25/01/20

Luka Itu Masih Ada


Malam minggu adalah jadwal saya menonton film sampai menjelang subuh. Biasanya, saya memulai kegiatan setelah Aksara tertidur. Maklum, anak ini sudah mengerti “nonton” gara-gara pernah saya ajak menonton film “Frozen” di laptop.

Lagi asyik browsing film yang akan saya tonton, saya menemukan film “Posesif.”

Film yang menjadikan Putri Marino pemenang Piala Citra tahun 2017 di film perdananya.
Film yang menceritakan tentang problematika dua anak manusia zaman sekarang.
Film yang bersountracks dua lagu yang di manapun saya berada; baru mendengar intronya saja, airmata langsung mengalir deras.
Film yang pada tahun rilisnya, saya dilarang menonton oleh para sahabat saya.

Dan malam ini saya menantang diri sendiri, tepatnya memberanikan diri, untuk mengatasi semua ketakutan yang selama ini saya pendam.

Benar kata para sahabat saya.
Film ini berhasil membuat saya menelan ludah pada sepuluh menit pertama. Selanjutnya, airmata banjir, dada saya sakit, napas saya sesak.
Banyak adegan yang membuka luka lama. Banyak adegan yang membuat dejavu. Banyak adegan sama persis, seperti mengulang deretan peristiwa nyata sepanjang hidup.
Sakitnya masih terasa sampai detik ini. Duka yang lama tertutupi dengan senyum sok tabah.  
Menulis ini pun, tangan saya masih bergetar. Ingin saya menganggap ini cuma kelebay-an saya semata. Ini akibat saya yang memaksa menonton film yang sudah jelas-jelas dilarang oleh orang-orang yang mengerti masa lalu saya. Konyol memang.

Namun, benar kata para sahabat saya.
Ternyata, saya memang selalu dan akan selalu keras kepala.
Ternyata, saya memang belum memaafkan siapa-siapa.

Manado, 26 Januari 2020
04:17 WITA

17/01/20

Commitment isn't my thing!


“Kak Tet, did you married ur soulmate?”
“Perhaps not. But I must be happy with my destiny.”

Well, ini memang bukan tulisan pertama yang saya harapkan untuk jadi pembuka tulisan di awal tahun. Obrolan serius tentang perasaan memang agak saya hindari sekarang, mengingat keadaan hati yang sering ringsek bisa makin buruk jika melulu dipake ngebahas hal kayak ginian.

Obrolan tadi adalah obrolan lama saya dengan salah satu senior di kampus yang lumayan dekat dengan saya. Kepadanya, saya bebas bercerita apa saja, bahkan topik-topik ajaib yang mungkin buat orang lain geleng-geleng kepala. Beliau memang berpikiran terbuka dan tidak pernah menghakimi saya, apapun cerita yang saya utarakan.

Komitmen, momok menakutkan yang selalu menghantui saya sejak dulu. Entah saya yang terlalu percaya dengan ramalan bintang atau apalah, tapi ramalan tentang Sagittarius yang memang sulit berkomitmen itu memang banyak benarnya. Apalagi, saya senang dengan hal-hal romantis bodoh seperti di film komedi romantis Hollywood. Menemukan orang yang mau berkomitmen sehidup semati selamanya sampe mencri-mencri adalah impian terbesar kaum perempuan, termasuk saya. Sayangnya, sampai umur saya seehem ini, saya malah belum menemukan orang seperti itu. Orang yang bisa membuat saya percaya bahwa komitmen itu bukan tahayul. Bahkan tidak dengan orang yang kemarin telah “menghadiahi” saya sosok mungil yang menjadi miniatur saya. Well, to be honest, dia memang tidak pernah masuk dalam daftar orang yang sekiranya mau saya ajak berkomitmen serius sih, ahaha.

Pepatah Jawa mengatakan “Witing Tresno jalaran soko kulino”

Saya sih bukan tipikal kayak gitu. Saya tipikal pemburu. Menyukai terlebih dahulu. Bukan awalnya dari kenal, sering jalan bareng, makan gado-gado bareng, nonton konser bareng,  bobok bareng, lalu hati ambyar. 
Saya tipikal Sagitarian apa adanya. Kalau suka yah suka aja, ibarat makan ayam KFC, yang dimakan duluan ya kulitnya, karena itu bagian paling enaknya. Kalopun nanti belakang bakalan tidak enak akhirannya, ya diterima saja. Toh lagu bertema galau ada ribuan judulnya yang gak bakalan habis dinyanyikan sampai hati tenang kembali.

Kembali ke obrolan saya dengan senior saya kemarin. Saya lumayan takjub dengan orang yang bersedia berkomitmen seumur hidup dengan orang yang bukan belahan jiwanya. Tidak bisa saya bayangkan jika saya harus bangun tidur setiap hari dengan orang yang sama, yang bahkan bukan “kind of my fav human on earth.” 

Gosh, harus seumur hidup menolelir seseorang yang sama adalah episode horor tak berkesudahan yang malas saya bayangkan bisa terjadi dalam hidup saya yang memang sudah pelik ini. Bukankah ada pilihan kita dalam menjalani hidup? Salah satunya dengan memilih siapa yang akan mendampingi hidup kita nanti? Atau bahkan memilih untuk tidak memilih siapapun merupakan sebuah pilihan. Rasanya, tidak adil jika mengorbankan perasaan penuh kebebasan hanya demi perasaan takut sendirian.

Berkomitmen dengan seseorang berarti mempercayakan perasaan kita untuk bertoleransi dengan pemikiran orang lain. Pemikiran yang terkadang tidak sesuai dengan hati nurani kita. Saya ngeri membayangkan harus seiya sekata dalam memilih tempat makan, atau warna cat dinding rumah, atau gaya mengasuh anak, bahkan menyelaraskan antara kewajiban dalam berkomitmen dan keinginan untuk menggapai impian pribadi satu per satu.
Harus sosok orang yang benar-benar "klik" dan nyambung satu sama lain, biar tektok-nya enak. Soalnya saya bukan penganut paham "beda itu biasa, kan biar saling melengkapi." Elahh.. basi.

Dan kayaknya emang mustahil ada orang yang beneran cocok sama saya di dunia ini. Kalaupun ada, mungkin juga gak mau sama saya. Hahahahahahahanjenggg.. #kray

Ah...saya pusing. Mo makan choipan aja sampe mabok! Mumpung belum ada yang melarang! #lho


Manado, 18 Januari 2020

01:29 WITA
Lagi kesambet nulis sambil donlot film