29/05/15

Selamat berkarya dalam "Lembaran Baru"...Guntur Satria :')

Hapus air matamu, jangan menangis lagi.
Dekatkan telingamu, dengar detak jantungku.
Dibalik langit kelabu pelangi tlah menunggu setiap derap langkahmu, berikan warna baru.
Jika nanti kau tersesat ku kan membawamu ke lembaran baru.
Mentari tlah terbit dari lubuk hatimu, sinarnya melindungi jalani hari baru…

Itu adalah sepenggal lirik dari lagu berjudul “Lembaran Baru” milik seorang sahabat yang akan saya ceritakan kali ini.

Nama anak itu Guntur Satria. Sosok yang pertama saya kenal di acara pembukaan kafe milik sahabat saya di Buah Batu, Bandung. Ican - sahabat saya – begitu antusias mempromosikan talenta anak itu. Kata Ican “Kamu harus denger suara anak ini, Nta. Aku sepanggung di Maranatha kemarin dan langsung terpukau denger suaranya”. Saya hanya mengangguk-angguk tak acuh. Keadaan di kafe terlalu ramai dengan kawan-kawan Ican, membuat saya susah menikmati suasana. Sebelum Guntur Satria mulai bernyanyi, saya malah salah fokus dengan memperhatikan botol minuman plastik berwarna kuning miliknya. Sama persis dengan punya saya. Gak penting yah? Emang…

Sampai Guntur Satria pun mulai memetik gitar…bernyanyi, dan saya tertegun selama sepersekian detik. Terpesona. Sahabat saya benar, anak ini luar biasa.

“I’m gonna live like tomorrow never exist…like it never exist”

Suara berat mendayu membuat lagu pop “Chandelier” yang dipopulerkan oleh Sia berubah menjadi lagu beraliran blues ketika diotak-atik dan dinyanyikan kembali oleh Guntur Satria. Waktu itu Bandung hujan gerimis. Saya yang terbiasa tidur sore awalnya terbuai dengan alunan lagu dan suara merdu yang terdengar dari studio milik Ican yang berada tepat di bawah kamar yang saya tempati. Bandung gerimis dan suara miliknya memang berkolaborasi dengan indah, menimbulkan efek magis kepada siapa saja yang mendengarnya. Namun kesyahduan itu tidak berlangsung lama. Proses rekaman yang berulang-ulang, gelak tawa Ican dan kru studio plus sang penyanyi terlalu heboh, sehingga memaksa saya untuk mengakhiri acara tidur sore lalu bergabung dengan mereka di bawah.

Saya yang turun ke studio untuk melihat proses rekaman mereka, harus setengah mati menahan tawa melihat pakaian yang dipakai sang penyanyi. Setelan kemeja rapi, celana kain dan berkacamata bulat seperti Harry Potter, membuatnya lebih terlihat seperti seorangfresh graduate kinyis-kinyis yang kerap berlalu lalang di sepanjang jalan protokol ibukota, dibanding seorang musisi Bandung yang sedang meniti karir. Rupanya dia baru pulang dari kampusnya. Dibalik obsesinya menjadi seorang musisi handal, dia juga tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang mahasiswa tingkat 3 (waktu itu) di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Sore itu saya sempat membuatkan mereka pisang goreng campur tempe plus sambal cabe setan ala Manado. Guntur Satria yang belum terbiasa dengan pedasnya sambel buatan saya, sukses dikerjai Ican dan kawanannya. Mukanya langsung memerah dan meringis. Kami tertawa-tawa melihat ekspresinya.

Malam itu, saya pun terpaksa tidur sambil mendengarkan suaranya berulang-ulang karena proses rekaman terus berlanjut sampai adzan subuh berkumandang. Secara tidak sengaja, suara itu akhirnya tertanam dalam alam bawah sadar saya. Beberapa bulan setelah itu, lagu Chandelier yang dinyanyikan kembali oleh Guntur Satria selalu menjadi lagu pengiring saya sepanjang perjalanan backpacking keliling beberapa kota di Indonesia, atau sekedar menemani malam-malam sunyi ketika insomnia melanda. Satu-satunya lagu yang sayadownload di ponsel. Semacam lagu wajib pengusir badmood yang pantang dilewatkan.

“Tulisan kakak bagus. / Wah…kamu baca? Makasih yah”

Saya yang memang banci sosmed melihat profil milik Guntur Satria di salah satu akun milik teman. Setelah permintaan pertemanan saya di sosial media berlogo biru itu diterima olehnya, kami hanya sekedar berteman di dunia maya. Sampai suatu hari ketika saya memuat sebuah tulisan, dia lalu mulai mengajak saya mengobrol. Ternyata dia tidak hanya membaca tulisan terbaru saya. Ada beberapa tulisan lama yang telah dibacanya. Senang? Tentu saja. Siapa yang tidak senang mendapat pujian dari seorang musisi idola. Tidak peduli berapapun usianya. Mendapatkan penghargaan dari segala kalangan adalah kebanggaan tersendiri buat penulis musiman seperti saya. Namun untuk memuji karya orang lain dengan ikhlas sementara diri sendiri pun sedang bertabur pujian, butuh kerendahan hati, sosok ksatria sejati. Sejak saat itu saya memanggil dia dengan nama tengahnya, Satria.

“Kenapa kakak suka menulis? / Kenapa kamu suka bermusik?”

Hobi memang tidak bisa ditanya, apalagi diteliti. Terkadang hobi bisa menjadi sarana penyaluran ide maupun sampah pikiran yang menggunung. Saya menarikan imajinasi melalui jemari di atas tombol laptop, Satria melontarkan kreatifitas melalui petikan jemari di atas senar gitar. Kami sama-sama membuka jendela diri lewat kreasi, dalam bentuk berbeda, cara kami untuk memperlihatkan bentuk diri yang sebenarnya kepada dunia luar – orang-orang di sekitar kami – syukur-syukur mereka bisa mengerti. Niat awal kami bukan berharap dipuji. Toh ide yang tertuang bisa melapangkan isi pikiran yang terlalu penuh dari hari ke hari. Jika kedepannya ada yang sudi menikmati dan mengapresiasi, itu merupakan bonus bagi kami.

“Kenapa kakak suka banget duduk bengong di Braga? Apa gak bosan ngeliatin orang lalu-lalang berjam-jam? / Hehe, buat kakak Braga itu “rumah”. Keramaian yang sunyi. Mungkin seperti kamu yang mencari inspirasi dengan berjalan kaki keliling Braga sendirian.”

Braga adalah salah satu sudut di kota Bandung yang selalu menarik buat saya dan Satria. Belum lengkap rasanya jika ke Bandung dan tidak menyambangi Braga. Ada rasa rindu yang susah dijelaskan dalam setiap pertemuan saya dengan Braga. Satria, mengenal Braga dari sisi romantisme klasik ala dia. Banyak kisah pribadi yang mewarnai jalinan hubungan uniknya, pada setiap langkahnya di Braga. Kami mendefinisikan Braga dengan sudut pandang yang berlainan. Apapun alasan kami berdua, Braga adalah dunia kecil yang selalu menjadi poros kami dalam berkarya. Kesenyapan khas kota tua yang dikelilingi hingar bingar arus modernisasi kota pariwisata.

“Kenapa kamu memilih aliran blues? Anak seusiamu kayaknya kurang pas mainin musik blues. Ketuaan seleranya. Pangsa pasar terbanyak untuk musisi baru itu remaja lho. Gak takut kehilangan penggemar? / Aku berkarya karena aku suka Kak. Memainkan musik dengan hati. Seperti memasak, bermain musik juga membutuhkan intuisi dan pengalaman. Bukan hanya sekedar mencampur bahan. Makanan yang salah olah adalah racun untuk jiwa. Begitupun karya musik. Butuh waktu, tenaga, dan keikhlasan. Jika aku tidak suka, susah rasanya untuk berpura-pura. Blues buatku adalah bahan dasar. Kedepannya akan ada banyak percampuran jenis musik yang mewarnai. Karya yang baik adalah karya yang terlebih dahulu bisa menghibur pencipta awalnya. Kalau kita sendiri tidak menikmati, bagaimana orang lain bisa?.”

Komentar pedas sekaligus pertanyaan saya waktu Satria mulai mengedarkan album pertama bertajuk “Pergi Keluar” itu dijawab dengan cerdas olehnya. Saya memanggilnya dengan julukan “Lil Genius” yang berarti bocah jenius. Dalam menilai karya seseorang, saya berusaha untuk objektif tanpa melihat latar belakangnya. Tetapi tidak bisa dipungkiri, usia Satria masih sangat muda jika kita membandingkan dengan caranya bermusik. Satria bahkan sudah diakui oleh kalangan musisi indie Bandung yang terkenal keras menguji para pendatang baru. Namanya mulai dikenal dan sering diundang di beberapa acara yang diadakan di Bandung. Berkolaborasi dengan banyak musisi, menjadikan kemampuannya semakin terasah. Satria membuktikan bahwa dia tidak sedang bercanda dengan impian besarnya. Saya selalu salut dengan semangatnya. Sosok jenius yang tidak pelit berbagi ilmu dan energi dengan siapa saja.

 “Kalo gak salah, tulisan kakak sering tentang para sahabat yang berhari ulang tahun. Hadiah yah kak? Nanti saya ulang tahun dikasih hadiah tulisan juga yah. / Hahaha…iya nanti lah kalo kakak dapet ilham sama mood lagi bagus. Tapi ditukar bikini lagu yah nanti kalo kakak ulang tahun”

Permintaan sepele yang diutarakan Satria pada hari ulang tahunnya di bulan April kemarin, tidak sempat saya wujudkan. Mood saya sedang tidak bagus saat itu, menyebabkan otak saya mampet dan mogok berproduksi. Saya hanya sempat mengucapkan selamat melalui obrolan singkat yang ditanggapinya dengan ucapan terima kasih tulus. Saya memang hanya beberapa kali bertemu langsung dengannya di Bandung. Tetapi dari situ saya bisa menilai bahwa senyum yang dia lontarkan kepada siapa saja termasuk saya itu adalah senyum tulus, bukan modus. Betapa piciknya saya yang berpikir nantinya akan merengek minta dibuatkan lagu pada hari ulang tahun nanti, padahal saya malas meluangkan waktu untuk menulis ucapan berupa tulisan seperti yang dia pinta. Orang baik seperti Satria, pasti tidak akan tega menolak permintaan seperti itu, pikir saya.

“BB King barusan meninggal Kak. Sedih dengernya. Aku ngefans banget sama beliau. / Hah? BB King? Itu siapa? Kakak malah sedihnya karena Kang Didi Petet meninggal. Duh, bulan Mei tuh banyak banget seniman yang pergi yah”

Untuk soal otak, anak ini memang lumayan pintar. Pengetahuannya di bidang musik dan bidang lainnya terkadang membuat saya geleng-geleng kepala. Satria menggunakan teknologi infomasi secara maksimal untuk kepentingan yang benar-benar berguna. Dari tutur kata dan penggunaan tata bahasa ketika kami berkomunikasi, saya tidak perlu waktu lama untuk mengerti penjelasannya ataupun sebaliknya. Mungkin dia termasuk anak Bandung masa kini yang tercukupi gizi sejak kecil, haha.

BB King...king of blues, idola SatriaBB King...king of blues, idola Satria


“Kak, tidur. Insomnia gak baik buat badan kakak yang penyakitan. Kakak harus hidup lama buat menyaksikan musik blues jadi tren di kalangan anak muda. Aku masih butuh kritik sarkastik dari orang tua segaul kakak. / Hahaha, siyalan kamu. Kakak belum setua itu buat mati cepat. Lagian kakak mau jadi salah satu penonton di konser blues kamu di Amerika sana. Abis itu kita duduk-duduk ngeteh di Central Park liat daun berguguran. Amin.”


Satria adalah anak yang perhatian. Dia selalu menebarkan senyum tulus kepada siapa saja yang mengenalnya. Satria juga selalu mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, seperti dia juga yang selalu menerapkan pola hidup sehat dengan tidak merokok maupun menkonsumsi minuman beralkohol, setidaknya didepan kami para sahabatnya. Saya selalu tertawa mendengar ceramah penyemangat ala dia tentang hidup sehat demi menggapai impian. Satria juga bermimpi untuk menjadikan musik blues bisa diterima oleh semua kalangan. Anak muda enerjik dengan segudang harapan dan sekarung tenaga untuk mewujudkannya. Saya percaya dia bisa mencapainya, karena saya tahu persis, Satria bekerja keras untuk menuju kesana. Saya pun sangat bersyukur bisa mengenalnya dan melihat kepingan impian kecil itu perlahan menyatu dan nanti pada akhirnya terlaksana. Dengan mimpi besar Satria menjadi musisi taraf internasional yang karyanya dinikmati lintas benua, bukan tidak mungkin suatu hari nanti saya berkesempatan melihat dia tampil memainkan musik blues kebanggaannya di negeri sejuta asa, Amerika. Satria memang mempunyai talenta yang tidak biasa dan kegigihan yang luar biasa.


Jakarta, Kamis 28 Mei 2015
Saya yang baru bisa memegang ponsel selepas adzan Isya, langsung terduduk di lantai, lemas setelah membaca status terbaru salah seorang sahabat di Bandung yang mengabarkan tentang kepergian seorang musisi berbakat yang diinfokan oleh media sosial berlogo burung, Guntur Satria. Saya yang memang tidak mempunyai akun di sosmed tersebut, langsung memastikan lewat sambungan telepon, menghubungi nomer milik Satria, tapi tidak ada jawaban darinya. Dengan perasaan campur aduk dan tangan bergetar hebat, saya mencoba menghubungi seluruh kerabat di Bandung yang mengenalnya, dan semuanya memberikan jawaban yang sama. Satria telah berpulang – dalam tidurnya – menghadap Sang Pencipta pada hari Kamis jam 3 pagi.

Jumat subuh, saya memaksakan diri untuk berkemas dan pergi dengan bus paling awal untuk mengikuti prosesi pemakamannya. Siangnya, Bandung menyambut kedatangan saya dengan muram. Bus yang saya tumpangi dari Jakarta sempat terjebak kemacetan di beberapa titik baru kemudian berhasil memasuki kota kebanggaan Satria. Masih dengan airmata yang entah kenapa selalu gagal saya hentikan alirannya, saya duduk terpaku di sisi pusara yang bertuliskan nama sahabat baru yang selalu menemani saya dengan suara merdu dan bercandaan “kering” ala dia. Saya gagal mengikuti prosesi penghormatan terakhirnya yang berlangsung jam 9 pagi, karena kemacetan pagi hari di ibukota yang luar biasa.


Sorenya, saya duduk di sebuah kafe di sudut Braga, daerah kota tua Bandung yang menjadi tempat nongkrong favorit warga Bandung, termasuk saya dan Satria. Kafe langganan yang sering mengundang anak jenius ini untuk tampil bersenandung sambil memetik gitar. Kata teman-teman kami, Satria banyak penggemarnya disini. Saya tidak heran. Memiliki bakat musik plus ditunjang dengan wajah dan gaya khas anak muda masa kini yang dimilikinya, Satria pantas menjadi salah satu idola anak gaul Bandung. Saya hanya duduk bengong menatap jalanan Braga lagi, seperti kebiasaan saya sebelum saya mengenal Satria. Namun entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Entah rasa makanan dan minuman favorit saya yang sebelumnya selalu berhasil saya habiskan dalam sekejap mata namun kali ini terasa hambar, atau lalu lalang orang yang semakin malam semakin ramai namun anehnya malah menambah kesepian saya. Band di kafe memainkan dua lagu coveran milik Satria, “What A Wonderfull World” dan “Lost Star”. Terakhir mereka memainkan lagu “Lembaran Baru” yang merupakan single perdana miliknya di album “Pergi Keluar” yang sudah beredar secara online. Alunan musik blues dan suara lembut Satria sontak memenuhi ruangan kafe. Perlahan  saya sadar, ada kenyataan dimana saya terima atau tidak, kedepannya tidak akan ada lagi sosok Satria, si anak jenius yang tadi pagi dikebumikan.

Malamnya, saya pulang ke studio sekaligus rumah milik Ican di Buah Batu, tempat dimana saya pertama kali mengenal Satria. Ican menyambut saya dengan senyum kecut, menyembunyikan kesedihan yang mendalam atas kepergian sahabat kami. Malam itu – ketika rumah telah sepi – saat hawa Bandung tengah malam menusuk kulit, ditengah tidur saya yang gelisah gara-gara kepala pusing dan hidung luka karena kebanyakan menangis, sayup-sayup terdengar sebuah suara familiar yang berkata “Kak… tidur, insomnia gak baik buat badan kakak. Jangan menangis lagi”. Serasa belum lengkap, tiba-tiba dari studio yang terletak dibawah kamar saya, mengalun lagu Chandelier yang dinyanyikan oleh suara khas. Semacam lullaby agar saya terlelap. Saya bukan tipikal penakut, apalagi percaya dengan hal-hal gaib. Namun malam itu saya percaya, anak baik itu datang menyapa, sekedar untuk mengucapkan salam perpisahan.

“You said I’m a dreamer, then I said I’m not the only one” John Lennon

Saya hanya bisa menulis secarik kenangan untuk Satria, diiringi musik blues kegemarannya, seakan dia yang bersenandung disini, mengiringi saya secara langsung. Dengan mata bengkak karena kebanyakan mengeluarkan airmata – sejak mendengar kabar kepergiannya, sepanjang perjalanan “pulang” dari Jakarta menuju Bandung, hingga tiba saat saya harus duduk di samping pusara yang bertuliskan namanya – saya berusaha mengingat detail selama saya mengenalnya. Saya menangis bukan ingin mempersulit jalannya menuju lembaran baru hidupnya. Saya hanya belum percaya bahwa kini dia ada di dimensi yang berbeda dengan kami semua. Nama yang tertulis di pusara coklat itu, seharusnya nanti tertulis di berbagai spanduk warna-warni yang dipajang sebagai latar belakang panggung pertunjukannya. Nama yang selalu menyapa saya di layar ponsel untuk sekedar mengobrol biasa. Nama yang pemiliknya terlahir untuk menjadi bintang idola. Nama yang akhirnya sekarang tercatat sebagai salah satu penghibur jutaan malaikat dan para penghuni nirwana lainnya.


Braga – Bandung, 29 Mei 2015 19:19 Waktu Wiki Koffie
Ditengah kafe yang memutar suara lagu si anak jenius.

Melalui tulisan sederhana ini, saya mewakili anak-anak dari studio Ruangan Imajinasi-Bandung menyampaikan rasa duka cita serta kerinduan kami yang mendalam untuk Guntur Satria, sahabat kami tersayang. Beristirahatlah dalam kebahagiaan abadi, bocah jenius. Musisi berbakat yang akan selalu kami kenang karyanya. Terima kasih sudah datang, walaupun kemudian pergi. Terima kasih sudah berbagi mimpi. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi. Itu pasti…