29/09/19

Merencanakan Impian (Bagian 1)


Malam ini saya lagi kurang kerjaan dan ingin menulis blog untuk memanggil kantuk. Sudah semingguan jam tidur saya jadi kacau gara-gara film Midsommar. Anehnya, film ini justru sudah saya tonton sejak tiga minggu yang lalu, tapi efek susah tidurnya telat dua minggu. Well, saya emang tipikal cewek yang telat pekanya, gaes. Jangan heran kalo anaknya teh suka telat nangkep signal hati, hahay.

Nah, karena saya kemarin susah tidur, saya jadi punya kebiasaan baru, yaitu membaca blog salah seorang traveller lokal yang sering melakukan perjalanan ke Nepal. Duh, saya yang cupu ini memang dari dulu suka memimpikan bisa mendaki pegunungan Himalaya.

Hah? Serius lu, Shin? Lu kan penyakitan!
Emberan, Malih. Maka dari itu dibilang tadi ngimpi pan. :))

Himalaya, adalah mimpi yang hampir mustahil dari seorang tukang jalan-jalan berfisik agak lemah seperti saya. 
Dulu, pertama kali mendengar nama Himalaya, saya langsung jatuh cinta. Saya yang memang tergila-gila dengan Sanskrit a.k.a bahasa Sanskerta, otomatis terpukau dengan arti kata Himalaya, yaitu Hima (Salju) dan Aalaya (tempat kediaman). Terbayang oleh saya keagungan tempat itu. Tapi yang paling terbayang sih jujur dinginnya, hahaha.
Ah elah, kena suhu AC 19 derajat aja udah teriak-teriak lu, Shin.

Lalu, di blog si traveler ini, saya menemukan sisi lain dari pegunungan Himalaya tersebut. Sisi humanis dari para pendakinya. Kisah-kisah yang menambah ketertarikan saya untuk mencari tahu tentang apa saja yang bisa saya dapati jika kelak saya berkesempatan mengunjungi Himalaya, bahkan jika saya hanya sanggup menjajaki kaki gunungnya saja. Rasanya, impian saya untuk ke sana sudah selangkah lebih dekat. Apalagi dengan mengetahui bahwa untuk pergi ke sana, banyak opsi mudah dan murah yang memungkinkan saya pergi membawa Aksara.

Sudahkah saya menceritakan kalau sejak Aksara lahir dan berusia empat bulan, dia sudah saya ajak ke gunung Mahawu? Sebuah gunung yang memang hanya membutuhkan waktu sepuluh menit menaiki tangga untuk ke puncaknya. Namun, untuk ukuran perempuan berfisik lemah sejak kecil, dengan posisi pernah masuk rumah sakit paska melahirkan karena infeksi, saya merasa bangga dengan diri saya sendiri untuk pencapaian itu. Mengapa saya memilih Mahawu? Karena memang tidak ada seorangpun kawan saya yang sudi meladeni permintaan sinting saya untuk mendaki gunung di usia Aksara waktu itu, dengan kondisi ibunya yang juga seperti “itu.” Beberapa bulan kemudian, saya kembali mengajak Aksara hiking ke gunung Tumpa, untuk mengikuti kegiatan penanaman pohon oleh mapala di kampusnya sepupu saya.

Mengapa saya harus sekeras kepala itu; membawa anak sekecil Aksara ke gunung, membiarkan dia merangkak dan mengeksplorasi gunung? Semata karena keinginan saya yang ingin membawanya mewujudkan impian gila saya menjajaki Himalaya.
Saya memang terlalu cupu untuk pergi ke sana sendirian. Entahlah, menurut saya Himalaya terlalu besar untuk saya “nikmati” sendirian. Well, saya memang nanti berniat untuk ikut open trip, tapi seperti perjalanan-perjalanan saya yang dulu, sebisa mungkin saya akan mengambil kesempatan untuk memisahkan diri dari rombongan (dengan pamit ke penyelenggara tentunya) untuk sekadar duduk dan mencari “Tuhan dalam diri” di sekitar situ. Duduk diam, mata nyalang berkeliling, namun tatapan seakan kosong. Enjoying moment of solitude.

Sampai hari ini, satu-satunya orang yang saya anggap mengerti “sikap penyendiri” saya tersebut hanyalah Aksara. Jangan salah, di usianya yang sekecil itu, bocah itu tahu persis bagaimana “menjaga” ibunya yang sering “menghilang” di tengah keramaian. Aksara akan menyibukkan dirinya dengan bermain hal-hal yang tidak membahayakan dirinya, di saat saya sedang asyik dengan ritual tersebut, tanpa harus meminta perhatian dari saya. Itulah mengapa, saya berniat mengajak Aksara ke Himalaya, agar bisa “mengawasi” saya yang mungkin akan terlena akan ritual kegemaran saya, yang didukung oleh pemandangan magis selama di sana.

Saya sudah bisa membayangkan semua latihan fisik yang harus saya persiapkan selama kami di sana. Mulai saat ini, saya pun harus merencanakan semuanya dengan matang. Memperkirakan waktu yang tepat, menyelaraskan usia yang tepat antara saya dan Aksara agar siap berangkat. Jangan terlalu muda di sisi Aksara, dan terlalu jompo di sisi emaknya, hahaha. Itu sangat penting, karena saya tidak mau egois dalam memaksakan kehendak saya ke sana. Menjaga pola makan dan pola tidur demi stamina kami berdua. Membiasakan Aksara memakan makanan selain nasi dan teman-temannya. Pokoknya berusaha sekuat tenaga agar impian remaja saya bisa terlaksana dengan kerjasama antara kami berdua. Semoga semesta mendukung kami.



Manado, 30 September 2019

Di atas ranjang, sambil menatap si bocah yang beranjak gede dan membayangkan petualangan kami nanti.

22/01/19

Mari Awali 2019 Dengan Nge-blog (lagi), Esmeralda!


Hai Gaes… Jumpa lagiiii...dengan Meissy di sini…

Well, itu adalah kata pembuka terabsurd yang bisa saya pikirkan. Menggabungkan dua era dalam satu kalimat pembuka itu agak miris. Maksudnya sih pengin jadi blogger lucu ala-ala Alitt Susanto atau Bena Kribo, apadaya jadinya maksa. Haha #kray

Malam ini sebelum mulai menulis, hal pertama yang saya lakukan adalah tentu saja nungguin Aksara molor bukain blog sendiri yang udah lama banget tidak dibuka. Mungkin kalo itu rumah, sudah berdebu dan bau apek. Mungkin kalo itu hati, sudah kebas dan bingung bagaimana caranya mencintai. #masihpagiudahcurcol

Ternyata, sejak tahun 2016 saya jarang menulis. Postingan di blog hanya berupa rangkaian “Surat Untuk Februari Tahun 2016.”

“Hah? Apaan tuh, mak?”
“Itu lho, lomba di Instagram yang diselenggarakan oleh Komunitas Pecandu Buku setiap tahun sejak 2016. Aku jadi salah satu dari tiga pemenang lho.” #mulairiya

Tadinya mikir posting itu di blog biar suatu saat kalo Instagram hilang dari peredaran kayak nasib Friendster, saya masih punya satu media buat nanti dibaca-baca kelak kalo lagi pengen pamer sama anak cucu iseng. Tapi kok sekarang mikir lagi, ah jadinya malah curang euy. Blog ini kan isinya tulisan panjang yang (dulu) tidak muat kalau ditulis di beranda Facebook.

Sebelum buka dan bacain satu per satu, saya sudah siap dengan air minum, cemilan, dan handuk kecil. Bukannya apa-apa, siapa tahu saya emosi sendiri bacain cerita yang saya tulis beberapa tahun yang lalu, yekann..
Dan benar saja, baru buka dan ngerapihin tulisan Surat Untuk Februari saja saya sudah lumayan termenung. Ternyata saya pernah sepuitis itu mengekspresikan kegamangan hati zaman alay dulu, bahahahangcyad.

Hampir seluruh postingan saya bertema cinta; pada mantan pacar, sahabat, atau orang-orang terdekat yang mampu membangkitkan inspirasi untuk menulis. Dan semakin kesini, isi tulisan saya “meningkat.” Dari segi makna maupun kaidah penulisan. Tsahhh…

Awal mula bikin blog ini juga lucu sebenarnya. Dulu, zaman saya masih sering ngangon dinosaurus di halaman kostan, saya punya sahabat yang tergolong “laku” alias jarang jomblo. Ada aja pacarnya. Padahal, mukanya toh gak cakep-cakep amat. *Ok, tulisan ini sudah mulai berbau dengki.

Hampir setiap minggu masuk beragam cerita ala novel percintaan yang sering saya baca. Sayangnya, dia ini spesialisasi sad ending alias patah hati muluk. Etdah! Kalo gak pacarnya selingkuh sama temen sekantor, hubungan tanpa restu orang tua, pacarnya lebih milih main motoran touring keliling Mars, sampai hal sepele kayak pacarnya yang lama balas chat di pukul 17:10 padahal dia chat pada pukul 17:09. Drama emang! Ckck..

Sebagai sahabat yang baik, saya selalu menanggapinya dengan santai, tanpa harus menganggapnya lebay. Tapi, sebagai manusia yang normal, lama-lama jadi bosan juga. Mau cerita ke teman yang lain, kasihan. Jadilah saya kepikiran ide buat nulisin semua kisahnya dalam bentuk kisah fiksi yang terinspirasi dari semua curhatannya. Di mana? Ya di blog lah, masa di hatimu. Nanti betah! #eh
Tapi, jadinya malah saya yang keasyikan nulis. Serasa menemukan dunia lain di luar rutinitas di dunia maya. Mungkin ini yang dirasakan Dee Lestari ketika dia mulai menulis dulu. #mulainyamanyamain

Blog jadi tempat saya nyampah, menulis semua keruwetan dalam kepala. Melatih saya menyampaikan isi hati dan pikiran dengan lebih terstruktur. Ciee..
Andai dulu sudah ada media sosial lain seperti Facebook yang bisa menulis uneg-uneg lalu dikomentari semua orang, mungkin saya termasuk anak alay yang menulis hal ngaco yang sepuluh tahun kemudian sangat saya sesali. Toh manusiawi jika kita ingin jadi pusat perhatian ketika sedang terlibat masalah.

Ada periode dimana saya patah hati parah. Benar-benar parah sampai saya sendiri jijik binti malu hati kalau diingatkan tentang masa tersebut. Makan males, tidur susah (ahaa…saya jadi tahu kapan mulai menderita insomnia), dan mandi jarang. #itumemanghobi.
Waktu itu, saya punya seorang sahabat yang setia jadi “buku harian hidup.” Dese sabar mendengarkan semua keluh kesah saya dari yang terberat sampai yang menye-menye doang. Suatu hari, dese nyuruh saya menuliskan semua curhatan tadi ke dalam blog yang saya punya. Katanya, siapa tahu nanti bisa dibukukan. Daripada cuma jadi kenangan usang, mendingan dijadikan uang. Ide bagus, Markonah!

Saya lalu menghabiskan hari-hari keliling ibukota naik kopaja dari satu terminal ke terminal lain, duduk bengong di halte bus sambil liatin orang lalu lalang, dan kalau ada duit lebih, jalan-jalan ke beberapa daerah di Indonesia. Semuanya untuk menambah inspirasi saya dalam menulis. Biar patah hatinya produktif, kata sahabat saya lagi. Soalnya kalau diam terus di kostan, saya bisa mati mengenaskan karena jarang makan, tidur dan mandi. Udah jelek, bau pula! Gimana dapet gebetan baru kalo gitu? Huaaaa...

Semua ide yang muncul di perjalanan saya tuliskan di catatan kecil. Bukannya tidak mau nulis di ponsel (waktu itu saya udah punya BlackBerry #pamer), tapi gak lucu juga kalo pas lagi nulis tiba-tiba ponselnya disambar copet. Ponselnya bisa dibeli lagi, tapi idenya keburu hilang. #bilangajakere

kalo lagi di Kopaja suka nemu fans gini :))


Tulisan yang dihasilkan tidak melulu curhatan. Ada yang berupa cerita tentang hal-hal yang saya lihat di jalan pada hari itu. Ada pula fiksi yang nasibnya kebanyakan masih mengendap di file laptop saya karena tulisannya belum selesai lalu saya keburu lupa untuk melanjutkan tulisan tersebut karena kesibukan di kantor. Kalau dibuka satu per satu, saya suka ngakak sendiri. Kok bisa yah nulis kayak gini dulu.
Lambat laun, menulis jadi semacam candu buat saya. Sehari tanpa menulis, bagai taman tak berbunga..oh begitulah kata para pujangga saya merasa hampa. #halah
Dengan menulis, otak serasa dipacu untuk terus berpikir. Lumayan lah, biar diri ini tidak cepat terserang alzeimer gara-gara keseringan minta dilumpuhkan ingatan tentang mantan kepada Tuhan. Hahaha.

Menulis banyak kegunaannya buat kehidupan saya yang random ini, misalnya menyelamatkan saya dari kegiatan kurang berguna seperti stalking akun sosial medianya mantan yang sering memamerkan kebersamaannya dengan pacar barunya sambil nyanyi lagu Pamer Bojo atau sebagai obat melek pas kejebak macet di jalan (gara-gara saya yang hobinya pelor alias nempel molor di perjalanan, sering ketiduran, alhasil suka kelewatan kalo mo turun, hiks).

Hal yang paling saya ingat adalah, ketika saya harus dirawat di rumah sakit dalam kondisi sendirian di kampung orang. Menulis tentang keseharian di rumah sakit membuat saya lupa akan rasa kesepian yang berbahaya buat orang yang fisiknya sedang down. Tanpa sadar, saya juga menyelamatkan para dokter dan perawat sampai cleaning service yang sering saya perlakukan semena-mena (baca: nyuruh motoin pasien yang narsis akut), dari kebosanan mereka di rumah sakit. Apaaaaa???? #pasientaktaudiuntung


lagi waras, jadinya nulis.




lagi kumat nyuruh2 suster motoin :))

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, blog bukan lagi menjadi tempat curhat istimewa saya. Entahlah, rasa malas ditambah dengan kesibukan menjadi manusia ibukota menjadikan saya enggan untuk sekadar mengetik di komputer. Blog saya pun lama tak tersentuh dengan tulisan acak adut khas seorang Shinta yang ternyata banyak pembaca fanatiknya.

Sampai awal tahun 2019 kemarin. Saya yang sedang membaca buku, sambil menidurkan Aksara-si bocah miniatur emaknya itu, tiba-tiba berpikir untuk membuat resolusi, salah satunya adalah kembali aktif menulis, dan blog ini adalah jalan ninja saya!

Saya tidak tahu, sampai kapan saya bisa konsisten menulis demi mewujudkan resolusi saya tersebut. Jujur, saya bukan tipikal orang yang bisa menjaga komitmen makanya jomlo melulu. Sebuah konsistensi butuh perjuangan besar agar bisa tercapai. Semoga semesta turut mengambil bagian dalam niat ini. Semoga esok masih banyak hal spektakuler yang terjadi dalam hidup saya yang bisa saya tuangkan dalam bentuk tulisan di blog. Dan yang paling penting, semoga fisik saya selalu sehat agar bisa terus memelihara konsistensi ini. #fingercross

Jangan bosan untuk mengingatkan saya kelak jika saya mulai malas, gaes...



Manado, 22 Januari 2019.

Di kamar remang-remang ketika Aksara sudah pulas sejak tadi.