08/07/12

Normal dan Luar Biasa (Sebuah Cerita di Minggu Sore Hujan)

Sore hari saya yang indah (mengapa indah, karena saya menjalaninya diatas sofa teras rumah, ditemani hujan dan susu coklat panas), tiba-tiba dikacaukan dengan sebuah pesan singkat di telepon genggam yang sedang tergeletak tenang disamping saya. Bunyinya kira-kira begini,

"Oiitt...udah balik Jekardah belom lu? Kemarin gw ketemu temen baek lu yang gaul gila itu di GI. Makin ganteng aja, sayang kelakuannya makin gak bener. Btw, lekongnya kali ini cakep akut"

Saya pun mengernyit, hmmm...sore hujan tenang beraroma gosip, bukanlah perpaduan harmonis untuk ketenangan jiwa yang sedang galau (halah). Saya lalu menjawab smsnya (karena saya malas mengunduh program Whatsup, dan dia malas menggunakan blacberry, jadilah kami kembali ke jaman romantis ketika sms menjadi penghubung yang manis kala itu) seperti ini:

"Oh...iya kali,pacar barunya. Hehe,lucky him,rite ;)"

Mungkin karena jawaban saya yang terlalu pendek dan mencerminkan "halo-guweh-gak-peduli-ama-gosip-lu-terimakasihbanyak", dia lalu melanjutkan dengan membalas:

"Ih cyin, pendek amat balesnya. Gw kan say hello geto, trus tu cowo senyum donk ama gw. Duh, sayang yah, cakep-cakep homo. Otaknya pada kemana yak, gak liat apa kita-kita pada cantik begini"

Terusik saya membaca pesannya kali ini. Maunya apa sih?! Kenal sahabat saya itu pun tidak kenal dekat, mana mungkin dia bisa mengukur kapasitas otak sahabat saya dan pasangannya itu dengan hanya melihat dari luar. Dengan sedikit emosi (tuh kan, maksud dan tujuan saya berleha-leha menikmati hujan luntur sudah), saya pun membalas:

"Apaan nih ngomongin otak orang? Lagian mo lu cantik macem Kim Kardasian juga kalo dia lebih doyan ama Channing Tatum, lu bisa apa? Ya udah sih, terima nasib aja kalo lu cewe jomblo, dan temen gw yang COWO GANTENG itu bisa dapetin COWO SPEKTAKULER lain buat digandeng di mall. Eniwe, kemarin dia ngenalin ke gw cowo blasteran Jepang sih, mungkin itu maksud lu yang ketemu semalam? ;) "

Menurut beberapa tontonan motivasi positif maupun berbagai buku dari berbagai motivator pembersih jiwa (dan pencuci otak menurut saya), memang tidak benar untuk meluapkan amarah secara langsung tanpa berpikir matang terlebih dahulu, apalagi ketika kemungkinan dia, si tempat pelampiasan, tidak terlalu kompeten untuk "dianugerahi" itu, namun puas rasanya menikmati sensasi seperti yang barusan saya rasakan tadi. Jujur, saya mulai merasa tidak nyaman saat menerima sms dari teman tersebut, dan anehnya tidak ada perasaan bersalah ketika saya sedikit membentak dia dalam balasan sms saya tadi. Orang yang dia bicarakan itu salah seorang yang saya kenal di Jakarta, dan seiring berjalannya waktu, dalam proses pencarian makna hidup disana, dia merupakan salah seorang yang saya klasifikasikan dalam kelompok "sahabat dan keluarga".

Makanya saya heran ketika sudah menerima kata-kata lumayan tajam nan menyindir, tetap masuk lagi pesan dengan nada seperti ini:

"Doelah santai jeng. Apa coba namanya kalo punya otak, tapi kelakuannya kayak gitu. Mereka sih gak mesra didepan umum, tapi anak kecil juga tau kalo mereka itu gak normal. Gw sih males yah punya temen kayak gitu, mending gw jauh-jauh, daripada gw masuk neraka".

Ok, habis sudah kesabaran saya. Pupus sudah harapan menikmati buliran air hujan yang menciptakan simponi syahdu. Bahkan sejuknya udara dikala hujan itu tidak mampu meredakan panasnya hati dan kepala saya demi membaca pesan kurang ajar dari orang yang tadinya saya kira teman, sesosok orang seperti yang saya ketahui notabene lulus dari salah satu universitas terkenal di Jakarta, tapi ternyata pemikirannya masih sedangkal comberan mampet didepan rumah saya.

Jemari saya pun menari, sebuah tarian penyampai pesan, pengganti orkestra cacian pedas yang akan berasal dari mulut saya, seadainya kami berhadapan secara langsung, akan saya nyanyikan tanpa mempedulikan tata bahasa dan intonasi yang dihasilkan. Kata-kata yang sumbernya berasal dari hati saya yang tidak kuasa menahan amarah, dan mata yang tak kuasa menahan derainya.

"Hey, gw gak peduli ya, lu tuh keluaran pesantren mana, ato mungkin berdoa berlutut dua puluh empat jam tiap hari, tapi setau gw, surga itu juga gak nerima orang-orang yang mulutnya gak pernah sekolah macem lu. Dan asal lu tau, otak sobat gw itu dipake buat nolongin penduduk miskin di seantero Indonesia, dan kalo lagi di Jakarta, bukannya sibuk dugem ngamburin duit bokap kayak lu, otaknya itu sibuk berbagi ilmu ke anak-anak kurang mampu ditempat pembuangan sampah, yang baunya nggak lebih bau daripada mulut sampah lu itu."

Masih belum puas melontarkan isi hati dan pikiran (dan sialnya karakter huruf di telepon genggam saya juga habis), saya pun melanjutkan sms kedua dan ketiga saya:

"Yang jelas, si Jepang aduhai yang cakep gila itu, sangat beruntung karena kenal ama sobat gw. Karena selain bermuka bersih licin ala salju Swiss, hatinya lebih bersih daripada muka palsu perawatan mahal lu itu. Jadi, simpan opini otak picik lu itu, yang walopun kepala luarnya tiap hari dicuci sampo wangi, tapi isinya tetap gak lebih bersih dari selokan pasar induk. Jangan salahin takdir kalo muka cantik lu itu gak laku darling, tapi salahin kaca dikamar lu, yang gak pernah ngomong jujur ama mahluk gak punya hati kayak lu."

"Dan oh yah, mending lu cari kerjaan yang lebih ngasilin duit biar lebih mampu jalan-jalan untuk normalin pikiran, karena dibanding sobat gw yang kerjaannya sejak kuliah udah bisa ngebiayain dia dan keluarganya, dan keliling dunia tentunya, karyawan gaji buta macem lu gak ada apa-apanya. Well, kalo sekarang lu lowong, daripada duduk diantrian dokter gigi ato nyalon, sekali lagi pake duit ortu lu, dan iseng ngirimin gw sms gak penting tentang menghina kehidupan sobat gw dan bagaimana gw harus bersikap terhadap dia dan pasangannya, mending lu ke dokter saraf, atau ahli jiwa skalian"

Kali ini, sampai detik saya menuangkan kekesalan dalam bentuk tulisan ini, tidak ada lagi balasan yang datang dari si jalang bermulut lancang itu. Saya juga tidak peduli, apakah dia sudah menghapus nama saya di daftar kontak telepon genggamnya, atau menghapus saya dari daftar situs jejaring sosial miliknya, saking terkejut dengan pesan balasan saya yang cukup panjang dan (mudah-mudahan) memberi dia sedikit pelajaran hari ini.

Sungguh menyedihkan, ternyata saya harus mengetahui perilaku salah seorang kenalan saya melalui kejadian konyol nan fantastis seperti ini. Tapi apabila saya harus memilih, seribu kali saya akan bersujud berterima kasih kepada Tuhan, ketika mempertemukan saya dengan sahabat saya yang dicemooh melalui sms tadi, karena dia juga merupakan salah satu hal terbaik saya di Jakarta .
Tangannya, adalah salah satu yang menarik tangan saya ketika saya hampir jatuh dan mustahil bangkit dari masalah. Matanya, adalah salah satu yang mengirimkan sorot tatapan meneduhkan setiap kali hati saya memerlukan siraman ketenangan. Mulutnya, adalah salah satu yang mengeluarkan saran cerdas dan mengagumkan, celotehan bodoh namun manis, gurauan kocak sarat makna, kritik pedas nan sensasional, menghasilkan berbagai obrolan panjang yang menyenangkan. Telinganya, adalah salah satu yang mendengarkan saya, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dengan cerita beralur sama berlatar berbeda, dengan kesabaran tingkat dewa.
Bagian yang paling penting, Hatinya, adalah salah satu yang selalu membuat saya berpikir, bahwa kolaborasinya dengan tangannya, matanya, telinganya, menjadikan dia sosok yang luar biasa menurut saya, sahabatnya yang merasakan bahwa Tuhan sudah mengirimkan sosok "malaikat" untuk bisa saya kenal di dunia.

Dia, sahabat yang tadi dituduh pemegang tiket terusan ke neraka, sudah membawa sedikit "angin surga", untuk para penduduk Indonesia yang pernah merasakan program kerja yang selalu berhasil darinya, untuk para anak berkekurangan yang pernah diajarkan secara gratis dan berkelanjutan dengan berbagai ilmu berguna olehnya, dan untuk kami, para sahabat yang telah lama mengenal kesantunan, kegigihan, dan kesetiakawanannya dalam bersosialisasi dan berinteksi.

"We are all a little weird and life’s a little weird, and when we find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with them and fall in mutual weirdness and call it love.” *Dr.Seuss*


Maka jangan pernah salahkan saya atas balasan keras, ataupun makian pedas yang akan terlontar dari mulut saya, karena siapa pun dia, bagaimana pun anehnya dia dimata sebagian orang yang mengaku dirinya sempurna, dia tetap punya hak yang sama dengan siapa saja, untuk tetap merasa NORMAL sepanjang hidupnya.


Manado, 8 Juli 2012, 20.30 WITA

Teras rumah, ruang tamu, dan kamar tidur, senyamannya saya, ditemani bunyi tetesan hujan diatap, ketika air langit berebut turun menjenguk bumi.


"Tulisan ini buat dan demi lu mak. Dengan segala hormat, dan dengan tidak mengurangi rasa sayang gw yang gak nyantumin nama kebanggaan lu, ditulis dengan deraian air mata yang bekerjasama secara yahud dengan emosi gw, yang menghasilkan efek lebay, dan gw tau pasti lu selalu benci liatnya karena kata lu itu selalu sukses bikin tampang gw berantakan." 


I Love You Darl, Just The Way You Are, Like I Always Do, Like You Also Do :)