04/11/13

Untukmu, Cintaku Diujung Waktu


Kemarin, ketika aku pulang untuk berlebaran dirumah papa, sekali lagu aku bertemu dengan wadah minuman bergambar Angry Bird berwarna kuning transparan yang kamu hadiahkan. Hadiah yang dibungkus dengan kertas kado bergambar peta dunia dan kompas berwarna coklat muda, seakan menggambarkan sosokmu yang lembut dan pengembara. Hadiah yang berpindah tangan terlambat dua hari dari hari ulang tahunku. Hadiah yang membuatku tertawa karena makna burung pemarah nan cerewet itu seakan menggambarkan sosokku dimatamu. Hadiah yang kamu tempeli secarik kertas berisi pesan singkat yang membuat pelupuk mataku seketika menghangat. Hadiah yang sengaja kubawa pulang, agar aku bisa mengingatmu ditanah kelahiranku. Hadiah yang sampai detik ini tak pernah kubuka plastik pembungkusnya, karena aku ingin mengabadikan jejakmu lewat si Burung Pemarah itu. 


si burung pemarah dan peta pengembara :')


Tulisan ini, kubuat ketika sinar mentari masih terlihat ketika aku melongok keluar jendela. Untukmu, tak perlu menunggu malam untuk sekedar menuliskan secarik kisah. Inspirasi tentangmu berlarian sepanjang waktu, seperti aku yang selalu melihatmu disetiap ciptaan Tuhan yang berlalu lalang disekitarku. Bangun pagi dibulan kesebelas dipenghujung tahun, bulan dimana kita sama-sama dilahirkan untuk meramaikan semesta, bulan yang selalu dihiasi hujan, sontak membuat pikiran melayang, menembus ruang, mencarimu disudut ingatan.

Mendengar nama unikmu, aku jatuh cinta. Kata pujangga, apalah arti sebuah nama. Tapi karenamu, aku bertekad nanti akan menamai keturunanku dengan nama yang akan selalu dikenang oleh orang-orang yang mengenal mereka. Nama yang sangat Nusantara, yang menandakan identitas kita kemanapun kaki melangkah. Katamu, sepenuh apapun cap dipasspor kita nanti, petugas berbagai bangsa akan langsung mengenali tanah air kita yang indah hanya dari melihat nama yang tertera. 
Melihat senyum teduhmu, aku jatuh cinta. Simpul bibir yang merekah perlahan, pemandangan langka yang kulihat sembunyi-sembunyi melalui sudut mata, ketika kita bergantian menyetir mobil, dimalam pertama kita berjumpa. Aku bahkan mengabadikan momen “permintaan pertemanan” yang kamu kirimkan malam itu juga di ponsel kuning kesayanganku, demi merasakan perasaan nyaman ketika melihat senyum itu lagi dimanapun, tanpa harus sembunyi seperti pencuri.

Kamu ibarat permen gulali, polos dan klasik, namun selalu berhasil memaniskan dunia. Khayalan liar kita yang terangkai melalui banyak celotehan dimalam panjang yang membuat aku tak lagi peduli dengan satuan waktu. Gambar dirimu yang bertopang dagu dilayar ponselku, selalu berhasil meminimalisir perasaan kalutku menghadapi ganasnya dunia. Pelukan menentramkan lewat media kata penuh cerita dan sorot mata selalu yang sama. Aku menjulukimu mentari yang bersahabat dengan bintang, bersinar dikala malam, terang tanpa harus berselisih paham. Menghangatkan dinginnya suasana dengan pijarmu yang tidak biasa, karena dari dulu kamu selalu mengatakan menjadi seragam itu membosankan. Seperti cintaku yang sejak awal sudah terkatakan, dan kamu tak pernah menganggapnya hina. Buatmu, cinta itu bahan bakar kehidupan fana, merasakannya adalah sebuah anugerah, mendapatkannya bukanlah sebuah bencana.

Kamu tidak suka memotret manusia, pun menulis tentang mahluk Tuhan yang (katanya) paling sempurna. Bertolak belakang denganku yang suka sekali dengan tema itu. Katamu ciptaan Tuhan itu tak lagi elok jika terlalu sering diumbar. Sejak dulu aku ingin sekali memotretmu memakai kemeja kotak-kotak kegemaranmu. Kesederhanaan penampilan yang menjadi ciri khasmu, telah lama ingin kuabadikan lewat tulisan. Aku pernah berkelakar, tentang ide menempatkan gambar dirimu didompetku, sebagai obat rindu. Delikan mata penuh murka darimu, kubalas dengan lantangnya suara tawa, luapan kegembiraan yang sukar kutahan.

Kepadamu, pengembara bangsaku, mohon ijinkanku merangkai sedikit kenangan. Maaf jika namamu tidak kucantumkan disini. Kearifan sosokmu tak butuh dipamerkan, seperti kisahmu yang selalu menjadi misteri bagi seorang perempuan yang dulu pernah larut dalam malam-malam penuh impian. Sebab bukan asmara yang menjadi latar kisah kita, melainkan romansa perjumpaan dua anak manusia yang dirangkai menjadi drama satu babak oleh Sang Sutradara Kehidupan.

Aku cari kamu disetiap malam yang panjang. Aku cari kamu disetiap bayang kau tersenyum. Kucari kamu dalam setiap jejak. Seperti aku yang menunggu kabar dari matahari” *Kucari Kamu – Payung Teduh*

Teruslah berkarya, duhai lelaki mengagumkan. Lihatlah dunia melalui mata elang dan lensa yang selalu kamu banggakan itu. Kabarkan cerita tentang ujung cakrawala melalui kicauan pena yang menjadi senjata andalanmu. Selamat Bertambah Usia, wahai lelaki pemetik mimpi. Dariku, hanyalah seuntai doa dan sejuta rasa cinta, agar kamu tetap sehat dan bahagia. 


Jakarta, 4 November 2013 17:11 WIB

Duduk manis di cafe kopi, tanpa memesan semua hal yang berbau kopi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar