25/11/20

Ritual Membersihkan Hati

Hari ini jadi hari paling drama selama saya kerja di kantor yang sekarang. Entah kenapa, selama pandemi, si bos kadar nyebelinnya nambah berkali lipat. Mungkin karena dasarnya dia traveler, pas lama kekurung jadi blingsatan sendiri. Alhasil, kami—para bawahan ceria, yang jadi sasaran pelampiasan.

Syahdan, saya yang selama ini banyakan bersabar, ternyata pertahanannya jebol juga. Sejak beberapa hari yang lalu, migrain sudah menyerang dan hari ini akibat nangis sesegukan, migrainnya ngajak sakit mata buat ikutan memperparah adegan drama hari ini. Untungnya, lurah yang tadi saya temui untuk urusan kerjaan orangnya kooperatif. Tuhan masih sayang sama saya dengan tidak menambah penderitaan urusan birokrasu. 

Pulang kerja, saya singgah ke tempat praktek dokter mata. Setelah diperiksa dengan disuruh melihat huruf-huruf yang urutannya makin lama makin kecil kayak bonus triwulan (lah curcol haha), akhirnya saya ditanyai beberapa pertanyaan seputar gaya hidup yang mungkin berpengaruh pada diagnosa sang dokter. Katanya, mata saya masih pada ambang batas normal. Mungkin saya hanya kelelahan dan stress. Bah, jujur saya melongo dengarnya. Antara pengen bersyukur karena tidak ada sakit yang serius, atau pengen ngomelin dese. Njir, kalo cuma gituan hasilnya, mending aing ke dokter umum aja. Makin syok pas ke kasir dan dikasih notanya. Migrainnya agak nambah, untung inget kalo dibayarin kantor. Haha --"

Nyampe rumah, kepikiran buat mandi plus keramas. Sebenarnya bukan mandinya yang jadi tujuan utama, mengingat saya bukan orang yang hobi mandi, hihihi. Ada ritual yang bisa dibilang unik yang saya temukan sejak tahun 2006 kalau saya sedang marah dengan sesuatu tapi tidak bisa melampiaskannya langsung. Ritual yang berhubungan dengan air dan bersih-bersih. Sore tadi, saya kepikiran untuk gosek WC. Lahhh.. Kok gosek WC? Kenapa gak cuci piring atau cuci baju aja? Well, ada tingkatan kemarahan yang jadi acuan saya dalam menjalankan ritual ini. Cuci piring itu level pertama. Cuci baju itu level kedua. Dan menyikat WC adalah tingkatan semi kiamat alias kalo saya udah marah banget dan berpotensi ngancurin barang-barang. Menyikat WC dengan penuh penghayatan dan penekanan pada sikat adalah terapi penyembuhan yang paling manjur buat saya.

Dulu, tahun 2006, saya pernah berantem dengan calon gebetan di Simpang Lima Semarang. Tepatnya, saya dilabrak pacarnya yang mengetahui kalau si bangsat yang adalah teman sekantor saya itu mulai mendekati cewek lain. Lah Maemunah, mana saya tahu kalo laki lau udah taken. Sebagai perantau yang tiap hari dibawakan makan siang dan kadang diantar jemput, tentunya saya menerima dengan senang hati. Singkatnya, setelah kami berantem disaksikan anak gaul Semarang yang menuhin jalan Pahlawan malam itu, saya lalu memaksa pulang naik angkot, walaupun teman sekantor saya itu memohon untuk nganterin saya ke kostan dan memilih mengabaikan pacarnya yang kesetanan di tengah jalan. Drama abis!
Begitu nyampe kostan, saya yang moodnya hancur, entah kenapa langsung impulsif mengambil ember dan mengisinya dengan baju bekas saya pakai barusan, air dan sabun cuci. Tak peduli dengan jam yang sudah larut, saya mulai mencuci sambil terus-terusan mengumpat. Ruang cuci kostan yang bersebelahan dengan ruang TV umum, menyebabkan saya jadi tontonan gratis nan lucu oleh para gadis penghuni kostan yang gak bermalam mingguan. Mereka sampe guyon "Mbok yah tiap hari marahnya, bajuku ngono dicuciin juga po."

Tahun 2012, saya batal terbang ke Bali karena keteledoran sendiri, jadi kemudian memilih kembali ke rumah mantan bakal calon mertua (cieee) dan melampiaskan kekesalan hari itu dengan mencuci semua piring dan gelas yang ada di rumah tersebut. Dari yang memang bekas dipakai dan belum sempat tercuci, sampai perabot bersih yang ada di rak piring. Si mamah sampai geleng-geleng kepala melihat cewek dengan dandanan siap ke pantai lengkap dengan topi jerami yang sibuk mondar-mandir di dapurnya. Adik mas mantan sempat-sempatnya nyeletuk sambil cekikikan "Ce, itu kamarnya Koko debuan, gak sekalian dibersihin?" Untungnya dia langsung diam demi melihat lirikan tajam emaknya.

Tahun 2016 akhir, ketika saya tengah mengandung Aksara, saya pulang dalam keadaan marah besar karena alasan yang malas saya ceritakan di sini. Jam 3 subuh saya masuk kamar mandi lalu menyikat lantai, dinding dan bak mandi sampai adzan subuh berkumandang. Untung Aksara adalah tipe anak kuat sejak dini. Hampir satu setengah jam saya berkutat dengan air, perut saya alhamdulillah baik-baik saja. Benar kata pepatah, bahwa tidak ada rasa sakit yang bisa mengalahkan rasa kecewa. 

Malam ini, kemarahan saya memang belum sepenuhnya reda. Mungkin karena ritual saya tadi sore kurang lama. Baru sekitar sepuluh menit menggosok dinding kamar mandi, Aksara sudah menggedor pintu. Anak itu sekarang sedang memasuki tahap posesif, jangankan lama di WC, keluar kamar ngambil minum aja dese kudu ngekor. #sigh

Akibatnya, malam ini saya kembali insomnia. Kemarahan tadi pagi efeknya memang jelek sekali. Mungkin, esok pagi saya harus kembali menggosek WC atau kamar mandi umum di rumah ini. Atau nyuci baju pake tangan. Atau apalah biar hati ini tenang kembali. Arghhhhh kesalnyaaaaaaaa!!!! 😭😭😭


Manado, 26 November 2020 01:53 AM
Counting down to another November 30.

21/11/20

Tentang Seseorang Yang Selalu Ada

Ini tulisan saya di tahun 2015. Waktu pertama kali pulang Manado setelah lama "bertualang."

Setelah baca lagi, kayaknya emang kudu diabadikan di blog biar kelak bisa dibaca-baca lagi sama Aksara. 😊

Kemarin, tepat 7 tahun yang lalu mama berpulang. Sorenya, gw berkunjung ke rumah peristirahatan beliau, sekedar baca doa, nangis curhat colongan, plus selfie-selfie, ahahaha. Kebiasaan gw setiap tahun memang begitu. Gw selalu memilih untuk datang sendiri kesana, gak ramean dengan anggota keluarga lainnya, karena ingin lebih leluasa berdialog secara monolog dengan mama.


Sejak 7 tahun kepergian mama, mungkin hanya 3 tahun setiap peringatan hari kematiannya, gw pergi berziarah langsung ke Manado. Selain karena memang kota domisili gw yang susah ditebak macem perasaan gebetan (cieee), mama meninggal di bulan yang sama dengan bulan kelahiran gw, di mana setiap tahunnya selalu gw persiapkan istimewa dengan merancang rencana jalan-jalan ke tempat-tempat untuk sekedar bermeditasi dan merefleksi perjalanan setahun kemarin (sok iye hahaha). Jadinya gw mengesampingkan pulang ke Manado untuk berziarah dan memilih berpetualang merayakan hari kelahiran. 


Padahal, gw rasa kalo posisinya dibalik alias gw yang "pergi" duluan dan mama masih hidup sampe sekarang, pasti setiap tahun beliau bakal nyiapin sekedar acara doa bersama kecil-kecilan di rumah, atau membawa apapun ke panti asuhan agar anak2 yatim piatu yang mama sangat percaya doanya bisa "by pass" langsung ke Tuhan. Dengan kata lain, mama bakal memastikan ada kiriman pahala super banyak tiap tahunnya yang bertujuan melapangkan kuburan gw plus mendoakan anak bandelnya ini agar tenang di sana. Mama akan melakukan apa saja untuk menyenangkan dan membahagiakan keluarganya, bahkan sampai ke liang kubur kami jika memungkinkan. Menetes airmata gw mengingat betapa egoisnya gw sebagai anak. Makin kenceng tangisan gw setelah berpikir bahwa kelak gw juga bakal jadi ibu. Alangkah sedihnya ketika gw mati dan anak2 gw tidak peduli bahkan untuk sekedar mengunjungi kuburan gw. Terlalu klise jika gw berkata "Yang penting tiap hari gw berdoa, toh mama juga bakal seneng liat gw menikmati hidup." 


Tahun ini juga gw memperhatikan, "tetangga baru" mama semakin banyak. Kebiasaan gw memperhatikan lingkungan sekeliling membuat gw juga membuat semacam daftar sensus deretan "tetangga" mama mulai dari nama, tanggal kelahiran, dan tanggal kematian. Ahh, betapa umur manusia tidak bisa diprediksi. Kematian bisa datang kapan saja dan mendatangi siapa saja. Terbukti dengan beragam usia yang tertera di nisan mereka. Itu membuat gw makin mikir, kalo esok giliran gw dipanggil, persiapan gw apa sampe saat ini? Mau pergi jalan-jalan ke kota atau negara berbeda aja gw nyusun rencananya bisa rempong sebulanan ngatur ini itu, apalagi ini perginya ke alam lain? Apakah gw sudah cukup berguna di kehidupan gw dan kelak gak bakalan nyesal kalo tiba-tiba dipanggil menghadapNya?


Ternyata, datang ke kuburannya mama bisa membuat gw belajar untuk lebih menghargai setiap hari kehidupan gw sebagai sebuah karunia. Masih bisa bernafas dan berkesempatan melihat matahari setiap pagi, adalah kebahagiaan sederhana yang patut gw syukuri. Refleksi tepat di hari kematian mama, seminggu sebelum hari kelahiran gw. 


Maaf Ma, sampai hari ini ade belum bisa memenuhi keinginan mama sepenuhnya. Masih belum bisa gantian menjaga papa, masih belum bisa ngajak kak Santi belanja sepuasnya tanpa mikirin harga, masih belum bisa bawa teman seperjuangan buat Kak Bobby yang kerepotan ngehalau air banjir kalo hujan deras, masih belum bisa ngasih Jordan dan Nia sepupu buat main bareng. Mudah-mudahan tahun ini terakhir kalinya Ade datang berziarah sendiri yah Ma. Ini bukan kode kok, cuma doa anak sholeh doank lho Ma, ahahaha. 

Mohon doanya Ma, diumur yang baru nanti, ade bisa jadi berguna dan lebih bijaksana, agar bisa membuat mama tersenyum bangga di atas sana. 

Semoga bahagia terus disana yah Ma. Aminnn