama menyita waktu dan tenaga. Kenapa? Karena kali ini saya tidak mau kecolongan rencana dan waktu. Hidup saya 2 tahun belakangan benar-benar jauh melenceng dari “milestone” yang sudah saya susun, akibat ketidakdisiplinan saya dalam menyusun dan menjalankan rencana. Dan akibat dari ketidakdisiplinan itu sungguh menyakitkan, dan membuat saya harus rela mengulangnya lagi dari awal. Setiap hari saya menghibur diri dengan kata-kata positif yang jadi afirmasi untuk pelaksanaan tujuan saya tahun depan. Tapi tiap hari saya juga harus rela melihat status teman-teman saya di akun jejaring sosial milik mereka tentang perjalanan-perjalanan menyenangkan mereka keliling Indonesia dan dunia. Benar-benar membuat batin saya memaki dan terkadang berpikir kembali, apakah benar keputusan saya sekarang?

Tetapi, banyak hal yang akhirnya membuat saya bangkit dari mimpi dan hal-hal manja lainnya. Semua hal menyenangkan yang diperlihatkan teman-teman sesame petualang, saya jadikan sebagai suplemen, dan referensi , dan saya berjanji, tahun depan, ketika “kerajaan” saya sudah lumayan stabil, saya akan menjalankan kembali mimpi-mimpi saya yang sekarang saya paksa “istirahat sejenak”.

Tidak ada pencapaian tanpa sebuah pengorbanankan? Tidak ada hasil yang spektakuler tanpa sebuah rencana yang brilian yang diiringin disiplin yang luar biasa kan? Tuhan itu tidak pernah tidur. Dan sekali lagi saya percaya dengan kata-kata, semua kejadian terjadi karena suatu alasan. Hanya saja, saya masih harus bersabar, untuk mengetahui apa alasan dibalik jungkir baliknya saya sekarang.

Seperti kata idolanya idola saya (hahaha), “Life is what happens to you while you’re busy making other plans (John Lennon)”. Jadi, sekarang inilah hidup saya. Seorang Shinta yang sibuk bangun pagi, kembali membangun mimpi dan merencanakan kehidupannya dengan lebih pasti. Tidak ada jalan lagi untuk berbalik dan lari. Itu hanya cara seorang pecundang yang memilih pergi dan bersembunyi. Mudah-mudahan Tuhan, si Kekasih Hati yang abadi, akan selalu membimbing dan menuntun saya kearah jati diri yang sesuai dengan mimpi.

“I believe that everything happens for a reason. People change so that you can learn to let go, things go wrong so that you appreciate them when they’re right, you believe lies so you eventually learn to trust no one but yourself, and sometimes good things fall apart so better things can fall together.”

Jakarta, 11 Agustus 2011
8.25 PM waktu si kompie

Menara BCA, masih berkutat dengan komputer dan deretan lagu dari headset si KuBee, seluler pintar yang hampir kehabisan tenaga.


Jakarta pada malam hari, dari jendela disamping meja kerja saya ^_^

Karena si KuBee bener-bener lowbat, saya akhirnya browsing pemandangan yg mirip dgn apa yg saya liat dari jendela



berasa berkunjung dimarkas salah satu parpol gak sih,hahaha

mimpi pertama saya tahun depan...semoga terwujud...aminn aminnn




09/08/11

Menikah itu pasti bradaaahh...Jomblo itu (baru) pilihan ^_^

“Gw jemput yee…kita buka bareng dirumah bos besar gw”, bunyi bbm dari salah seorang sahabat terdekat saya yang sembunyi-sembunyi saya baca diwaktu training sedang berlangsung dihari Sabtu yang panas kemarin.

“Heee?? Trus gw mo nyolong boy ditengah-tengah orang kantor lu gitu?” jawab saya sambil pura-pura mencatat materi training.

“Udeee….kagak bakal ada yg kepo nanya-nanya kok…paling juga mereka ngiranya lu cewe gw yang baru apa istri gw yang gak pernah gw publish” balesan yang masuk agak-agak bikin saya ingin memukul kepala si lelaki perlente yang sudah saya kenal sejak jaman kuliah dulu.

“Jiahahahaha…ciyalannn…berani bayar brape lu, diluaran sana ngajak cewe buat pura-pura gitu mehong (mahal-red) tau!!! Ogah ahhh..lagian gw ada janji ketemu calon klien gw ntar sore,skalian dinner bareng. Abis dinner aje kita nongkrong dimana gitu”, Alhamdulillah saya ingat kalau ada janji sore itu, sehingga tidak mengurangi pahala puasa saya nanti, berbohong didepan ratusan teman-temannya yang seperti biasa memberondongi dengan pertanyaan “kapan kawin bro?”.

“Bah…gitu yee…sekarang sibuknye udah ngalah-ngalahin Ani Yudhoyono yee…ckckck…ya udah,last minute gak jadi meeting, lu bbm gw, tar gw segera meluncur jemput ndoro putri. Lagian malam minggu kok meeting!!!” tetep dong dia meracuni dengan segala godaan dibulan puasa itu, hahahaha.

Hmmmm….bukan pertama kali sih, saya…yang masih berstatus jomblo gembira ini dipinjam ato dimintai tolong, bahkan tak jarang dipaksa oleh beberapa sahabat yang merasa status jomblo mereka itu adalah masalah besar dalam lingkup pergaulan. Masalah khas para kalangan sosialita ibukota (halah), yang menjadi momok ketiga terbesar setelah tagihan kartu kredit di awal bulan dan pemutusan kontrak kerja bagi para karyawan kontrak (yak..dan saya makin ngelantur,hahaha).

Pernah suatu ketika, diminggu pagi yang indah, tiba-tiba saya dikejutkan dengan bunyi selular pintar kesayangan. Ternyata dari salah seorang sahabat (lagi), yang meminta saya segera mandi tanpa memperbolehkan saya bertanya, kemana gerangan saya akan dibawa. Dijalan dia cuma menginstruksikan untuk berpura-pura jadi calon tunangannya dia didepan keluarga besar ayahnya yang datang dari Jawa, sambil sibuk memperingatkan saya untuk berperilaku ayu bak putri keraton terutama cara berjalan saya jika berkebaya. What?!?! Emang ada acara apaan yah!?!?

Jrengg…jrenggg…sesampainya saya disana, langsung digiring kekamar rias gedung, disuruh mengenakan pakaian seragam khusus keluarga besar (kata sahabat saya “gak sia-sia gw nemenin lu beli baju selama 2 tahun mak, gw jadi tau ukuran lu yang rata depan belakang itu”…sialan), dimana didalamnya penuh dengan keluarga calon penganten yang merupakan sepupu dari pihak ayahnya, dan sebagian besar berisi ibu-ibu priyayi cerewet yang memberondong saya dengan segala pertanyaan khas keluarga yang ingin tau babat bibit bobot calon anggota baru keluarga mereka.

Hohoho… Jangan bilang nama saya Shinta kalau saya tidak bisa berdiplomasi dan menjawab dengan jawaban super manis plus tampang super kalem, sambil dalam hati mengutuk sahabat saya dan berjanji akan meminta “bayaran” yang sangat amat besar untuk peran dadakan kali ini. Hasilnya, seminggu penuh saya bebas makan direstoran seantero Jakarta manapun yang saya pilih, karena ternyata semua keluarganya puas dengan “hasil wawancara dadakan” mereka, dan membuat sahabat saya bebas dari upaya perjodohan yang akan dilakukan oleh keluarganya jikalau di acara tersebut sahabat saya datang sendirian. Ketika saya tanya “Lhaa…kalo nanti mereka nanya kapan kawin, lu mo jawab apa?”, dengan enteng sahabat saya menjawab “Ya gw jawab aja ntar “Aku masih mencoba ngenalin karakternya dia Bu De, nanti tak kabari kalau udah pasti tanggalnya. Lagian cewe jaman sekarang udah mandiri Bu De,nda bisa dipaksa, nanti lari, saya bingung nyari yang cocok lagi”….beresss, tar didiemin aja sampe sodara gw ada lagi yang kewong, baru nyari lagi yang laen. Kalo pas lu kebetulan ada di Jakarta, ya siap2 lagi ajah…hahahaha”.

Fenomena pasangan kagetan dikalangan anak Jakarta memang bukan hal baru. Diantara beberapa komunitas saya, memang banyak yang masih betah melajang, tentunya dengan berbagai alasan khas penghuni kota besar misalnya masih ingin bebas lah, belum ketemu yang pas lah, masih mengejar karir lah, dan lain lain, dan lain lain. Saya merupakan salah satunya yang mempunyai berjuta alasan untuk berkelit jika ditanyain “kok belum punya pacar?”. Untung saja di KTP tidak ada spesifikasi status seperti punya pacar atau tidak, hahahaha.

Tentu saja ada kelebihan dan kekurangan dari menjomblo seperti sekarang, apalagi dengan jiwa sosial yang rajin menolong seperti saya ini,hahahaha. Banyak teman dan sahabat yang sudah saya “tolong” ketika berada dalam keadaan “malas sendiri” ato “tidak boleh sendiri”. Sebenarnya sih, pada pelaksanaannya, saya tidak pernah meminta bayaran dalam bentuk apapun kok, karena saya tau persis, apa rasanya menghadapi berondongan tatapan sinis ingin tau atopun pertanyaan menghakimi dari “orang luar” yang ngasih makan pun tidak tapi sangat pengen tau urusan orang lain yang sangat banyak bertebaran disekeliling kami, para jomblo gembira ini. Cuma yah, mereka tau diri kok, ditengah jadwal saya yang padat merayap ala jalan Sudirman Thamrin jam 6 sore, ada rayuan plus upeti khusus yang wajib mereka siapkan agar saya mau meluangkan waktu *minta dilempar,hahaha.

Sebenarnya yang menjadi pertanyaan saya selama ini adalah “emang kenapa gitu harus jomblo? Takut dibilang gak laku? Takut dibilang penyuka sesama jenis? Takut dibilang terlalu sibuk lalu gak punya waktu nyari pasangan?”… Yellowwww… banyak banget hal yang harus ditakutkan dalam hidup kita tiap harinya, seharusnya yang harus kita takutin itu misalnya 5 tahun lagi, hal besar apa yang sudah kita capai yang beda daripada orang lain?, atau apakah kita sudah bisa membuat orang tua kita bahagia (setidaknya 1 hal yang benar-benar bisa dia banggakan kepada teman-temannya lah).

Buat saya, hidup terlalu biasa itu malah tidak masuk dalam kamus saya. Semakin ajaib, semakin menyenangkan. Untung keluarga inti saya sangat menghargai keputusan saya jomblo sampai sekarang. Semuanya kan memang tergantung kita menjelaskan kepada keluarga inti, mau dibawa kemana alur hidup kita. Pencapaian dan tujuan yang jelas, dijalani dengan cara unik khas saya, membuat saya tenang menghadapi segala pertanyaan seputar kejombloan ini. Tidak pernah lupa, sujud menyembah Sang Maha Pencipta segala keajaiban otak saya ini, karena tanpa kuasaNya, semua tidak akan pernah seindah dan semenyenangkan sekarang.

Sebagai sahabat yang baik, tentunya saya sering bertukar pikiran dengan para sahabat yang sering merasa kelabakan dengan status lajangnya itu. Tidak harus diterima mentah-mentah sih, namanya juga bertukar pendapat. Tak jarang, ada adu argumentasi untuk itu, karena saya juga sadar, masing-masing orang punya latar belajang yang berbeda, tergantung pemahaman mereka saja. Hidup itu pilihan, mau hanya sekedar menjalani dengan cara biasa untuk bertahan hidup atau mau ekstra berkreasi untuk menikmati hidup? Pilihan ada ditangan kita masing-masing kawan.

Walaupun ujung-ujungnya, tetap ada saja hal seperti ini:

Mereka: “Oke Shin, mulai sekarang gw akan bangga dan pede dengan status gw, peduli setan siapa yang nanya”

Saya: “Baguss!!! Gitu donk…kalo bukan kita yang mengawali rasa bangga terhadap diri sendiri, mo mengharapkan dari siapa lagi?” jawaban khas motivator dadakan saya keluar

Mereka: “Tapi Shin…hehehe…in case ada neh…kalo kalo neehh..gw lagi kejepit gak bisa ngeles, lu tetep mau gw ajak kan Shin?” diucapkan dengan mata berbinar kayak kucing ngarep ikan dari bawah meja

Saya: “Hadehhh…terserah lah!!! Asal lu pade mampu bayar tariff guwehhh!!!!”


“Be who you are and say what you feel, because those who mind don’t matter, and those who matter don’t mind.” *Dr. Seuss*



Didedikasikan untuk para sahabat lelaki saya, yang menganggap jomblo itu 3 P, Pilihan, Prestasi, dan Populer....jiahahahaha


Jakarta, 9 Agustus 2011

Menara BCA, ditengah meja kerja yang berantakan nauzubillah ditemani berbagai berkas dan deretan foto para orang kesayangan ^_^

01/08/11

Warna-Warni Cerita Ramadhan 1432H ala Shinta (Part 1)

Ramadhan buat saya, adalah bulan penuh cerita. Yeap, seperti cerita2 Ramadhan tahun-tahun sebelumnya yang berwarna warni, bukan hanya melulu cerita sedih dan mendayu.

Semalam, saya sholat tarawih dimushala dekat dengan kostan. Menurut hasil survey saya selama empat tahun menjadi penghuni daerah kuningan dan sekitarnya, mushala yang terletak disamping SD Inpres itu, mempunyai beberapa keuntungan yang menjadi pertimbangan “layak tidaknya” menjadi mushala favorit saya (halahhh). Rakaatnya yang berjumlah 23 (sejak kecil terbiasa sholat dimesjid yang juga melaksanakan shalat taraweh plus witir sebanyak itu), tempat wudhunya yang dekat dengan tempat jamaah wanita, wc nya bersih dan banyak airnya (kalo kebelet bisa gampang kabur ke wc), para warga yang ramah dan bersahaja (raut wajah tulus dengan pakaian sederhana namun bersih, lebih berkesan buat saya, ketimbang para penghuni mesjid elit yang selesai sholat jamaah sibuk dengan gadget masing-masing ato sibuk memoles kembali riasan mereka), juga alasan yang mungkin gak penting buat sebagian orang tapi sangat amat penting sekali buat saya, dimushala sekecil itu, disediakan air minum kemasan dalam gelas yang bisa diambil sebanyak-banyaknya (sampai sekarang saya penasaran,siapa penyumbang mulia yang selalu berbaik hati menyediakan minuman untuk para jamaah tersebut).

Saya yang hobi datang mepet setelah adzan, pada hari-hari pertama selalu saja kebagian di saf belakang. Semalam, seperti biasa, saya juga datang telat (bangga…hahahaha). Tapi bukan Shinta namanya kalo tidak bisa menemukan tempat nyaman, strategis plus dinamis diantara para jamaah wanita yang sudah siap untuk sholat. Selip kiri, selip kanan, dapatlah tempat lumayan cihuy dideretan kedua….lumayan :D
Sholat Isya dan Tarawih dijalanin seperti biasa, tidak ada adegan salah berdiri atopun salah baca hafalan dari sang imam (maklum, salah satu khasnya mushalal ini adalah imamnya yang sudah lumayan sepuh, setahun sekali selama Ramadhan, pasti ada aja ulah lucu sang imam disebabkan factor “U”).

Cerita lucu pertama diawal Ramadhan tahun ini terjadi ketika sholat selesai. Saya, yang malas terburu-buru, melipat mukena dan sajadah dengan khusyuk dan syahdu, kalem bak permaisuri raja menyisir rambut alias pelan sepelan angin sepoi-sepoi. Tiba-tiba saya mendengar suara yang memanggil-manggil “Dri…Dri…ayok pulang”….sambil melipat dan tanpa melihat kearah datangnya suara, saya membatin “kasian amat Dri ini, masih mau maen tapi udah diajak pulang sama bapaknya”. Lambat laun, panggilan itu berkurang hanya dengan kata-kata “Dri...Dri…Dri…” tapi dengan intonasi yang makin lama makin tinggi. Saya, lagi lagi membatin “doelahh pak…esok mo puasa…sabar nape…kesian anaknya, jarang-jarang main dimalem Ramadhan, ntar kalo udah gede, biar bisa ada ceritanya, tentang kenangan Ramadhan”. Tapi kok lama-lama saya jadi berpikir, ini anak kok memang agak-agak kurang hajar, daritadi dipanggil, sekalipun dia tidak menyahut. Padahal, saya dulu waktu masih bocah (dan mungkin pengalaman semua anak-anak dijaman saya), sekali mendengar orang tua memanggil, harus menyahut, tanda bahwa kita menghormati orang yang lebih tua (bukankah semua norma dimuka bumi ini memang mengharuskan seperti itu). Apalagi, nda suara si bapak makin meninggi, dan sudah lumayan mengusik saya daritadi.

Mau tidak mau, untuk memenuhi rasa penasaran, saya pun mendongak untuk melihat kearah suara. Tampak didepan saya kepala bapak-bapak yang sedaritadi memanggil-manggil anaknya, menyembul dari arah pembatas antara tempat sholat jamaah pria dan wanita. Ekspresi kaget dari wajah si bapak, membuat saya heran. Saya pun bertanya “Kenapa Pak?” dan tau apa jawabannya si bapak “Eh…maaf mas, saya kira Andri ponakan saya”….Yakkk Jlesekkkkk…kalo diandaikan adegan film kartun, ada puluhan pisau yang nancap dikepala saya. Ternyata eh ternyata, yang dipanggil-panggil oleh si bapak tadi itu saya, yang dikira ponakannya. Dan yang lebih parah lagi, walaupun saya sudah menengadah keatas, tetap saja saya dipanggil mas sama si bapak-bapak itu….Jiahahahaha…antara ingin ketawa ngakak sama manyun, kira-kira itulah ekspresi campuran wajah saya semalam…sambil berharap dalam hati, mudah-mudahan si Andri yang sebenarnya itu beneran cakep kayak saya…jiahahahaha…eitzzz…jangan pada protes, lagi puasa neh…mohon maaf lahir batin yeee ^_^v


*ini lho sosok si cutie dan manis yang semalam dikira Andri -.-"