07/12/11

30 November 1984 - 30 November 2011, 27 Tahun Meramaikan Dunia (Memoar Shinta Irawati Saloewa Part.1)

Dua Puluh Tujuh Tahun…
Bukan waktu yang singkat untuk dilewati. Banyak cerita dibalik perjalanan seorang anak manja yang dilahirkan di Manado, tanggal 30 November, dua puluh tujuh tahun yang lalu.

Saya, yang dilahirkan dari seorang ibu berdarah Minahasa campuran, dan dibesarkan bersama dengan ayah yang berdarah campuran dari berbagai suku di Indonesia, merasakan bahwa aliran darah campur-campur ini lah yang membuat hidup dua puluh tujuh tahun saya semakin unik dan berwarna.

Sejak kecil, saya dibesarkan ditengah keluarga multi ras dan agama. Shinta kecil terbiasa membantu mamanya membuat kue dan berbagai makanan manis khas hari raya setahun dua kali. Papa juga membelikan kami anak-anaknya baju dan sepatu hari raya setahun dua kali. Kami diajarkan untuk selalu saling menghormati kebebasan beragama satu sama lain. Terkadang otak kecil saya selalu bertanya-tanya, kenapa ribet sekali, sibuk merayakan hari raya dua kali dalam setahun? Melihat kesederhanaan hidup kami dulu, pantas lah saya merasa bahwa mama papa saya sedikit berlebihan dalam merayakan hari raya. Begitu pula dengan masalah pulang kampung. Kami lebih sering pulang ke kampung halaman mama yang letaknya lebih dekat dengan kota tempat kami tinggal, daripada pulang ke kampung papa yang harus menempuh delapan jam perjalanan darat (waktu itu belum ada pesawat menuju kesana). Lagi-lagi saya menganggap, pulang kampung itu melelahkan (mengingat saya yang lincah ini tidak didukung oleh badan yang kuat dan sehat) selain juga merupakan suatu tindak pemborosan. Tetapi walaupun kami jarang pulang ke kampung papa, entah bagaimana caranya, papa dan mama selalu bisa membuat saya dan kakak saya dekat dan akrab  dengan keluarga di Gorontalo, tempat papa numpang lahir dan dibesarkan sampai SMP. Pesan papa mama yang selalu saya tanamkan dalam diri saya adalah “Memberi dengan hati senang kepada keluarga dan sahabat tidak akan membuat kita hidup sengsara”.

Dulu kami harus pindah dari pusat kota Manado, kearah pinggiran kota. Saya sempat protes karena sekolah saya juga dipindahkan ke sekolah pinggiran yang waktu itu saya anggap sedikit kampungan. Anak-anak yang pulang pergi sekolah jalan kaki, sedikit aneh dimata saya yang terbiasa diantar dan dijemput oleh para sepupu saya yang lebih tua. Ketika sepupu saya dari ibukota datang berlibur, saya sedikit iri, kenapa saya tidak lahir dan dibesarkan diibukota, tampaknya keren kalau saya bergaya dan berbicara dengan bahasa gaul seperti mereka. Saya sedih dengan cap anak daerah yang tidak ada keren-kerennya menurut saya waktu itu. Perayaan ulang tahun saya juga jarang dirayakan bersama teman-teman sebaya. Mama papa lebih suka merayakan ulang tahun saya dirumah bersama keluarga, atau kalau ada sedikit rejeki, mama papa lebih suka merayakannya disekolah bersama para guru dan teman sekelas, atau  mengajak saya ke panti asuhan dikota kami, untuk mengantarkan sedikit makanan pokok yang akan disambut senyum ceria para penghuninya. Saya yang masih kecil selalu merasa tidak adil, ketika melihat foto-foto ulang tahun kakak saya yang selalu meriah bersama kerabat dan teman sebaya, penuh hiasan, balon dan penganan khas perayaan ulang tahun.

jaman kadal imut :D


Ketika beranjak dewasa, saya mulai disekolahkan disalah satu sekolah menengah terbaik dikota kami. Jarak dari rumah yang berada dipinggiran kota ketengah kota tempat sekolah itu berada, membuat saya yang amat sangat pemalas untuk bangun pagi, terpaksa bangun pagi dan berlari-lari mengejar angkutan umum (sejak setahun setelah pindah ke SD dekat rumah, saya sudah tidak dibiasakan untuk diantar jemput lagi). Disekolah itu, saya yang memang agak tomboy, bertemu dengan para sahabat yang kebanyakan laki-laki, tetapi herannya tidak ada satu pun yang nyantol untuk jadi pacar saya. Pernah saya diolok oleh salah seorang saudara sepupu saya, bahwa apa gunanya punya banyak sahabat laki-laki kalau tidak ada satu pun yang bisa menetap dihati. Untunglah pembawaan saya yang cuek dan ceria membuat saya tidak memperdulikan satu pun ejekan orang-orang. Mama saya tidak pernah melarang saya untuk bergaul dengan berbagai macam orang, termasuk lawan jenis, jadi saya malah tidak terlalu memusingkan dengan hal-hal berbau lelaki, yang sejak jaman purba sampai jaman ipad kata orang hanya berujung pada sakit hati :D.

Duduk dibangku sekolah menengah atas, saya mulai belajar lebih dalam mengenai agama yang saya anut sejak lahir. Banyak sahabat yang saya temui juga dimasa ini, dan masih bersahabat baik sampai sekarang, Disitu juga saya mulai mengenal keindahan alam lewat berbagai kegiatan pencinta alam. Saya suka sekali dengan adrenalin yang terpacu dengan pola tingkah ekstrim para pencinta alam. Walaupun lagi-lagi saya harus protes kepada Tuhan akan kondisi badan yang tidak selalu bisa diajak kerja sama, membuat saya terkadang harus rela tidak ikut berkemah ato berbagai kegiatan seru lainnya.

Masuk ke jenjang kuliah, saya ingin sekali sekolah diluar negeri. Tampak keren, membayangkan betapa banyaknya hal baru yang akan saya temui. Atau paling tidak, kuliah diluar kota, supaya saya bisa bebas laksana burung lepas dari sangkar. Tetapi karena alasan biaya dan kondisi saya yang sering sakit, mama dan papa meruntuhkan harapan saya tersebut. Seperti biasa, saya lalu memprotes dengan berbagai cara. Tapi apa mau dikata, mama ternyata selangkah lebih maju, dengan membayar uang pangkal untuk saya tanpa saya ketahui, melalui om saya, disalah satu jurusan yang sedang tren saat itu dikota kami, ekonomi internasional. Akhirnya saya pun pasrah hanya kuliah dikota ini lagi. Terbayang bosannya hari-hari saya yang akan bertemu dengan orang-orang yang sama sejak saya sekolah. Ternyata, dunia kampus itu begitu semarak. Saya mengenal banyak sekali teman baru, serta mencoba banyak kegiatan yang melatih saya untuk lebih bertanggung jawab, dan tanpa sadar, saya bertumbuh pesat bersama dengan kampus ini. Dikampus ini saya juga bertemu dengan beberapa buku bernyawa saya, orang –orang yang mengajarkan saya betapa cinta itu bukan melulu diisi derita, betapa patah hati itu bukan selalu berarti mati. Berorganisasi untuk sekedar menambah deretan prestasi pun terpuaskan dikampus ini. Berbagai kegiatan beragam komunitas resmi, menjadi salah satu ajang untuk mengasah kemampuan bersosialisasi. Kuliah dijurusan internasional juga membuat saya bisa melanglang buana, dalam rangka memenuhi prasyarat mata kuliah magang dibeberapa perusahaan terkenal di ibukota.

Dunia kerja, kembali membuat saya terpana. Impian untuk tinggal dipulau Jawa terwujud sudah. Program magang semester akhir membuat saya akhirnya diterima bekerja di salah satu perusahaan telekomunikasi ternama. Modal nekad dan doa dari keluarga, saya akhirnya terbang ke ibukota, untuk belajar hidup didunia yang sama sekali asing buat saya. Semarang, Solo, Jogya, Batam, dan akhirnya Jakarta, adalah kota-kota yang akhirnya membuat polah tingkah saya lebih mendewasa. Belajar kehidupan, jauh dari sanak keluarga, membuat saya mau tidak mau harus bertahan untuk tidak manja. Kesempatan untuk ditempatkan dikampung halaman pupus dikarenakan atasan saya menganggap saya lebih cocok bekerja dikantor pusat yang letaknya ditengah keramaian jantung kota. Dunia saya benar-benar berubah. Mama papa yang waktu itu datang untuk berobat, sampai terenyuh melihat perjuangan anak bungsunya menaklukkan ganasnya ibukota. Saya pun bertemu dengan banyak sekali keluarga baru, anak-anak seperjuangan demi mencari sesuap nasi dan seember berlian serta sekarung titanium. Buku bernyawa saya pun lumayan bertebaran kala saya kerja, hahaha. Mungkin karena saya sendirian disini, merasa dunia ini begitu sepi jika tidak ada seseorang yang menemani disisi. Hidup saya dimasa ini benar-benar menyenangkan. Bebas dan berjalan apa adanya. Semua sesuai dengan yang saya mau. Keluarga yang menyayangi, sahabat yang menyenangkan, kekasih yang mencintai, serta uang yang sangat memadai.

Tetapi selama saya hidup, ada satu masa lagi dimana saya benar-benar diuji. Masa yang saya namai “Sekolah Menghargai“. Masa dimana saya benar-benar menghargai artinya waktu, artinya uang, arti kasih sayang serta arti persahabatan dan persaudaraan. Hal-hal yang selama ini hanya menjadi sekedar motto klise kehidupan. Masa itu adalah satu setengah tahun selama saya “nekad” mengambil keputusan untuk resign alias berhenti bekerja. Tinggal di ibukota, diwaktu yang tepat dan dalam keadaan yang menurut saya juga sangat tepat. Masa yang sangat mendidik saya untuk benar-benar mengerti dan menghargai makna hidup yang diberikan Sang Maha Mulia. Hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan terjadi dimasa-masa itu. Tuhan selalu punya cara unik untuk membuat saya belajar mengerti arti semua peristiwa yang Dia gariskan untuk kehidupan saya. Satu pedoman yang saya pegang sampai sekarang “Semuanya terjadi karena satu alasan”. Untuk semua yang terjadi diperiode satu setengah tahun itu, satu pelajaran yang benar-benar bisa mewakilkan semuanya, yaitu “Belajar Ikhlas”.

Maha Besar Allah….Terima kasih atas semuanya….semua hal yang engkau berikan, selalu tepat pada waktunya. Dua puluh tujuh tahun Engkau berikan saya nikmat yang luar biasa. Semua masa perjalanan yang tidak bisa disebut indah, tapi yang pasti sangat sarat makna.

Saya yang senang dengan keanekaragaman, dilahirkan ditengah keluarga yang menganut dua agama besar di dunia. Bisa merasakan meriahnya Ramadhan dan Lebaran ditengah keluarga tercinta, plus keluarga dan teman-teman yang turut meramaikan walau tidak merayakan, serta kehangatan pesta keluarga besar ditengah dinginnya musim hujan di bulan Desember dalam rangka memperingati hari Natal dan Tahun Baru. Sebuah cara belajar toleransi yang mudah dan menyenangkan.

Saya yang senang dengan alam, disekolahkan dipinggiran kota, setiap pulang sekolah selalu melewati perkebunan pala, goa dari rimbunnya pohon salak, sungai kecil yang masih jernih, peternakan sapi, ataupun bermain dipantai dekat sekolah. Selalu ada permainan baru, selalu ada petualangan baru, bersama para teman-teman di sekolah yang selalu punya hal baru untuk diperkenalkan pada saya. Kenangan masa kecil yang sampai sekarang selalu membuat saya bersyukur betapa beruntungnya dulu bisa bersekolah dipinggiran kota, bisa bercengkrama dengan para murid beraura ceria, bisa merayakan ulang tahun bersama tawa canda bersahaja para penghuni panti asuhan yang setiap tahun tulus berdoa bersama untuk hari bahagia saya. Sebuah kenangan indah yang tak lekang dimakan usia.

Saya yang tomboy, dipertemukan dengan banyak sekali sahabat lelaki, yang masih akrab sampai sekarang, bahkan mereka sudah seperti keluarga, dan menjadi penghuni tetap rumah saya dikala Lebaran tiba. Mereka juga adalah rombongan sahabat pertama yang menjemput saya dibandara ketika kami sekeluarga tiba dari Jakarta bersama jenasah almarhumah mama saya, serempak memeluk dan menghibur saya, membuat saya terharu dan merasa ternyata saya banyak yang menjaga. Bayangkan kalau saya dulu memacari mereka semua, dan semua hubungan kami kandas ditengah jalan, betapa sepinya rumah saya dikala Lebaran, dan betapa sedihnya saya menderita karena kehilangan. Sebuah memoar remaja tanggung yang ceria dan tanpa beban.

Saya yang kebingungan mencari jati diri, diberikan masa SMU yang menyenangkan. Belajar untuk menjadi seorang anak manis dirumah, tapi menjadi setan bandel yang bergaul riang kesana kemari. Tuhan memberikan saya teman-teman satu kelas yang terkenal seangkatan karena kebandelan dan kekompakkan kami. Anak-anak yang dulu pernah dikatai oleh salah seorang guru kami, gerombolan tidak bermasa depan baik karena kelakuan jahanam kami. Anak-anak yang menjadi juara satu dalam lomba taman antar kelas, bukan karena kami rajin bercocok tanam, tetapi karena kami lebih senang bermain ditaman daripada belajar didalam kelas. Puncak keaktifan remaja yang belum terlalu memusingkan perbedaan positif maupun negatifnya sebuah tindakan, semuanya dilakukan atas dasar keinginan tanpa pikir panjang. Disini juga saya menyadari kelebihan saya yang lain, saya sama sekali tidak takut dengan binatang apapun, bahkan cenderung suka pada jenis binatang yang membuat wanita lain lari terbirit-birit. Saya mulai belajar mengenal karakteristik diri sendiri yang lain dari biasanya. Sebuah pengalaman remaja labil yang menggairahkan.

Saya yang aktif namun sakit-sakitan, dikuliahkan dikampus yang menghadirkan semilyar peristiwa. Tetap berada dikampung halaman tercinta, ternyata tak seburuk prasangka. Berbagai kenangan berlatar telenovela campur komedi situasi terukir disini. Kecintaan terhadap buku, organisasi, dan beragam aktifitas, dipuaskan dalam kurun waktu empat tahun. Saya angkatan 2002, tetapi sejak Februari 2006 saya magang dan kebablasan bekerja dikantor tempat saya magang itu selama empat tahun, dan terpaksa mengambil sistem kebut sebulan untuk menyelesaikan skripsi ditengah kesibukan bekerja dan berleha-leha diibukota, pergi pulang Jakarta - Manado, menghabiskan sebagian tabungan saya, demi janji kepada almarhumah mama tercinta. Alhamdulillah saya dinyatakan lulus Desember 2008 dan diwisuda pada bulan Maret 2009. Menjadi anak daerah tak selalu jadi objek derita ternyata. Sebuah euforia anak muda yang manis nan romantis.

Saya yang punya mimpi segudang dan maniak berpetualang, dititipkan rejeki utuk bekerja ditempat yang mengharuskan saya keliling beberapa kota di Indonesia untuk keperluan pekerjaan. Tinggal dipulau Jawa yang sarat tempat bersejarah. Hidup terpisah dari keluarga yang mengharuskan saya belajar hidup mandiri. Pindah ke ujung Sumatera yang berdekatan dengan beberapa negara tetangga, berkesempatan mengunjungi negara-negara tersebut dengan biaya murah meriah. Terpaksa pindah ke Jakarta, yang sempat membuat saya menangis dua minggu ala perawan dusun ditinggal kekasih kawin lari. Perasaan takut sendiri dan jauh dari kekasih hati membuat saya meratap dan mengutuk keberadaan saya dikota ini. Tetapi tanpa saya duga, ternyata kota ini akhirnya membuka mata saya. Bisa dibilang, kota ini membuat saya menjadi lebih bijak menatap dunia. Bertemu para sahabat sejiwa. Berjibaku dengan kerasnya ibukota. Berdamai dengan takdir yang digariskan Sang Pencipta. Sekarang, entah kenapa, justru saya merasa, inilah rumah saya sebenarnya. Sebuah perjalanan istimewa seorang anak manusia yang beranjak dewasa.

Saya yang suka tantangan, diberikan keberanian untuk mengambil keputusan yang tidak bisa diolah akal sehat. Keputusan yang membuat saya jatuh bangun menjalani berbagai kejadian selama delapan belas bulan lamanya. Menikmati pelannya alur hidup ketika saya sedang tidak terikat dengan apa-apa. Memaknai waktu yang semuanya milik saya. Mempelajari bahwa tidak selamanya keinginan berjalan bersama dengan kenyataan. Menyadari bahwa rencana Tuhan itu selalu indah pada waktuNya. Sebuah pencapaian hidup yang sarat makna.

CARA SAYA MENIKMATI HIDUP ^_^v


Ya Allah, nikmatMu apalagi yang hamba dustakan. Subhannalah , jalan yang Engkau berikan kepada saya sungguh tak terduga. Terima kasih untuk keluarga dan sahabat fantastis yang menemani hari,  terima kasih untuk cerita dan pengalaman dasyat selama ini. Menyadari betapa kerennya takdir saya, lahir dari keluarga sederhana namun berlimpah pelajaran berharga, menuntut ilmu disekolah yang penuh warna, dan dikaruniai berbagai pengalaman luar biasa. Terima kasih untuk sebuah kecerian dipagi hari, 30 November 2011, karena hari itu saya, kembali dibangunkan dengan tidak kurang suatu apapun, bertambah satu lagi jatah umur, untuk kembali menuliskan lembaran menjadi sebuah kumpulan cerita dalam umur baru saya, melangkah keujung cakrawala, sekedar menikmati indahnya dunia. Alhamdulillah, saya bangga dilahirkan sebagai seorang Shinta Irawati Saloewa.

klapertart jam 12 malam, kado dari para orang tercinta, kue ultah untuk para novemberian dikantor



Jakarta, 7 Desember 2011

Menara BCA Lt.55 jam 17.17 WIB

ketika bos lagi cuti nonton Mr.Big ke Surabaya, dan langit cerah seperti biasa ^_^

*telat beberapa hari diposting gara-gara gak punya waktu ngeblog #soksibuk #gigitlaptop