22/12/13

Untuk Para Perempuan Mengagumkan, Selamat Hari Ibu ^_^

Kemarin, saya pulang kampung bersamaan dengan salah satu sahabat saya sejak kecil. Teddy, begitu sahabat saya itu akrab disapa, pulang membawa anak semata wayangnya yang saat ini berusia setahun lebih enam bulan yang mereka beri nama Tesar (singkatan Teddy dan Sari, nama istrinya). Sari belum bisa turut pulang bersama kami, dikarenakan kantor tempatnya bekerja belum mengijinkannya untuk mengambil cuti lebih cepat. Jadilah saya, si tante (sebenarnya sih saya lebih suka dipanggil dengan sebutan kakak, hahaha) bertugas membantu Teddy untuk mengawasi Tesar sepanjang perjalanan. Kami berangkat menggunakan pesawat tengah malam. Cuaca bulan Desember yang selalu hujan melulu, membuat saya sedikit khawatir pesawat yang akan kami tumpangi akan terlambat berangkat. Rupanya Teddy juga sama khawatirnya dengan saya. Kami bukan khawatir tentang kemungkinan cuaca buruk yang akan mengakibatkan pesawat kecelakaan ato bergoyang-goyang selama perjalanan, melainkan kalau pesawat terlambat berangkat, si kecil yang tidak lagi mungil (sekedar informasi, Tesar terlihat seperti anak berusia hampir tiga tahun saking bongsornya) akan berlarian dibandara dan membuat kami berdua kewalahan mengejarnya, lalu dia kehausan, dan terus meminta susu, dan akhirnya buang air besar disana (baik saya maupun ayahnya ngeri membayangkan siapa yang harus membersihkan kotorannya, hahaha).

Sebelum kami berangkat, Sari sudah mewanti dan mendikte apa saja yang harus saya kerjakan untuk membantu Teddy dalam menjaga Tesar. Dimana letak popok, tisu, baju ganti, tak lupa ukuran air untuk membuat susu yang tepat. Saya yang memang senang dengan anak kecil, sangat antusias memperhatikan instruksi Sari malam itu. Membayangkan akan bermain dengan si bocah bongsor sepanjang malam, berhasil membuat saya tersenyum senang.

Tesar Fondri Mintjelungan


Sepanjang perjalanan menuju bandara, Tesar tertidur dipelukan ayahnya. Ketika kami turun di bandara Soekarno Hatta, saya bertugas untuk memeluk si bayi yang telah tertidur, sementara Teddy bertugas menurunkan semua barang bawaan kami lalu kemudian pergi ke loket check-in. Ternyata, memeluk bayi seberat hampir dua puluh kilo tidak sama dengan memanggul ransel yang ukurannya lebih berat dan lebih besar. Apalagi jika si bayi sedang tertidur. Butuh teknik tingkat tinggi agar si bayi merasa nyaman dan tidak terbangun. Untunglah Tesar bukan termasuk bayi yang rewel dan gampang kaget jika orang yang memeluknya salah posisi. Berulang kali saya membetulkan posisi tangan dan badan ketika memeluknya sambil berdiri menunggu Teddy. Hal yang membuat saya berpikir bahwa mempunyai bayi bisa menghemat biaya fitness bulanan yang jaman sekarang mahalnya hampir mengalahkan biaya naik haji. Proses antrian yang lama di loket check-in membuat saya akhirnya menyerah dan nekad mengambil kursi petugas jaga disekitar situ dan duduk sambil memeluk Tesar. Biasanya, kalau dalam keadaan biasa, petugas akan memarahi para penumpang yang seenak jidatnya seperti saya malam itu. Akan tetapi, melihat bayi yang sedang tertidur pulas dipelukan saya, mereka menjadi tidak tega dan malah mengatakan “Aduh ibu, lucu amat nih bayi yah. Udah umur berapa?”, alhasil saya pun hanya tersenyum masam sambil berpikir “Sialan.. gw udah sengaja bergaya ngehist gini tetep donk dipanggil ibu-ibu!”. Hahaha.

Melihat saya yang kerepotan membopong Tesar (padahal baru juga setengah jam mengemban tugas “memeluk dan membopong”), Teddy lalu berbaik hati mengambil alih tugas saya tersebut. Tesar, si lelaki mungil yang akhirnya terbangun dan tertawa-tawa dipelukan ayahnya, membuat saya sedih dan merasa gagal menjadi tukang peluk yang profesional (halah). Padahal seingat saya, banyak lelaki yang selalu merasa nyaman dan sukses tertidur dipelukan saya (yak cukup, saya sudah mulai ngelantur, haha).

Banyak yang saya pelajari dan renungkan sepanjang perjalanan menuju Manado malam itu. Perjalanan membawa bayi hanya sepersekian dari tantangan sebagai orang tua, terlebih sebagai ibu. Teringat akan kakak saya yang dalam selang empat bulan terakhir dua kali begadang dirumah sakit untuk merawat anak-anaknya yang terserang penyakit kambuhan seperti demam berdarah dan tipus. Belum lagi keluhan di jejaring sosial milik teman-teman saya yang sudah menjadi orang tua, tentang betapa mereka kerepotan menjadi orang tua atau betapa sedihnya mereka ketika anak tercintanya sakit. Betapa mereka ingin sakit yang diderita anaknya itu pindah saja ditubuh mereka, agar anaknya tidak merasakan penderitaan tersebut. Saya pun teringat perjuangan orang tua saya ketika merawat saya yang selama hampir dua tahun menderita sakit gejala radang paru-paru waktu duduk dikelas dua sekolah dasar. Perjuangan malam-malam panjang yang tentunya melelahkan. Sigap mengganti baju saya yang basah oleh keringat, tanggap menepuk badan saya ketika mengigau karena mimpi yang menakutkan datang bersamaan dengan tingginya suhu badan, serta telaten membuatkan saya susu agar gizi saya terpenuhi walaupun saya sedang sakit.

Dulu saya selalu tertawa ketika membaca betapa berlebihannya reaksi teman-teman saya yang mengungkapkan tentang anak mereka yang sedang berada pada usia lucu-lucunya, atau ikut mengaminkan dengan tertawa terbahak beberapa ledekan teman yang masih lajang yang mengatakan “Sekarang lagi jamannya pasang foto anak di akun jejaring sosial lu Bro!! haha” (mereka tidak bermaksud memuji, melainkan meledek para orang tua baru yang terlalu narsis memamerkan foto anak mereka yang sedang tersenyum atau menangis). Sampai kemudian tahun berganti, dan orang-orang yang tadinya meledek itu akhirnya menikah, lalu dikaruniai anak-anak lucu, dan seketika menjilat ludahnya sendiri dengan memasang foto-foto anak mereka dengan tingkat kenarsisan yang tidak kalah menyedihkan, hahaha.

Pengalaman membawa bayi malam itu, seakan jalan Tuhan untuk memberitahu saya akan seninya menjadi orang tua, melalui cara yang unik. Saya sempat membaca beberapa artikel maupun “perang” di jejaring sosial tentang klaim mana yang paling benar antara menjadi ibu pekerja maupun menjadi ibu rumah tangga. Sebagai wanita yang hidup dan berkarir di kota besar, saya senang mengamati pola hidup para orang tua modern. Setiap orang tua punya caranya sendiri dalam berkreatifitas untuk membesarkan anak mereka agar kelak menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya. Terkadang, banyak cara lama yang masih dipakai para orang tua modern ini dalam mendidik anaknya, seakan lupa dengan jaman yang sudah semakin maju dan metode tersebut sudah kurang cocok untuk diterapkan. Saya pun sering membatin “Nanti gw kalo punya anak, amit-amit deh jadi emak-emak yang gak gaol”. Kenyataannya, salah seorang sahabat saya malah sering meledek saya dengan kalimat “Plis deh Nta, kamu udah kayak si Ibu. Bawelnya minta ampun!”. Hal yang menyadarkan saya bahwa ada fenomena sepanjang masa dimana “Selalu ada yang namanya orang tua menganggap yang paling tahu, dan anak yang menganggap orang tuanya sok tahu”.

Tuhan memang Pencipta yang ciamik. Dia tahu, seberapa besar daya serap saya dalam suatu kasus tertentu. Contohnya dalam penyerapan masalah menjadi Ibu, hal mendasar kenapa perempuan dilahirkan di dunia ini. Dulu saya selalu menganggap Tuhan tidak adil mengenai pembagian tugas yang timpang ini. Kami para perempuan ditakdirkan untuk menjadi “alat” pengembang, pendidik, dan pemerhati mahluk Tuhan yang paling sempurna, manusia. Sementara rekan kami, para lelaki, diberi “sedikit” tugas yang kurang berguna (menurut pendapat saya waktu itu). Butuh waktu lama untuk saya bisa memahami “karunia” Tuhan yang mendasar ini, mengapa saya sebagai kaum perempuan harus repot-repot mengurus anak kecil yang nantinya akan jadi anak bandel yang lupa pada orang tuanya (oke, saya memang terlalu berlebihan dalam menafsirkan cerita Malin Kundang, hahaha).

Belum lagi dengan kebiasaan saya yang mendewakan tidur diatas segalanya. Saya sampai memutuskan untuk bekerja di tempat yang sekarang, agar saya bisa mengatur waktu tidur yang “cukup” untuk saya yang maniak dengan kegiatan tersebut. Konon, menjadi Ibu berarti merelakan waktu tidur kita menjadi tidak teratur bahkan berkurang drastis selama beberapa tahun awal sejak sang anak dilahirkan. Belum lagi jika anak sakit ataupun rewel tengah malam. Seringnya saya bangun siang, akan membuat predikat Ibu kurang bertanggung jawab sukses melekat pada saya. Teringat pembicaraan saya dengan Sari, ibunda Tesar si bayi bongsor, ketika kami membayangkan kerepotan jaman kami kecil dulu, sewaktu teknologi belum secanggih sekarang dan tidak ada yang namanya popok plastik sekali pakai yang mengharuskan para orang tua memakaikan popok kain yang harus diganti acap kali si anak buang air. Pengorbanan seorang Ibu yang mendahulukan kepentingan anak diatas segalanya, seringkali membuat nyali saya ciut duluan. Apakah keegoisan seorang manusia akan begitu mudahnya dikalahkan demi kepentingan manusia lain yang keluar dari dalam tubuhnya?

Bagaimana dengan soal berantakan dimana saya selalu meraih predikat “juara umum”. Berantakan dalam hal kerapihan maupun berantakan dalam menata hidup (dan tiba-tiba curhat, haha). Okelah nanti saya bisa menyewa pembantu untuk membenahi masalah ini. Tetapi ngeri juga membayangkan nanti anak saya akan mengikuti jejak ibunya yang tidak telaten dan jauh dari sifat resik ini. Mandi untuk membersihkan diri sendiri saja terkadang malas saya lakukan, apalagi nanti memandikan anak yang rewel kesana kemari. Tetapi memikirkan kekurangan tanpa memikirkan solusi hanya akan membuat manusia tidak pernah berhasil untuk maju. Akhirnya saya pun perlahan belajar untuk mulai rapi dengan keadaan sekitar. Setidaknya jika saya bertamu ke rumah orang, saya latihan jadi anak baik yang merapikan barang-barang dan tentunya…rajin mandi! Saya tidak ingin nanti anak saya mendengar dongeng nostalgia dari para teman-teman saya tentang Ibunya yang dulu berantakan dan malas mandi. Euyyy…

Saat itu saya sempat menarik nafas panjang mengingat semua kekurang ajaran saya terhadap kedua orang tua saya, terlebih kepada Mama. Saya juga teringat akan kakak perempuan saya yang berubah kelakuannya kepada almarhumah Mama, menjadi lebih hormat dan santun ketika dia telah melahirkan keponakan pertama saya. Mengamati satu per satu perilaku para sahabat yang saya kenal baik sejak jaman masih sama-sama lajang, kegilaan yang berubah menjadi ketenangan seorang Ibu yang menurut saya luar biasa, diluar akal sehat yang bisa saya cerna. Proses transformasi yang selalu berhasil membuat saya geleng-geleng kepala melihat mereka. Bayangkan, saya mempunyai teman yang sejak awal saya kenal selalu terlihat keren. Pakaian dan badan yang terurus, serta ponsel dan aksesoris seperti tas dan sepatu yang mengikuti tren masa kini. Jangan tanya ketika kami dulu berburu barang di mall ibukota, teman saya itu akan kalap dan pulang dengan menenteng kantong belanjaan yang tidak sedikit. Sekarang, setelah dia dikaruniai seorang bocah lelaki lucu berusia setahun, jika kami mampir ke mall, hal pertama yang akan dia lihat adalah toko baju dan peralatan bayi. Belum lagi kegiatan menelpon orang rumahnya sejam sekali untuk mengecek si kecil. Baju dan aksesoris yang dia kenakan memang masih terlihat bagus, namun tidak seheboh dulu. Ketika saya tanya alasannya, dia hanya menjawab dengan santai “Sayang ah boros buat gaya kalo sekarang mah, mending duitnya gw tabung buat pendidikan anak gw ntar”. Untuk orang yang dulu bisa menghabiskan kartu kredit sampai batas maksimal dalam semalam untuk acara diskon tengah malam di mall dan ratusan ribu untuk sekedar nongkrong di kafe kopi, itu jawaban yang fantastis!

para sahabat sejak jaman Meteor Garden ngehits yang sekarang sudah menjelma jadi para Ibu hebat


Ketika ada teman yang memuji “Lu jago bener masaknya sekarang. Kayaknya dulu cuma bisa masak aer deh? Demi apaan lu belajar masak? Demi cinta?”, saya pun hanya bisa menjawab dengan senyum meringis. Saya memang dulu hanya bisa memasak air, itu pun menggunakan kompor gas yang tidak perlu repot. Dulu, saat teman-teman lainnya sibuk belajar masak demi membuatkan kekasih hati mereka masakan yang enak-enak, saya adalah orang yang pertama kali akan menertawakan kebodohan mereka tersebut. Rasanya menjadi sebuah kekonyolan terhebat abad ini ketika kita harus bersusah payah untuk sesuatu yang mengatasnamakan “cinta”. Namun ketika ada salah seorang sahabat saya yang sedang ditugaskan keluar negeri menghubungi saya untuk minta tolong menanyakan resep masakan sayur yang biasa dibuat oleh mamanya, saya langsung tahu alasan yang kuat untuk saya belajar memasak dengan baik dan benar. Resep mamanya itu sederhana, resep sayur berkuah bening berbumbu biasa, bukanlah bumbu rumit seperti makanan khas Indonesia lainnya. Tapi di belahan dunia sana yang terpisahkan lautan, sahabat saya rela untuk membuat masakan sayur ala mamanya tercinta, demi mengobati rasa rindunya akan rumah, dan tiba-tiba itu menjadi cita-cita besar saya, belajar memasak agar kelak anak saya bisa mengingat keluarga dan tanah air tercintanya lewat masakan khas ibunya. Saya pun menemukan jawaban pertanyaan teman saya tadi yaitu “Demi cinta saya nanti sebagai seorang ibu”. Dan seketika, proses belajar memasak pun menjadi mudah dan menyenangkan, dan saya akhirnya berbaris dalam barisan “orang yang belajar memasak demi cinta”. Bah!!!

mama cantik yang sayurnya bikin kangen sampe benua Afrika :))



Sempat terpikir oleh saya untuk menjadi orang tua tunggal. Di beberapa negara maju, menjadi orang tua tunggal sudah banyak dilakoni oleh para perempuan tanpa harus takut mendapat julukan perempuan nakal tanpa suami. Niat yang akhirnya saya urungkan, mengingat saya pasti membutuhkan “rekan” dalam proyek membesarkan dan memelihara kawanan manusia yang kita sebut “keturunan penerus keluarga”. Saya pernah menemani seorang teman yang suaminya kerja diluar kota selama seminggu, sementara bayi mereka masih berumur tiga bulan. Setiap malam si bayi meraung dengan teriakannya yang sanggup membuat satu batalion tentara lari tunggang langgang. Ibu si bayi yang notabene teman saya, mencoba sabar dalam hal menenangkan bayi kesayangannya. Namun sang Ibu juga masih manusia, terkadang tiba saat dia merengut atau bahkan hampir menangis bersama si bayi, bukan karena mereka terlalu kompak berperan sebagai ibu dan anak, melainkan karena dia kesal dengan bayinya yang tak kunjung diam tanpa alasan yang jelas setelah diberi susu atau ditimang-timang, sementara waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dimana kuntilanak dan bencong berebutan untuk dinas malam. Betapa bahagianya teman saya ketika suaminya pulang, karena akhirnya mereka bisa kembali berbagi tugas dengan normal untuk mengurus si buah hati tercinta. Sungguh pengorbanan mulia yang tak ternilai di mata saya.

“Neng, kalau nanti sudah jadi Ibu, jadilah Ibu yang bisa jadi contoh yang baik buat anak-anaknya. Semua hal bisa dipelajari, namun yang paling penting, jadilah diri sendiri. Kenyamanan seorang Ibu, adalah kenyamanan seluruh keluarga”.

Nasehat Ibu siang itu, membuat saya tertegun. Deretan kalimat yang sarat makna yang keluar dari mulut seorang perempuan cantik yang telah melahirkan tiga lelaki hebat, salah satunya sahabat saya itu, berhasil mengalihkan perhatian saya dari telur balado diatas piring yang siang itu saya nikmati. Ibu juga merupakan salah satu figur yang masuk dalam daftar orang tua perempuan yang menginspirasi. Membesarkan tiga orang anak lelaki yang berbeda watak bukanlah hal yang mudah. Perut saya langsung mual membayangkan jika saya bertukar posisi dengan beliau dalam hal itu. Tiga tahun saya berkawan baik dengan putera tertuanya, membuat saya tahu persis, betapa susahnya mendidik anak multi talenta sekaligus multi keinginan ajaib seperti sahabat saya itu. Melihat pencapaian hebat sahabat saya sekarang, tentunya orang yang paling berjasa dibalik itu tidak lain dan tidak bukan adalah ibunya. Ibu yang selalu menyapa kami dengan “Pemuda Pemudi Harapan Bangsa”, Ibu yang selalu menangis jika anak-anaknya malas untuk beribadah, dan Ibu yang selalu tersenyum cerah ketika anak-anaknya melongok ke dalam kamar beliau dari balik pintu kamar hanya untuk sekedar menyapa Ibu mereka yang sedang asyik bekerja. Pernah Ibu bertutur lirih, buat orang tua seperti Ibu, tak perlu emas permata untuk menyenangkan hatinya. Beliau hanya berharap perhatian sederhana seperti pesan singkat yang dikirimkan atau telepon sekedar “Halo Bu, lagi apa? Udah makan?” oleh anak-anak kesayangannya, ditengah sibuknya aktifitas mereka. Menetes airmata saya mendengar penuturan Ibu, teringat perlakuan saya terhadap almarhumah Mama yang dulu minus. Jarang mengabari karena saya terlalu sibuk dengan dunia baru saya, ketika beliau sedang terbaring lemah, padahal justru orang yang sakit akan lebih mudah proses penyembuhannya ketika diberi perhatian dari orang-orang terkasih. Beruntunglah sahabat saya saat ini, masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membahagiakan Ibunya di usia senja.

Ibu, duplikat malaikat di duia ketiga anak lelakinya



Predikat pahlawan tanpa tanda jasa memang adalah julukan untuk para guru, salah satu profesi favorit saya. Para Ibu di dunia ini adalah orang yang patut disebut guru yang menjadi suri tauladan untuk anak-anaknya sejak mereka kecil hingga dewasa. Ibu yang juga belajar pelajaran kehidupan melalui anak-anak mereka, melalui proses yang mereka jalani setiap hari. Bahkan ada lelucon yang mengatakan, menjadi ibu adalah merasakan surga dan neraka dalam waktu yang bersamaan. Salah satu mantan rekan sekantor yang sekarang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga pernah bercerita tentang betapa kacaunya keadaan rumah jika ketiga bocahnya sedang beraktifitas. Dinding rumah yang penuh corat coret dan tangisan drama perkelahian ketiganya adalah hal biasa yang dia hadapi setiap hari. Belum lagi betapa repotnya jika mereka pergi liburan atau jalan-jalan. Ketika saya bertanya apa tips dan trik agar tidak mengidap penyakit darah tinggi atau kegilaan akut akibat menghadapi situasi-situasi seperti itu, teman saya itu hanya tersenyum dan menjawab “Nikmati saja. Ada saatnya anak-anakmu menjadi monster sekaligus perhiasan obat hati orang tuanya. Ketika mereka sedang lucu-lucunya, syukuri setiap detik yang kalian lalui bersama, sebab nanti kamu tidak akan sadar betapa waktu cepat berlalu dan tiba-tiba mereka telah beranjak dewasa dan memilih jalannya masing-masing dan meninggalkanmu sendirian”.



Saya pun semakin sadar, berperan sebagai orang tua, apalagi sebagai seorang Ibu bukan perkara yang gampang. Butuh kesabaran ekstra dan hati seluas samudera serta mental sekuat baja agar bisa bertahan memainkan peran yang hanya akan berakhir jika kita dipanggil oleh Sang Pencipta. Pepatah “Surga ditelapak kaki Ibu” tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ibu ibarat malaikat berhati batu, siap memaafkan setiap kesalahan anaknya tanpa menyisakan dendam sedikit pun. Memberi tanpa mengharapkan pamrih, bersikap toleransi bahkan untuk kesalahan terpahit yang dilakukan oleh anak-anaknya. Mama saya, sampai akhir hayatnya pun masih harus “bertugas” mendidik dan memberikan daftar wejangan panjang agar kelak saya sebagai anak bisa berjuang sendiri di dunia yang keras ini. Seakan takut puteri bungsunya ini tidak bisa berkompetisi diluar sana. Mama juga merupakan panutan dasar untuk saya melangkah kedepan, sosok yang tidak pernah memaksa saya untuk jadi seperti yang dia pinta. Membiarkan sambil terus mengawasi kami bertumbuh dan berkembang sesuai jati diri masing-masing, adalah cara Mama dalam membesarkan saya dan kakak. Mama adalah profil perempuan kaum urban yang mendedikasikan dirinya untuk bekerja di sektor pemerintahan, membantu suaminya sekaligus sebagai ajang aktualisasi diri seorang perempuan yang hidup dijaman modern. Tokoh teladan berwatak tegas dan bertangan dingin yang akan saya jadikan contoh  ketika nanti  saya menyusun “buku pedoman dalam mendidik anak yang baik dan benar” yang akan saya terapkan di keluarga saya sendiri, yang saya sadari perlu banyak disempurnakan melalui berbagai pengalaman dan pengamatan.

mama, si perempuan mengagumkan


Seperti apapun sosok Ibu, mereka ibarat “perpustakaan” pertama bagi anak-anaknya. Bertugas mengajarkan anak berbicara, walaupun tahu persis kemungkinan buruk seperti kelak anak-anaknya akan menggunakan mulut mereka untuk melawannya. Mendedikasikan separuh umurnya di dunia untuk menjaga anak-anak yang kelak akan meninggalkan para Ibu dan pergi sesuai dengan takdir hidup mereka. Mungkin kalau sebagian besar perempuan menyerah untuk mengambil peran sebagai Ibu dikarenakan takut kejadian dongeng “Malin Kundang Anak Durhaka” menimpa mereka, maka populasi manusia (setidaknya di Indonesia) akan sama dengan tingkat populasi satwa langka seperti Harimau Sumatera. Menyedihkan.

Tuhan, sebagai hambamu yang kurang berprestasi sebagai mahluk ciptaanMu yang baik, saya hanya meminta hal yang tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin diberikan kesehatan dan umur yang panjang agar supaya saya bisa terus menjadi lentera dalam kehidupan anak-anak saya sampai mereka bisa bertarung menghadapi kejamnya dunia, diberikan kebijaksanaan dalam format yang mengikuti jaman agar saya bisa jadi Ibu yang mengagumkan setidaknya dikalangan anak-anak saya, dan terakhir diberikan talenta seperti para Ibu hebat lainnya, agar kelak, kemanapun anak-anak saya melangkahkan kakinya, mereka akan selalu teringat akan sosok saya dan dengan bangga mengatakan “Ibun apa kabar? Kami kangen Ibun”. Waktu akan menjawab, ketika saya tak lagi menggenggam erat tangan mereka, tapi tetap menggenggam erat hati mereka, dimanapun mereka berada.


“Do you know why Love is blind? Because your mother started Loving you before seeing you.” –Mother Theressa-


Mulai hari ini, saya akan mengganti cibiran sebal jika sahabat saya meledek “Dasar emak-emak bawel” dengan senyuman hangat yang tulus. Alih-alih melemparnya dengan sendal, mungkin tanggapan saya adalah mengaminkan “doa” tersebut. Saya menganggap itu doa positif dari orang yang mengidolakan ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Menjadi seorang Ibu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, bahkan oleh sosok perempuan modern seperti saya. Berkesempatan menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mendidik mahlukNya menjadi sosok yang berguna bagi sesama, merupakan anugerah yang tidak bisa ditukar dengan nominal berapa pun di dunia. Tidak ada cara baku untuk menjadi Ibu yang sempurna, tetapi selalu ada berbagai jalan untuk menjadi Ibu yang terbaik untuk anak-anaknya. Mudah-mudahan nanti, ketika saatnya tiba untuk saya menjadi seorang Ibu, saya berjanji akan jadi Ibu berjiwa metal berhati dangdut yang kreatif dan menyenangkan, menerapkan sistem unik untuk menjadi Ibu yang luar biasa untuk keturunan saya kelak. Selamat hari Ibu, untuk para Ibu, Mama, Mami, Bunda, dan para perempuan hebat yang telah, sedang, dan akan diberi tugas paling mulia oleh sang Pencipta. Semoga Tuhan selalu bersama kalian, para perempuan yang mengagumkan :’) 


kenarsisan calon Ibu metal \m/



Manado, 22 Desember 2013, 17:15 WITA

Teras rumah Papa, sambil menikmati syahdu hujan bulan Desember ^_^