Malam ini saya lagi kurang kerjaan dan ingin menulis blog untuk
memanggil kantuk. Sudah semingguan jam tidur saya jadi kacau gara-gara film
Midsommar. Anehnya, film ini justru sudah saya tonton sejak tiga minggu yang
lalu, tapi efek susah tidurnya telat dua minggu. Well, saya emang tipikal cewek
yang telat pekanya, gaes. Jangan heran kalo anaknya teh suka telat nangkep signal hati, hahay.
Nah, karena saya kemarin susah tidur, saya jadi punya
kebiasaan baru, yaitu membaca blog salah seorang traveller lokal yang
sering melakukan perjalanan ke Nepal. Duh, saya yang cupu ini memang dari dulu
suka memimpikan bisa mendaki pegunungan Himalaya.
Hah? Serius lu, Shin? Lu kan penyakitan!
Emberan, Malih. Maka dari itu dibilang tadi ngimpi pan. :))
Himalaya, adalah mimpi yang hampir mustahil dari seorang tukang
jalan-jalan berfisik agak lemah seperti saya.
Dulu, pertama kali mendengar nama
Himalaya, saya langsung jatuh cinta. Saya yang memang tergila-gila dengan Sanskrit
a.k.a bahasa Sanskerta, otomatis terpukau dengan arti kata Himalaya, yaitu Hima
(Salju) dan Aalaya (tempat kediaman). Terbayang oleh saya keagungan tempat itu.
Tapi yang paling terbayang sih jujur dinginnya, hahaha.
Ah elah, kena suhu AC 19 derajat aja udah teriak-teriak lu,
Shin.
Lalu, di blog si traveler ini, saya menemukan sisi lain dari pegunungan
Himalaya tersebut. Sisi humanis dari para pendakinya. Kisah-kisah yang menambah
ketertarikan saya untuk mencari tahu tentang apa saja yang bisa saya dapati
jika kelak saya berkesempatan mengunjungi Himalaya, bahkan jika saya hanya
sanggup menjajaki kaki gunungnya saja. Rasanya, impian saya untuk ke sana sudah
selangkah lebih dekat. Apalagi dengan mengetahui bahwa untuk pergi ke sana, banyak
opsi mudah dan murah yang memungkinkan saya pergi membawa Aksara.
Sudahkah saya menceritakan kalau sejak Aksara lahir dan berusia
empat bulan, dia sudah saya ajak ke gunung Mahawu? Sebuah gunung yang memang hanya
membutuhkan waktu sepuluh menit menaiki tangga untuk ke puncaknya. Namun, untuk
ukuran perempuan berfisik lemah sejak kecil, dengan posisi pernah masuk rumah
sakit paska melahirkan karena infeksi, saya merasa bangga dengan diri saya
sendiri untuk pencapaian itu. Mengapa saya memilih Mahawu? Karena memang tidak ada
seorangpun kawan saya yang sudi meladeni permintaan sinting saya untuk mendaki
gunung di usia Aksara waktu itu, dengan kondisi ibunya yang juga seperti “itu.”
Beberapa bulan kemudian, saya kembali mengajak Aksara hiking ke gunung
Tumpa, untuk mengikuti kegiatan penanaman pohon oleh mapala di kampusnya sepupu saya.
Mengapa saya harus sekeras kepala itu; membawa anak sekecil
Aksara ke gunung, membiarkan dia merangkak dan mengeksplorasi gunung? Semata karena
keinginan saya yang ingin membawanya mewujudkan impian gila saya menjajaki
Himalaya.
Saya memang terlalu cupu untuk pergi ke sana sendirian. Entahlah,
menurut saya Himalaya terlalu besar untuk saya “nikmati” sendirian. Well, saya
memang nanti berniat untuk ikut open trip, tapi seperti perjalanan-perjalanan
saya yang dulu, sebisa mungkin saya akan mengambil kesempatan untuk memisahkan
diri dari rombongan (dengan pamit ke penyelenggara tentunya) untuk sekadar
duduk dan mencari “Tuhan dalam diri” di sekitar situ. Duduk diam, mata nyalang
berkeliling, namun tatapan seakan kosong. Enjoying moment of solitude.
Sampai hari ini, satu-satunya orang yang saya anggap
mengerti “sikap penyendiri” saya tersebut hanyalah Aksara. Jangan salah, di
usianya yang sekecil itu, bocah itu tahu persis bagaimana “menjaga” ibunya yang
sering “menghilang” di tengah keramaian. Aksara akan menyibukkan dirinya dengan
bermain hal-hal yang tidak membahayakan dirinya, di saat saya sedang asyik dengan
ritual tersebut, tanpa harus meminta perhatian dari saya. Itulah mengapa, saya
berniat mengajak Aksara ke Himalaya, agar bisa “mengawasi” saya yang mungkin
akan terlena akan ritual kegemaran saya, yang didukung oleh pemandangan magis
selama di sana.
Saya sudah bisa membayangkan semua latihan fisik yang harus
saya persiapkan selama kami di sana. Mulai saat ini, saya pun harus merencanakan
semuanya dengan matang. Memperkirakan waktu yang tepat, menyelaraskan usia yang
tepat antara saya dan Aksara agar siap berangkat. Jangan terlalu muda di sisi
Aksara, dan terlalu jompo di sisi emaknya, hahaha. Itu sangat penting, karena
saya tidak mau egois dalam memaksakan kehendak saya ke sana. Menjaga pola makan
dan pola tidur demi stamina kami berdua. Membiasakan Aksara memakan makanan selain
nasi dan teman-temannya. Pokoknya berusaha sekuat tenaga agar impian remaja
saya bisa terlaksana dengan kerjasama antara kami berdua. Semoga semesta
mendukung kami.
Manado, 30 September 2019
Di atas ranjang, sambil menatap si bocah yang beranjak gede dan membayangkan petualangan kami nanti.