“Kak Tet, did you married ur soulmate?”
“Perhaps not. But I must be happy with my destiny.”
Well, ini memang bukan tulisan pertama yang saya harapkan
untuk jadi pembuka tulisan di awal tahun. Obrolan serius tentang perasaan
memang agak saya hindari sekarang, mengingat keadaan hati yang sering ringsek bisa
makin buruk jika melulu dipake ngebahas hal kayak ginian.
Obrolan tadi adalah obrolan lama saya dengan salah satu
senior di kampus yang lumayan dekat dengan saya. Kepadanya, saya bebas bercerita apa saja,
bahkan topik-topik ajaib yang mungkin buat orang lain geleng-geleng kepala. Beliau
memang berpikiran terbuka dan tidak pernah menghakimi saya, apapun cerita yang
saya utarakan.
Komitmen, momok menakutkan yang selalu menghantui saya sejak
dulu. Entah saya yang terlalu percaya dengan ramalan bintang atau apalah, tapi
ramalan tentang Sagittarius yang memang sulit berkomitmen itu memang banyak
benarnya. Apalagi, saya senang dengan hal-hal romantis bodoh seperti di film komedi
romantis Hollywood. Menemukan orang yang mau berkomitmen sehidup semati selamanya
sampe mencri-mencri adalah impian terbesar kaum perempuan, termasuk saya. Sayangnya,
sampai umur saya seehem ini, saya malah belum menemukan orang seperti itu. Orang
yang bisa membuat saya percaya bahwa komitmen itu bukan tahayul. Bahkan tidak
dengan orang yang kemarin telah “menghadiahi” saya sosok mungil yang menjadi miniatur
saya. Well, to be honest, dia memang tidak pernah masuk dalam daftar orang yang
sekiranya mau saya ajak berkomitmen serius sih, ahaha.
Pepatah Jawa mengatakan “Witing Tresno jalaran soko kulino”
Saya sih bukan tipikal kayak gitu. Saya tipikal pemburu. Menyukai
terlebih dahulu. Bukan awalnya dari kenal, sering jalan bareng, makan gado-gado
bareng, nonton konser bareng, bobok bareng, lalu hati ambyar.
Saya tipikal
Sagitarian apa adanya. Kalau suka yah suka aja, ibarat makan ayam KFC, yang
dimakan duluan ya kulitnya, karena itu bagian paling enaknya. Kalopun nanti
belakang bakalan tidak enak akhirannya, ya diterima saja. Toh lagu bertema galau ada ribuan
judulnya yang gak bakalan habis dinyanyikan sampai hati tenang kembali.
Kembali ke obrolan saya dengan senior saya kemarin. Saya lumayan
takjub dengan orang yang bersedia berkomitmen seumur hidup dengan orang yang
bukan belahan jiwanya. Tidak bisa saya bayangkan jika saya harus bangun tidur
setiap hari dengan orang yang sama, yang bahkan bukan “kind of my fav human on
earth.”
Gosh, harus seumur hidup menolelir seseorang yang sama
adalah episode horor tak berkesudahan yang malas saya bayangkan bisa terjadi
dalam hidup saya yang memang sudah pelik ini. Bukankah ada pilihan kita dalam
menjalani hidup? Salah satunya dengan memilih siapa yang akan mendampingi hidup
kita nanti? Atau bahkan memilih untuk tidak memilih siapapun merupakan sebuah
pilihan. Rasanya, tidak adil jika mengorbankan perasaan penuh kebebasan hanya demi
perasaan takut sendirian.
Berkomitmen dengan seseorang berarti mempercayakan perasaan
kita untuk bertoleransi dengan pemikiran orang lain. Pemikiran yang terkadang
tidak sesuai dengan hati nurani kita. Saya ngeri membayangkan harus seiya
sekata dalam memilih tempat makan, atau warna cat dinding rumah, atau gaya
mengasuh anak, bahkan menyelaraskan antara kewajiban dalam berkomitmen dan
keinginan untuk menggapai impian pribadi satu per satu.
Harus sosok orang yang benar-benar "klik" dan nyambung satu sama lain, biar tektok-nya enak. Soalnya saya bukan penganut paham "beda itu biasa, kan biar saling melengkapi." Elahh.. basi.
Dan kayaknya emang mustahil ada orang yang beneran cocok sama saya di dunia ini. Kalaupun ada, mungkin juga gak mau sama saya. Hahahahahahahanjenggg.. #kray
Ah...saya pusing. Mo makan choipan aja sampe mabok! Mumpung belum
ada yang melarang! #lho
Manado, 18 Januari 2020
01:29 WITA
Lagi kesambet nulis sambil donlot film