27/09/14

Lelaki Berwarna Cahaya (Happy Blessday, Moonlight)

Ini bukan kisah tentang cinta yang romantis ala drama Korea. Bukan pula sebuah novel fiksi. Saya hanya ingin bercerita tentang nostalgia seorang lelaki yang saya juluki “Sinar Rembulan”.

Saya tidak begitu mengingat persis, kapan tepatnya berkenalan dengannya secara langsung. Agustus 2013, ketika pulang mudik Lebaran, saya dikenalkan dengan komunitas pencinta alam yang ada di kota kelahiran saya, dimana dia adalah salah satu anggota disana. Seingat saya, dia bukan salah satu orang yang familiar di mata saya waktu itu.

Saya hanya mengetahui tentangnya dari cerita para anggota lain yang lebih dulu mengenalnya. Ganteng, penyendiri dan tidak banyak bicara, itulah garis besar dari cerita mereka. Respon saya mendengar hal itu? Mengangguk dan tersenyum tipis terkesan meringis. Kenapa? Karena saya alergi dengan ketiga hal tersebut. Bukan karena saya akan menderita bentol di kulit ataupun bersin ketika berdekatan dengan tipikal orang seperti itu, melainkan saya takut akan terjebak dengan ketiga cirinya. Salahkan ketiga lelaki penghuni rumah yang berkarakter serupa. Papa, kakak ipar, keponakan lelaki saya. Ketiganya adalah tiga manusia beda tahun kelahiran namun ajaibnya berprofil serupa. Belum lagi sahabat saya di Bandung dan beberapa mantan pacar saya terdahulu. Tidak perlu saya sebutkan daftar mereka satu persatu. Satu yang pasti, sikap soliter dan irit suara merupakan kombinasi medan magnetik yang ajaibnya akan menarik saya ke sekitarnya. Tampaknya, saya harus hati-hati dengan dia, si pemilik nama berinisial sama.

Ada sedikit kelegaan ketika akhirnya saya melihat (atau mungkin bertemu kesekian kalinya, saya lupa) sosok itu. Saya berkesempatan bertatap muka langsung, dan pertemuan itu sedikit melegakan hati saya. Dia memang berciri “mematikan”, namun untungnya secara fisik dia tidak termasuk kriteria “cowok keren” menurut saya. Entah mengapa, hidung mancung, kulit putih mulus lengkap dengan badan kurus plus jemari lentik mirip bintang film barat yang menjadi idola kaum hawa itu tidak membuat saya terpukau. Penampakan fantastis yang tampak biasa. Tipe lelaki penebar pesona dan tidak setia, itu generalisasi yang selalu tertanam di otak saya setiap melihat figur lelaki seperti dia. Malam itu saya ingat betul, minggu terakhir bulan Februari 2014, ketika saya bertandang ke sekretariat komunitas itu untuk sekedar mengobrol dengan mereka. Dia, duduk di sudut teras, di salah satu bangku panjang yang ada disana. Sorot matanya kosong dan terlihat sarat beban. Waktu saya tanya kepada temannya, “Mungkin dia lelah dan galau” jawab mereka sambil tertawa. Tiba-tiba dia ambruk dan membuat semua yang ada disitu terkejut, terlebih saya. Ternyata malam itu dia mabuk, mungkin galaunya kelebihan dosis. Saya akhirnya ikut tertawa terbahak melihat kelakuannya yang ambruk lalu bangun lagi dan berusaha memeluk teman lelaki yang kebetulan duduk di sebelahnya. Cinta dan minuman keras memang kolaborasi yang bisa membuat orang mabuk kepayang hebat. Sehabis “pertunjukkan lucu” tadi, dia akhirnya tertidur di kursi dalam posisi meringkuk. Sweaterhitam panjang yang membungkusnya dari udara dingin malam itu, kulit putih susu, rambut hitam seleher, membuatnya mirip kawanan drakula remaja yang dulu sekuel filmnya sempat heboh. Maafkan saya yang lancang memperhatikannya kala tertidur. Betapa kagetnya ketika mata itu seketika terbuka, menatap tajam mata saya, seakan memergoki seorang tersangka. Tatapan yang lagi-lagi menyiratkan luka. Kepedihan yang menyihir dan menyeret saya untuk ikut serta. Sejak malam itu, saya resmi menjadi tawanan bola mata hitamnya.

Seminggu setelah itu, terjadi kerusuhan di kampusnya. Peristiwa pembakaran gedung fakultas Teknik menjadi duka seluruh civitas akademika kampus kami. Lagi-lagi saya bertemu dengannya di rumah salah satu rekan. Kali itu dia menegur saya yang baru datang. Sapaan bernada canda yang dia lontarkan tidak bisa menutupi sorot matanya yang geram dengan kejadian pembakaran. Luapan kekesalan dan amarah dia ceritakan melalui tatapan. Tanpa banyak bicara, saya tahu persis dia kesal dengan keadaan. Saya yang memang tidak akrab dengannya hanya bisa melontarkan basa-basi semangat, bahwa saya turut berbela sungkawa. Dengan tulus dia membalas ucapan saya dengan senyuman, tanpa banyak bicara. Khas dia.

Sebulan kemudian, ketika saya kembali bertandang dengan maksud meminjam peralatan untuk menyelam, saya kembali berkesempatan bertemu dengannya. Ternyata dia adalah orang yang bertanggung jawab akan semua peralatan mereka. Dia yang saat itu sedang berkumpul bersama teman-temannya, datang ke sekretariat untuk meladeni permintaan saya, atas permintaan ketua komunitas. Kami berdua lantas mengobrak-abrik gudang. Saya ribut dan banyak bertanya, sementara dia diam sembari sibuk mencari barang yang saya perlukan. Ruangan yang pengap, penuh barang, serta kekurangan cahaya itu seakan jalan protokol baginya. Dengan lincah dia berjalan tanpa ragu, sementara saya harus sering memekik karena terinjak atau tertabrak sesuatu. Sebuah kolaborasi ciamik yang jika di analogikan seperti kuntilanak berisik dan drakula bisu. Menyedihkan!

Sejak kecil, saya selalu merasa terjebak dalam dua dunia yang bertentangan. Orang lain selalu menilai saya dari luar, periang dan tanpa beban. Sejujurnya, saya selalu merasa kesepian di tengah keramaian. Mencintai keheningan yang sunyi. Tidak banyak yang mengerti akan hal ini, kecuali orang-orang yang juga kehilangan minat bersosialisasi. Menyampaikan perasaan secara verbal pun menjadi kelemahan saya, dan menemukan orang seperti dia, ibarat menemukan teman seperjuangan yang mengerti tanpa harus dijelaskan secara rinci. Melalui tatapan teduhnya, saya tahu pasti, saya tidak sendiri. Hal itu yang membawa saya – tanpa disadari – mencari sosoknya pada setiap kehadiran saya di kelompok mereka. Sebuah ketergantungan sepihak dikarenakan persamaan, sosok serupa tapi tak sama. Klise memang – sedihnya – itulah kenyataannya.  

Seperti waktu itu, saya diundang ke sebuah acara kampus. Disana, saya malah merasa terasing. Terkurung di tengah meriahnya acara, teralienasi dengan dunia. Hanya bisa tersenyum dan membalas sapaan orang-orang. Tersudut dengan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menyergap. Ketakutan yang datang tiba-tiba tanpa alasan, membuat saya berusaha mengusir perasaan itu, menyibukkan diri dengan tuan rumah di bagian belakang. Tiba-tiba dia muncul dan menawarkan diri untuk membantu. Tidak siap “ditodong” seperti itu, saya akhirnya menyodorkan sebuah wadah yang sangat berminyak untuk dia cuci. Dalam diam, dia membantu mencuci, berulang-ulang. Tanpa banyak protes, tanpa banyak bertanya. Mencuci, membilas, lalu mencuci lagi, sampai saya benar-benar merasa wadah itu bebas minyak dan layak pakai. Tanpa sadar, saya tertegun memperhatikan gerakannya. Saya tahu persis, dia tidak biasa mencuci piring - terlihat dari gerak-geriknya - namun ketika saya tetap menggeleng karena merasa wadahnya masih kurang bersih, dia kembali mencuci, lagi dan lagi dan lagi. Setelah “tugasnya” selesai, dia hanya tersenyum samar dan berlalu pergi. Seperti hantu, datang dan pergi tanpa diminta, tapi meninggalkan momentum luar biasa. Malam itu, dia berhasil membuat bahasa tak lagi banyak gunanya. Menunjukkan eksistensinya secara gamblang, melalui perlakuan dan tindakan yang nyata. Walaupun sorot matanya masih menyimpan misteri, tapi saya memilih bersikap sepertinya. Memilih untuk tidak bertanya. Yang terpenting, dia ada. Kata Papa, lelaki memang seharusnya seperti itu, dan saya setuju.

Ketika saya mengikuti salah satu kegiatan perkemahan yang diadakan komunitasnya, dia menjadi salah satu panitia. Seperti biasa, dia selalu diam di sudut, bagaikan punya dunianya sendiri. Tidak ikut-ikutan kami yang dengan narsis berfoto menggunakan tongsis atau makan bersama di samping api unggun yang mendesis. Wajahnya terlihat bosan, tak jarang dia menghilang atau memilih pergi beristirahat duluan. Pada malam hari, ketika dia dan ketua panitia berniat membeli bahan makanan di desa terdekat, saya menitip untuk dibelikan camilan (bodohnya saya lupa membeli banyak persediaan), tanpa menyebutkan jenis dan merk makanan kesukaan saya. Satu jam kemudian mereka pulang dan saya dibuat terkejut (lagi) dengan isi plastik yang dia sodorkan. Mungkin memang kebetulan, karena dia toh tidak mengenal kebiasaan saya. Tapi buat orang yang mengenal atau setidaknya sering melihat saya ngemil, coklat berlapis karamel rasa Hazelnut itu adalah cemilan wajib yang selalu saya beli, dalam jumlah fantastis, kapanpun dan dimanapun. Dia, ibarat dewa yang membuat saya ingin bersujud dan menyembah karena dipersatukan kembali dengan cemilan favorit di tengah hutan yang jauh dari peradaban.

Walaupun sejak kecil saya terbiasa dengan kebiasaan warga Manado yang senang mengkonsumsi minuman lokal – Cap Tikus – namun jujur, saya takut dengan orang yang sudah terlalu banyak minum dan akhirnya mabuk. Saya juga sangat membenci aroma masam yang menguar dari para peminum Cap Tikus itu. Berada di antara para peminum, saya hanya bisa berusaha berbaur, mencoba mengusir ketakutan saya, susah payah membangun perasaan nyaman dengan mendengar celotehan mereka yang terkadang memang lucu dan mengundang tawa. Saya juga belajar satu hal, orang mabuk itu bukannya tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya lebih berani. Simpul kontrol diri yang tadinya terikat kencang, bisa sedikit demi sedikit terurai.

Dia merupakan salah seorang penggemar Cap Tikus. Entahlah, mungkin minuman itu bisa mengasimilasi perasaannya yang tersembunyi. Suatu hari, pada suatu acara, ketika dia terlalu banyak mengkonsumsi minuman kesukaannya itu, dia menjadi sedikit lepas kendali. Mengoceh dan tertawa, seakan minuman itu melepas segala ikatan selama ini. Anehnya, tanpa rasa takut, saya mengajaknya mengobrol duluan untuk pertama kali. Ternyata, dia sering bertandang ke kompleks perumahan saya. Gadis yang sudah ditaksirnya sekian lama, tinggal berdekatan dengan rumah orangtua saya. Saya tertawa melihat antusiasmenya menerangkan arah jalan rumah si gadis. Dia hafal semua jalan menuju kompleks diluar kepala. Aura cinta – merah muda – seakan mengelilinginya ketika dia bercerita tentang gadisnya. Perasaan saya seketika menghangat. Ada kesungguhan dibalik suaranya. Untuk sesaat, saya tidak melihat sorot duka yang setia bersemayam di matanya. Yang ada hanya suka cita. Ahh…cinta memang indah, kemanapun ia hinggap. Walaupun setelah kami bercerita, ada insiden yang membuat saya ketakutan lagi padanya. Dia yang mendengar lagu dansa diputar, tiba-tiba menarik tangan saya, sedikit memaksa untuk berdansa. Tak bisa digambarkan perasaan saya waktu itu. Beribu rona terlukis di wajah saya. Intinya, saya takut dan malu. Saya mengerti, dia mungkin hanya ingin meramaikan suasana dengan mengajak saya berpartisipasi. Tapi kondisi mengejutkan seperti itu, membuat saya tidak bisa berpikir jernih dan hanya bisa mendorong-dorong tubuhnya untuk menjauh. Para tamu lain yang menyaksikan “adegan” kami hanya bisa tertawa-tawa. Saya memang tidak marah, justru merasa bersalah menolak ajakannya. Tapi apa daya, saya memang tidak suka. Melihat matanya yang kecewa, saya berjanji dalam hati – mungkin suatu hari nanti – saya akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih berarti. Saya hanya ingin melihat sorot gembira itu sekali lagi, hal langka yang tidak bisa dibeli.

Dia senang menyebut dirinya “zombie”, makhluk fantasi yang digambarkan sebagai mayat hidup tanpa jiwa. Saya malah lebih senang menyebut dirinya “Sinar Rembulan”. Sosok yang berwarna cahaya. Berkali-kali melihatnya setelah senja hilang berganti malam, saya berkesimpulan; secara fisik kulitnya putih, nampak kontras dengan gelapnya malam, pun secara pembawaan dia memang lebih aktif dan terlihat “hidup” ketika matahari sudah turun ke peraduan. Kami memang sesama makhluk nokturnal, produktif kala malam hari, tapi siang mati suri. Satu lagi kesamaan yang membuat saya (lagi-lagi) merasa kami senasib. Beberapa kali saya mengobrol dengannya di dunia maya pada waktu bencong sedang dinas malam. Dia selalu menjawab obrolan saya dengan apa adanya. Gaya bicaranya santai dan mengalir. Terkadang saya malah hanya menyapanya untuk berbasa basi menyuruhnya segera tidur karena hari sudah larut, dan dibalasnya dengan membalikkan pernyataan itu kepada saya. Dan kami pun hanya bisa sama-sama tertawa, menertawakan kebiasaan tidak sehat yang entah kapan bisa berubah. Mengenalnya, bagaikan membuka sebuah kotak Pandora, dimana kita akan menemukan bermilyar kejutan ajaib di dalam sana.

Sehari menjelang perayaan hari Lebaran, lagi-lagi dia datang seperti malaikat penolong yang muncul di saat-saat terakhir. Ketika saya putus asa karena belum ada satu pun teman yang mengkonfirmasi untuk menemani saya berkeliling ke beberapa tempat – padahal waktu sudah mepet – demi kepentingan Lebaran, dia yang sedang online saat itu bersedia menemani. Dia hanya duduk diam di samping saya yang menyetir mobil kala itu. Menjawab setiap pertanyaan saya dengan kosakata yang bisa dihitung. Namun satu yang saya suka, dia tidak memainkan telepon genggamnya di tengah kesunyian kami, seakan menghargai orang yang berada di sebelahnya. Beberapa kali kami terjebak rombongan takbiran. Macet membuat saya menggerutu, kesal karena khawatir akan agenda panjang malam itu. Saya juga menerka-nerka dalam hati – takut bertanya langsung – mungkin dia bosan. Nyatanya, dia hanya duduk diam dengan pandangan fokus ke depan, sesekali tersenyum tipis ketika saya melirik. Saya jadi ingin tertawa, tapi terpaksa saya tahan. Konyolnya, malam itu dia juga sempat menegak minuman kesayangannya, padahal kami harus pergi ke beberapa panti asuhan dimana ada pemuka agama disana. Karena posisi kami yang berdekatan, saya jadi bisa mencium aroma nafasnya ketika dia berbicara. Ajaibnya, saya terkejut (lagi). Aromanya sama sekali tidak membuat saya mual. Nampaknya unsur minuman itu bercampur paripurna dengan partikel dirinya, menghasilkan bau asing beraroma dedaunan segar yang sukar saya gambarkan tepatnya. Sesampainya kami di panti asuhan pertama, sambil menunggu pengurus panti, kami mengobrol ngalor-ngidul. Saya mengomentari warna kulit wajah dan tubuhnya yang terawat seperti kebanyakan perempuan. Dia menjawab itu hanya faktor keturunan. Bahkan katanya sekarang justru kulitnya menghitam, salahkan mentari di kota kami yang setiap hari bermurah hati. Sebelum pulang ke rumah, saya yang kelaparan mengajaknya makan. Akibat macet kendaraan yang bertakbiran, kami harus lumayan berjalan jauh dari parkiran mobil sampai menemukan restoran yang masih buka. Ketika kami menyebrang jalan, dia menarik tangan saya dan seakan berkata melalui pelototan matanya “kamu kecepetan jalannya”. Hahaha…

Sesampainya di rumah, dia akhirnya bergabung dengan anggota rombongan sahabat yang datang untuk membantu saya menyiapkan hidangan Lebaran. Saat itu juga saya memastikan, dia tidak berbakat di dapur. Melihat cara jemari lentik itu memotong kentang, saya jadi tidak tega. Menunggunya menyelesaikan mengupas satu kentang, layaknya menunggu kepastian kapan Reza Rahardian khilaf dan melamar saya! Haha… Akhirnya dia “hanya” ditugasi” mengaduk puding beserta vlanya selama berjam-jam. Berdiri lama di depan kompor yang beruap panas itu penyiksaan neraka di dunia, kata keponakan saya. Bakat terpendamnya memang satu; kesabaran bekerja tanpa banyak bertanya. Tak terasa, fajar menyingsing, menandakan Lebaran telah tiba. Para sahabat lainnya telah bergelimpangan diteras, di kursi, dan di kamar, saking kelelahan membantu, sementara dia – yang tadinya saya kira ikutan terkapar – ternyata masih setia mengaduk adonan puding, menemani saya yang juga belum tidur semalaman, memastikan tugas kami selesai, sampai titik tenaga penghabisan.

Hari itu, ketika saya akhirnya memutuskan suatu hal besar dalam hidup saya, dua minggu sebelum kembali ke ibukota, saya galau luar biasa. Seharian saya mencari sahabat saya di kampus untuk curhat, tapi hasilnya nihil. Sang sahabat yang setia mendengar “sampah hati dan limbah pikiran” itu menghilang bagai ditelan bumi. Saya akhirnya melihat namanya di daftar teman yang masih online malam itu, dan memutuskan menyapanya. Gayung bersambut, dia masih terjaga dan mau diajak bicara. Dia mengajak saya untuk datang ke tempat tongkrongannya. Saya melihat dia dengan tatapan curiga, tapi senyum hangatnya, melunturkan pemikiran macam-macam yang ada. Awalnya saya tidak tahu harus memulai cerita dari mana. Perasaan tidak nyaman semakin memperkokoh benteng yang saya bangun terhadap orang asing, tak terkecuali dirinya. Kami hanya duduk diam, tanpa saling pandang, tanpa saling barter cerita. Masing-masing tenggelam dalam dunianya.

Belasan menit kemudian, melihat saya yang hanya diam seribu bahasa, dia berinisiatif memulai obrolan. Malam itu, kami seakan bertukar jiwa. Perlahan tapi pasti, suasana mulai mencair. Dia yang irit suara, mendadak kelebihan stok cerita. Tentang keluarga, tentang sahabat-sahabat dekatnya, tentang gadis kesayangannya, tentang kenangan masa kecil, tentang impian, tentang apa saja. Saya yang cerewet, menemukan posisi baru untuk menyimak, yaitu berbaring dipangkuannya (tentunya tanpa maksud apa-apa), mendengarkan suara perut yang ajaibnya terasa menenangkan. Menutup mata sambil mencoba mencerna. Konon, belajar menjadi pendengar yang baik memang susah, tapi malam itu mulut saya terkunci, layaknya anak kecil yang terbuai mendengar kisah dongeng seribu satu malam. Tutur katanya yang jenaka, seakan memeluk saya lewat suara, menenangkan saya yang sedang gelisah.

Dia, memandang saya sebagai manusia. Bukan sebagai sosok berembel-embel banyak yang dituntut untuk menjadi kebanggaan semua. Dia, tak seperti orang lain yang sok tahu akan kehidupan saya, mencoba memahami dengan “berdiri diatas sepatu saya”. Tidak pernah sekalipun mempertanyakan kenapa di umur yang sekarang saya belum mengakhiri masa lajang. Dia malah tertawa terbahak mendengar pernyataan tentang kesendirian dan kisah saya dengan beberapa lelaki di masa lalu. Dia tahu persis, betapa tersiksanya menjadi sosok yang terpaksa tertawa dibalik duka. Melalui perantara dirinya yang terpaut beberapa tahun dibawah saya, Tuhan mengajarkan saya akan banyak hal. Pelajaran hidup memang lintas usia. Malam itu, dibawah pohon yang sedang meranggas, di sebuah bangku taman, disinari oleh sinar bulan purnama terang. Dia, menggenggam tangan saya, mencoba mengalirkan kekuatan dari dalam dirinya, yang juga saya tau persis, tak kalah rapuh. Dia, berbagi pundaknya untuk sekedar meringankan beban yang malam itu memaksa saya menahan bulir airmata yang mengalir karena hati sedang berperang menantang kenangan. Tangan yang lentik itu, mencubit hidung saya berkali-kali, mengajak bercanda, bentuk dukungan sederhana untuk menghibur dan mengusir lara. Tak meminta apa-apa, seperti para lelaki lain yang selalu menuntut akan sentuhan lebih dari itu ketika sedang bersama. Malam itu dia tertawa lepas, sesuatu yang jarang dia pamerkan. Keceriaannya seakan menstimulasi otak ini untuk ikut bergembira dan mengusir semua luka yang menumpuk lama.
Sejak malam itu, saya jadi senang melihat bulan purnama. Memperhatikan rembulan yang bulat penuh berwarna kekuningan, warna favorit saya. Mungkin Tuhan memang menciptakan bulan kuning itu sebagai cara baru melawan kesedihan. Mungkin Tuhan mengirimnya untuk mengingatkan saya bahwa hidup kan baik-baik saja. Jadi kelak, sekali sebulan, tepat pada bulan purnama, saya seakan dilarang untuk bersedih dan berkeluh kesah. Karena ditandai dengan malam itu, saya jadi punya alasan untuk ceria dan bergembira. Mudah-mudahan bulan purnama tidak menjadi candu baru dalam hidup saya, seperti hujan dan petichornya, atau bintang malam dan melodi deru ombak di tepi pantai.

Terakhir kami bertemu, beberapa hari menjelang kepulangan saya ke tanah Jawa. Sekali lagi kami bercerita, berbagi kisah. Saya seakan menemukan satu lagi sahabat sejiwa. Ironisnya, justru di saat-saat terakhir sebelum saya meninggalkan kampung halaman. Dia meminta saya untuk tidak mengingatnya. Mungkin dia heran, bagaimana saya bisa mendikte ingatan tentangnya sejak kali pertama bertemu sampai pada malam itu. Hal yang lucu, karena manusia tercipta untuk melawan kata ”tidak” yang diperintahkan. Itu juga berlaku pada saya. Setiap detil, setiap kenangan, setiap ucapan, setiap perlakuan, akan menuntun saya menyusun kepingan puzzle cerita tentangnya. Saya akan mengingatnya di setiap kepingan coklat wafer berlapis karamel rasa Hazelnut di seluruh penjuru bumi ini. Mengenang putih susu kulitnya di setiap vla puding yang akan saya masak. Melihat siluet wajah cerianya yang menghibur sebulan sekali di setiap datangnya bulan purnama. Merasakan kehangatan sikapnya lewat dinginnya bangku taman yang akan saya duduki kemanapun diri ini butuh tempat meretas kenangan. Maafkan saya, tapi saya tak kuasa untuk tidak menyimpan kesemuanya disudut ingatan.



                                              mengucap doa, dari ketinggian Sikunai



Malam terakhir itu, saya memeluknya, bukan bermaksud meninggalkan bekas agar dirindukan. Saya memeluknya agar dia tahu, seberapa keras dunia ini menamparnya, seberapa sakit hidup ini menerpanya, seberapa kejam kenyataan menghadangnya, ada saya, sahabatnya yang akan selalu ada, dimanapun raga kami terpisah, selama kami masih melihat langit yang sama, ibarat bulan dan bintang yang berdampingan menghiasi langit malam. Selalu bekerjasama, bersinar menerobos kelamnya malam.  

 “There comes a time in your life, when you walk away from all the drama and people who create it. You surround yourself with people who make you laugh. Forget the bad, and focus on the good. Love the people who treat you right, pray for the ones who don’t. Life is too short to be anything but happy. Falling down is a part of life, getting back up is living” -Anonymous-

Selamat ulang tahun Sinar Rembulan, sang lelaki berwarna cahaya. Saat kamu merasa lelah, ingatlah akan senyum hangat dua bidadari cantik, ibu dan adikmu, yang akan selalu menunggumu di rumah. Saat kamu merasa sedih, ingatlah akan para sahabat di sekelilingmu yang akan selalu menyambutmu dengan pelukan hangat khas mereka. Saat kamu merasa sepi, ingatlah akan senyum gadismu yang katanya sangat kamu sayangi itu. Saat kamu merasa sendiri, ingatlah akan sosok yang pernah singgah di sisimu dan berbagi cerita singkat kita, yang akan selalu mendoakanmu agar kamu tetap sehat dan terus bahagia dimanapun berada.



                             semoga tetap sehat dan terus bahagia, wahai lelaki berwarna cahaya



Bandung, 27 September 2014. 11:11 WIB

P.S: Dengan tidak mengurangi rasa hormat dan rasa sayang saya, semua nama memang sengaja tidak disebutkan. Semoga tidak mengurangi esensi dan atensi teman-teman. Salam hangat ^_^


Top of Form