11/05/11

65 Tahun Abdul Rauf Saloewa: Napak Tilas dimata anak-anaknya

Papa, begitu sosok gagah bertinggi 181cm dengan berat 70 kg itu akrab saya sapa.

Sejak kecil, saya tidak begitu akrab dengan papa, karena papa sosok yang pendiam. Jauh dari kesan hangat. Saya malah sempat iri mendengar penuturan teman-teman sekantornya dulu, bahwa betapa lucunya bayolan papa dikantor. Bayangkan, sosok dingin nan pendiam dirumah itu, menjadi seorang pelawak penuh humor dimata teman-temannya. Anak mana yang tidak akan iri mendengarnya. Tanpa sadar, karakter saya pun terbentuk seperti layaknya papa. Menjadi sosok yang cuek dirumah sendiri, tetapi sosok yang super gaul dimata teman-teman saya. Bahkan, tanpa saya dan kakak sadar, sosok lelaki tenang dan misterius seperti papa yang menjadi kriteria kami dalam mencari pendamping, hahaha. Sosok yang kata mama sulit dimengerti tapi bersorot mata meminta dipahami. Jadi, merupakan suatu kesempatan yang langka jika kami anggota keluarga inti bisa membuat papa sekedar tersenyum apalagi tertawa.

Saya, sebenarnya merupakan anak ketiga, kalau saja kakak kedua saya tidaklah meninggal dalam kandungan mama pada umur 5 bulan. Mungkin papa mengharapkan anak laki-laki yang bisa menemani beliau membetulkan genteng, lari pagi kemudian memancing ikan dipantai atau sekedar bermain badminton sore-sore. Dulu banyak saudara kami yang berkelakar "sebenarnya yang diharapkan lahir itu lelaki, nanti mo dinamain Sandi. Eh, yang lahir kamu". Sempat berpikir, cueknya papa kepada saya, karena saya bukan anak lelaki yang dia harapkan hadir sebagai miniatur dirinya.

Papa, ibarat nomer telepon siaga 24 jam. Mempunyai slogan "SIAGA dan LAKSANAKAN". Genteng bocor, tinggal teriak "Pa, genteng bocor". Ledeng rusak "Pa, air gak ngalir". Gigi goyang waktu kecil "Pa, cabut giginya ade". Tanaman mati "Pa, itu tanaman kok mati? Diapain yak?". Lemari bermasalah "Pa, lemari ade rusak, gimana enehhh?". Mobil mati "Pa, apanya mobil yang rusakkk?". Tugas prakarya sekolah "Pa, anterin beli bahan. Ajarin bikin prakarya". Pengen warna baru dikamar "Pa, tolong cat kamar donk". Mama pulang kantor "Pa, udah dimana? Mama udah selesai bih". Kakak butuh rak jilbab "Pa, bikinin rak besi yang dari kawat itu yak". Televisi rusak "Pa, ini tipi apa antena yang rusak?". Guci pecah "Pa, guci mama jatohhh". Butuh surat-surat dari kampus "Pa,tolong ke kampus, ade mo legalisir ama daftar-daftar". KTP abis masa berlaku "Pa, tolong urusin KTPnya ade". Mo pulang ke Manado "Pa, jemput dibandara". Bungkusin oleh-oleh "Pa, tolong bungkusin sama sekalian diiket tali rafia biar kencang dan rapi trus enak dipegangnya". Papa, sosok pendiam yang selalu mengedepankan "action". Tanpa banyak bicara, papa selalu berusaha mengerjakan semua kewajiban beliau tanpa diminta oleh mama dan kami anak-anaknya. Seperti memindahkan saya yang tertidur dikursi ke kamar tidur tanpa diminta oleh mama, dan mencuci sendiri semua pakaiannya ketika pembantu kami sedang sakit.

Papa memang pendiam, tetapi tidak ada istilah demokrasi apabila papa sudah bertitah. Waktu kecil, ketika televisi dirumah kami cuma 1, saya selalu mengutuk papa dalam hati, karena selepas isya, papa selalu menonton "Siaran Pedesaan" (membuat Shinta kecil lebih menguasai pelajaran IPS daripada Matematika, dan bermimpi bisa keliling Indonesia) dan "Dunia Dalam Berita" (membuat Shinta kecil mengetahui banyak hal tentang perang, politik dan kesenjangan sosial, ketika anak lain masih sibuk dengan kartun jaman dulu) dan siaran kegemarannya papa ini tidak bisa diganggu gugat, tidak pernah berubah, setiap hari, selama bertahun-tahun. Terpaksa, kakak memilih belajar atau membaca buku, dan saya yang malas belajar, akhirnya ikut menonton siaran itu, sambil sesekali bertanya tentang isi acara tersebut, yang seringnya hanya dijawab dengan suara "hmmm". Kebiasaan tidak menjawab pertanyaan anak seperti itu, membuat seorang Shinta kecil bertekad bahwa nanti ketika punya anak, akan jadi orang tua yang senang bercerita dan menjelaskan segala bentuk pertanyaan dari anaknya kelak (untuk orang-orang terdekat saya, sekarang pasti mengerti kenapa saya senang sekali menjadi seorang "story teller").

Menjelang dewasa, barulah saya menyadari betapa papa berusaha untuk dekat dan bersosialisasi dengan teman-teman saya. Mungkin salah satu usaha beliau untuk mengenal putri bungsunya yang sejak kecil tidak begitu akrab dengannya, melalui kacamata orang-orang terdekat. Dikalangan teman-teman saya, papa dikenal sebagai papa yang mau membaur dengan teman-teman saya. Para mantan pacar saya juga bisa dibilang akrab dengan papa. Mereka bercerita dan terkadang tertawa bersama. Mungkin dia menemukan sosok anak lelaki impiannya dulu.Peristiwa meninggalnya mama karena sakit yang dideritanya selama dua tahun juga membuat saya semakin yakin bahwa papa adalah mahluk Tuhan yang dikaruniai kedataran emosi tingkat tinggi. Ada untungnya sifat diamnya kala itu. Meredam emosi orang yang sedang menderita sakit seperti mama, tidak bisa dihadapkan dengan orang-orang berdarah panas seperti saya dan kakak. Papa, lagi-lagi mendapat predikat "suster terbaik" dimata orang-orang yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana cara papa menemani dan merawat mama. Bahkan ketika mama meninggal dirumah sakit ibukota, dan proses membawa jenasah mama kembali ke kampung halaman kami membutuhkan tenaga dan kesabaran tambahan, papa pun dengan sigap mengurus segalanya, dimana saya waktu itu hanya sibuk tertawa-tawa dengan para sahabat yang datang melayat, sebagai kamuflase, mengusir duka tanda rasa tidak percaya akan kepergian mama. Selama seminggu acara pemakaman dilanjutkan dengan berbagai ritual keagamaan, Papa, lagi-lagi hanya terus diam, berwajah datar, sesekali mengatakan kepada kerabat yang datang melayat "mohon dimaafkan kesalahan ibu yah". Entah apa yang tersembunyi dibalik wajah datar beraura duka itu.

Satu kejadian yang membuat saya terharu, ketika suatu hari saya yang sudah menetap di ibukota, menelpon beliau untuk meminta tolong dibelikan bedak khusus wajah yang sejak dulu memang hanya saya temukan didaerah asal saya. Dua hari berikutnya sampailah paket yang ditujukan kepada "Shinta Irawatie Saloewa, SE". Dahi saya mengenyit heran, kenapa nama yang diketik menggunakan mesin ketik manual itu dibubuhi gelar sarjana saya.Ketika saya menelpon untuk mengabarkan bahwa paket itu sudah sampai, saya bertanya "Kok namanya ada gelar segala?" Dan dijawab dengan nada perlahan "Nda apa-apa De, papa cuma bangga menulis gelar kamu, biar orang lain tau, pegawai biasa kayak papa dan almarhumah mama juga bisa nyekolahin anaknya sampai sarjana"... Jrengggg... tak terlukiskan perasaan saya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sosok pendiam itu. Singkat dan sederhana, tetapi mampu membuat saya tersenyum dan menitikkan airmata. Sepintas terbayang kejadian dua tahun yang lalu ketika akhirnya saya diwisuda setelah dua tahun lamanya cuti kuliah. Papa, dengan senyum sumringah, untuk pertama kali memeluk saya dengan bangga didepan semua orang dan berkata "Selamat De, Papa senang sekali, Mama juga pasti akhirnya tenang disana". Kalau tidak ingat riasan wajah saya akan belepotan padahal belum berfoto studio, mungkin akan terjadi adegan sinetron yang sarat airmata dan raungan (halah).

Dalam beberapa hal, papa memang otoriter. Tetapi dalam hal menentukan pilihan masa depan anak-anaknya, papa membebaskan kami anak-anaknya untuk memilih. Papa tidak pernah terobsesi menjadikan kami ini dan itu. Pernah suatu ketika terjadi perdebatan kecil antara saya, papa dan alm mama tentang pilihan saya dalam memilih pasangan yang waktu itu berbeda prinsip. Alm mama bersikeras untuk tidak boleh dengan alasan macam-macam, seakan lupa dengan pengalamannya sendiri, rela mengalah dengan prinsipnya demi hidup bersama orang yang dicintai. Papa, dikala itu hanya bertanya satu kalimat "Selama 16 tahun kami nyekolahin kamu di bangku pendidikan formal, ada pendidikan tentang agama yang kita anut kan?". Saya jawab "Ada Pa. Knapa emang?". Papa cuma menjawab "Bagus, maka sekarang kalau kamu berkeputusan apapun, kami orang tua toh sudah menyekolahkanmu,dan mempercayakan dirimu dididik oleh orang2 yang lebih paham agama dibanding kami. Semua terserah padamu sekarang, apa yang terbaik menurutmu, sesuai dengan apa yang sudah kamu cerna dan pelajari". Sejenak saya terdiam, dan lebih dari dua bulan berpikir arti kalimat pendek penuh makna itu, lalu akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan saya itu.Seingat saya, papa tidak pernah mengajarkan saya tata cara sholat dan mengaji, tetapi bersama mama, papa mencarikan kami guru-guru terbaik untuk memberikan kami pengajaran dan pengertian, sehingga agama bukan hanya menjadi sekedar warisan turunan orangtua melainkan menjadi suatu prinsip hidup yang dianut berdasar pelajaran, pengamalan dan pengalaman.

Pun ketika satu setengah tahun yang lalu saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman saya, yaitu berhenti dari pekerjaan saya yang terbilang mampu menyokong hidup foya-foya dan berencana memakai tabungan saya untuk berkelana mencari jatidiri, dimana kakak saya sedikit terkejut sehingga agak histeris ditelepon, ayah saya seperti biasa hanya berkomentar dengan suaranya yang datar "Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah bulat. Asal tetap bertanggung jawab pada diri sendiri. Mudah-mudahan ketemu hikmah dalam setiap kejadian". Ahhh...

Falsafah papa yang akan selalu saya ingat adalah "Kita tidak akan pernah miskin, jika kita mengikhlaskan sebagian harta kita untuk sekedar membantu orang lain, dan jangan pernah, sekalipun dalam hati, berharap balasan, sekecil apapun, bahkan dalam bentuk doa dalam hatipun".

Saya pun baru mengetahui kira-kira setahun yang lalu, kalau sewaktu muda, papa adalah seorang mantan wartawan, senang membaca dan menulis, senang memakai batik dan senang bertualang keberbagai daerah (haha, agak mirip dengan seseorang yang saya kenal). Sejak muda, papa sudah merantau untuk sekolah diluar kampung halamannya. Beda jenjang sekolah, beda pula daerahnya. Tidak heran papa menguasai bahasa Makassar, Bugis, dan Jawa (daerah tempat menuntut ilmu), selain bahasa Gorontalo (tempat lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak) dan bahasa Manado (tempat menetap hingga saat ini). Mungkin kalau nanti saya berjodoh dengan lelaki dari belahan benua lain, dan memboyong papa, bisa jadi papa akan menguasai bahasa tempat barunya tersebut (jiahaha, aminnn yak Pap).

Sampai detik ini pun, oleh-oleh dan semua pemberian saya yang disenangi papa adalah baju-baju batik, sendal berlambang buaya yang super ringan yang lagi ngetren sekarang, dan yang paling dia sukai (terlihat dengan senyum dan ketekunan dia "menghabiskan waktu" bersama hadiah itu) adalah buku-buku novel fiksi maupun novel sejarah hasil buruan saya pada saat toko buku favorit saya sedang diskon besar-besaran. Sejak kecil, ada 3 hal yang selalu mendapat dukungan dari papa, dan papa pun tidak segan-segan mengeluarkan uangnya yang sebenarnya pas-pasan itu untuk mendidik kami akan hobinya tersebut. Buku, Fashion, dan fotografi. Intinya, papa ingin mengajarkan kami anak-anaknya untuk senang membaca, sempurna dalam penampilan, dan mengabadikan setiap cerita hidup dalam bentuk gambar kenangan (saya dan kakak mengenal kamera manual sejak kami duduk dibangku sekolah dasar). Dan sangat saya akui, selera papa dalam ketiga hal tersebut yang membentuk hobi dan karakter saya sekarang.

Sosok gagah dan klimis itu kini sudah mulai menua. Perlahan menyerah pada usia yang membuat rambutnya beruban dan kulit mengeriput diberbagai sisi tubuhnya. Kesehatannya pun sudah mulai menurun, walaupun beliau masih rajin berolahraga lari pagi sendirian ditepi pantai dan rutin mengkonsumsi jamu serta madu andalannya. Sorot mata misterius khas dirinya pun sudah mulai melemah, seiring dengan keletihannya bertarung dengan dunia.

"Siapa ayah saya bukanlah masalah, yang terpenting adalah bagaimana ayah saya ketika saya mengingat dia. - Anne Sexton"

Saya, maupun kakak perempuan saya memang tidak pernah mengidolakan papa sejak dulu. Tidak pernah tercipta kedekatan yang cukup berarti diantara kami. Tidak terbiasa berakrab ria melalui pelukan hangat dan canda tawa ramai. Tetapi satu yang pasti, kami Shinta Irawatie Saloewa dan Santi Arwatie Saloewa, akan selalu menghargai segala kekurangan dan mencintai semua kelebihan seseorang yang telah menghadirkan duo cantik dan cerewet ini. 11 Mei 1946 - 11 Mei 2011. Selamat Ulang Tahun Papa, yang kami sebut dengan hormat, Bapak Abdul Rauf Saloewa. Doa kami Pa, untukmu agar tetap sehat dan terus bahagia. Amin...

Jakarta, 18 Mei 2011 23:42
*kamar papa mama diibukota, koja-tanjung priuk

*Untukmu papa, juga mama, kami ada, berdoa, berusaha, dan berkarya.

07/05/11

Noni Manado...bagoyang pica-pica (Refleksi Diri dari mata para Lelaki)

Kebosanan tingkat dewa yang melanda, membuat saya melangkah ke salah satu tempat tongkrongan terdekat dengan kostan saya untuk sekedar mencari hiburan, syukur-syukur mendapat sedikit cerita baru untuk ide meracau di blog dari hasil menikmati pemandangan orang-orang sekitar.

Awalnya saya ingin menonton film, tapi film bioskop akhir-akhir ini membuat saya hanya bisa bergumam "huh!!!film apa ini". Jadi, saya pun berpindah ke restoran waralaba yang menawarkan makanan yang rasanya standar namun terjangkau, juga bersuasana cukup nyaman untuk sekedar bengong dan melihat orang berlalu-lalang.

Setelah sampai, saya langsung memesan makanan dan minuman khas restoran tersebut. Beruntung saya mendapatkan tempat cukup nyaman dan strategis, Sofa samping jendela. Tak lama saya duduk, datanglah tiga orang lelaki yang dari penampakannya sepertinya berusia (mungkin) sepantaran dengan saya. Keberuntungan lagi-lagi menghampiri, karena ketiga mahluk bagus ini memilih meja kosong persis didepan meja saya. Kebiasaan memperhatikan penampilan orang, cara berpakaian ketiga orang tersebut membuat saya bergumam "Widihh..gaul amat. Lumayan, sambil makan liat yang seger-seger. Tuhan emang paling tau kalo gw lagi suntuk, hahaha".

Penampilan mereka sangat "up to date", Lelaki pertama; memelihara kumis dan janggut tipis, rambut mohawk, berkemeja kotak-kotak plus kaos putih sebagai daleman, lengan digulung, jins agak menuju belel dan sepatu kanvas warna senada baju (saya menyebutnya RS, kepanjangan dari Restu Sinaga, aktor yang gayanya mirip dengan si lelaki ini), Lelaki kedua; rambut jatuh seleher, plus poni lempar tentu saja (hahaha), berwajah oriental dan berpotongan bak artis Korea, anting ditelinga kanan dan pelipis kiri, kaos putih bertuliskan "Damn, I Love Indonesia", celana cargo selutut, sendal jepit bergambar buaya yang lagi happening (sebut saja SJ, kepanjangan dari boyband Korea, Super Junior, abis mirip abisss booww, hahahaha), dan terakhir, Lelaki ketiga; tampang tirus, kacamata yang bertengger dihidungnya yang (lumayan) mancung, kulit wajahnya agak coklat terbakar, janggut tipis, berkaus lengan panjang putih polos, celana jins dan sepatu sneakers, sibuk bermain dengan ponsel layar sentuhnya, dan tampak tidak memperdulikan kedua temannya yang riuh rendah berkelakar (hoho, mari kita sebut dia LF, alias lelaki favorit,hihihi).

Sebenarnya, saya tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka, karena niat awal saya memang untuk makan dan bengong saja selama beberapa saat direstoran tersebut. Apadaya, suara para mahluk bagus itu terdengar sampai ke meja saya (ya iyalah, wong bedanya cuma 2 meter).

"Gw trauma jalan ama cewe Manado", suara si RS, yang berhasil membuat saya mendelik kaget (dan ayam mentega ini hampir melompat dari mulut).
"Lhaaa...bukannya lu pernah jadian ama si July, trus ama Irene? Itu berdua pan Binyo (sebutan warga Jakarta untuk para warga "Kawanua" a.k.a Manado) juga?" cecar si SJ.
Hmmm...topik yang memancing, terpaksa konsentrasi saya melahap nasi goreng kepiting plus ayam mentega ini terpecah demi "karlota" (istilah Manado untuk: nguping alias kepo alias mau tau urusan orang).
"Iya sih, si Cece juga kan maminya Manado. Bah, awalnya gw kira namanya apaan,taunya nama panjangnya Deltje"... Bwahahahaha...hampir saja saya ikutan tertawa terbahak bersamaan dengan mereka, abisnya...yellowww...2011 masih ada yak nama itu? Hahaha (no offense yak non Cece) :D.
"Ahh...lu kali, emang demen ama tu suku. Noni-noni jo, bagoyang pica-pica", kembali terdengar tawa nakal kedua lelaki disamping saya. Mau tak mau, kuping saya panas juga mendengarnya.

"Gak cong, kebetulan aje gw emang suka yang bening-bening. Tapi gak ngerti kenapa, entah sial entah lucky, ketemunya ya ama si klapertart-klapertart lagi"... Anjr*t, makin lama istilah si RS makin ngawur.
"Widih klapertart...yummyyyy...hoho, mau donk icip dikit. Btw, udah pernah lu icip salah satu kan yak?"...Hadeh, rasanya antara miris sama takjub mendengar pertanyaan si SJ.
"Salah satu? Semua kaleee...hahaha,tekor amat yak gw gak nyicip, miara mereka mahal amat,et dah"...woy, ini punya cewe apa punya kucing sih, kenapa pake istilah "miara" yak? Lama-lama saya lempar juga pake sendok ato sendal.
"Haha, salah lu masbro, nenek-nenek mo mati juga tau, pacaran ama noni-noni, modal lu mesti setinggi langit, sedalam lautan"...Dan si SJ mulai lebay...

"Yoi nyet, abis duit gw diporotin. Serba salah sih, cewe cakep, bangga gw tarik kemana-mana. Tapi cewe cakep juga perawatannya kampr*t, ke salon lah, ke gym, spa, belom kalo mo kemana-mana ogah naik angkutan umum. Pinjem mobil bokap seminggu 4 kali gak cukup, sisanya naek taxi mulu, belom kalo mo makan, alergi ditempat murah, belum sepatunya, bajunya, tasnya, make-upnya, segala langganan majalah fashion ama kecantikan...gila, kemarin tagihan kartu kredit gw membengkak sampe sepuluh jeti"...Hampir melongo saya mendengar curhatan panjang lebar si RS, kasian amat. 10 jeti sebulan udah bisa buat saya jalan-jalan keliling Indonesia tiap bulan. Perasaan saya sendiri sebagai perempuan asli sana gak gitu-gitu amat (langsung berniat menelpon semua mantan saya untuk klarifikasi, hahaha).

"Jiahhh, mending lu nyewa harim Mangga Besar itu mah. Apa ke kampus belakang sini nih, gaet brondong mahasiswi cewe cakep-cakep. murah...bayar pake mulut manis ama cinta, hahahaha"...Nasi goreng saya langsung terasa hambar, mendengar omongan si SJ yang menganalogikan wanita jaman sekarang, lumayan menohok, karena kenyataannya sekarang memang banyak tragedi kisah cinta tragis seperti yang SJ gambarkan.

"Siaul...harim Mangga Besar murah, tapi ongkos gw ke dokter kelamin mahal, sama aje. Lagian males ama mahasiswi, kayak pacaran ama polisi, posesif abis. Dikit-dikit ngerengek, dikit-dikit ngambek, gw males cewe manja. Gw pengen yang elegan, yang gak alay, trus gak nuntut macem-macem kalo abis gituan". RS berkilah tentang opsi yang diberikan SJ. Well, kayaknya dimana-mana tergantung cewenya deh, mau umur berapa pun, pembawaan dan sifat orang itu bermacam-macam. Gak semua cewe berumur itu dewasa, dan gak semua mahasiswi itu kekanak-kanakan. Seperti iklan rokok, "Tua itu wajib, dewasa itu pilihan".

“Nah pacaran aja ama tante-tante, elegan, banyak duitnya pula, pengalaman juga dijamin. Itu baru bilang, seksoy diluar, asoy diranjang” celetuk si SJ sambil tertawa ngakak. Wadooohh…tampaknya obrolan bocah-bocah ini makin ngawur, dan kayaknya agak kurang cocok dengan tempat tongkrongan ini. Tapi bener juga sih, fenomena berondong-tante memang sedang marak dikalangan pergaulan ibukota. Ibu-ibu cantik namun kesepian ditinggal suaminya keluar kota, entah meeting entah nungging bersama wanita lain, kemudian melampiaskan dengan mencari sosok anak muda yang mungkin lebih pantas jadi keponakan atau bahkan anak mereka. Mungkin juga sebagai ajang pembuktian bahwa mereka juga bisa menggaet daun muda, atau sekedar ingin bernostalgia dengan cara “berteman” dengan para remaja. Pergeseran moral yang katanya mengikuti perkembangan jaman.

"Lagian si noni-noni itu agresif abis cuy. Sekali demen, mereka tuh ngejar kayak anjing kesetanan. Eh tapi giliran pacaran, angkuhnya selangit, bener-bener minta dilayanin. Berasa ama majikan deh. Huhh...untung aja cakep,kalo gak dah gw gampar,bawel mampus, mending punya otak" cerocos RS sambil menghisap dalam-dalam rokoknya. Waduh, saya benar-benar garuk-garuk kepala yang tidak gatal mendengar ocehan mereka. Sudah segitunya kah pandangan negatif orang tentang perempuan dari suku saya? Lagian, cewe dari suku manapun, yang terlahir cantik, hampir semuanya berlabel "mahal". Bukannya lumrah yah, barang bagus harganya mahal? Hahaha. Lagian kalo dia punya otak, gak bakal mungkin pacaran ama lu nyet, cowo sok gaul yang hari gini masih pinjam mobil bokap buat mengajak cewe mesum. Tega amat mobil orang tua dipakai buat hal yang patut disensor. Sesama udang yang kotorannya dikepala dilarang saling mengata-ngatai #emosi.

"Gw sih gak pernah punya cewe noni, tapi punya banyak temen dari Manado. Gak semua lah kayak yang lu bilang barusan. Hampir semua cantik, cuma sedikit yang buat gw tampang ato gayanya biasa aja. Tapi gak semua juga gak punya otak kayak pernyataan lu barusan. Ada yang gaul, ada yang super diem malah. Ada yang pinter, walopun banyak juga yang cuma ngandalin tampang ama body aduhai. Angelina Sondakh kurang pinter apalagi coba? Mereka tuh cuma terdidik dalam kultur berani sejak kecil. Dan sayangnya malah banyak yang salah langkah pas udah gede” cerocos si LF yang sedari tadi cuma asyik bermain dengan ponsel layar sentuhnya. Eyy…canggih juga pemilihan katanya. Makin ganteng aja dimata saya jadinya :D.

"Semua juga tergantung orangnya kali, mo dia cewe Manado kek, cewe Jawa kek, cewe Sumatera kek ato cewe Saturnus juga, kalo emang pembawaannya ngeselin mah ngeselin aja. Otak itu gak tergantung suku men!!! Paling males ama cewe yang gedean to**tnya daripada kapasitas otaknya”. Dankkk…nampar banget kata-katanya barusan. Refleks saya melihat bagian dada dan entah kenapa bersyukur ukurannya sedang-sedang saja. Mengingat kapasitas otak saya yang sedikit, nantinya malah timpang, sesuai pernyataan si LF barusan, jiahahahaha, presepsi konyol yang menohok.

Ternyata ada gunanya juga saya keluar dari “kandang” saya, daripada mati bosan seharian. Dan pilihan nongkrong di restoran ini seperti sudah diatur oleh Yang Maha Mengatur. Saya seperti melihat “drama satu babak” yang diperankan oleh ketiga mahluk bagus didepan saya ini, sekaligus memainkan “opera monolog” dibenak saya tentang tanggapan demi tanggapan yang keluar demi mendengar ocehan mereka.

Saya seperti ditampar, sekaligus diberi pelajaran gratis tentang bagaimana tanggapan lawan jenis terhadap kaum saya, terlebih yang satu suku dengan saya. Sayangnya kebanyakan yang saya tangkap adalah penilaian buruk. Saya tidak bisa menyalahkan siapa-siapa untuk hal ini. Saya tidak bisa mengatur pola pikir orang lain. Satu hal pasti yang bisa saya kontrol adalah kelakuan diri saya sendiri, bagaimana bersikap sewajarnya namun apa adanya diri saya, agar tidak menjadi santapan penilaian buruk, atau minimal mengurangi presepsi buruk para lelaki itu terhadap para perempuan dari suku saya.

Tiba-tiba lagu “Im In The Mood For Love” milik Jools Holland feat Jamiroquai yang merupakan lagu film “Valentine’s Day” mengalun kencang mengagetkan ketiga orang itu, terlebih saya. Si RS malah sempat melotot, kemudian sedikit komen “Buset, kenceng amat tuh ringtone, berasa dikonser gw”. Antara kaget, malu plus gugup (merasa diri ketauan menguping pembicaraan orang), akhirnya saya pun menjawab “Yes…Waalaikum salam Pa. Oh, da sementara makang ade. Nda kamana-mana, cuma dikostan dari pagi, nya da training nihari. Papa dang da baapa? So makang?” (yang artinya: Yes, waalaikum salam Pa. Oh, lagi makan nih ade #nama kecil. Tidak kemana-mana, cuma dikostan sejak pagi, gak ada training hari ini. Papa sendiri lagi apa? Udah makan?).

Sesuai saya menjawab telepon yang hanya berdurasi 1 menit 13 detik itu, saya pun menoleh dan nyegir ke arah ketiga “tetangga” saya itu. Haha, bisa kalian tebak kan ekspresi ketiga anak konyol yang sedari tadi membicarakan perempuan dari suku saya, kemudian mendengar ketika saya menjawab telepon dari papa saya menggunakan bahasa Manado. RS melongo dan tampak tidak percaya, kalau dibahasakan wajahnya kira-kira berkata “Mati gw, ada noni-noni juga samping gw, kira-kira dia denger gak yah”, lain dengan SJ yang langsung bersemu merah (karena warna dasar kulit putih susu yang pasti langsung merona) dan membuang muka, jengah menatap tatapan mata iseng khas saya, dan terakhir (ahh…ini memang favorit sejati, insting saya memang selalu cihuy nih) si LF yang hanya tersenyum simpul nan sopan dan malah melemparkan tatapan “hai nona, maaf yak, kami cuma iseng. Kamu cantik deh, boleh kenalan gak?” (oke, kalimat terakhir cuma khayalan lebay saya semata, hahaha).

Mereka pun langsung berdiri menuju kasir, melewati meja saya, dan sambil tersenyum LF pun berkata singkat “Maaf, kami gak bermaksud gitu kok. Jangan marah yak”. Ehh…buset, sopan bener, saya benar-benar terpesona. Dan saya pun mengekor bergelantungan dicelananya sambil ngesot (yaa…kali ini khayalan saya sudah mulai sesat). Saya yang masih senyum-senyum sendiri, sambil pura-pura menikmati sisa ayam mentega dipiring saya, mendengar si SJ berkata “Sekalian aja mas, sama mbak-mbak dimeja pojokan itu”. Mendelik kaget, saya melihat ketiga mahluk bagus tersebut serentak melambaikan tangan lalu menyatukan tangan ala finalis abang Jakarta (pertanda meminta maaf). Saya pun hanya bisa melongo dan (bodohnya) tidak membalas dengan ucapan terima kasih saking kagetnya dengan tindakan mereka mentraktir saya tiba-tiba sebagai permintaan maaf. Wahhh…rejeki emang gak kemana yak… Ahhh…tau gitu tadi saya pesen macam-macam, jiahahahaha.



Jakarta, 7 Mei 2011

Sore hari di Solaria Setiabudi Building, ketika mentari sedang bersinar sehangat pacaran trisemester awal. :p


*nemu tulisan di notepad Blackberry yang kelupaan diposting padahal udah LAMA BANGET -.-"

Melodrama Sahabat. Episode: Kesempatan itu (mungkin bisa) menghancurkan komitmen

Tengah malam, Last Kiss dari Pearl Jam mengusik saya yang sedang makan.
Bunyi telpon dari salah seorang sobat saya. "Nyiiinggg...met ultah yeee", tereak saya kenceng, sambil tak lupa menyanyikan lagu selamat ulang tahun pake suara serak saya yang baru bangun tidur plus lagi makan. "Jahh..adanya juga elu yang nelpon guweh ngasih slamat, dimane-mane kagak ada orang ultah nelpon temennye buat dapetin ucapan slamat" ujar si sobat dengan suara lucunya yang gak ada aura ganteng-gantengnya kalo menurut saya (in my humble opinion lho darla...jiahahahaha).

Kening saya berkerut,kira-kira ada apa gerangan sobat saya menelpon tengah malam. Ketumbenan yang tiada terkira. Dan benar dugaan saya, sobat saya ini sedang agak galau, apalagi kalo bukan masalah perasaan.

"Gw lagi dideketin ama cewe nih cyinnn...anak kampung lu noh".
Begitulah kira-kira kalimat awal percakapan serius diantara kami. Menurut hasil pengamatan saya, dari beberapa pengalaman para sahabat, sebenarnya, merupakan suatu kebanggaan buat seorang lelaki, jika ada seorang (apalagi lebih) wanita yang datang mendekati, apalagi kondisi saat ini, sobat saya tersebut sudah terikat semacam ikatan yang lazim kita sebut "tunangan". Ikatan serius dimana hubungan sudah bukan hanya dilakoni oleh 2 orang, tetapi oleh beberapa orang yang dinamakan "keluarga". Alasan "cinta" ditambah alasan "tujuan masa depan" plus alasan "keluarga" menghasilkan suatu kata yaitu "komitmen". Dimana "tunangan" itu sendiri sudah merupakan bahan dasar untuk membangun sebuah komitmen yang lebih jauh. Namun lagi-lagi, suatu hasrat kuat mendasar yang lahir bersamaan dengan para lelaki, nama kerennya "ego", membuat keadaan seperti ini menjadi rumit. Jika perempuan diciptakan dengan kadar "perasaan" berlebih, maka lelaki pun punya kelebihan dalam hal "ego".

Hal pertama yang saya tanyakan kepadanya "emang tu pere cantik?".
Suatu hal yang gak objektif sih...yellowww...2011 masih aja pake fisik buat nilai orang. Tapi mengacu pada pepatah "lelaki itu kalah dimata, wanita kalah ditelinga", yang artinya, mau dilirik lelaki mesti jadi secantik mungkin, mau dilirik cewe mesti segombal mungkin. Hahahaha.

Jawaban sobat saya "gak sih, biasa aja. Cantikan cewe gw".
Then what do you expect? Disinilah slogannya bang napi sangat berperan "kejahatan itu terjadi bukan karena niat,tapi karena kesempatan". Saya menilai, ego ditambah kesempatan menghasilkan suatu permainan yang menguji "komitmen" yang merupakan hasil dari cinta ditambah tujuan masa depan ditambah keluarga. Hebat bukan? Hanya butuh 2 faktor untuk menggoyahkan hasil dari 3 faktor. Kesempatan yang ditawarkan wanita lain, walaupun sebenarnya nilai dari wanita ini buat sobat saya, tidak ada seujung kuku pun dari sosok tunangannya. Kesempatan, yang jika dipupuk terus menerus, maka lambat laun akan menjadi sebuah bom waktu yang bukan hanya menggoyahkan, tetapi pastinya akan menghancurkan komitmen yang susah payah dia wujudkan. Kesempatan kawan, tidak lebih dari itu. Sudah banyak contoh cerita pahit beberapa kawan saya, yang hidupnya hancur padahal mereka hanya mempersilahkan si kesempatan sedikit bermain dialam bawah sadar mereka. Kesempatan yang membuka jalan kecil ke arah suatu kesalahan yang besar.

"Tetapi gw gak bisa ngelarang perasaannya dia buat suka ama gw, gw udah bilang, gw dah punya tunangan. Toh kita berdua juga berbeda prinsip hidup".
Lalu apa yang kamu khawatirkan? Ketika kamu sudah membangun sebuah komitmen, seharusnya trik dan tips untuk menjaganya lah yang perlu kamu pelajari, bukan trik dan tips untuk menghancurkannya yang kamu dekati. Memang hak setiap orang untuk menyukai orang lain. Tetapi disini kamu dijadikan objek untuk disukai, jadi kamu juga berhak untuk menolak dijadikan objek. Toh kamu bukan artis yang membutuhkan penggemar setia sekedar untuk mendongkrak popularitasmu. Tapi memang terkadang manusia membutuhkan lebih dari satu manusia lain untuk sekedar mengakui bahwa eksistensinya benar-benar ada dimuka bumi ini.

"Tapi katanya, ijinkan dia untuk menyukai gw dari jauh, ijinkan dia berkomunikasi. Dia bakal tau diri kok, kalo gw lagi jalan ama cewe gw, gak bakalan ganggu".
Yellowww... Itu cuma trik sobat, trik dimana seseorang yang penasaran akan sesuatu yang diinginkan tapi belum didapatkan. Dia tentunya akan melakukakn berbagai macam cara untuk menarik perhatianmu. Lagian, kalau benar dia tau diri, apakah pantas dia mendekati orang yang sudah punya komitmen untuk serius dengan orang lain. Kamu membuka celah untuknya sobat, walaupun kecil, ingat kata pepatah "dikit-dikit jadi bukit?"

"Iya sih boww...gw sadar, kucing mana yang gak mau disodorin ikan".
See, akhirnya sobat saya pun mengakui, bahwa suatu kesempatan terkadang menjadi sebuah santapan pencuci mulut yang menyegarkan dikala kita sudah sedikit mual dengan makanan besar yang membuat perut penuh. Sadar kawan, dirimu juga manusia, cobaan itu pasti ada aja. Jangan pernah takabur dengan rencana-rencana indah. Manusia itu hanya bisa berencana dengan cemerlang, tanpa mengetahui hal apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Sekarang ketika kamu sedikit saja bermain-main dengan kesempatan, maka semuanya akan merubah keadaan. Banyak cerita usang yang gak pernah bosan saya kisahkan padamu kan, tentang beberapa pengalaman baik pengalaman saya sendiri maupun pengalaman orang lain yang kebetulan masih terekam dalam otak saya, betapa pahitnya masa dimana hal-hal bodoh menjadi penyebab kehidupan yang suram dimasa datang.

"Hmm...gitu yak. Iya sih, kalo gitu gw membatasi diri deh mulai sekarang".
Memang mencoba itu tidak mengapa, ibarat kata filsuf asal Amerika favorit saya "20 tahun yang akan datang kamu akan lebih menyesal akan apa yang tidak pernah kamu lakukan, dibanding apa yang pernah kamu lakukan. Keluarlah dari zona nyaman, dan berpetualanglah. Bermimpilah, Menjelajahlah, dan Temukanlah". Tapi itu berlaku untuk sebuah petualangan yang baru akan dimulai, bukan suatu hubungan yang sudah sejauh taraf pencapaianmu sekarang. Judul film melodrama kehidupanmu sudah kamu pilih, sekarang sudah akan berakhir dalam season 1, dan akan dilanjutkan dengan seri baru season 2, tapi tetap dengan judul yang sama. Kalau kamu tergoda dengan kesempatan lain, maka kamu akan memulai suatu produksi film dengan judul yang baru.

"Ya udah deh cong, gw mo tedur dulu. Ngantuk banget, gw dah gak bisa mikir".
Hmmm...mudah-mudahan akal pikiranmu bisa segar kembali esok, ketika kamu dan tunanganmu bertemu untuk sekedar makan malam (terlalu) romantis ala alay kalian yang sering saya olok-olok itu. Hubungan yang manis memang gak pernah luput dari cobaan, karena saya sendiri pun sudah pernah merasakan betapa hambarnya suatu hubungan yang berjalan tanpa sedikitpun batu sandungan. Sebagai salah satu sobatmu yang selalu menyumbang doa terbaik untuk dirimu, saya hanya bisa turut mendukung semua hal yang bisa membuatmu bahagia, karena kalian berdua hanya bisa berencana, saya hanya sekedar bisa berdoa, tapi sisanya hanya Tuhan yang berbicara. Apapun yang akan terjadi nanti, yang penting kamu harus berusaha semaksimal mungkin. Everything happen for a reason, rite hensem?

"If you love two people at the same time, choose the second one. Because if you really loved the first one, you wouldn't have fallen for the second" (Johnny Depp).

Sekali lagi, Selamat Hari Jadi, Happy Birthday, Joyeux Anniversaire, buat si konyol bersuara toa yang (mudah-mudahan) sebentar lagi melepas masa lajangnya itu. Doaku bersamamu sobat. Doa akan lebih afdol kalo esok ada undangan traktiran sih...jiahahaha (saya redho roma kok, mengalah sehari dari dadar guling barbie kesayanganmu itu untuk makan-makan ples ngakak-ngakak dipojok warung tongkrongan kita itu).


Jakarta, 8 Mei 2011. 03:45 waktu BB
Genteng Ijo 86, didalam kamar yang berhasil didekor ulang dengan tujuan membangkitkan semangat baru...hahay :D