Ini bukan kisah tentang cinta yang
romantis ala drama Korea. Bukan pula sebuah novel fiksi. Saya hanya ingin
bercerita tentang nostalgia seorang lelaki yang saya juluki “Sinar Rembulan”.
Saya tidak begitu mengingat persis,
kapan tepatnya berkenalan dengannya secara langsung. Agustus 2013, ketika
pulang mudik Lebaran, saya dikenalkan dengan komunitas pencinta alam yang ada
di kota kelahiran saya, dimana dia adalah salah satu anggota disana. Seingat
saya, dia bukan salah satu orang yang familiar di mata saya waktu itu.
Saya hanya mengetahui tentangnya
dari cerita para anggota lain yang lebih dulu mengenalnya. Ganteng, penyendiri
dan tidak banyak bicara, itulah garis besar dari cerita mereka. Respon saya
mendengar hal itu? Mengangguk dan tersenyum tipis terkesan meringis. Kenapa?
Karena saya alergi dengan ketiga hal tersebut. Bukan karena saya akan menderita
bentol di kulit ataupun bersin ketika berdekatan dengan tipikal orang seperti
itu, melainkan saya takut akan terjebak dengan ketiga cirinya. Salahkan ketiga
lelaki penghuni rumah yang berkarakter serupa. Papa, kakak ipar, keponakan
lelaki saya. Ketiganya adalah tiga manusia beda tahun kelahiran namun ajaibnya
berprofil serupa. Belum lagi sahabat saya di Bandung dan beberapa mantan pacar
saya terdahulu. Tidak perlu saya sebutkan daftar mereka satu persatu. Satu yang
pasti, sikap soliter dan irit suara merupakan kombinasi medan magnetik yang
ajaibnya akan menarik saya ke sekitarnya. Tampaknya, saya harus hati-hati
dengan dia, si pemilik nama berinisial sama.
Ada sedikit kelegaan ketika akhirnya
saya melihat (atau mungkin bertemu kesekian kalinya, saya lupa) sosok itu. Saya
berkesempatan bertatap muka langsung, dan pertemuan itu sedikit melegakan hati
saya. Dia memang berciri “mematikan”, namun untungnya secara fisik dia tidak
termasuk kriteria “cowok keren” menurut saya. Entah mengapa, hidung mancung,
kulit putih mulus lengkap dengan badan kurus plus jemari lentik mirip bintang
film barat yang menjadi idola kaum hawa itu tidak membuat saya terpukau.
Penampakan fantastis yang tampak biasa. Tipe lelaki penebar pesona dan tidak
setia, itu generalisasi yang selalu tertanam di otak saya setiap melihat figur
lelaki seperti dia. Malam itu saya ingat betul, minggu terakhir bulan Februari
2014, ketika saya bertandang ke sekretariat komunitas itu untuk sekedar
mengobrol dengan mereka. Dia, duduk di sudut teras, di salah satu bangku
panjang yang ada disana. Sorot matanya kosong dan terlihat sarat beban. Waktu
saya tanya kepada temannya, “Mungkin dia lelah dan galau” jawab mereka sambil
tertawa. Tiba-tiba dia ambruk dan membuat semua yang ada disitu terkejut,
terlebih saya. Ternyata malam itu dia mabuk, mungkin galaunya kelebihan dosis.
Saya akhirnya ikut tertawa terbahak melihat kelakuannya yang ambruk lalu bangun
lagi dan berusaha memeluk teman lelaki yang kebetulan duduk di sebelahnya.
Cinta dan minuman keras memang kolaborasi yang bisa membuat orang mabuk
kepayang hebat. Sehabis “pertunjukkan lucu” tadi, dia akhirnya tertidur di
kursi dalam posisi meringkuk. Sweaterhitam panjang yang membungkusnya dari udara dingin malam
itu, kulit putih susu, rambut hitam seleher, membuatnya mirip kawanan drakula
remaja yang dulu sekuel filmnya sempat heboh. Maafkan saya yang lancang
memperhatikannya kala tertidur. Betapa kagetnya ketika mata itu seketika
terbuka, menatap tajam mata saya, seakan memergoki seorang tersangka. Tatapan
yang lagi-lagi menyiratkan luka. Kepedihan yang menyihir dan menyeret saya
untuk ikut serta. Sejak malam itu, saya resmi menjadi tawanan bola mata
hitamnya.
Seminggu setelah itu, terjadi
kerusuhan di kampusnya. Peristiwa pembakaran gedung fakultas Teknik menjadi
duka seluruh civitas akademika kampus kami. Lagi-lagi saya bertemu dengannya di
rumah salah satu rekan. Kali itu dia menegur saya yang baru datang. Sapaan
bernada canda yang dia lontarkan tidak bisa menutupi sorot matanya yang geram
dengan kejadian pembakaran. Luapan kekesalan dan amarah dia ceritakan melalui
tatapan. Tanpa banyak bicara, saya tahu persis dia kesal dengan keadaan. Saya
yang memang tidak akrab dengannya hanya bisa melontarkan basa-basi semangat,
bahwa saya turut berbela sungkawa. Dengan tulus dia membalas ucapan saya dengan
senyuman, tanpa banyak bicara. Khas dia.
Sebulan kemudian, ketika saya
kembali bertandang dengan maksud meminjam peralatan untuk menyelam, saya
kembali berkesempatan bertemu dengannya. Ternyata dia adalah orang yang
bertanggung jawab akan semua peralatan mereka. Dia yang saat itu sedang
berkumpul bersama teman-temannya, datang ke sekretariat untuk meladeni
permintaan saya, atas permintaan ketua komunitas. Kami berdua lantas
mengobrak-abrik gudang. Saya ribut dan banyak bertanya, sementara dia diam
sembari sibuk mencari barang yang saya perlukan. Ruangan yang pengap, penuh
barang, serta kekurangan cahaya itu seakan jalan protokol baginya. Dengan
lincah dia berjalan tanpa ragu, sementara saya harus sering memekik karena
terinjak atau tertabrak sesuatu. Sebuah kolaborasi ciamik yang jika di
analogikan seperti kuntilanak berisik dan drakula bisu. Menyedihkan!
Sejak kecil, saya selalu merasa
terjebak dalam dua dunia yang bertentangan. Orang lain selalu menilai saya dari
luar, periang dan tanpa beban. Sejujurnya, saya selalu merasa kesepian di
tengah keramaian. Mencintai keheningan yang sunyi. Tidak banyak yang mengerti
akan hal ini, kecuali orang-orang yang juga kehilangan minat bersosialisasi.
Menyampaikan perasaan secara verbal pun menjadi kelemahan saya, dan menemukan
orang seperti dia, ibarat menemukan teman seperjuangan yang mengerti tanpa
harus dijelaskan secara rinci. Melalui tatapan teduhnya, saya tahu pasti, saya
tidak sendiri. Hal itu yang membawa saya – tanpa disadari – mencari sosoknya
pada setiap kehadiran saya di kelompok mereka. Sebuah ketergantungan sepihak
dikarenakan persamaan, sosok serupa tapi tak sama. Klise memang – sedihnya –
itulah kenyataannya.
Seperti waktu itu, saya diundang ke
sebuah acara kampus. Disana, saya malah merasa terasing. Terkurung di tengah
meriahnya acara, teralienasi dengan dunia. Hanya bisa tersenyum dan membalas
sapaan orang-orang. Tersudut dengan perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba
menyergap. Ketakutan yang datang tiba-tiba tanpa alasan, membuat saya berusaha
mengusir perasaan itu, menyibukkan diri dengan tuan rumah di bagian belakang.
Tiba-tiba dia muncul dan menawarkan diri untuk membantu. Tidak siap “ditodong”
seperti itu, saya akhirnya menyodorkan sebuah wadah yang sangat berminyak untuk
dia cuci. Dalam diam, dia membantu mencuci, berulang-ulang. Tanpa banyak
protes, tanpa banyak bertanya. Mencuci, membilas, lalu mencuci lagi, sampai
saya benar-benar merasa wadah itu bebas minyak dan layak pakai. Tanpa sadar,
saya tertegun memperhatikan gerakannya. Saya tahu persis, dia tidak biasa
mencuci piring - terlihat dari gerak-geriknya - namun ketika saya tetap
menggeleng karena merasa wadahnya masih kurang bersih, dia kembali mencuci,
lagi dan lagi dan lagi. Setelah “tugasnya” selesai, dia hanya tersenyum samar
dan berlalu pergi. Seperti hantu, datang dan pergi tanpa diminta, tapi
meninggalkan momentum luar biasa. Malam itu, dia berhasil membuat bahasa tak
lagi banyak gunanya. Menunjukkan eksistensinya secara gamblang, melalui
perlakuan dan tindakan yang nyata. Walaupun sorot matanya masih menyimpan
misteri, tapi saya memilih bersikap sepertinya. Memilih untuk tidak bertanya.
Yang terpenting, dia ada. Kata Papa, lelaki memang seharusnya seperti itu, dan
saya setuju.
Ketika saya mengikuti salah satu
kegiatan perkemahan yang diadakan komunitasnya, dia menjadi salah satu panitia.
Seperti biasa, dia selalu diam di sudut, bagaikan punya dunianya sendiri. Tidak
ikut-ikutan kami yang dengan narsis berfoto menggunakan tongsis atau makan
bersama di samping api unggun yang mendesis. Wajahnya terlihat bosan, tak
jarang dia menghilang atau memilih pergi beristirahat duluan. Pada malam hari,
ketika dia dan ketua panitia berniat membeli bahan makanan di desa terdekat,
saya menitip untuk dibelikan camilan (bodohnya saya lupa membeli banyak
persediaan), tanpa menyebutkan jenis dan merk makanan kesukaan saya. Satu jam
kemudian mereka pulang dan saya dibuat terkejut (lagi) dengan isi plastik yang
dia sodorkan. Mungkin memang kebetulan, karena dia toh tidak mengenal kebiasaan
saya. Tapi buat orang yang mengenal atau setidaknya sering melihat saya ngemil, coklat berlapis karamel rasa Hazelnut itu adalah cemilan
wajib yang selalu saya beli, dalam jumlah fantastis, kapanpun dan dimanapun.
Dia, ibarat dewa yang membuat saya ingin bersujud dan menyembah karena
dipersatukan kembali dengan cemilan favorit di tengah hutan yang jauh dari
peradaban.
Walaupun sejak kecil saya terbiasa
dengan kebiasaan warga Manado yang senang mengkonsumsi minuman lokal – Cap
Tikus – namun jujur, saya takut dengan orang yang sudah terlalu banyak minum
dan akhirnya mabuk. Saya juga sangat membenci aroma masam yang menguar dari
para peminum Cap Tikus itu. Berada di antara para peminum, saya hanya bisa
berusaha berbaur, mencoba mengusir ketakutan saya, susah payah membangun
perasaan nyaman dengan mendengar celotehan mereka yang terkadang memang lucu
dan mengundang tawa. Saya juga belajar satu hal, orang mabuk itu bukannya tidak
sadar dengan apa yang mereka lakukan. Mereka hanya lebih berani. Simpul kontrol
diri yang tadinya terikat kencang, bisa sedikit demi sedikit terurai.
Dia merupakan salah seorang
penggemar Cap Tikus. Entahlah, mungkin minuman itu bisa mengasimilasi
perasaannya yang tersembunyi. Suatu hari, pada suatu acara, ketika dia terlalu
banyak mengkonsumsi minuman kesukaannya itu, dia menjadi sedikit lepas kendali.
Mengoceh dan tertawa, seakan minuman itu melepas segala ikatan selama ini.
Anehnya, tanpa rasa takut, saya mengajaknya mengobrol duluan untuk pertama
kali. Ternyata, dia sering bertandang ke kompleks perumahan saya. Gadis yang
sudah ditaksirnya sekian lama, tinggal berdekatan dengan rumah orangtua saya.
Saya tertawa melihat antusiasmenya menerangkan arah jalan rumah si gadis. Dia
hafal semua jalan menuju kompleks diluar kepala. Aura cinta – merah muda –
seakan mengelilinginya ketika dia bercerita tentang gadisnya. Perasaan saya
seketika menghangat. Ada kesungguhan dibalik suaranya. Untuk sesaat, saya tidak
melihat sorot duka yang setia bersemayam di matanya. Yang ada hanya suka cita.
Ahh…cinta memang indah, kemanapun ia hinggap. Walaupun setelah kami bercerita,
ada insiden yang membuat saya ketakutan lagi padanya. Dia yang mendengar lagu
dansa diputar, tiba-tiba menarik tangan saya, sedikit memaksa untuk berdansa.
Tak bisa digambarkan perasaan saya waktu itu. Beribu rona terlukis di wajah
saya. Intinya, saya takut dan malu. Saya mengerti, dia mungkin hanya ingin
meramaikan suasana dengan mengajak saya berpartisipasi. Tapi kondisi
mengejutkan seperti itu, membuat saya tidak bisa berpikir jernih dan hanya bisa
mendorong-dorong tubuhnya untuk menjauh. Para tamu lain yang menyaksikan
“adegan” kami hanya bisa tertawa-tawa. Saya memang tidak marah, justru merasa
bersalah menolak ajakannya. Tapi apa daya, saya memang tidak suka. Melihat
matanya yang kecewa, saya berjanji dalam hati – mungkin suatu hari nanti – saya
akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih berarti. Saya hanya ingin melihat
sorot gembira itu sekali lagi, hal langka yang tidak bisa dibeli.
Dia senang menyebut dirinya
“zombie”, makhluk fantasi yang digambarkan sebagai mayat hidup tanpa jiwa. Saya
malah lebih senang menyebut dirinya “Sinar Rembulan”. Sosok yang berwarna
cahaya. Berkali-kali melihatnya setelah senja hilang berganti malam, saya
berkesimpulan; secara fisik kulitnya putih, nampak kontras dengan gelapnya
malam, pun secara pembawaan dia memang lebih aktif dan terlihat “hidup” ketika
matahari sudah turun ke peraduan. Kami memang sesama makhluk nokturnal,
produktif kala malam hari, tapi siang mati suri. Satu lagi kesamaan yang
membuat saya (lagi-lagi) merasa kami senasib. Beberapa kali saya mengobrol
dengannya di dunia maya pada waktu bencong sedang dinas malam. Dia selalu
menjawab obrolan saya dengan apa adanya. Gaya bicaranya santai dan mengalir.
Terkadang saya malah hanya menyapanya untuk berbasa basi menyuruhnya segera
tidur karena hari sudah larut, dan dibalasnya dengan membalikkan pernyataan itu
kepada saya. Dan kami pun hanya bisa sama-sama tertawa, menertawakan kebiasaan
tidak sehat yang entah kapan bisa berubah. Mengenalnya, bagaikan membuka sebuah
kotak Pandora, dimana kita akan menemukan bermilyar kejutan ajaib di dalam
sana.
Sehari menjelang perayaan hari
Lebaran, lagi-lagi dia datang seperti malaikat penolong yang muncul di
saat-saat terakhir. Ketika saya putus asa karena belum ada satu pun teman yang
mengkonfirmasi untuk menemani saya berkeliling ke beberapa tempat – padahal
waktu sudah mepet – demi kepentingan Lebaran, dia yang sedang online saat itu bersedia menemani. Dia hanya duduk diam di samping
saya yang menyetir mobil kala itu. Menjawab setiap pertanyaan saya dengan kosakata
yang bisa dihitung. Namun satu yang saya suka, dia tidak memainkan telepon
genggamnya di tengah kesunyian kami, seakan menghargai orang yang berada di
sebelahnya. Beberapa kali kami terjebak rombongan takbiran. Macet membuat saya
menggerutu, kesal karena khawatir akan agenda panjang malam itu. Saya juga
menerka-nerka dalam hati – takut bertanya langsung – mungkin dia bosan.
Nyatanya, dia hanya duduk diam dengan pandangan fokus ke depan, sesekali
tersenyum tipis ketika saya melirik. Saya jadi ingin tertawa, tapi terpaksa
saya tahan. Konyolnya, malam itu dia juga sempat menegak minuman kesayangannya,
padahal kami harus pergi ke beberapa panti asuhan dimana ada pemuka agama
disana. Karena posisi kami yang berdekatan, saya jadi bisa mencium aroma
nafasnya ketika dia berbicara. Ajaibnya, saya terkejut (lagi). Aromanya sama
sekali tidak membuat saya mual. Nampaknya unsur minuman itu bercampur paripurna
dengan partikel dirinya, menghasilkan bau asing beraroma dedaunan segar yang
sukar saya gambarkan tepatnya. Sesampainya kami di panti asuhan pertama, sambil
menunggu pengurus panti, kami mengobrol ngalor-ngidul. Saya mengomentari warna
kulit wajah dan tubuhnya yang terawat seperti kebanyakan perempuan. Dia
menjawab itu hanya faktor keturunan. Bahkan katanya sekarang justru kulitnya
menghitam, salahkan mentari di kota kami yang setiap hari bermurah hati.
Sebelum pulang ke rumah, saya yang kelaparan mengajaknya makan. Akibat macet
kendaraan yang bertakbiran, kami harus lumayan berjalan jauh dari parkiran
mobil sampai menemukan restoran yang masih buka. Ketika kami menyebrang jalan,
dia menarik tangan saya dan seakan berkata melalui pelototan matanya “kamu
kecepetan jalannya”. Hahaha…
Sesampainya di rumah, dia akhirnya
bergabung dengan anggota rombongan sahabat yang datang untuk membantu saya
menyiapkan hidangan Lebaran. Saat itu juga saya memastikan, dia tidak berbakat
di dapur. Melihat cara jemari lentik itu memotong kentang, saya jadi tidak
tega. Menunggunya menyelesaikan mengupas satu kentang, layaknya menunggu kepastian
kapan Reza Rahardian khilaf dan melamar saya! Haha… Akhirnya dia “hanya”
ditugasi” mengaduk puding beserta vlanya
selama berjam-jam. Berdiri lama di depan kompor yang beruap panas itu
penyiksaan neraka di dunia, kata keponakan saya. Bakat terpendamnya memang
satu; kesabaran bekerja tanpa banyak bertanya. Tak terasa, fajar menyingsing,
menandakan Lebaran telah tiba. Para sahabat lainnya telah bergelimpangan
diteras, di kursi, dan di kamar, saking kelelahan membantu, sementara dia –
yang tadinya saya kira ikutan terkapar – ternyata masih setia mengaduk adonan
puding, menemani saya yang juga belum tidur semalaman, memastikan tugas kami
selesai, sampai titik tenaga penghabisan.
Hari itu, ketika saya akhirnya
memutuskan suatu hal besar dalam hidup saya, dua minggu sebelum kembali ke
ibukota, saya galau luar biasa. Seharian saya mencari sahabat saya di kampus
untuk curhat, tapi hasilnya nihil. Sang sahabat yang setia mendengar “sampah
hati dan limbah pikiran” itu menghilang bagai ditelan bumi. Saya akhirnya
melihat namanya di daftar teman yang masih online malam
itu, dan memutuskan menyapanya. Gayung bersambut, dia masih terjaga dan mau
diajak bicara. Dia mengajak saya untuk datang ke tempat tongkrongannya. Saya
melihat dia dengan tatapan curiga, tapi senyum hangatnya, melunturkan pemikiran
macam-macam yang ada. Awalnya saya tidak tahu harus memulai cerita dari mana.
Perasaan tidak nyaman semakin memperkokoh benteng yang saya bangun terhadap
orang asing, tak terkecuali dirinya. Kami hanya duduk diam, tanpa saling
pandang, tanpa saling barter cerita. Masing-masing tenggelam dalam dunianya.
Belasan menit kemudian, melihat saya
yang hanya diam seribu bahasa, dia berinisiatif memulai obrolan. Malam itu,
kami seakan bertukar jiwa. Perlahan tapi pasti, suasana mulai mencair. Dia yang
irit suara, mendadak kelebihan stok cerita. Tentang keluarga, tentang
sahabat-sahabat dekatnya, tentang gadis kesayangannya, tentang kenangan masa
kecil, tentang impian, tentang apa saja. Saya yang cerewet, menemukan posisi
baru untuk menyimak, yaitu berbaring dipangkuannya (tentunya tanpa maksud
apa-apa), mendengarkan suara perut yang ajaibnya terasa menenangkan. Menutup
mata sambil mencoba mencerna. Konon, belajar menjadi pendengar yang baik memang
susah, tapi malam itu mulut saya terkunci, layaknya anak kecil yang terbuai
mendengar kisah dongeng seribu satu malam. Tutur katanya yang jenaka, seakan
memeluk saya lewat suara, menenangkan saya yang sedang gelisah.
Dia, memandang saya sebagai manusia.
Bukan sebagai sosok berembel-embel banyak yang dituntut untuk menjadi
kebanggaan semua. Dia, tak seperti orang lain yang sok tahu akan kehidupan
saya, mencoba memahami dengan “berdiri diatas sepatu saya”. Tidak pernah
sekalipun mempertanyakan kenapa di umur yang sekarang saya belum mengakhiri
masa lajang. Dia malah tertawa terbahak mendengar pernyataan tentang
kesendirian dan kisah saya dengan beberapa lelaki di masa lalu. Dia tahu
persis, betapa tersiksanya menjadi sosok yang terpaksa tertawa dibalik duka.
Melalui perantara dirinya yang terpaut beberapa tahun dibawah saya, Tuhan
mengajarkan saya akan banyak hal. Pelajaran hidup memang lintas usia. Malam
itu, dibawah pohon yang sedang meranggas, di sebuah bangku taman, disinari oleh
sinar bulan purnama terang. Dia, menggenggam tangan saya, mencoba mengalirkan
kekuatan dari dalam dirinya, yang juga saya tau persis, tak kalah rapuh. Dia,
berbagi pundaknya untuk sekedar meringankan beban yang malam itu memaksa saya
menahan bulir airmata yang mengalir karena hati sedang berperang menantang
kenangan. Tangan yang lentik itu, mencubit hidung saya berkali-kali, mengajak
bercanda, bentuk dukungan sederhana untuk menghibur dan mengusir lara. Tak
meminta apa-apa, seperti para lelaki lain yang selalu menuntut akan sentuhan
lebih dari itu ketika sedang bersama. Malam itu dia tertawa lepas, sesuatu yang
jarang dia pamerkan. Keceriaannya seakan menstimulasi otak ini untuk ikut
bergembira dan mengusir semua luka yang menumpuk lama.
Sejak malam itu, saya jadi senang
melihat bulan purnama. Memperhatikan rembulan yang bulat penuh berwarna
kekuningan, warna favorit saya. Mungkin Tuhan memang menciptakan bulan kuning
itu sebagai cara baru melawan kesedihan. Mungkin Tuhan mengirimnya untuk
mengingatkan saya bahwa hidup kan baik-baik saja. Jadi kelak, sekali sebulan,
tepat pada bulan purnama, saya seakan dilarang untuk bersedih dan berkeluh
kesah. Karena ditandai dengan malam itu, saya jadi punya alasan untuk ceria dan
bergembira. Mudah-mudahan bulan purnama tidak menjadi candu baru dalam hidup
saya, seperti hujan dan petichornya, atau bintang malam dan melodi deru ombak
di tepi pantai.
Terakhir kami bertemu, beberapa hari
menjelang kepulangan saya ke tanah Jawa. Sekali lagi kami bercerita, berbagi
kisah. Saya seakan menemukan satu lagi sahabat sejiwa. Ironisnya, justru di
saat-saat terakhir sebelum saya meninggalkan kampung halaman. Dia meminta saya
untuk tidak mengingatnya. Mungkin dia heran, bagaimana saya bisa mendikte
ingatan tentangnya sejak kali pertama bertemu sampai pada malam itu. Hal yang
lucu, karena manusia tercipta untuk melawan kata ”tidak” yang diperintahkan.
Itu juga berlaku pada saya. Setiap detil, setiap kenangan, setiap ucapan,
setiap perlakuan, akan menuntun saya menyusun kepingan puzzle cerita tentangnya. Saya akan mengingatnya di setiap kepingan
coklat wafer berlapis karamel rasa Hazelnut di seluruh penjuru bumi ini.
Mengenang putih susu kulitnya di setiap vla puding
yang akan saya masak. Melihat siluet wajah cerianya yang menghibur sebulan
sekali di setiap datangnya bulan purnama. Merasakan kehangatan sikapnya lewat
dinginnya bangku taman yang akan saya duduki kemanapun diri ini butuh tempat
meretas kenangan. Maafkan saya, tapi saya tak kuasa untuk tidak menyimpan
kesemuanya disudut ingatan.
mengucap doa, dari
ketinggian Sikunai
Malam terakhir itu, saya memeluknya,
bukan bermaksud meninggalkan bekas agar dirindukan. Saya memeluknya agar dia
tahu, seberapa keras dunia ini menamparnya, seberapa sakit hidup ini
menerpanya, seberapa kejam kenyataan menghadangnya, ada saya, sahabatnya yang
akan selalu ada, dimanapun raga kami terpisah, selama kami masih melihat langit
yang sama, ibarat bulan dan bintang yang berdampingan menghiasi langit malam.
Selalu bekerjasama, bersinar menerobos kelamnya malam.
“There
comes a time in your life, when you walk away from all the drama and people who
create it. You surround yourself with people who make you laugh. Forget the
bad, and focus on the good. Love the people who treat you right, pray for the
ones who don’t. Life is too short to be anything but happy. Falling down is a part
of life, getting back up is living” -Anonymous-
Selamat ulang tahun Sinar Rembulan,
sang lelaki berwarna cahaya. Saat kamu merasa lelah, ingatlah akan senyum
hangat dua bidadari cantik, ibu dan adikmu, yang akan selalu menunggumu di
rumah. Saat kamu merasa sedih, ingatlah akan para sahabat di sekelilingmu yang
akan selalu menyambutmu dengan pelukan hangat khas mereka. Saat kamu merasa
sepi, ingatlah akan senyum gadismu yang katanya sangat kamu sayangi itu. Saat
kamu merasa sendiri, ingatlah akan sosok yang pernah singgah di sisimu dan
berbagi cerita singkat kita, yang akan selalu mendoakanmu agar kamu tetap sehat
dan terus bahagia dimanapun berada.
semoga tetap sehat dan terus bahagia, wahai
lelaki berwarna cahaya
Bandung, 27
September 2014. 11:11 WIB
P.S: Dengan tidak mengurangi rasa
hormat dan rasa sayang saya, semua nama memang sengaja tidak disebutkan. Semoga
tidak mengurangi esensi dan atensi teman-teman. Salam hangat ^_^