31/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Ketujuh

Kepada: Lelaki Ksatria yang Setia Menjaga.

Aku mengenalnya di sebuah kamar rumah sakit berlantai tiga.
Sosok tampan yang tertawa riang sambil menggendongku kemana-mana, memamerkanku dengan bangga.
Katanya, aku adalah bidadari kecil yang dikirim khusus dari surga.
Saking sayangnya, tak jarang ia menurutiku yang merengek agar bisa duduk di pundaknya; mencoba menggapai bintang, ataupun hanya sekedar memetik buah mangga.

Papa, begitulah beliau kerap kusapa. Lelaki biasa yang irit suara, senang membaca, serta rajin berolahraga.
Guratan di wajah tuanya menandakan betapa keras kehidupan menerpa.
Pola pikirnya sederhana, asalkan kami sekeluarga bahagia, tak ada lagi yang perlu dipinta.

Pendapatnya sering kubantah, kusela dengan beribu kata tanpa rasa bersalah.
Tak kupedulikan sorot matanya yang terlihat lelah.
Yang kutahu, orangtua pasti akan selalu mengalah.

Hari ini aku pulang, kembali ke rumah yang pintunya selalu terbuka.
Seperti prajurit yang kalah perang, raga letih dan jiwa yang terluka.
Beliau menyambutku dengan senyum tenang, tanpa banyak bertanya maupun menasehatiku dengan beragam retorika.
Hanya duduk menemaniku di teras yang lenggang, membaca buku yang kubawakan dari ibukota.

Untukmu, lelaki pertama yang mengorbankan semestanya agar aku bisa menggapai bintang, maafkan aku yang jarang mengabarimu ketika dulu terlalu asyik bertualang.
Kepadamu, lelaki setia yang senantiasa menjaga, maafkan aku yang menukar segala jasamu dengan sikap durhaka.
Bagimu, lelaki ksatria yang merupakan cinta pertamaku di dunia, kupintal doa agar dirimu senantiasa sehat dan bahagia.
Sampai nanti akan datang penggantimu yang cukup sigap untuk menjagaku selalu.

Salam Hangat,

Perempuan Kecil yang Tak Bisa Apa-apa.

30/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Keenam

Kepada: Lelaki yang Terkikis Waktu.

Kamu selalu bilang, semua bisa dibicarakan tanpa meradang. Nyatanya, sosokmu selalu menghilang ketika persoalan menghadang. Apa salah jika aku mulai bimbang?

Tadinya, aku selalu menyugesti diri bahwa senyum teduhmu terlalu berharga untuk ditukar dengan emosi dangkalku. Tetapi, kali ini aku memilih untuk diam dan perlahan meninggalkanmu. Jangan dikira melepas genggamanmu seringan mengetik pesan singkat berakhiran logo senyum itu. Aku tidak sekuat prasangkamu.

Melupakanmu, laksana menulis di hamparan pasir pantai yang kerap tersapu ombak; bisa, tapi susah. Aku akan mengingat renyah tawamu di setiap film komedi yang kelak kutonton. Merasakan pedasnya argumen sarkasmu di semua hidangan batagor bertabur sambal yang kutemui di seluruh penjuru negeri. Mengenang wajah tenangmu yang tertidur damai dalam hembusan angin malam yang menerpa kulitku.

Kita masih akan melihat langit bertabur bintang yang sama. Hanya saja tempat kita berbeda, hati kita terpisah. Aku akan menitipkan sisa rinduku pada hangatnya mentari, ada pesan kuselipkan untuk memelukmu selalu. Kamu akan terus bersamaku di setiap molekul air asin yang menyapa lembut telapak kaki ketika aku bertandang di bibir samudera tempat kita kerap bercanda.

Kita masih bisa berteman dalam kenangan, karena berpisah tidak mutlak untuk saling bermusuhan. Walau nanti akan tiba saatnya, semua kan terasa biasa pada akhirnya. Jangan lupa untuk berbahagia, wahai lelaki kelima dalam deretan aksara.

Salam Hangat,

Perempuan yang Tersapu Realita.

29/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Kelima

Kepada: Lelaki yang Terlalu Pandai Bersembunyi.

Pagi hari kusapa mentari, kepadanya kucelotehkan perihal film komedi terbaru yang semalam kutonton sendiri. Tidak lucu sama sekali. Saking bosan, di tengah adegan aku malah terlelap. Mendengarnya, ia hanya tersenyum dan bersinar hangat, seakan takut jika aku bertanya apa kabarmu. Aku tahu kalian pasti sekongkol dalam hal ini. Konspirasi tingkat tinggi yang malas untuk aku selidiki.

Siang hari kusapa angin, kepadanya kukisahkan perihal jalanan kota yang kacau balau. Kurangajarnya, ia malah balik bertanya, apa kabar dengan hatiku? Masihkah rapi menyimpan sunyi? Tegurannya membuatku tersadar, ada ruang hampa yang telah tersusun lama. Bangunan hasil timbunan dusta dan murka.

Sore hari kusapa awan, kepadanya kuwartakan tentang pertemuan dengan para sahabatku. Mereka yang tak pernah lupa bertanya kapankah kamu kembali. Seakan mereka benar peduli. Aku hanya bisa tertawa dan mengarang cerita tentangmu yang sedang sibuk bertarung dengan beruang madu. Kami terbahak bersama. Candaan konyol yang membuatku terlihat seperti pecundang bahagia.

Malam hari kusapa bulan, kepadanya kututurkan tentang perasaanku padamu yang perlahan menghilang. Hiasan langit itu bertanya apa kabarmu. Katanya mentari sedang pelit informasi, karena harus berbagi gosip dengan hujan. Mataku kosong kala menatap, mulutku kelu kala meratap. Leluconnya tak lagi menarik kali ini.

Lihatlah sayang, betapa mengerikannya keputusasaan manusia.
Betapa cinta berhasil membuang kita ke dasar jurang keterasingan.
Kata orang, menunggu itu meletihkan.
Kataku, menunggu itu mematikan.

Salam Hangat,

Perempuan yang Terlalu Bodoh Mencari.

28/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Keempat




Kepada: Lelaki yang Ditelan Bumi.

Lelakiku, apa kabarmu?
Bolehkah aku bercerita tentang seseorang yang belakangan hadir menemaniku?

Aku berjumpa dengannya di acara nonton bareng piala dunia, dua tahun yang lalu. Sosok periang di sebelah meja yang ribut menggodaku yang terlalu heboh bersorak-sorai. Berawal dari saling meledek negara jagoan, kami pun akhirnya berkenalan. Seperti katamu, sepakbola adalah pemersatu nomer dua di dunia selain musik tentunya.

Hobinya bermain gitar, menyanyikan lagu Sheila On 7 kesukaan kita; favoritnya juga. Jemarinya lincah memetik gitar sambil bersenandung, menyihirku untuk kembali ke masa beberapa tahun silam, membuatku termenung di dekatnya. Walau setelah itu, dia selalu mengagetkanku dengan rengekan meminta bayaran per lagu. Alhasil, aku selalu berhasil tertawa melihat ekspresi jenakanya; mencibir sambil melemparinya barang yang bisa kujangkau.

Aku sering mengajaknya ke toko buku. Sifatnya yang tak bisa diam, selalu iseng menggangguku yang sedang serius membaca; menyodorkan buku yang berisi kalimat konyol yang membuatku terbahak. Tak jarang kami dipelototi pengunjung lain karena cekikikan sambil bermain petak umpet di antara deretan rak buku.

Masih ingat dengan daun Mapel dari negeri Sakura yang kamu laminating untuk dijadikan hadiah ulang tahunku?
Daun berwarna merah itu kini ada temannya. Waktu aku berceloteh semangat tentang keromantisan minimalis khasmu itu, dia hanya mangut-mangut tanpa berkomentar apapun. Beberapa bulan setelahnya, dia membawakanku daun Gedi -sayuran hijau berjari lima mirip Mapel- yang dibelinya di pasar. Daun itu sudah rapi terlaminating.
Aku terpana, lalu tertawa kencang sekali. Wajah tengil bercampur kelakuannya yang ajaib adalah keceriaan pertamaku di pagi yang mendung itu.

Lelakiku, kamu pasti menyukai sikapnya yang tulus menemaniku saat dirimu terlalu sibuk dan sering lupa untuk sekedar berkabar. Bersamanya, duniaku lumayan gembira. Aku di sini baik-baik saja, walau akhir-akhir ini terlalu lelah untuk berbahagia.

Salam Hangat,

Perempuan yang Dibunuh Sepi.

27/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Ketiga



Kepada: Lelaki Pelarung Harapan.

Beribu rasa bergelayut di pelupuk mata senduku, ketika hanya bisa melihat bayang dalam pigura. Seseorang yang raganya sedang berpetualang, jutaan mil di tanah seberang, tak jelas kapan akan pulang.

Beribu cerita terkumpul di ujung lidah kelu, tak tahu kapan bisa terlontar bebas langsung dari mulutku ke arah telingamu. Laksana dulu, ketika argumen kita beradu. Tak puas hati ini ketika hanya melihatmu lewat perantara teknologi.

Beribu tanya berbaris rapi, menunggu giliran meluncur lewat alunan nyanyian sunyi, karena berita dirimu tak kunjung menghampiri. Kepada langit kutanya kabarmu. Kepada angin kutitip rinduku.

Sabar, pintamu lewat pesan yang menenangkan.

Bahkan ketika hanya mendengar sekilas tawa merdumu, membuatku bersemangat dan siap untuk terbang menyambangimu di negeri sejuta pelangi yang konon menakjubkan itu.

Bahkan ketika hanya mendengar kisah seribu satu dari balasan surat canggihmu yang bercerita lewat untaian jutaan huruf tanpa intonasi, membuatku merasa sedang berada di hadapanmu, di kedai kopi langganan kita; tertawa dan bertukar kisah. Melarung harapan, mendulang impian. Apa saja, asal kita bersama.

Bahkan ketika hanya menerima kabar dari orang lain yang kebetulan berpapasan denganmu, meninggalkan sejuta jejak semu di bahtera alam sadarku, menetaskan bahagia.

Cemas, ujarku dalam setiap pesan yang kulayangkan.

Mungkin diriku hanya kelelahan menyelesaikan pertarungan perasaan. Curiga selalu meradang sebagai pihak lawan yang kerap menyerang. Percaya selalu datang sebagai pihak kawan yang sigap menantang. Siapapun yang menang, tetaplah dada ini dipenuhi rasa gamang.

Mungkin cinta memang membutuhkan banyak pengorbanan. Ribuan, bahkan milyaran. Doakan aku, semoga tegar bertahan.

Lelakiku, apa kabarmu?
Mentari sedang jarang bertandang untuk membisikan perihal sepak terjangmu. Belakangan memang sering hujan. Ah, mudah-mudahan kamu baik-baik saja, dimanapun kamu berada. Aku ada di tempat biasa, seandainya nanti kamu (mungkin) balik bertanya.

Salam Hangat,

Perempuan Pendulang Impian.

26/01/16

Surat Untuk Februari Tahun 2016: Hari Kedua



Kepada: Lelaki Penggila Mentari yang Menggenggam Malam.

Melihat senyum samarmu, aku jatuh cinta. Simpul bibir yang merekah perlahan, pemandangan langka yang kulihat secara sembunyi melalui sudut mata, ketika kita bergantian menyetir mobil, kala pertama kita berjumpa. Aku bahkan mengabadikan momen “permintaan pertemanan” yang kamu kirimkan malam itu juga di ponsel kuning kesayanganku, demi merasakan perasaan nyaman ketika melihat senyum itu lagi dimanapun, melalui perantara layar tak bernyawa, tanpa harus sembunyi seperti pencuri.

Menatap mata elangmu, aku jatuh cinta. Kolaborasi sorot tajam dan sinar lembut yang terpancar, seakan menyihirku untuk mendekam di sana. Mata yang menatap dunia ketika kaki membawamu berkelana. Mata yang menceritakan tentang harapan dan impian yang menakjubkan. Mata yang menjadi media penyampai pesan pikiran dan perasaan, ketika bicara bukanlah menjadi sebuah pilihan.

Memandang wajah teduhmu, aku jatuh cinta. Kamu ibarat permen gulali, polos dan klasik; selalu berhasil memaniskan dunia. Rona merah ceria terpancar ketika kamu bercerita mengenai khayalan liar yang terangkai melalui banyak celotehan di setiap malam panjang yang membuatku tak lagi peduli dengan satuan waktu. Ekspresi semangatmu ketika aku berkisah tentang hobi baruku yang mulai menyambangi gunung yang tadinya kutakuti setengah mati, adalah hal yang rela kutukar dengan apapun di muka bumi ini demi menyaksikannya lagi dan lagi.

Aku menjulukimu mentari, kamu menyebutku bintang. Kita bersatu menyinari malam, bersama menerangi kegelapan tanpa harus berselisih paham. Bergandengan tangan, saling menentramkan lewat media kata penuh cerita dan sorot mata yang selalu sama.

Hari ini kita memang terpisah. Namun, aku selalu menunggumu di tempat yang sama. Di dasar laut yang indah, dimana keajaiban adalah fakta. Di puncak gunung yang megah, dimana perjuangan adalah nyata. Semesta akan membantuku mengabarkan perihal rindu. Alam akan menjagamu agar tetap sehat dan bahagia selalu, dimanapun keberadaan ragamu.

Salam Hangat,

Perempuan Pecandu Malam yang Mencintai Mentari.

19/01/16

Untuk Seorang Lelaki Pelaksana Fungsi Matahari




November, 2012

Ini adalah bulan Novemberku yang pertama tanpa kamu, Nyong. Sosok yang selama ini menemaniku makan sambil mendengarkan ragam cerita keseharianku. Sosok yang selalu bawel mengingatkanku untuk tidak mengonsumsi apapun yang bisa menyebabkan penyakitku kambuh. Empat belas tahun lamanya perkenalan kita, tenyata harus berakhir tanpa bekas. Banyak alasan yang kamu utarakan untuk berpisah. Rangkaian kalimat yang meluncur dari mulutmu malam itu, laksana narasi dongeng horor yang setiap katanya mengandung makna yang membuatku ketakutan. Sudah beberapa minggu berlalu, tapi badanku masih saja menggigil tiap mengingat kejadian itu. Andai sekarang kamu ada disini, matamu pasti akan membelalak;  mengira penyakitku kambuh lagi karena keadaanku yang tampak menyedihkan.

Ulang tahunku kali ini kuhabiskan di kantor saja, menghabiskan waktu diantara tumpukan berkas yang menunggu untuk kukerjakan. Mengusir rasa hampa yang menyusup setiap kulihat tanggal di kalender. Sebelum pulang, rekan kerjaku berhambur masuk ke dalam ruangan sambil menyodorkan dua tiket konser penyanyi luar negeri yang pentas di pantai Karnaval Ancol. Katanya itu hadiahnya buat ulangtahunku. Kulihat jam dan menggeleng. Ibukota yang macet di hari Jumat sore dan lokasi kantor menuju tempat konser, membuatku menolak hadiahnya sambil tersenyum mengucapkan terima kasih. Entahlah, aku masih berharap kejadian bulan kemarin itu hanya akal-akalanmu demi mempersiapkan pesta kejutan fantastis di hari ulang tahunku kali ini. Sampai tengah malam kutunggu, tidak ada perayaan yang kuharapkan terjadi. Hatiku terkoyak setiap menyadari kenyataan itu. Seperti katamu, tak ada yang abadi dimuka bumi ini, begitu pula dengan kebiasaan yang kita lakukan selama bertahun-tahun.

Desember, 2012

Ini adalah bulan Desember pertamamu tanpa kehebohan yang ditimbulkan olehku. Sosok yang selama ini selalu merepotkanmu dalam semua urusan. Sosok yang selalu hanya bisa tertawa meringis ketika ketahuan olehmu melakukan kesalahan. Empat belas tahun yang sangat berat untuk dilalui olehmu ketika menghadapi seseorang sepertiku yang spesiesnya jarang kamu temui. Kesabaranmu berbuah manis kali ini. Kamu terbebas dengan segala kerepotan menanganiku, tepat dua bulan sebelum perayaan ulang tahunmu. Membayangkan hal itu, entah aku harus turut senang denganmu, ataukah harus menangis karena terlampau kehilangan. Kenyataannya, aku hanya duduk merenung tentang keadaan yang baru saja kita alami. Andai sekarang kamu ada disini, tanganmu pasti akan melempariku dengan barang apapun yang ada disekitarmu; menghujaniku dengan celaan akibat aku yang terlalu mendramatisir keadaan.

Hadiah yang kupersiapkan sejak beberapa bulan kemarin, masih teronggok tak berdaya di sudut kamarku. Kotak berwarna merah yang dihiasi pita kuning menyala, kombinasi warna favorit kita. Seperti biasa, aku memang selalu berlebihan dalam mempersiapkan sesuatu yang berbau kejutan. Tak kuduga, kehidupan ternyata mendahului dengan memberiku kejutan yang benar-benar tak terduga. Semua rencana yang kususun tentang perayaan kelahiranmu tahun ini buyar. Gagal total. Sempat terpikir olehku untuk marah pada kehidupan. Tapi untuk apa? Toh takdir sudah ada yang mengatur. Seperti katamu, Tuhan memang sutradara yang ciamik dalam mengatur skenario kehidupan ciptaanNya.

Januari, 2013

Tahun ini aku memutuskan untuk pulang ke kampung halaman kita. Resolusiku adalah memiliki kebebasan finansial di usia muda. Untuk itu, aku harus mengembangkan bisnisku dengan merencanakan target besar di awal tahun. Mengorbankan kesenangan seperti liburan dan hal-hal yang hanya akan menghambat tujuanku. Ditengah derasnya hujan dimalam pergantian tahun, aku menggigil hebat, antara kedinginan atau terlalu bersemangat memikirkan berbagai rencana yang baru kususun dalam pikiran. Manado adalah pangsa pasar yang menjanjikan sekaligus penuh tantangan untuk bisnisku, jadi aku memutuskan untuk pulang kesana. Berbisnis sekaligus terbebas dari penatnya ibukota. Membayangkannya saja sudah membuat darahku berdesir. Andai sekarang kamu ada disini, kepalamu pasti akan menggelengkan tanda kamu kurang menyetujui rencanaku; sejak awal kamu memang tidak mendukung keputusanku beralih profesi sedrastis ini.  

Kudengar dari sahabatmu, kita ternyata merayakan malam pergantian tahun di lokasi yang sama. Sesaknya warga ibukota yang fakir hiburan itu menyebabkan kita tidak bertemu. Kebetulan yang menyedihkan, mengingat kebiasaan kita sebelumnya yang selalu bersemangat merencanakan perjalanan untuk merayakan tahun baru diluar Jakarta. Mungkin kali ini kamu juga punya rencana besar sepertiku, memilih untuk menunda berleha-leha demi tujuan hidup mulia di awal tahun yang baru. Tidak sepertiku yang memuja hujan, kamu membenci hujan karena banyak alasan. Bisa kutebak, malam itu kamu pasti ingin secepatnya kembali ke tempat tinggalmu. Jalanan yang becek serta kegaduhan campuran suara musik dari panggung hiburan, suara ribuan manusia yang tumpah ruah, serta suara petasan yang sahut menyahut, adalah kolaborasi mengerikan buatmu si pencinta kebersihan dan ketenangan. Anehnya, malam itu aku sepakat denganmu. Seperti katamu, yang terpenting dari sebuah perayaan adalah dengan siapa kita merayakan, karena hal lain hanyalah sebuah pelengkap rasa belaka.

November, 2013

Bandung selalu “memanggilku” sejak dulu. Keramahan warganya, keragaman tempat wisatanya, juga kejeniusan rasa kulinernya yang selalu berhasil membuatku ingin menyambangi kota ini, lagi dan lagi. Tak kupedulikan dinginnya hawa Bandung yang menusuk tulang, kontras dengan hawa panas membakar khas Manado yang baru saja kutinggalkan. Bisnisku berjalan sesuai rencana, jadi aku bisa kembali ke ibukota secepatnya lalu pergi merayakan ulang tahunku di Kota Kembang yang menyenangkan. Ican, sahabatku yang awalnya justru dikenalkan olehmu, sudah kembali dari perjalanannya keliling Indonesia. Ketika aku mengabari tentang keinginanku berhari ulangtahun di tanah kelahirannya, Ican menyambutnya dengan gembira dan menyuruhku untuk tinggal dirumahnya. Banyak kawan baru yang kutemui di rumah milik Ican yang garasinya disulap menjadi studio rekaman beraliran indie. Rumah yang setiap hari selalu ramai pengunjung. Andai sekarang kamu ada disini, keningmu pasti akan berkerut melihat perangai mereka yang beragam; namun kerap membuatku terkekeh atau bahkan terjengkang karena terbahak hebat.

Telepon di Minggu pagi – tepat sehari setelah perayaan ulang tahunku- mengejutkan tidur nyenyakku yang ditemani selimut tebal milik Ican. Saudaraku di Jakarta mengabarkan kalau pamanku yang sedang bertugas di negara tetangga tiba-tiba terserang penyakit yang menyebabkan beliau harus dirawat di rumah sakit lokal. Istri pamanku memintaku untuk berangkat menemaninya kesana. Masih setengah bermimpi aku langsung mengiyakan tawaran itu. Tapi, seketika kesadaran seakan menamparku. Passporku telah kadaluarsa sejak tahun kemarin. Aku selalu menunda untuk mengurus perpanjangannya, karena kupikir aku sedang menghemat dana jalan-jalan demi mewujudkan impian menata bisnis. Lagipula, tak pernah terlintas dalam khayalanku untuk diajak pergi keluar negeri gratis dalam waktu dekat, dengan alasan apapun. Tak bisa kugambarkan kejengkelanku pagi itu. Kumaki diriku yang selalu menganggap remeh sesuatu. Seperti katamu, menunda sesuatu hal yang kita anggap sepele berarti menganggap diri kita siap untuk kehilangan sesuatu hal yang besar.

Desember, 2013

Untuk mengusir kekesalanku akan keteledoran diri sendiri, aku memutuskan untuk kembali ke Manado. Suasana kampung halamanku yang bersukaria menyambut hari raya Natal dan Tahun Baru -dimana mayoritas penghuninya memang merayakan-, sedikit menghibur hatiku. Sejak merantau, aku memang sudah tidak pernah lagi pulang kampung pada waktu akhir tahun. Tiket pesawatnya mahal sekali, sehingga aku memilih untuk berlibur ke daerah lain yang lebih murah tiket perjalanannya. Lagu Natal diputar dimana-mana, mengingatkanku pada kebiasaan kita berburu diskon akhir tahun di berbagai pusat perbelanjaan ibukota. Menghabiskan bonus akhir tahun, kataku. Mengusir semua stres sepanjang tahun, katamu. Lagu Natal mengiringi kita yang kalap berpindah dari satu toko ke toko yang lain, bergerilya demi mendapatkan barang yang kita inginkan dengan harga miring. Waktu aku masuk ke salah satu toko di Manado, kulihat sepasang sepatu yang kamu beli saat musim diskon tahun kemarin. Andai sekarang kamu ada disini, hidungmu pasti akan mendengus; keluhanmu memang selalu tentang kota kelahiran kita yang menurutmu sangatlah ketinggalan dalam soal tren terbaru.

Melihat foto dirimu yang tertawa memegang medali bersama teman-temanmu di tepi kolam renang, membuat hatiku senang. Hobi baru yang kukenalkan tahun kemarin ternyata ditekuni olehmu dengan sangat konsisten, menjadikanmu seorang atlet mandiri yang mewakili Indonesia ke ajang kompetisi olahraga tahunan yang diselenggarakan di negara tetangga yang letaknya sangat berdekatan dengan kampung halaman kita. Ada rasa bangga ketika melihatmu bisa bertanding mengharumkan negara yang kita cintai ini, apalagi kabarnya kalian memakai anggaran sendiri untuk membiayai perjalanan rombongan disana. Tampaknya perayaan ulang tahunmu kali ini sangat menyenangkan. Aku pun turut merayakannya dengan meniup lilin diatas kue coklat kesukaanmu di tepi pantai, kemudian lanjut menyelam dan memberi makan ikan-ikan di laut yang dulu sering menjadi tempatmu mengajariku berenang. Seperti katamu, mendoakan orang yang kita sayang bisa dimana saja, karena yang terpenting adalah isi dan ketulusan sang pemberi doa.

Januari, 2014

Sebelum kembali ke ibukota yang akan membuatku sibuk dan miskin hiburan, aku diajak oleh sepupuku yang tergabung dalam organisasi pencinta alam dikampusnya, untuk menyambangi salah satu gunung disini. Aku memang punya kebiasaan baru yang sebelumnya pantang untuk kulakukan. Naik gunung! Haha. Salah satu resolusiku di tahun baru ini adalah mengalahkan rasa takut dan pesimis. Dulu, ketika kamu selalu berada di dekatku, tanpa disadari diri ini menjadi manja dan takut melakukan hal-hal yang kuanggap mustahil karena halangan fisikku. Berbagai alasan yang terlintas dibenakku menjatuhkan mentalku terlebih dahulu sebelum memulai sesuatu. Padahal aku pernah ikut kegiatan pencinta alam semasa duduk di SMA, namun kebiasaanku yang beberapa tahun terakhir memang selalu bergantung padamu membuat jiwa ini mengerdil dengan sendirinya. Kali ini, sepupuku menyemangatiku dengan berbagai kalimat motivasi yang bertujuan menggali potensi diriku yang lama terkubur. Tentunya aku juga harus terlebih dahulu mempelajari berbagai teknik dasar untuk menghadapi medan yang akan kutempuh nanti. Andai sekarang kamu ada disini, mulutmu pasti akan sangat cerewet berkomentar; mendikteku dengan berbagai teori tentang cara bertahan di alam yang kamu pelajari di internet.

Setelah berhasil mendaki gunung dan merasakan kepuasan tak terkira ketika akhirnya bisa menginjakkan kaki di puncak tertingginya, perasaanku campur aduk. Ternyata ketakutanku selama ini tidak beralasan. Aku hanya meragukan diriku sendiri. Ingin rasanya aku loncat sambil salto disana, tapi kuurungkan karena takut anggota rombongan lain menganggapku norak atau bahkan sinting, hahaha. Indahnya pemandangan dari atas puncak juga menambah kekagumanku pada Tuhan Yang Maha Agung. Dengan pencapaianku hari ini, aku bisa membuktikan satu hal yang tadinya kuanggap tabu. Kamu pun pasti turut bangga jika berada disisiku, di atas puncak gunung ini. Seperti katamu, manusia seringkali kalah oleh rasa takut yang berasal dari dirinya sendiri.

November, 2014

Ican bulan ini konser di Makassar. Anak itu sudah lumayan tenar sekarang.  Spontan aku merengek meminta ikut dalam rombongannya, walau harus bayar pakai uangku sendiri. Maklum aku toh tidak ada kontribusi apa-apa sebagai kru. Aku buta alat musik, apalagi peralatan pendukungnya. Ican setuju, katanya menolak pun tidak akan mengoyahkan niatku pergi kesana. Haha, sialan benar anak itu. Akhirnya aku ikut juga, dan ditertawakan oleh anak-anak yang lain karena merupakan anggota rombongan yang bawaannya paling banyak. Kali ini aku memang berniat keliling Sulawesi untuk merayakan ulang tahunku. Lagipula, aku sedang teramat pusing dengan tekanan pekerjaanku yang makin hari makin menghimpit. Untunglah, Makassar benar-benar menyenangkan waktu kami datang. Aku jadi kenal dengan banyak orang baru yang sangat seru. Sahabat Ican disana mengajak kami mengunjungi pulau Cangke, pulau kecil yang hanya dihuni oleh sepasang suami istri yang sudah sepuh. Mereka diasingkan karena sang kakek sakit parah dulu. Duh, romantis sekali melihatnya. Kamu pasti suka mengobrol dengan si kakek (nenek tidak begitu suka berinteraksi dengan pendatang). Pas aku tanya “Kek, apa nda sepi berduaan doank disini?” dan kamu tau apa jawaban beliau, Nyong? Beliau cuma terkekeh sambil menjawab “Asal ada nenek, apapun menjadi hal yang menyenangkan buat kakek.” Mendengarnya aku pura-pura kelilipan karena mataku langsung berkaca-kaca, lalu seketika hatiku menghangat. Cinta memang membuat semua hal mustahil menjadi sangat sederhana. Andai sekarang kamu ada disini, wajahmu pasti melunak pertanda setuju denganku kali ini; mereka memang pasangan yang patut dicontohi oleh kita para anak muda jaman sekarang.

Aku melanjutkan perjalanan ke Toraja sendirian, tepat di hari ulang tahunku. Lucu juga, mengingat dulu kita pernah berencana mengunjungi kota ini bersama-sama rombongan sahabat kita dari Jakarta. Katamu dulu wisata disini adalah paket perjalanan supranatural, mengingat disini memang terdapat banyak kuburan nenek moyang suku Toraja yang terkenal sampai di mancanegara itu. Padahal kenyataannya, banyak pemandangan spektakuler lain yang kujumpai. Aku cukup beruntung bisa bertemu banyak teman baru disini. Ulang tahunku dirayakan sederhana oleh mereka dengan mengadakan pesta barbeque ala kadarnya dan menegak Balo' -minuman tradisional dari tanaman Nira- sepuas mungkin. Berbagi cerita dan bercanda ria semalaman. Aku pun melaksanakan nazarku di ulang tahun kali ini. Menggunduli kepalaku tepat diusia yang kuanggap keramat, sekali seumur hidup. Nazar yang dulu kamu tentang habis-habisan karena menganggap perempuan penting menjaga mahkota dikepalanya. Kamu menganggapku gila, aku menganggapmu kuno. Katamu ratusan buku yang kubaca membuat kewarasanku menjadi dipertanyakan. Ah, aku pun teringat kalau ini sudah memasuki tahun ketiga kamu tak menghadiahiku buku. Sudah tahun ketiga pula ketika kamu tidak sok memberiku petuah di umur yang baru, sok dewasa padahal usia kita hanya terpaut beberapa hari, malah lebih tua aku. Saat ini mendadak kumerindu kebiasaan konyolmu yang satu itu. Seperti katamu, hal yang telah hilang adalah hal yang paling dirindukan.

Desember, 2014

Kata pengarang buku favoritku “Peliharalah mimpimu, dan seisi semesta akan bahu membahu mewujudkannya.” Sewaktu aku kembali ke Makassar dan bersiap untuk pulang ke Bandung, Sarah –sahabatku yang telah menetap di Papua- menelponku dan mengajak untuk menemaninya ke Wakatobi, tempat asal leluhur dari pihak ayahnya. Bukan main senangnya aku mendengar hal itu. Padahal aku sudah membayangkan akan melewati tahun baru menyebalkan di kota besar tanpa pantai seperti Bandung. Tahun baru tanpa pantai memang ibarat dirimu tanpa celoteh sarkasmu, kurang greget menurutku. Belum lagi habis euforia kegembiraanku yang diajak ke Wakatobi, aku ditelepon sepupuku yang tinggal di Palu. Sepupuku menawarkan untuk singgah ke Palu mengunjungi mereka disana. Kontan aku setuju. Palu juga salah satu destinasi dengan wisata pantai yang mencengangkan. Hanya orang gila yang melewatkan tawaran liburan gratisan. Wow, ini memang hadiah akhir tahun yang sangat tak terduga. Andai sekarang kamu ada disini, kelakuanmu pasti akan sedikit memalukan; merengek seperti bocah ingusan yang minta diajak menyelam gratis sebagai kado ulang tahunmu kali ini.

Kata teman-teman kita disana, kamu merayakan ulangtahunmu hanya dengan pergi ke panti asuhan yang letaknya dekat rumah pamanmu. Antara kamu memang sudah dewasa dan mengurangi hura-hura dihari peringatan kelahiran, atau memang kamu tidak diberi ijin cuti dari kantormu gara-gara kamu pasti mengajukan cuti lagi saat tahun baru. Prinsipku, kasihan sekali ketika waktu kita sebagai manusia merdeka justru terjajah oleh rutinitas yang kita pilih sendiri. Prinsipmu, hidup adalah deretan pilihan yang mau tak mau harus kita jalani. Seperti katamu, asal kita bersyukur, segalanya akan tampak lebih mudah.

Januari, 2015

Wakatobi memang menakjubkan, Nyong! Aku dan Sarah puas bermain-main disini. Beruntung sekali kami diajak untuk menginap gratis di penginapan milik kenalannya Sarah. Kamu tahu apa lagi yang membuat semua keberuntunganku disini tambah luar biasa? Ternyata temannya Sarah itu pemilik penginapan sekaligus tempat penyewaan alat selam, dan aku diajaknya menyelami lautan Tomia gratisan. Wohooo…jangan kamu iri yah! Hahaha. Ribuan, enggak…bahkan jutaan ikan menurutku; membentuk formasi seperti sekumpulan ikan menari disekitar lokasi penyelamanku kemarin. Aku yang memang cengeng ini tiba-tiba menangis di dalam laut, sehingga mengotori kacamata selamku. Terharu sekaligus sedih karena menikmati keindahan ini seorang diri. Konyol yah? Andai sekarang kamu ada disini, rahangmu pasti sudah berubah bentuk; tertawa habis-habisan sambil meledekku yang mendadak galau ditengah keindahan surga bawah laut.

Oh yah, kemarin kami merayakan malam pergantian tahun di puncak pulau Tomia. Ramainya minta ampun. Apa kamu bisa membayangkan, tengah malam berada di tengah padang savanna ala cerita Harry Potter di Inggris sana. Bedanya, saat itu di puncak Tomia penuh dengan gerombolan yang riuh dengan kelompoknya masing-masing. Bunyi musik disko dimana-mana. Mungkin suasananya seperti waktu kita nonton konser sejuta DJ - Dream Field di Bali dulu (walaupun tidak sekacau itu juga, haha). Hiruk-pikuk yang seharusnya menyenangkan. Tapi, aku tetap merasa sendirian. Entahlah, belakangan “penyakit” kesepian ditengah keramaian ini sering sekali muncul. Akhirnya, seiring dengan dipasangnya ratusan kembang api yang menandakan tahun telah berganti, aku memanjatan doa dalam hati. Tahun ini aku tidak ingin resolusi muluk-muluk. Aku hanya ingin tetap sehat dan terus bahagia saja. Seperti katamu, terkadang resolusi sederhana sudah cukup untuk diriku yang gampang puas ini, hahaha.

November, 2015

Bisa dibilang, ini adalah tahun yang penuh perjuangan bagiku. Keputusanku untuk mengakhiri kontrak kerja dengan perusahaan yang tiga tahun belakangan ini memberiku banyak kemewahan -baik dari segi waktu maupun segi kemapanan- membuat hidupku berubah seratus delapan puluh derajat. Benar katamu, segala hal yang tidak dikerjakan dengan sepenuh hati perlahan akan menggerogoti diri sendiri. Aku memang terlalu keras kepala waktu tempo hari kamu menguliahiku tentang hal itu. Setelah melewati pergulatan panjang dengan hati nuraniku, akhirnya kulepaskan hal yang tadinya kukejar mati-matian. Aku pun terpaksa pulang ke kampung halaman dengan keadaan tak kalah menyedihkan. Tak berpenghasilan, tak berkedudukan, seperti sosok perantau gagal yang pulang dengan kehilangan harga diri.  Andai sekarang kamu ada disini, lengan kokohmu pasti akan memeluk erat dan menenangkan kegundahanku; karena pelukan hangat selalu menjadi obat terbaik yang bisa kamu tawarkan.

Ini ulang tahun pertama yang kurayakan di kota kelahiran kita. Duduk diam di kamar dan merenungi sudah sejauh mana pencapaianku selama ini. Airmata terus membanjiri mataku ketika aku menyadari bahwa saat ini aku kembali menjadi manusia yang kurang berguna bagi dunia, bahkan untuk lingkup terdekat; keluargaku. Tapi, setelah berjam-jam mengutuki diri, aku teringat ucapan sahabatku dulu. Katanya, dalam hidup ini tidak ada tindakan kita yang sia-sia atau hanya kebetulan semata. Bahkan daun yang berpindah dari dahan pohon kemudian jatuh ke tanah pun ada tujuannya. Di penghujung hari, aku berdoa kepada Sang Maha Mendengar dengan derasnya aliran air di pelupuk mata, namun senyum samar di bibir. Doaku, agar kelak hidupku bisa lebih berguna dan diberi kesempatan untuk belajar dari setiap peristiwa. Aku ingin menjadi pribadi dewasa, berjiwa muda, dan berbahagia. Seperti katamu, kita harus terlebih dahulu menyayangi diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum berharap orang lain melakukan hal itu terhadap kita.

Desember, 2015

Tuhan memang baik. Resolusiku di awal tahun 2015 tampaknya berjalan dengan baik. Tetap sehat dan terus bahagia. Sepanjang tahun ini, penyakitku berbaik hati untuk jarang kambuh. Hidup tanpa kejaran target dan memikirkan keuntungan pendapatan pada esok hari membuatku sedikit banyak terhindar dari stres dan hal memusingkan lain yang selama ini memberatkan pikiranku. Bisa duduk santai menikmati matahari terbenam di tepi pantai di kampung halaman, tanpa memedulikan harus berlomba dalam persaingan yang keras di ibukota adalah sebuah anugerah yang telah lama kulupakan. Bisa ringan bertegur sapa dengan siapa saja yang kutemui, tanpa berpikir tendensi untung rugi. Ternyata, sehat dan bahagia itu saling berkesinambungan. Ketika hati kita bahagia, tubuh kita juga akan merespon dengan menjadi selalu bertenaga untuk melakukan apa saja. Tahun ini aku juga menghabiskan waktu dengan keluarga besarku disini. Kepergian beberapa anggota keluarga terkasih secara beruntun juga menyadarkanku satu hal, bahwa waktu tidak akan pernah kembali. Ketika kita terlalu sibuk menjangkau hal-hal baru, kita melupakan momen bersama orang-orang yang selama ini ada untuk mendukung kita. Mungkin aku terlampau cepat meninggalkan rumah untuk bertualang. Kali ini aku diberi kesempatan oleh Tuhan untuk kembali mempelajari hal-hal tentang esensi dasar kehidupan yang lalai kukerjakan. Andai sekarang kamu ada disini, kakimu pasti akan sejenak berhenti berjalan lalu menemaniku duduk menikmati camilan pisang goreng yang dicocol sambal pedas kesukaanmu; sambil turut mengomentari ratusan orang yang lalu lalang memadati kota kelahiran kita pada setiap momen akhir tahun.

Ini ulang tahun pertamamu yang (tumben) tidak kupersiapkan. Bukan karena aku tidak punya dana untuk membeli hadiah atau kue coklat kegemaranmu yang lilinnya kutiup sendiri. Bukan mau menyombongkan diri, tapi toh begitu lama kamu mengenalku dengan segala anugerah kreatifitas yang ada. Aku bisa menyulap barang bekas menjadi hadiah unik nan menarik, pun bisa memasak kue coklat yang serupa. Bukan pula karena waktuku tersita untuk menghadiri berbagai reuni dengan banyak sahabat dan keluarga yang kebetulan pulang untuk mudik akhir tahun. Aku hanya mulai membatasi diriku yang setiap hari mengingatmu dengan teguh. Walaupun setiap pagi selalu ada namamu yang hadir di salah satu bait doaku, namun aku harus mengurangi jatah kehadiranmu dalam setiap kegiatan keseharianku. Mengingatmu dalam setiap rasa manis cokelat batangan kesukaanmu yang kutemui di swalayan atau mengenang hangat suaramu yang bersenandung dalam setiap nada lagu penyanyi favoritmu yang selalu tak sengaja diputar di radio kesayangan ayahku. Seperti katamu, hal yang selalu diulang akan selalu terkenang, jadi jangan pernah berharap hal tersebut menghilang dari ingatan.

Januari, 2016

Selamat tahun baru, Nyong! Tak terasa sudah tahun keempat aku bermonolog dengan bercerita secara satu arah. Apa kabarmu di sana? Aku selalu berdoa agar kamu selalu sehat dan bahagia, dimanapun kamu berada. Kalau kamu bertanya apa resolusiku tahun ini, mungkin salah satunya adalah untuk melupakanmu. Alasannya sederhana menurutku. Sebab dengan melupakanmu, aku bisa memaafkan diriku sendiri. Menjalani seribu seratus delapan puluh dua hari dengan bertanya kenapa kamu meninggalkanku waktu itu, seperti menyiram larutan cuka pada torehan luka yang menganga. Tindakan bodoh yang sedihnya, kulakukan dengan tingkat kesadaran luar biasa. Aku akan berhenti berharap dengan kalimat  andalanku “andai sekarang kamu ada di sini”, karena pada kenyataannya kamu memang sudah tidak lagi ada di sini. Aku juga akan berhenti mencari sosokmu di setiap kota yang aku jejaki, mencari definisi bahagia yang hakiki. Kesepian mengajariku untuk mencoba mengenal orang lain selain dirimu dan tak lagi menjadikanmu poros yang harus aku kitari. Aku akan mencoba untuk tidak menyakiti diri sendiri, apalagi membohongi hati dengan berkata bahwa keberadaanmu adalah sumber sukacita abadi. Aku ingin berpindah, melanjutkan hidupku. Terima kasih, karena dengan memiliki rekaman nostalgia tentang masa lalu denganmu membuatku semakin bijaksana dalam menatap masa depan. Aku yakin tujuan hidup kita sama-sama menuju bahagia, walaupun jalan yang kita tempuh kini telah berbeda. Pada akhirnya dunia yang penuh warna-warni ini membuka mataku. Bahwa rasa bahagia itu ada di hati, bukan di lokasi.

Salam Hangat,

Seseorang yang tadinya menjadikanmu sebuah kebutuhan primer selain matahari.


Manado, 19 Januari 2016. Pukul 13:10 WIYTUM (Waktu Indonesia Yang Tepat Untuk Melupakanmu)