22/12/13

Untuk Para Perempuan Mengagumkan, Selamat Hari Ibu ^_^

Kemarin, saya pulang kampung bersamaan dengan salah satu sahabat saya sejak kecil. Teddy, begitu sahabat saya itu akrab disapa, pulang membawa anak semata wayangnya yang saat ini berusia setahun lebih enam bulan yang mereka beri nama Tesar (singkatan Teddy dan Sari, nama istrinya). Sari belum bisa turut pulang bersama kami, dikarenakan kantor tempatnya bekerja belum mengijinkannya untuk mengambil cuti lebih cepat. Jadilah saya, si tante (sebenarnya sih saya lebih suka dipanggil dengan sebutan kakak, hahaha) bertugas membantu Teddy untuk mengawasi Tesar sepanjang perjalanan. Kami berangkat menggunakan pesawat tengah malam. Cuaca bulan Desember yang selalu hujan melulu, membuat saya sedikit khawatir pesawat yang akan kami tumpangi akan terlambat berangkat. Rupanya Teddy juga sama khawatirnya dengan saya. Kami bukan khawatir tentang kemungkinan cuaca buruk yang akan mengakibatkan pesawat kecelakaan ato bergoyang-goyang selama perjalanan, melainkan kalau pesawat terlambat berangkat, si kecil yang tidak lagi mungil (sekedar informasi, Tesar terlihat seperti anak berusia hampir tiga tahun saking bongsornya) akan berlarian dibandara dan membuat kami berdua kewalahan mengejarnya, lalu dia kehausan, dan terus meminta susu, dan akhirnya buang air besar disana (baik saya maupun ayahnya ngeri membayangkan siapa yang harus membersihkan kotorannya, hahaha).

Sebelum kami berangkat, Sari sudah mewanti dan mendikte apa saja yang harus saya kerjakan untuk membantu Teddy dalam menjaga Tesar. Dimana letak popok, tisu, baju ganti, tak lupa ukuran air untuk membuat susu yang tepat. Saya yang memang senang dengan anak kecil, sangat antusias memperhatikan instruksi Sari malam itu. Membayangkan akan bermain dengan si bocah bongsor sepanjang malam, berhasil membuat saya tersenyum senang.

Tesar Fondri Mintjelungan


Sepanjang perjalanan menuju bandara, Tesar tertidur dipelukan ayahnya. Ketika kami turun di bandara Soekarno Hatta, saya bertugas untuk memeluk si bayi yang telah tertidur, sementara Teddy bertugas menurunkan semua barang bawaan kami lalu kemudian pergi ke loket check-in. Ternyata, memeluk bayi seberat hampir dua puluh kilo tidak sama dengan memanggul ransel yang ukurannya lebih berat dan lebih besar. Apalagi jika si bayi sedang tertidur. Butuh teknik tingkat tinggi agar si bayi merasa nyaman dan tidak terbangun. Untunglah Tesar bukan termasuk bayi yang rewel dan gampang kaget jika orang yang memeluknya salah posisi. Berulang kali saya membetulkan posisi tangan dan badan ketika memeluknya sambil berdiri menunggu Teddy. Hal yang membuat saya berpikir bahwa mempunyai bayi bisa menghemat biaya fitness bulanan yang jaman sekarang mahalnya hampir mengalahkan biaya naik haji. Proses antrian yang lama di loket check-in membuat saya akhirnya menyerah dan nekad mengambil kursi petugas jaga disekitar situ dan duduk sambil memeluk Tesar. Biasanya, kalau dalam keadaan biasa, petugas akan memarahi para penumpang yang seenak jidatnya seperti saya malam itu. Akan tetapi, melihat bayi yang sedang tertidur pulas dipelukan saya, mereka menjadi tidak tega dan malah mengatakan “Aduh ibu, lucu amat nih bayi yah. Udah umur berapa?”, alhasil saya pun hanya tersenyum masam sambil berpikir “Sialan.. gw udah sengaja bergaya ngehist gini tetep donk dipanggil ibu-ibu!”. Hahaha.

Melihat saya yang kerepotan membopong Tesar (padahal baru juga setengah jam mengemban tugas “memeluk dan membopong”), Teddy lalu berbaik hati mengambil alih tugas saya tersebut. Tesar, si lelaki mungil yang akhirnya terbangun dan tertawa-tawa dipelukan ayahnya, membuat saya sedih dan merasa gagal menjadi tukang peluk yang profesional (halah). Padahal seingat saya, banyak lelaki yang selalu merasa nyaman dan sukses tertidur dipelukan saya (yak cukup, saya sudah mulai ngelantur, haha).

Banyak yang saya pelajari dan renungkan sepanjang perjalanan menuju Manado malam itu. Perjalanan membawa bayi hanya sepersekian dari tantangan sebagai orang tua, terlebih sebagai ibu. Teringat akan kakak saya yang dalam selang empat bulan terakhir dua kali begadang dirumah sakit untuk merawat anak-anaknya yang terserang penyakit kambuhan seperti demam berdarah dan tipus. Belum lagi keluhan di jejaring sosial milik teman-teman saya yang sudah menjadi orang tua, tentang betapa mereka kerepotan menjadi orang tua atau betapa sedihnya mereka ketika anak tercintanya sakit. Betapa mereka ingin sakit yang diderita anaknya itu pindah saja ditubuh mereka, agar anaknya tidak merasakan penderitaan tersebut. Saya pun teringat perjuangan orang tua saya ketika merawat saya yang selama hampir dua tahun menderita sakit gejala radang paru-paru waktu duduk dikelas dua sekolah dasar. Perjuangan malam-malam panjang yang tentunya melelahkan. Sigap mengganti baju saya yang basah oleh keringat, tanggap menepuk badan saya ketika mengigau karena mimpi yang menakutkan datang bersamaan dengan tingginya suhu badan, serta telaten membuatkan saya susu agar gizi saya terpenuhi walaupun saya sedang sakit.

Dulu saya selalu tertawa ketika membaca betapa berlebihannya reaksi teman-teman saya yang mengungkapkan tentang anak mereka yang sedang berada pada usia lucu-lucunya, atau ikut mengaminkan dengan tertawa terbahak beberapa ledekan teman yang masih lajang yang mengatakan “Sekarang lagi jamannya pasang foto anak di akun jejaring sosial lu Bro!! haha” (mereka tidak bermaksud memuji, melainkan meledek para orang tua baru yang terlalu narsis memamerkan foto anak mereka yang sedang tersenyum atau menangis). Sampai kemudian tahun berganti, dan orang-orang yang tadinya meledek itu akhirnya menikah, lalu dikaruniai anak-anak lucu, dan seketika menjilat ludahnya sendiri dengan memasang foto-foto anak mereka dengan tingkat kenarsisan yang tidak kalah menyedihkan, hahaha.

Pengalaman membawa bayi malam itu, seakan jalan Tuhan untuk memberitahu saya akan seninya menjadi orang tua, melalui cara yang unik. Saya sempat membaca beberapa artikel maupun “perang” di jejaring sosial tentang klaim mana yang paling benar antara menjadi ibu pekerja maupun menjadi ibu rumah tangga. Sebagai wanita yang hidup dan berkarir di kota besar, saya senang mengamati pola hidup para orang tua modern. Setiap orang tua punya caranya sendiri dalam berkreatifitas untuk membesarkan anak mereka agar kelak menjadi anak yang bisa membanggakan orang tuanya. Terkadang, banyak cara lama yang masih dipakai para orang tua modern ini dalam mendidik anaknya, seakan lupa dengan jaman yang sudah semakin maju dan metode tersebut sudah kurang cocok untuk diterapkan. Saya pun sering membatin “Nanti gw kalo punya anak, amit-amit deh jadi emak-emak yang gak gaol”. Kenyataannya, salah seorang sahabat saya malah sering meledek saya dengan kalimat “Plis deh Nta, kamu udah kayak si Ibu. Bawelnya minta ampun!”. Hal yang menyadarkan saya bahwa ada fenomena sepanjang masa dimana “Selalu ada yang namanya orang tua menganggap yang paling tahu, dan anak yang menganggap orang tuanya sok tahu”.

Tuhan memang Pencipta yang ciamik. Dia tahu, seberapa besar daya serap saya dalam suatu kasus tertentu. Contohnya dalam penyerapan masalah menjadi Ibu, hal mendasar kenapa perempuan dilahirkan di dunia ini. Dulu saya selalu menganggap Tuhan tidak adil mengenai pembagian tugas yang timpang ini. Kami para perempuan ditakdirkan untuk menjadi “alat” pengembang, pendidik, dan pemerhati mahluk Tuhan yang paling sempurna, manusia. Sementara rekan kami, para lelaki, diberi “sedikit” tugas yang kurang berguna (menurut pendapat saya waktu itu). Butuh waktu lama untuk saya bisa memahami “karunia” Tuhan yang mendasar ini, mengapa saya sebagai kaum perempuan harus repot-repot mengurus anak kecil yang nantinya akan jadi anak bandel yang lupa pada orang tuanya (oke, saya memang terlalu berlebihan dalam menafsirkan cerita Malin Kundang, hahaha).

Belum lagi dengan kebiasaan saya yang mendewakan tidur diatas segalanya. Saya sampai memutuskan untuk bekerja di tempat yang sekarang, agar saya bisa mengatur waktu tidur yang “cukup” untuk saya yang maniak dengan kegiatan tersebut. Konon, menjadi Ibu berarti merelakan waktu tidur kita menjadi tidak teratur bahkan berkurang drastis selama beberapa tahun awal sejak sang anak dilahirkan. Belum lagi jika anak sakit ataupun rewel tengah malam. Seringnya saya bangun siang, akan membuat predikat Ibu kurang bertanggung jawab sukses melekat pada saya. Teringat pembicaraan saya dengan Sari, ibunda Tesar si bayi bongsor, ketika kami membayangkan kerepotan jaman kami kecil dulu, sewaktu teknologi belum secanggih sekarang dan tidak ada yang namanya popok plastik sekali pakai yang mengharuskan para orang tua memakaikan popok kain yang harus diganti acap kali si anak buang air. Pengorbanan seorang Ibu yang mendahulukan kepentingan anak diatas segalanya, seringkali membuat nyali saya ciut duluan. Apakah keegoisan seorang manusia akan begitu mudahnya dikalahkan demi kepentingan manusia lain yang keluar dari dalam tubuhnya?

Bagaimana dengan soal berantakan dimana saya selalu meraih predikat “juara umum”. Berantakan dalam hal kerapihan maupun berantakan dalam menata hidup (dan tiba-tiba curhat, haha). Okelah nanti saya bisa menyewa pembantu untuk membenahi masalah ini. Tetapi ngeri juga membayangkan nanti anak saya akan mengikuti jejak ibunya yang tidak telaten dan jauh dari sifat resik ini. Mandi untuk membersihkan diri sendiri saja terkadang malas saya lakukan, apalagi nanti memandikan anak yang rewel kesana kemari. Tetapi memikirkan kekurangan tanpa memikirkan solusi hanya akan membuat manusia tidak pernah berhasil untuk maju. Akhirnya saya pun perlahan belajar untuk mulai rapi dengan keadaan sekitar. Setidaknya jika saya bertamu ke rumah orang, saya latihan jadi anak baik yang merapikan barang-barang dan tentunya…rajin mandi! Saya tidak ingin nanti anak saya mendengar dongeng nostalgia dari para teman-teman saya tentang Ibunya yang dulu berantakan dan malas mandi. Euyyy…

Saat itu saya sempat menarik nafas panjang mengingat semua kekurang ajaran saya terhadap kedua orang tua saya, terlebih kepada Mama. Saya juga teringat akan kakak perempuan saya yang berubah kelakuannya kepada almarhumah Mama, menjadi lebih hormat dan santun ketika dia telah melahirkan keponakan pertama saya. Mengamati satu per satu perilaku para sahabat yang saya kenal baik sejak jaman masih sama-sama lajang, kegilaan yang berubah menjadi ketenangan seorang Ibu yang menurut saya luar biasa, diluar akal sehat yang bisa saya cerna. Proses transformasi yang selalu berhasil membuat saya geleng-geleng kepala melihat mereka. Bayangkan, saya mempunyai teman yang sejak awal saya kenal selalu terlihat keren. Pakaian dan badan yang terurus, serta ponsel dan aksesoris seperti tas dan sepatu yang mengikuti tren masa kini. Jangan tanya ketika kami dulu berburu barang di mall ibukota, teman saya itu akan kalap dan pulang dengan menenteng kantong belanjaan yang tidak sedikit. Sekarang, setelah dia dikaruniai seorang bocah lelaki lucu berusia setahun, jika kami mampir ke mall, hal pertama yang akan dia lihat adalah toko baju dan peralatan bayi. Belum lagi kegiatan menelpon orang rumahnya sejam sekali untuk mengecek si kecil. Baju dan aksesoris yang dia kenakan memang masih terlihat bagus, namun tidak seheboh dulu. Ketika saya tanya alasannya, dia hanya menjawab dengan santai “Sayang ah boros buat gaya kalo sekarang mah, mending duitnya gw tabung buat pendidikan anak gw ntar”. Untuk orang yang dulu bisa menghabiskan kartu kredit sampai batas maksimal dalam semalam untuk acara diskon tengah malam di mall dan ratusan ribu untuk sekedar nongkrong di kafe kopi, itu jawaban yang fantastis!

para sahabat sejak jaman Meteor Garden ngehits yang sekarang sudah menjelma jadi para Ibu hebat


Ketika ada teman yang memuji “Lu jago bener masaknya sekarang. Kayaknya dulu cuma bisa masak aer deh? Demi apaan lu belajar masak? Demi cinta?”, saya pun hanya bisa menjawab dengan senyum meringis. Saya memang dulu hanya bisa memasak air, itu pun menggunakan kompor gas yang tidak perlu repot. Dulu, saat teman-teman lainnya sibuk belajar masak demi membuatkan kekasih hati mereka masakan yang enak-enak, saya adalah orang yang pertama kali akan menertawakan kebodohan mereka tersebut. Rasanya menjadi sebuah kekonyolan terhebat abad ini ketika kita harus bersusah payah untuk sesuatu yang mengatasnamakan “cinta”. Namun ketika ada salah seorang sahabat saya yang sedang ditugaskan keluar negeri menghubungi saya untuk minta tolong menanyakan resep masakan sayur yang biasa dibuat oleh mamanya, saya langsung tahu alasan yang kuat untuk saya belajar memasak dengan baik dan benar. Resep mamanya itu sederhana, resep sayur berkuah bening berbumbu biasa, bukanlah bumbu rumit seperti makanan khas Indonesia lainnya. Tapi di belahan dunia sana yang terpisahkan lautan, sahabat saya rela untuk membuat masakan sayur ala mamanya tercinta, demi mengobati rasa rindunya akan rumah, dan tiba-tiba itu menjadi cita-cita besar saya, belajar memasak agar kelak anak saya bisa mengingat keluarga dan tanah air tercintanya lewat masakan khas ibunya. Saya pun menemukan jawaban pertanyaan teman saya tadi yaitu “Demi cinta saya nanti sebagai seorang ibu”. Dan seketika, proses belajar memasak pun menjadi mudah dan menyenangkan, dan saya akhirnya berbaris dalam barisan “orang yang belajar memasak demi cinta”. Bah!!!

mama cantik yang sayurnya bikin kangen sampe benua Afrika :))



Sempat terpikir oleh saya untuk menjadi orang tua tunggal. Di beberapa negara maju, menjadi orang tua tunggal sudah banyak dilakoni oleh para perempuan tanpa harus takut mendapat julukan perempuan nakal tanpa suami. Niat yang akhirnya saya urungkan, mengingat saya pasti membutuhkan “rekan” dalam proyek membesarkan dan memelihara kawanan manusia yang kita sebut “keturunan penerus keluarga”. Saya pernah menemani seorang teman yang suaminya kerja diluar kota selama seminggu, sementara bayi mereka masih berumur tiga bulan. Setiap malam si bayi meraung dengan teriakannya yang sanggup membuat satu batalion tentara lari tunggang langgang. Ibu si bayi yang notabene teman saya, mencoba sabar dalam hal menenangkan bayi kesayangannya. Namun sang Ibu juga masih manusia, terkadang tiba saat dia merengut atau bahkan hampir menangis bersama si bayi, bukan karena mereka terlalu kompak berperan sebagai ibu dan anak, melainkan karena dia kesal dengan bayinya yang tak kunjung diam tanpa alasan yang jelas setelah diberi susu atau ditimang-timang, sementara waktu menunjukkan pukul setengah tiga pagi, dimana kuntilanak dan bencong berebutan untuk dinas malam. Betapa bahagianya teman saya ketika suaminya pulang, karena akhirnya mereka bisa kembali berbagi tugas dengan normal untuk mengurus si buah hati tercinta. Sungguh pengorbanan mulia yang tak ternilai di mata saya.

“Neng, kalau nanti sudah jadi Ibu, jadilah Ibu yang bisa jadi contoh yang baik buat anak-anaknya. Semua hal bisa dipelajari, namun yang paling penting, jadilah diri sendiri. Kenyamanan seorang Ibu, adalah kenyamanan seluruh keluarga”.

Nasehat Ibu siang itu, membuat saya tertegun. Deretan kalimat yang sarat makna yang keluar dari mulut seorang perempuan cantik yang telah melahirkan tiga lelaki hebat, salah satunya sahabat saya itu, berhasil mengalihkan perhatian saya dari telur balado diatas piring yang siang itu saya nikmati. Ibu juga merupakan salah satu figur yang masuk dalam daftar orang tua perempuan yang menginspirasi. Membesarkan tiga orang anak lelaki yang berbeda watak bukanlah hal yang mudah. Perut saya langsung mual membayangkan jika saya bertukar posisi dengan beliau dalam hal itu. Tiga tahun saya berkawan baik dengan putera tertuanya, membuat saya tahu persis, betapa susahnya mendidik anak multi talenta sekaligus multi keinginan ajaib seperti sahabat saya itu. Melihat pencapaian hebat sahabat saya sekarang, tentunya orang yang paling berjasa dibalik itu tidak lain dan tidak bukan adalah ibunya. Ibu yang selalu menyapa kami dengan “Pemuda Pemudi Harapan Bangsa”, Ibu yang selalu menangis jika anak-anaknya malas untuk beribadah, dan Ibu yang selalu tersenyum cerah ketika anak-anaknya melongok ke dalam kamar beliau dari balik pintu kamar hanya untuk sekedar menyapa Ibu mereka yang sedang asyik bekerja. Pernah Ibu bertutur lirih, buat orang tua seperti Ibu, tak perlu emas permata untuk menyenangkan hatinya. Beliau hanya berharap perhatian sederhana seperti pesan singkat yang dikirimkan atau telepon sekedar “Halo Bu, lagi apa? Udah makan?” oleh anak-anak kesayangannya, ditengah sibuknya aktifitas mereka. Menetes airmata saya mendengar penuturan Ibu, teringat perlakuan saya terhadap almarhumah Mama yang dulu minus. Jarang mengabari karena saya terlalu sibuk dengan dunia baru saya, ketika beliau sedang terbaring lemah, padahal justru orang yang sakit akan lebih mudah proses penyembuhannya ketika diberi perhatian dari orang-orang terkasih. Beruntunglah sahabat saya saat ini, masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk membahagiakan Ibunya di usia senja.

Ibu, duplikat malaikat di duia ketiga anak lelakinya



Predikat pahlawan tanpa tanda jasa memang adalah julukan untuk para guru, salah satu profesi favorit saya. Para Ibu di dunia ini adalah orang yang patut disebut guru yang menjadi suri tauladan untuk anak-anaknya sejak mereka kecil hingga dewasa. Ibu yang juga belajar pelajaran kehidupan melalui anak-anak mereka, melalui proses yang mereka jalani setiap hari. Bahkan ada lelucon yang mengatakan, menjadi ibu adalah merasakan surga dan neraka dalam waktu yang bersamaan. Salah satu mantan rekan sekantor yang sekarang memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga pernah bercerita tentang betapa kacaunya keadaan rumah jika ketiga bocahnya sedang beraktifitas. Dinding rumah yang penuh corat coret dan tangisan drama perkelahian ketiganya adalah hal biasa yang dia hadapi setiap hari. Belum lagi betapa repotnya jika mereka pergi liburan atau jalan-jalan. Ketika saya bertanya apa tips dan trik agar tidak mengidap penyakit darah tinggi atau kegilaan akut akibat menghadapi situasi-situasi seperti itu, teman saya itu hanya tersenyum dan menjawab “Nikmati saja. Ada saatnya anak-anakmu menjadi monster sekaligus perhiasan obat hati orang tuanya. Ketika mereka sedang lucu-lucunya, syukuri setiap detik yang kalian lalui bersama, sebab nanti kamu tidak akan sadar betapa waktu cepat berlalu dan tiba-tiba mereka telah beranjak dewasa dan memilih jalannya masing-masing dan meninggalkanmu sendirian”.



Saya pun semakin sadar, berperan sebagai orang tua, apalagi sebagai seorang Ibu bukan perkara yang gampang. Butuh kesabaran ekstra dan hati seluas samudera serta mental sekuat baja agar bisa bertahan memainkan peran yang hanya akan berakhir jika kita dipanggil oleh Sang Pencipta. Pepatah “Surga ditelapak kaki Ibu” tidaklah muncul secara tiba-tiba. Ibu ibarat malaikat berhati batu, siap memaafkan setiap kesalahan anaknya tanpa menyisakan dendam sedikit pun. Memberi tanpa mengharapkan pamrih, bersikap toleransi bahkan untuk kesalahan terpahit yang dilakukan oleh anak-anaknya. Mama saya, sampai akhir hayatnya pun masih harus “bertugas” mendidik dan memberikan daftar wejangan panjang agar kelak saya sebagai anak bisa berjuang sendiri di dunia yang keras ini. Seakan takut puteri bungsunya ini tidak bisa berkompetisi diluar sana. Mama juga merupakan panutan dasar untuk saya melangkah kedepan, sosok yang tidak pernah memaksa saya untuk jadi seperti yang dia pinta. Membiarkan sambil terus mengawasi kami bertumbuh dan berkembang sesuai jati diri masing-masing, adalah cara Mama dalam membesarkan saya dan kakak. Mama adalah profil perempuan kaum urban yang mendedikasikan dirinya untuk bekerja di sektor pemerintahan, membantu suaminya sekaligus sebagai ajang aktualisasi diri seorang perempuan yang hidup dijaman modern. Tokoh teladan berwatak tegas dan bertangan dingin yang akan saya jadikan contoh  ketika nanti  saya menyusun “buku pedoman dalam mendidik anak yang baik dan benar” yang akan saya terapkan di keluarga saya sendiri, yang saya sadari perlu banyak disempurnakan melalui berbagai pengalaman dan pengamatan.

mama, si perempuan mengagumkan


Seperti apapun sosok Ibu, mereka ibarat “perpustakaan” pertama bagi anak-anaknya. Bertugas mengajarkan anak berbicara, walaupun tahu persis kemungkinan buruk seperti kelak anak-anaknya akan menggunakan mulut mereka untuk melawannya. Mendedikasikan separuh umurnya di dunia untuk menjaga anak-anak yang kelak akan meninggalkan para Ibu dan pergi sesuai dengan takdir hidup mereka. Mungkin kalau sebagian besar perempuan menyerah untuk mengambil peran sebagai Ibu dikarenakan takut kejadian dongeng “Malin Kundang Anak Durhaka” menimpa mereka, maka populasi manusia (setidaknya di Indonesia) akan sama dengan tingkat populasi satwa langka seperti Harimau Sumatera. Menyedihkan.

Tuhan, sebagai hambamu yang kurang berprestasi sebagai mahluk ciptaanMu yang baik, saya hanya meminta hal yang tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin diberikan kesehatan dan umur yang panjang agar supaya saya bisa terus menjadi lentera dalam kehidupan anak-anak saya sampai mereka bisa bertarung menghadapi kejamnya dunia, diberikan kebijaksanaan dalam format yang mengikuti jaman agar saya bisa jadi Ibu yang mengagumkan setidaknya dikalangan anak-anak saya, dan terakhir diberikan talenta seperti para Ibu hebat lainnya, agar kelak, kemanapun anak-anak saya melangkahkan kakinya, mereka akan selalu teringat akan sosok saya dan dengan bangga mengatakan “Ibun apa kabar? Kami kangen Ibun”. Waktu akan menjawab, ketika saya tak lagi menggenggam erat tangan mereka, tapi tetap menggenggam erat hati mereka, dimanapun mereka berada.


“Do you know why Love is blind? Because your mother started Loving you before seeing you.” –Mother Theressa-


Mulai hari ini, saya akan mengganti cibiran sebal jika sahabat saya meledek “Dasar emak-emak bawel” dengan senyuman hangat yang tulus. Alih-alih melemparnya dengan sendal, mungkin tanggapan saya adalah mengaminkan “doa” tersebut. Saya menganggap itu doa positif dari orang yang mengidolakan ibunya lebih dari apapun di dunia ini. Menjadi seorang Ibu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri, bahkan oleh sosok perempuan modern seperti saya. Berkesempatan menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mendidik mahlukNya menjadi sosok yang berguna bagi sesama, merupakan anugerah yang tidak bisa ditukar dengan nominal berapa pun di dunia. Tidak ada cara baku untuk menjadi Ibu yang sempurna, tetapi selalu ada berbagai jalan untuk menjadi Ibu yang terbaik untuk anak-anaknya. Mudah-mudahan nanti, ketika saatnya tiba untuk saya menjadi seorang Ibu, saya berjanji akan jadi Ibu berjiwa metal berhati dangdut yang kreatif dan menyenangkan, menerapkan sistem unik untuk menjadi Ibu yang luar biasa untuk keturunan saya kelak. Selamat hari Ibu, untuk para Ibu, Mama, Mami, Bunda, dan para perempuan hebat yang telah, sedang, dan akan diberi tugas paling mulia oleh sang Pencipta. Semoga Tuhan selalu bersama kalian, para perempuan yang mengagumkan :’) 


kenarsisan calon Ibu metal \m/



Manado, 22 Desember 2013, 17:15 WITA

Teras rumah Papa, sambil menikmati syahdu hujan bulan Desember ^_^

04/11/13

Untukmu, Cintaku Diujung Waktu


Kemarin, ketika aku pulang untuk berlebaran dirumah papa, sekali lagu aku bertemu dengan wadah minuman bergambar Angry Bird berwarna kuning transparan yang kamu hadiahkan. Hadiah yang dibungkus dengan kertas kado bergambar peta dunia dan kompas berwarna coklat muda, seakan menggambarkan sosokmu yang lembut dan pengembara. Hadiah yang berpindah tangan terlambat dua hari dari hari ulang tahunku. Hadiah yang membuatku tertawa karena makna burung pemarah nan cerewet itu seakan menggambarkan sosokku dimatamu. Hadiah yang kamu tempeli secarik kertas berisi pesan singkat yang membuat pelupuk mataku seketika menghangat. Hadiah yang sengaja kubawa pulang, agar aku bisa mengingatmu ditanah kelahiranku. Hadiah yang sampai detik ini tak pernah kubuka plastik pembungkusnya, karena aku ingin mengabadikan jejakmu lewat si Burung Pemarah itu. 


si burung pemarah dan peta pengembara :')


Tulisan ini, kubuat ketika sinar mentari masih terlihat ketika aku melongok keluar jendela. Untukmu, tak perlu menunggu malam untuk sekedar menuliskan secarik kisah. Inspirasi tentangmu berlarian sepanjang waktu, seperti aku yang selalu melihatmu disetiap ciptaan Tuhan yang berlalu lalang disekitarku. Bangun pagi dibulan kesebelas dipenghujung tahun, bulan dimana kita sama-sama dilahirkan untuk meramaikan semesta, bulan yang selalu dihiasi hujan, sontak membuat pikiran melayang, menembus ruang, mencarimu disudut ingatan.

Mendengar nama unikmu, aku jatuh cinta. Kata pujangga, apalah arti sebuah nama. Tapi karenamu, aku bertekad nanti akan menamai keturunanku dengan nama yang akan selalu dikenang oleh orang-orang yang mengenal mereka. Nama yang sangat Nusantara, yang menandakan identitas kita kemanapun kaki melangkah. Katamu, sepenuh apapun cap dipasspor kita nanti, petugas berbagai bangsa akan langsung mengenali tanah air kita yang indah hanya dari melihat nama yang tertera. 
Melihat senyum teduhmu, aku jatuh cinta. Simpul bibir yang merekah perlahan, pemandangan langka yang kulihat sembunyi-sembunyi melalui sudut mata, ketika kita bergantian menyetir mobil, dimalam pertama kita berjumpa. Aku bahkan mengabadikan momen “permintaan pertemanan” yang kamu kirimkan malam itu juga di ponsel kuning kesayanganku, demi merasakan perasaan nyaman ketika melihat senyum itu lagi dimanapun, tanpa harus sembunyi seperti pencuri.

Kamu ibarat permen gulali, polos dan klasik, namun selalu berhasil memaniskan dunia. Khayalan liar kita yang terangkai melalui banyak celotehan dimalam panjang yang membuat aku tak lagi peduli dengan satuan waktu. Gambar dirimu yang bertopang dagu dilayar ponselku, selalu berhasil meminimalisir perasaan kalutku menghadapi ganasnya dunia. Pelukan menentramkan lewat media kata penuh cerita dan sorot mata selalu yang sama. Aku menjulukimu mentari yang bersahabat dengan bintang, bersinar dikala malam, terang tanpa harus berselisih paham. Menghangatkan dinginnya suasana dengan pijarmu yang tidak biasa, karena dari dulu kamu selalu mengatakan menjadi seragam itu membosankan. Seperti cintaku yang sejak awal sudah terkatakan, dan kamu tak pernah menganggapnya hina. Buatmu, cinta itu bahan bakar kehidupan fana, merasakannya adalah sebuah anugerah, mendapatkannya bukanlah sebuah bencana.

Kamu tidak suka memotret manusia, pun menulis tentang mahluk Tuhan yang (katanya) paling sempurna. Bertolak belakang denganku yang suka sekali dengan tema itu. Katamu ciptaan Tuhan itu tak lagi elok jika terlalu sering diumbar. Sejak dulu aku ingin sekali memotretmu memakai kemeja kotak-kotak kegemaranmu. Kesederhanaan penampilan yang menjadi ciri khasmu, telah lama ingin kuabadikan lewat tulisan. Aku pernah berkelakar, tentang ide menempatkan gambar dirimu didompetku, sebagai obat rindu. Delikan mata penuh murka darimu, kubalas dengan lantangnya suara tawa, luapan kegembiraan yang sukar kutahan.

Kepadamu, pengembara bangsaku, mohon ijinkanku merangkai sedikit kenangan. Maaf jika namamu tidak kucantumkan disini. Kearifan sosokmu tak butuh dipamerkan, seperti kisahmu yang selalu menjadi misteri bagi seorang perempuan yang dulu pernah larut dalam malam-malam penuh impian. Sebab bukan asmara yang menjadi latar kisah kita, melainkan romansa perjumpaan dua anak manusia yang dirangkai menjadi drama satu babak oleh Sang Sutradara Kehidupan.

Aku cari kamu disetiap malam yang panjang. Aku cari kamu disetiap bayang kau tersenyum. Kucari kamu dalam setiap jejak. Seperti aku yang menunggu kabar dari matahari” *Kucari Kamu – Payung Teduh*

Teruslah berkarya, duhai lelaki mengagumkan. Lihatlah dunia melalui mata elang dan lensa yang selalu kamu banggakan itu. Kabarkan cerita tentang ujung cakrawala melalui kicauan pena yang menjadi senjata andalanmu. Selamat Bertambah Usia, wahai lelaki pemetik mimpi. Dariku, hanyalah seuntai doa dan sejuta rasa cinta, agar kamu tetap sehat dan bahagia. 


Jakarta, 4 November 2013 17:11 WIB

Duduk manis di cafe kopi, tanpa memesan semua hal yang berbau kopi.

03/11/13

Soputan, Karena Bahagia Itu Sederhana

Gunung dan Pencinta(alam)nya


“Nta, kamu jadi gak ikut anak-anak mendaki Soputan?”

Bunyi watsap Ican, sahabat nyentrik yang sedang keliling Indonesia dan kebetulan sempat menginap dirumah papa saya di Manado, waktu Lebaran kemarin. Berondongan watsap yang saya terima diatas tempat tidur ketika jam diponsel menunjukkan pukul dua siang itu membuat saya galau. Ican, yang saat itu sudah berada di Ternate, mengusik tidur siang saya yang indah dengan menanyakan kepastian saya untuk mendaki Soputan, salah satu gunung di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia disana. Ican memang tidak setengah-setengah dalam meracuni saya untuk mencoba kegiatan mengguncang adrenalin yang selalu saya hindari ketika berada di ibukota.

Saya memang senang jalan-jalan, datang ke tempat baru yang asing, sekedar untuk menikmati suasana tanpa pemandangan gedung pencakar langit, melarikan diri dari hiruk pikuk ibukota. Namun semua orang yang mengenal saya, pasti tau persis kalau saya seorang pencinta lautan. Istilah kerennya, anak pantai. Gunung, adalah hal tabu bagi saya. Dulu saya main ke gunung sewaktu jaman masih berseragam putih abu-abu, itu pun demi keperluan organisasi pencinta alam ketika saya menjabat sebagai pengurus, juga demi menarik simpati seorang kakak mahasiswa yang waktu itu jadi pembina disekolah kami, hahaha. Selain perjalanan menuju kesana yang membutuhkan ekstra perjuangan dan tenaga, letak gunung yang berada dekat dengan langit itu membuatnya bersuhu dibawah normal alias dingin, dan saya benci dingin!!! Dingin berarti malapetaka bagi saya yang bertubuh ringkih dan selalu didatangi berbagai penyakit ketika berada disuhu tersebut. Kesimpulannya, perjalanan ke gunung itu bukan liburan, karena saya hanya akan menyusahkan diri sendiri dan rekan seperjalanan.

Jangan ditanya tentang kesiapan perlengkapan saya untuk mendaki Soputan. Keputusan berangkat atau tidak saja baru bisa saya ambil beberapa menit setelah membalas “iya, kayaknya aku ikut” ke ponsel Ican, sementara rencana keberangkatan sekitar jam lima sore, sesuai dengan kesepakatan awal. Setelah berpikir “Kapan lagi bisa merayakan hari kemerdekaan Indonesia diatas gunung, toh tahun depan belum tentu kamu bisa bebas kayak sekarang Shin”, saya pun mengeluarkan ransel kuning kesayangan, hadiah ulang tahun dari sahabat saya di Jakarta, mengisinya dengan pakaian yang cukup untuk menginap tiga malam, alat mandi, serta menyediakan ruang kosong yang cukup banyak untuk mengisinya dengan bekal makanan yang belum juga saya beli disupermarket, seperti persiapan yang lazim dilakukan oleh para pendaki gunung yang sudah terbiasa.

Tidak biasanya saya tidak siap ketika akan melakukan sebuah perjalanan. Saya selalu bersemangat ketika hendak ke tempat baru yang belum pernah saya kunjungi. Jujur,ada perasaan kurang bersemangat yang saya rasakan saat itu, mungkin karena waktu itu keadaan hati sedang tidak stabil dan saya sendiri sudah lama tidak melakukan perjalanan dalam rangka liburan (isi otak saya beberapa bulan belakangan memang hanya ada kerja dan kerja). Entah apa yang merasuki otak saya ketika akhirnya saya memberanikan diri untuk menerima tantangan sahabat saya itu. Saya adalah manusia yang sangat mempercayai intuisi, dan hari itu ada perasaan sangat kuat yang membuat saya memutuskan untuk menghubungi Ikar, salah seorang anggota mapala yang direkomendasikan Ican, menyatakan saya siap untuk ikut rombongan mereka mendaki hari itu. Rencananya, kami akan naik truk bersama dengan teman-teman Ikar yang tergabung dalam organisasi Mapala Pah’yaga’an Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) lainnya yang akan turut merayakan hari kemerdekaan di Soputan. Ketika sedang bersiap-siap, tiba-tiba saya ditelpon oleh salah seorang rekan kerja, lagi-lagi masalah pekerjaan, dan membuat saya hampir membatalkan niat mendaki malam itu. Saya akhirnya menelpon Ikar, meminta maaf karena saya tidak bisa ikut dengan rombongan yang akan berangkat sore hari karena tanggung jawab pekerjaan yang harus saya selesaikan hari itu juga, sambil bertanya bagaimana caranya untuk bisa menyusul sendirian kesana. Ikar, yang mungkin masih waras dan tidak akan membiarkan saya yang sok tahu ini mati konyol dengan ide itu, akhirnya memutuskan kami menyusul saja pada malam hari, setelah pekerjaan saya selesai. Horee!!!
 
Perlengkapan saya ke gunung malam itu membuat Ikar tertawa. Betapa tidak, malam itu saya mengenakan celana legging ketat bergambar akar-akar dan bunga mawar, sandal karet berlambang buaya yang anti air berwarna oranye terang, kaus lengan panjang model kerah tinggi plus syal yang saya lilit dileher serta ransel kecil yang penuh berisi makanan ringan, kamera, sarung plus dua buah jaket serta sepasang kaus tangan dan kaus kaki (Ican mewanti-wanti saya tentang alergi dingin yang saya derita). Penampilan yang katanya hanya cocok untuk jalan-jalan ke mall. Tanpa sepatu gunung, tanpa senter (konyol karena kami akan mendaki tengah malam), dan tanpa peralatan mendaki lainnya. Sambil mengamati Ikar mengemasi barang-barangnya, saya pun hanya menyimpan dalam hati kegalauan saya ketika menyadari bahwa saya lupa membawa obat alergi dan persediaan obat cidera lutut. Saya hanya tidak mau menambah kekhawatiran calon teman perjalanan saya yang malam itu tampak siap dengan tenda, senter, kamera, serta beberapa perlengkapan lainnya (Ikar bahkan menyiapkan kantung tidur terwangi seumur hidup buat saya,haha).

Setelah menunggu hampir dua jam di sekretariat Pahyagaan, mengawasi Ikar yang hilir mudik berkemas, memastikan kelengkapan kami, akhirnya saya dan Ikar berangkat menggunakan sepeda motor, tepat jam satu tengah malam, setelah terlebih dahulu berdoa bersama sebelum berangkat yang dipimpin oleh seorang senior di Pahyagaan (saya selalu salut dengan kebiasaan mereka berdoa sebelum berangkat). Perjalanan malam yang tadinya menyiksa karena hawa dingin yang menusuk tulang, lumayan terobati dengan celotehan Ikar yang tak jarang membuat saya terbahak ditengah jalan. Perlahan, kekhawatiran saya mengenai perjalanan ke gunung kali ini memudar, seiring dengan obrolan kami sepanjang perjalanan. Kami sempat memutar arah beberapa kali ketika mencari rombongan mapala Aesculap (mapala Fakultas Kedokteran Unsrat) yang malam itu juga menyusul mendaki Soputan. Ikar yang ternyata juga belum pernah mendaki Soputan melalui jalur desa To’ure, tampak tenang dan terus menghubungi Rifa, ketua rombongan Aesculap. Setelah akhirnya bertemu mereka, yang ternyata semuanya lelaki (dan entah kenapa saya sangat bersyukur ketika itu, menyadari saya bertemu dengan empat calon dokter yang pasti siap sedia dengan obat-obatan plus keahlian mereka bilamana saya semaput ditengah jalan), kami pun melanjutkan perjalanan ke Soputan menggunakan motor, yey!

Mimpi tinggal mimpi, ketika akhirnya sepeda motor yang dikendarai Rifa dan Bryan yang berada didepan kami berhenti dan mereka terlihat hendak memarkirnya. Saya yang dalam hati bersukaria membayangkan perjalanan yang mudah karena menggunakan sepeda motor, langsung loyo menyadari kenyataan kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Untung saat itu gelap dan satu-satunya sumber penerangan kami hanya senter yang ada dikepala lima lelaki didepan saya, agak memalukan jika mereka bisa melihat dengan jelas raut muka pucat pasi saya yang membayangkan perjalanan mendebarkan (dan yang pasti sangat melelahkan) yang akan kami mulai malam itu. Berbagai pikiran ngawur menghampiri otak saya. Bagaimana kalau saya terpeleset dan jatuh ke jurang? Bagaimana kalau diatas sana ada harimau yang akan memangsa saya yang kegendutan setelah kalap memakan semua hidangan Lebaran kemarin? Bagaimana kalau ternyata diatas ada psikopat yang berniat menghabisi kami para pendaki satu persatu dengan tombak?  Terima kasih Tuhan, terkadang dikaruniai daya imajinasi berlebihan itu sangat tidak membantu dalam situasi seperti ini. Namun, melihat Ikar yang dengan cekatan memakai senter kepala, mengatur tas dipunggung saya agar nyaman, dan hal-hal lain dengan teliti, serta melihat senyum ramah keempat calon dokter yang bahkan belum berkenalan dengan saya waktu itu, saya menguatkan hati saya, dan mengusir semua imajinasi liar tadi. Saya yang hanya berbekal senter korek api gas yang dibeli Ikar dalam perjalanan, disuruh berjalan diposisi ketiga, diapit oleh mereka berlima yang berjalan didepan dan dibelakang saya. Cahaya senter korek api yang seadanya, membuat saya harus ekstra hati-hati pun sukses membuat saya berjalan tertatih-tatih karena beberapa kali terantuk batu dihadapan saya. Baru berjalan sepuluh menit, napas saya sudah turun naik seperti habis lari keliling lapangan bola tujuh kali. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” milik Ican yang biasanya menjadi mantra ajaib saya ketika berada dalam kondisi memprihatinkan, agaknya tidak mempan malam itu. Ikar yang kasihan melihat kondisi saya, memberikan senter dikepalanya untuk saya pakai, dan menyuruh rombongan Aesculap untuk berjalan saja lebih dulu tanpa harus menunggu kami. Sesampainya diketinggian tertentu, saya sedikit terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan oleh cahaya lampu yang berasal dari deretan kampung dikaki gunung Soputan yang malam itu tampak indah sekali. Saya yang tadinya berceloteh sendiri sepanjang perjalanan, mulai berdiam diri, menyadari kegiatan itu hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia. 

Sepanjang perjalanan, saya terus merutuki Ican sahabat saya, karena telah berhasil menghasut saya untuk melakukan kegiatan pendakian itu. Saya bersumpah akan meninju si lelaki cantik itu kalau nanti saya menyambangi studionya di Bandung. Ikar pun terus menyemangati saya dengan kalimat-kalimat ala motivator pembangkit semangat. Saya kesal dengan kalimat “Dikit lagi, udah dekat banget” yang selalu dia ulang setiap lima puluh meter kami berjalan, tapi kenyataannya kami tak kunjung tiba. Ditengah perjalanan menuju pos Pinus Satu, kami mendengar suara ribut-ribut. Ikar langsung berjalan mendahului saya dan menyuruh saya untuk berhenti sejenak agar dia bisa bertanya kearah pondokan yang terdengar ramai tadi. Ternyata disitu ada beberapa pendaki senior yang membawa serta keluarga kecilnya untuk turut merayakan peringatan hari kemerdekaan di Soputan. Saya tertegun mendengar penuturan Ikar tentang kebiasaan para pendaki senior itu, yang ternyata setiap tahun selalu membawa keluarga mereka untuk menghadiri upacara 17-an digunung. Teringat kata-kata Ican dulu, bahwa nanti kalau dia menikah dan punya anak, dia ingin membawa keluarga kecilnya untuk mendaki gunung, sama seperti saya yang ingin membawa anak saya nanti berenang dilaut dan berkemah ditepi pantai. Kami sesama petualang punya impian yang sama, ingin mengenalkan alam sejak dini kepada keturunan kami kelak. 

upacara 17-an pertama seumur hidup yang membuat saya nangis terharu,hahaha

Sesampainya kami di Pinus Dua, saya langsung merebahkan badan diatas rumput sambil menutup mata sepersekian detik karena kelelahan. Ketika saya membuka mata, saya melihat banyak sekali bintang dilangit, disela-sela pohon pinus diatas saya. Entah karena faktor kelelahan atau terharu, tidak terasa airmata saya mengalir melihat pemandangan itu. Seketika saya merasa sangat kecil dihadapan Sang Pencipta keindahan. Sebuah ungkapan syukur pertama sejak saya menginjakkan kaki disana. Alhamdulillah. Ikar pun memberitahu bahwa medan selanjutnya berair karena kami akan melewati sungai berarus sedang. Saya pun tetap memakai sandal buaya karet yang konyol itu, tetapi melepas kaus kaki yang tadinya saya pakai. Saya teringat hanya membawa satu celana panjang, yang saat itu sedang dipakai (saya akhirnya memakai celana dua lapis, mengingat suhu gunung yang tidak bersahabat). Dengan berat hati dan menahan malu, saya pun melepas celana panjang yang saya kenakan, dan hanya memakai legging bermotif memalukan itu, demi menjaga celana panjang saya tetap kering, mengingat saya lebih membutuhkannya ketika nanti tidur diatas gunung yang berhawa mematikan (buat saya). 

Ternyata saya memang anak air!!! Melewati medan berair selama hampir sejam, pada waktu hampir menunjukkan pukul empat subuh, saya malah seperti disuntikkan suplemen penambah energi. Semangat saya bertambah berkali lipat melewati sungai kecil yang kadang jernih kadang berlumpur itu. Tak ada rasa lelah sama sekali, hanya perasaan riang ketika kaki lagi-lagi menyentuh air sungai. Saya bahkan menolak ketika Ikar menyuruh saya memilih jalur disamping sungai yang kering. Ikar hanya tersenyum melihat kelakuan saya yang seperti anak kecil bermain-main dengan air sungai pada jam ayam jago bersiap untuk dinas pagi. Ketika kami beristirahat sejenak sebelum mencapai lokasi perkemahan, kami bertemu dengan beberapa pendaki, yang beberapa anggotanya juga wanita. Mereka melihat celana legging saya dengan takjub. Melihat itu, saya bertanya pada Ikar apakah dia tidak malu ketika berjalan dengan saya yang berdandan ajaib kala itu, dan jawaban ngawurnya membuat saya ingin terbahak namun terpaksa menahannya karena tidak ingin mengusik “penghuni” gunung dengan suara tertawa saya yang lantang. “Aku juga terkadang memakai legging panjang kok kalo ke gunung, kan yang penting keselamatan, daripada kaki tergores dimana-mana, makin susah jalannya kalau luka”. Membayangkan Ikar yang bertampang ala tentara Mongolia kelebihan berjemur, rambut gondrong diikat ala samurai, dan bercelana legging ala Cherrybelle, membuat saya hampir terjungkal ke sungai karena menahan luapan tertawa.

Setiba dilokasi perkemahan, saya terkejut melihat banyaknya tenda yang sudah terlebih dahulu didirikan disana. Suasana yang lebih mirip perumahan subsidi pemerintah daripada lokasi perkemahan, saking banyaknya tenda disitu. Warna warni tenda-tenda tersebut seperti menggambarkan Indonesia yang juga terdiri dari beragam suku, yang membuat negara ini semakin semarak dengan keberagaman yang ada. Saya yang melihat pemandangan itu langsung antusias membayangkan keseruan upacara kami pada pukul sepuluh pagi nanti. Rifa yang ternyata lumayan terkenal dikalangan anak pendaki, langsung menyapa kanan kiri, layaknya pak Lurah yang sedang menyambangi warganya. Lain dengan Ikar yang waktu itu langsung mencari lokasi tempat teman-teman sesama mapala Pah’yaga’an yang telah terlebih dahulu berangkat sore kemarin. 

warna warni tenda "Nusantara"


Sesuatu yang menyenangkan memang membuat kita bisa lupa akan keadaan. Waktu hanya kumpulan angka yang tidak terlalu dipedulikan. Tiga hari dua malam saya habiskan waktu bersama para pendaki di Soputan. Derai tawa dan candaan mengalir lepas diantara kami, membuat saya tetiba dirasuki perasaan nyaman. Kegiatan mendaki puncak Soputan yang melelahkan (dan membuat saya berjanji untuk lebih rajin olahraga), serta masak memasak dan bersenda gurau didepan api unggun, menihilkan perasaan stres akut yang melanda pikiran. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” dan “Edelweiss” karya Ican pun selalu didendangkan disana, diiringi petikan gitar mini kesayangannya yang sengaja dititipkan kepada para “keluarga” barunya di Manado, menemani saya yang menikmati hamparan bintang yang terasa dekat ketika berada diatas gunung. 

Api Unggun, dapur dan ruang keluarga bagi para pendaki :')


Saya terharu melihat rasa persaudaraan para pencinta alam yang kuat selama saya berada disana. Rasa solidaritas yang terlihat nyata dihadapan saya, keramahan yang tidak dibuat-buat, kebaikan tanpa tendensi apa-apa, tanpa harus memperhitungkan untung rugi seperti yang kerap terjadi dikota-kota besar. Mereka menghargai alam dengan tulus, tertawa dan bergembira bersama sesama pencinta alam yang baru mereka temui diatas gunung, pemandangan tak ternilai yang jarang saya lihat di ibukota, dimana manusia dinilai berdasarkan latar belakang serta tingkat ekonomi mereka. Aroma kopi dan mie instan, santapan sederhana yang menjadi mewah karena disantap dengan rasa kebersamaan yang indah. 

rombongan pengacau Soputan :')

Mungkin memang saya harus sering-sering naik gunung. Aura positif yang saya bawa dari Soputan, membuat saya sedikit lebih santai dalam menjalani hidup. Melihat segala sesuatu itu dari berbagai sisi, menghargai setiap langkah yang saya capai setiap hari, memaknai setiap peristiwa yang terjadi. Mensyukuri sekecil apapun nikmat dan karunia Pencipta yang selama ini kurang saya maknai. Bahkan sepulangnya dari gunung Soputan, saya yang dijuluki “shio bantal” karena selalu gagal bangun pagi, bisa menikmati hangatnya mentari pagi karena selalu sukses terjaga setiap jam enam pagi.

“Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahi dan jangan pernah takut melangkah, hanya karena dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya” –Soe Hok Gie-

“Cieee….yang baru turun gunung. Jadi udah menemukan tempat untuk pulang nih sekarang?” ledek Ican ketika saya menelpon bocah sableng itu, sepulangnya saya dari Soputan. Ingin rasanya saya menimpuknya dengan sendal, sekaligus memeluknya sampai dia terbatuk-batuk, sebagai ganjaran karena memaksa saya “mengenal” gunung. Ikatan persahabatan yang membuatnya mengenal saya dengan baik, menjadi dasarnya dalam memaksa saya untuk belajar tentang makna hidup melalui hal yang saya anggap mustahil sebelumnya. Gunung dan pencintanya, mengobati luka saya yang menganga tentang kehidupan. Mengajari saya bahwa mengejar suatu keinginan yang besar itu memang tidak mudah, namun setidaknya itu bernilai pada akhirnya. Kita akan bertumbuh dewasa, ketika kita merubah presepsi tentang hal yang tadinya kita anggap susah. Ternyata, bahagia itu sederhana.

Jakarta, 3 November 2013 20:20 WIB

Diatas kasur kamar tercinta, ketika jemari menari ditemani suara merdu sang sahabat yang sedang onair di radio internet mempromosikan lagu single terbarunya. 

karena bahagia itu sederhana