Hai Gaes… Jumpa lagiiii...dengan Meissy di sini…
Well, itu adalah kata pembuka terabsurd yang bisa
saya pikirkan. Menggabungkan dua era dalam satu kalimat pembuka itu agak miris.
Maksudnya sih pengin jadi blogger lucu ala-ala Alitt Susanto atau Bena Kribo,
apadaya jadinya maksa. Haha #kray
Malam ini sebelum mulai menulis, hal pertama yang
saya lakukan adalah tentu saja nungguin Aksara molor bukain blog sendiri
yang udah lama banget tidak dibuka. Mungkin kalo itu rumah, sudah berdebu dan
bau apek. Mungkin kalo itu hati, sudah kebas dan bingung bagaimana caranya
mencintai. #masihpagiudahcurcol
Ternyata, sejak tahun 2016 saya jarang menulis. Postingan
di blog hanya berupa rangkaian “Surat Untuk Februari Tahun 2016.”
“Hah? Apaan tuh, mak?”
“Itu lho, lomba di Instagram yang diselenggarakan
oleh Komunitas Pecandu Buku setiap tahun sejak 2016. Aku jadi salah satu dari
tiga pemenang lho.” #mulairiya
Tadinya mikir posting itu di blog biar suatu saat
kalo Instagram hilang dari peredaran kayak nasib Friendster, saya masih punya
satu media buat nanti dibaca-baca kelak kalo lagi pengen pamer sama anak
cucu iseng. Tapi kok sekarang mikir lagi, ah jadinya malah curang euy. Blog
ini kan isinya tulisan panjang yang (dulu) tidak muat kalau ditulis di beranda
Facebook.
Sebelum buka dan bacain satu per satu, saya sudah
siap dengan air minum, cemilan, dan handuk kecil. Bukannya apa-apa, siapa tahu
saya emosi sendiri bacain cerita yang saya tulis beberapa tahun yang lalu, yekann..
Dan benar saja, baru buka dan ngerapihin tulisan
Surat Untuk Februari saja saya sudah lumayan termenung. Ternyata saya pernah
sepuitis itu mengekspresikan kegamangan hati zaman alay dulu, bahahahangcyad.
Hampir seluruh postingan saya bertema cinta; pada
mantan pacar, sahabat, atau orang-orang terdekat yang mampu membangkitkan
inspirasi untuk menulis. Dan semakin kesini, isi tulisan saya “meningkat.” Dari
segi makna maupun kaidah penulisan. Tsahhh…
Awal mula bikin blog ini juga lucu sebenarnya. Dulu,
zaman saya masih sering ngangon dinosaurus di halaman kostan, saya punya
sahabat yang tergolong “laku” alias jarang jomblo. Ada aja pacarnya. Padahal,
mukanya toh gak cakep-cakep amat. *Ok, tulisan ini sudah mulai berbau dengki.
Hampir setiap minggu masuk beragam cerita ala novel
percintaan yang sering saya baca. Sayangnya, dia ini spesialisasi sad ending
alias patah hati muluk. Etdah! Kalo gak pacarnya selingkuh sama temen sekantor,
hubungan tanpa restu orang tua, pacarnya lebih milih main motoran touring keliling
Mars, sampai hal sepele kayak pacarnya yang lama balas chat di pukul 17:10 padahal
dia chat pada pukul 17:09. Drama emang! Ckck..
Sebagai sahabat yang baik, saya selalu menanggapinya
dengan santai, tanpa harus menganggapnya lebay. Tapi, sebagai manusia yang
normal, lama-lama jadi bosan juga. Mau cerita ke teman yang lain, kasihan. Jadilah
saya kepikiran ide buat nulisin semua kisahnya dalam bentuk kisah fiksi yang
terinspirasi dari semua curhatannya. Di mana? Ya di blog lah, masa di hatimu. Nanti betah! #eh
Tapi, jadinya malah saya yang keasyikan nulis. Serasa
menemukan dunia lain di luar rutinitas di dunia maya. Mungkin ini yang
dirasakan Dee Lestari ketika dia mulai menulis dulu. #mulainyamanyamain
Blog jadi tempat saya nyampah, menulis semua
keruwetan dalam kepala. Melatih saya menyampaikan isi hati dan pikiran dengan
lebih terstruktur. Ciee..
Andai dulu sudah ada media sosial lain seperti
Facebook yang bisa menulis uneg-uneg lalu dikomentari semua orang, mungkin saya
termasuk anak alay yang menulis hal ngaco yang sepuluh tahun kemudian sangat
saya sesali. Toh manusiawi jika kita ingin jadi pusat perhatian ketika sedang
terlibat masalah.
Ada periode dimana saya patah hati parah. Benar-benar
parah sampai saya sendiri jijik binti malu hati kalau diingatkan tentang masa tersebut.
Makan males, tidur susah (ahaa…saya jadi tahu kapan mulai menderita insomnia), dan mandi jarang. #itumemanghobi.
Waktu itu, saya punya seorang sahabat yang setia jadi
“buku harian hidup.” Dese sabar mendengarkan semua keluh kesah saya dari yang terberat
sampai yang menye-menye doang. Suatu hari, dese nyuruh saya menuliskan semua
curhatan tadi ke dalam blog yang saya punya. Katanya, siapa tahu nanti bisa dibukukan. Daripada
cuma jadi kenangan usang, mendingan dijadikan uang. Ide bagus, Markonah!
Saya lalu menghabiskan hari-hari keliling ibukota naik
kopaja dari satu terminal ke terminal lain, duduk bengong di halte bus sambil
liatin orang lalu lalang, dan kalau ada duit lebih, jalan-jalan ke beberapa
daerah di Indonesia. Semuanya untuk menambah inspirasi saya dalam menulis. Biar
patah hatinya produktif, kata sahabat saya lagi. Soalnya kalau diam terus di
kostan, saya bisa mati mengenaskan karena jarang makan, tidur dan mandi. Udah
jelek, bau pula! Gimana dapet gebetan baru kalo gitu? Huaaaa...
Semua ide yang muncul di perjalanan saya tuliskan di
catatan kecil. Bukannya tidak mau nulis di ponsel (waktu itu saya udah punya
BlackBerry #pamer), tapi gak lucu juga kalo pas lagi nulis tiba-tiba ponselnya disambar
copet. Ponselnya bisa dibeli lagi, tapi idenya keburu hilang. #bilangajakere
kalo lagi di Kopaja suka nemu fans gini :)) |
Tulisan yang dihasilkan tidak melulu curhatan. Ada yang
berupa cerita tentang hal-hal yang saya lihat di jalan pada hari itu. Ada pula
fiksi yang nasibnya kebanyakan masih mengendap di file laptop saya karena tulisannya
belum selesai lalu saya keburu lupa untuk melanjutkan tulisan tersebut karena
kesibukan di kantor. Kalau dibuka satu per satu, saya suka ngakak sendiri. Kok bisa
yah nulis kayak gini dulu.
Lambat laun, menulis jadi semacam candu buat saya. Sehari tanpa menulis, bagai taman tak berbunga..oh begitulah kata para pujangga saya merasa hampa. #halah
Dengan menulis, otak serasa dipacu untuk terus berpikir. Lumayan lah, biar diri ini tidak cepat terserang alzeimer gara-gara keseringan minta dilumpuhkan ingatan tentang mantan kepada Tuhan. Hahaha.
Menulis banyak kegunaannya buat kehidupan saya yang random ini, misalnya menyelamatkan saya dari kegiatan kurang berguna seperti stalking akun sosial medianya mantan yang sering memamerkan kebersamaannya dengan pacar barunya sambil nyanyi lagu Pamer Bojo atau sebagai obat melek pas kejebak macet di jalan (gara-gara saya yang hobinya pelor alias nempel molor di perjalanan, sering ketiduran, alhasil suka kelewatan kalo mo turun, hiks).
Hal yang paling saya ingat adalah, ketika saya harus dirawat di rumah sakit dalam kondisi sendirian di kampung orang. Menulis tentang keseharian di rumah sakit membuat saya lupa akan rasa kesepian yang berbahaya buat orang yang fisiknya sedang down. Tanpa sadar, saya juga menyelamatkan para dokter dan perawat sampai cleaning service yang sering saya perlakukan semena-mena (baca: nyuruh motoin pasien yang narsis akut), dari kebosanan mereka di rumah sakit. Apaaaaa???? #pasientaktaudiuntung
lagi waras, jadinya nulis. lagi kumat nyuruh2 suster motoin :)) |
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, blog bukan lagi menjadi tempat curhat istimewa saya. Entahlah, rasa malas ditambah dengan kesibukan menjadi manusia ibukota menjadikan saya enggan untuk sekadar mengetik di komputer. Blog saya pun lama tak tersentuh dengan tulisan acak adut khas seorang Shinta
Saya tidak tahu, sampai kapan saya bisa konsisten menulis demi mewujudkan resolusi saya tersebut. Jujur, saya bukan tipikal orang yang bisa menjaga komitmen
Jangan bosan untuk mengingatkan saya kelak jika saya mulai malas, gaes...
Manado, 22 Januari 2019.
Di kamar remang-remang ketika Aksara sudah pulas sejak tadi.