29/05/15

Selamat berkarya dalam "Lembaran Baru"...Guntur Satria :')

Hapus air matamu, jangan menangis lagi.
Dekatkan telingamu, dengar detak jantungku.
Dibalik langit kelabu pelangi tlah menunggu setiap derap langkahmu, berikan warna baru.
Jika nanti kau tersesat ku kan membawamu ke lembaran baru.
Mentari tlah terbit dari lubuk hatimu, sinarnya melindungi jalani hari baru…

Itu adalah sepenggal lirik dari lagu berjudul “Lembaran Baru” milik seorang sahabat yang akan saya ceritakan kali ini.

Nama anak itu Guntur Satria. Sosok yang pertama saya kenal di acara pembukaan kafe milik sahabat saya di Buah Batu, Bandung. Ican - sahabat saya – begitu antusias mempromosikan talenta anak itu. Kata Ican “Kamu harus denger suara anak ini, Nta. Aku sepanggung di Maranatha kemarin dan langsung terpukau denger suaranya”. Saya hanya mengangguk-angguk tak acuh. Keadaan di kafe terlalu ramai dengan kawan-kawan Ican, membuat saya susah menikmati suasana. Sebelum Guntur Satria mulai bernyanyi, saya malah salah fokus dengan memperhatikan botol minuman plastik berwarna kuning miliknya. Sama persis dengan punya saya. Gak penting yah? Emang…

Sampai Guntur Satria pun mulai memetik gitar…bernyanyi, dan saya tertegun selama sepersekian detik. Terpesona. Sahabat saya benar, anak ini luar biasa.

“I’m gonna live like tomorrow never exist…like it never exist”

Suara berat mendayu membuat lagu pop “Chandelier” yang dipopulerkan oleh Sia berubah menjadi lagu beraliran blues ketika diotak-atik dan dinyanyikan kembali oleh Guntur Satria. Waktu itu Bandung hujan gerimis. Saya yang terbiasa tidur sore awalnya terbuai dengan alunan lagu dan suara merdu yang terdengar dari studio milik Ican yang berada tepat di bawah kamar yang saya tempati. Bandung gerimis dan suara miliknya memang berkolaborasi dengan indah, menimbulkan efek magis kepada siapa saja yang mendengarnya. Namun kesyahduan itu tidak berlangsung lama. Proses rekaman yang berulang-ulang, gelak tawa Ican dan kru studio plus sang penyanyi terlalu heboh, sehingga memaksa saya untuk mengakhiri acara tidur sore lalu bergabung dengan mereka di bawah.

Saya yang turun ke studio untuk melihat proses rekaman mereka, harus setengah mati menahan tawa melihat pakaian yang dipakai sang penyanyi. Setelan kemeja rapi, celana kain dan berkacamata bulat seperti Harry Potter, membuatnya lebih terlihat seperti seorangfresh graduate kinyis-kinyis yang kerap berlalu lalang di sepanjang jalan protokol ibukota, dibanding seorang musisi Bandung yang sedang meniti karir. Rupanya dia baru pulang dari kampusnya. Dibalik obsesinya menjadi seorang musisi handal, dia juga tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang mahasiswa tingkat 3 (waktu itu) di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Sore itu saya sempat membuatkan mereka pisang goreng campur tempe plus sambal cabe setan ala Manado. Guntur Satria yang belum terbiasa dengan pedasnya sambel buatan saya, sukses dikerjai Ican dan kawanannya. Mukanya langsung memerah dan meringis. Kami tertawa-tawa melihat ekspresinya.

Malam itu, saya pun terpaksa tidur sambil mendengarkan suaranya berulang-ulang karena proses rekaman terus berlanjut sampai adzan subuh berkumandang. Secara tidak sengaja, suara itu akhirnya tertanam dalam alam bawah sadar saya. Beberapa bulan setelah itu, lagu Chandelier yang dinyanyikan kembali oleh Guntur Satria selalu menjadi lagu pengiring saya sepanjang perjalanan backpacking keliling beberapa kota di Indonesia, atau sekedar menemani malam-malam sunyi ketika insomnia melanda. Satu-satunya lagu yang sayadownload di ponsel. Semacam lagu wajib pengusir badmood yang pantang dilewatkan.

“Tulisan kakak bagus. / Wah…kamu baca? Makasih yah”

Saya yang memang banci sosmed melihat profil milik Guntur Satria di salah satu akun milik teman. Setelah permintaan pertemanan saya di sosial media berlogo biru itu diterima olehnya, kami hanya sekedar berteman di dunia maya. Sampai suatu hari ketika saya memuat sebuah tulisan, dia lalu mulai mengajak saya mengobrol. Ternyata dia tidak hanya membaca tulisan terbaru saya. Ada beberapa tulisan lama yang telah dibacanya. Senang? Tentu saja. Siapa yang tidak senang mendapat pujian dari seorang musisi idola. Tidak peduli berapapun usianya. Mendapatkan penghargaan dari segala kalangan adalah kebanggaan tersendiri buat penulis musiman seperti saya. Namun untuk memuji karya orang lain dengan ikhlas sementara diri sendiri pun sedang bertabur pujian, butuh kerendahan hati, sosok ksatria sejati. Sejak saat itu saya memanggil dia dengan nama tengahnya, Satria.

“Kenapa kakak suka menulis? / Kenapa kamu suka bermusik?”

Hobi memang tidak bisa ditanya, apalagi diteliti. Terkadang hobi bisa menjadi sarana penyaluran ide maupun sampah pikiran yang menggunung. Saya menarikan imajinasi melalui jemari di atas tombol laptop, Satria melontarkan kreatifitas melalui petikan jemari di atas senar gitar. Kami sama-sama membuka jendela diri lewat kreasi, dalam bentuk berbeda, cara kami untuk memperlihatkan bentuk diri yang sebenarnya kepada dunia luar – orang-orang di sekitar kami – syukur-syukur mereka bisa mengerti. Niat awal kami bukan berharap dipuji. Toh ide yang tertuang bisa melapangkan isi pikiran yang terlalu penuh dari hari ke hari. Jika kedepannya ada yang sudi menikmati dan mengapresiasi, itu merupakan bonus bagi kami.

“Kenapa kakak suka banget duduk bengong di Braga? Apa gak bosan ngeliatin orang lalu-lalang berjam-jam? / Hehe, buat kakak Braga itu “rumah”. Keramaian yang sunyi. Mungkin seperti kamu yang mencari inspirasi dengan berjalan kaki keliling Braga sendirian.”

Braga adalah salah satu sudut di kota Bandung yang selalu menarik buat saya dan Satria. Belum lengkap rasanya jika ke Bandung dan tidak menyambangi Braga. Ada rasa rindu yang susah dijelaskan dalam setiap pertemuan saya dengan Braga. Satria, mengenal Braga dari sisi romantisme klasik ala dia. Banyak kisah pribadi yang mewarnai jalinan hubungan uniknya, pada setiap langkahnya di Braga. Kami mendefinisikan Braga dengan sudut pandang yang berlainan. Apapun alasan kami berdua, Braga adalah dunia kecil yang selalu menjadi poros kami dalam berkarya. Kesenyapan khas kota tua yang dikelilingi hingar bingar arus modernisasi kota pariwisata.

“Kenapa kamu memilih aliran blues? Anak seusiamu kayaknya kurang pas mainin musik blues. Ketuaan seleranya. Pangsa pasar terbanyak untuk musisi baru itu remaja lho. Gak takut kehilangan penggemar? / Aku berkarya karena aku suka Kak. Memainkan musik dengan hati. Seperti memasak, bermain musik juga membutuhkan intuisi dan pengalaman. Bukan hanya sekedar mencampur bahan. Makanan yang salah olah adalah racun untuk jiwa. Begitupun karya musik. Butuh waktu, tenaga, dan keikhlasan. Jika aku tidak suka, susah rasanya untuk berpura-pura. Blues buatku adalah bahan dasar. Kedepannya akan ada banyak percampuran jenis musik yang mewarnai. Karya yang baik adalah karya yang terlebih dahulu bisa menghibur pencipta awalnya. Kalau kita sendiri tidak menikmati, bagaimana orang lain bisa?.”

Komentar pedas sekaligus pertanyaan saya waktu Satria mulai mengedarkan album pertama bertajuk “Pergi Keluar” itu dijawab dengan cerdas olehnya. Saya memanggilnya dengan julukan “Lil Genius” yang berarti bocah jenius. Dalam menilai karya seseorang, saya berusaha untuk objektif tanpa melihat latar belakangnya. Tetapi tidak bisa dipungkiri, usia Satria masih sangat muda jika kita membandingkan dengan caranya bermusik. Satria bahkan sudah diakui oleh kalangan musisi indie Bandung yang terkenal keras menguji para pendatang baru. Namanya mulai dikenal dan sering diundang di beberapa acara yang diadakan di Bandung. Berkolaborasi dengan banyak musisi, menjadikan kemampuannya semakin terasah. Satria membuktikan bahwa dia tidak sedang bercanda dengan impian besarnya. Saya selalu salut dengan semangatnya. Sosok jenius yang tidak pelit berbagi ilmu dan energi dengan siapa saja.

 “Kalo gak salah, tulisan kakak sering tentang para sahabat yang berhari ulang tahun. Hadiah yah kak? Nanti saya ulang tahun dikasih hadiah tulisan juga yah. / Hahaha…iya nanti lah kalo kakak dapet ilham sama mood lagi bagus. Tapi ditukar bikini lagu yah nanti kalo kakak ulang tahun”

Permintaan sepele yang diutarakan Satria pada hari ulang tahunnya di bulan April kemarin, tidak sempat saya wujudkan. Mood saya sedang tidak bagus saat itu, menyebabkan otak saya mampet dan mogok berproduksi. Saya hanya sempat mengucapkan selamat melalui obrolan singkat yang ditanggapinya dengan ucapan terima kasih tulus. Saya memang hanya beberapa kali bertemu langsung dengannya di Bandung. Tetapi dari situ saya bisa menilai bahwa senyum yang dia lontarkan kepada siapa saja termasuk saya itu adalah senyum tulus, bukan modus. Betapa piciknya saya yang berpikir nantinya akan merengek minta dibuatkan lagu pada hari ulang tahun nanti, padahal saya malas meluangkan waktu untuk menulis ucapan berupa tulisan seperti yang dia pinta. Orang baik seperti Satria, pasti tidak akan tega menolak permintaan seperti itu, pikir saya.

“BB King barusan meninggal Kak. Sedih dengernya. Aku ngefans banget sama beliau. / Hah? BB King? Itu siapa? Kakak malah sedihnya karena Kang Didi Petet meninggal. Duh, bulan Mei tuh banyak banget seniman yang pergi yah”

Untuk soal otak, anak ini memang lumayan pintar. Pengetahuannya di bidang musik dan bidang lainnya terkadang membuat saya geleng-geleng kepala. Satria menggunakan teknologi infomasi secara maksimal untuk kepentingan yang benar-benar berguna. Dari tutur kata dan penggunaan tata bahasa ketika kami berkomunikasi, saya tidak perlu waktu lama untuk mengerti penjelasannya ataupun sebaliknya. Mungkin dia termasuk anak Bandung masa kini yang tercukupi gizi sejak kecil, haha.

BB King...king of blues, idola SatriaBB King...king of blues, idola Satria


“Kak, tidur. Insomnia gak baik buat badan kakak yang penyakitan. Kakak harus hidup lama buat menyaksikan musik blues jadi tren di kalangan anak muda. Aku masih butuh kritik sarkastik dari orang tua segaul kakak. / Hahaha, siyalan kamu. Kakak belum setua itu buat mati cepat. Lagian kakak mau jadi salah satu penonton di konser blues kamu di Amerika sana. Abis itu kita duduk-duduk ngeteh di Central Park liat daun berguguran. Amin.”


Satria adalah anak yang perhatian. Dia selalu menebarkan senyum tulus kepada siapa saja yang mengenalnya. Satria juga selalu mengingatkan saya untuk menjaga kesehatan, seperti dia juga yang selalu menerapkan pola hidup sehat dengan tidak merokok maupun menkonsumsi minuman beralkohol, setidaknya didepan kami para sahabatnya. Saya selalu tertawa mendengar ceramah penyemangat ala dia tentang hidup sehat demi menggapai impian. Satria juga bermimpi untuk menjadikan musik blues bisa diterima oleh semua kalangan. Anak muda enerjik dengan segudang harapan dan sekarung tenaga untuk mewujudkannya. Saya percaya dia bisa mencapainya, karena saya tahu persis, Satria bekerja keras untuk menuju kesana. Saya pun sangat bersyukur bisa mengenalnya dan melihat kepingan impian kecil itu perlahan menyatu dan nanti pada akhirnya terlaksana. Dengan mimpi besar Satria menjadi musisi taraf internasional yang karyanya dinikmati lintas benua, bukan tidak mungkin suatu hari nanti saya berkesempatan melihat dia tampil memainkan musik blues kebanggaannya di negeri sejuta asa, Amerika. Satria memang mempunyai talenta yang tidak biasa dan kegigihan yang luar biasa.


Jakarta, Kamis 28 Mei 2015
Saya yang baru bisa memegang ponsel selepas adzan Isya, langsung terduduk di lantai, lemas setelah membaca status terbaru salah seorang sahabat di Bandung yang mengabarkan tentang kepergian seorang musisi berbakat yang diinfokan oleh media sosial berlogo burung, Guntur Satria. Saya yang memang tidak mempunyai akun di sosmed tersebut, langsung memastikan lewat sambungan telepon, menghubungi nomer milik Satria, tapi tidak ada jawaban darinya. Dengan perasaan campur aduk dan tangan bergetar hebat, saya mencoba menghubungi seluruh kerabat di Bandung yang mengenalnya, dan semuanya memberikan jawaban yang sama. Satria telah berpulang – dalam tidurnya – menghadap Sang Pencipta pada hari Kamis jam 3 pagi.

Jumat subuh, saya memaksakan diri untuk berkemas dan pergi dengan bus paling awal untuk mengikuti prosesi pemakamannya. Siangnya, Bandung menyambut kedatangan saya dengan muram. Bus yang saya tumpangi dari Jakarta sempat terjebak kemacetan di beberapa titik baru kemudian berhasil memasuki kota kebanggaan Satria. Masih dengan airmata yang entah kenapa selalu gagal saya hentikan alirannya, saya duduk terpaku di sisi pusara yang bertuliskan nama sahabat baru yang selalu menemani saya dengan suara merdu dan bercandaan “kering” ala dia. Saya gagal mengikuti prosesi penghormatan terakhirnya yang berlangsung jam 9 pagi, karena kemacetan pagi hari di ibukota yang luar biasa.


Sorenya, saya duduk di sebuah kafe di sudut Braga, daerah kota tua Bandung yang menjadi tempat nongkrong favorit warga Bandung, termasuk saya dan Satria. Kafe langganan yang sering mengundang anak jenius ini untuk tampil bersenandung sambil memetik gitar. Kata teman-teman kami, Satria banyak penggemarnya disini. Saya tidak heran. Memiliki bakat musik plus ditunjang dengan wajah dan gaya khas anak muda masa kini yang dimilikinya, Satria pantas menjadi salah satu idola anak gaul Bandung. Saya hanya duduk bengong menatap jalanan Braga lagi, seperti kebiasaan saya sebelum saya mengenal Satria. Namun entah kenapa, ada yang berbeda kali ini. Entah rasa makanan dan minuman favorit saya yang sebelumnya selalu berhasil saya habiskan dalam sekejap mata namun kali ini terasa hambar, atau lalu lalang orang yang semakin malam semakin ramai namun anehnya malah menambah kesepian saya. Band di kafe memainkan dua lagu coveran milik Satria, “What A Wonderfull World” dan “Lost Star”. Terakhir mereka memainkan lagu “Lembaran Baru” yang merupakan single perdana miliknya di album “Pergi Keluar” yang sudah beredar secara online. Alunan musik blues dan suara lembut Satria sontak memenuhi ruangan kafe. Perlahan  saya sadar, ada kenyataan dimana saya terima atau tidak, kedepannya tidak akan ada lagi sosok Satria, si anak jenius yang tadi pagi dikebumikan.

Malamnya, saya pulang ke studio sekaligus rumah milik Ican di Buah Batu, tempat dimana saya pertama kali mengenal Satria. Ican menyambut saya dengan senyum kecut, menyembunyikan kesedihan yang mendalam atas kepergian sahabat kami. Malam itu – ketika rumah telah sepi – saat hawa Bandung tengah malam menusuk kulit, ditengah tidur saya yang gelisah gara-gara kepala pusing dan hidung luka karena kebanyakan menangis, sayup-sayup terdengar sebuah suara familiar yang berkata “Kak… tidur, insomnia gak baik buat badan kakak. Jangan menangis lagi”. Serasa belum lengkap, tiba-tiba dari studio yang terletak dibawah kamar saya, mengalun lagu Chandelier yang dinyanyikan oleh suara khas. Semacam lullaby agar saya terlelap. Saya bukan tipikal penakut, apalagi percaya dengan hal-hal gaib. Namun malam itu saya percaya, anak baik itu datang menyapa, sekedar untuk mengucapkan salam perpisahan.

“You said I’m a dreamer, then I said I’m not the only one” John Lennon

Saya hanya bisa menulis secarik kenangan untuk Satria, diiringi musik blues kegemarannya, seakan dia yang bersenandung disini, mengiringi saya secara langsung. Dengan mata bengkak karena kebanyakan mengeluarkan airmata – sejak mendengar kabar kepergiannya, sepanjang perjalanan “pulang” dari Jakarta menuju Bandung, hingga tiba saat saya harus duduk di samping pusara yang bertuliskan namanya – saya berusaha mengingat detail selama saya mengenalnya. Saya menangis bukan ingin mempersulit jalannya menuju lembaran baru hidupnya. Saya hanya belum percaya bahwa kini dia ada di dimensi yang berbeda dengan kami semua. Nama yang tertulis di pusara coklat itu, seharusnya nanti tertulis di berbagai spanduk warna-warni yang dipajang sebagai latar belakang panggung pertunjukannya. Nama yang selalu menyapa saya di layar ponsel untuk sekedar mengobrol biasa. Nama yang pemiliknya terlahir untuk menjadi bintang idola. Nama yang akhirnya sekarang tercatat sebagai salah satu penghibur jutaan malaikat dan para penghuni nirwana lainnya.


Braga – Bandung, 29 Mei 2015 19:19 Waktu Wiki Koffie
Ditengah kafe yang memutar suara lagu si anak jenius.

Melalui tulisan sederhana ini, saya mewakili anak-anak dari studio Ruangan Imajinasi-Bandung menyampaikan rasa duka cita serta kerinduan kami yang mendalam untuk Guntur Satria, sahabat kami tersayang. Beristirahatlah dalam kebahagiaan abadi, bocah jenius. Musisi berbakat yang akan selalu kami kenang karyanya. Terima kasih sudah datang, walaupun kemudian pergi. Terima kasih sudah berbagi mimpi. Semoga nanti kita bisa bertemu lagi. Itu pasti…

14/02/15

KASIH SAYANG SEPANJANG MASA



Kasih Ibu kepada Beta, tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia

CERITA TENTANG SAVANT

4 Tahun

“Sini sini…Savant sayang. Ada yang mau Eyang kasih tau. Ini mamanya Savant, yang melahirkan kamu nak. Mama baru datang sekarang dari tempat jauh. Mami juga tetap orangtua Savant kok. Jadi sekarang Savant punya dua ibu, ada Mami dan Mama. Savant ngerti kan nak? Dua-duanya sayang Savant. Savant senang kan nak punya dua ibu?”

Siang itu, ucapan-ucapan Eyang mengalun bagaikan dongeng yang membingungkan. Otak Savant masih terlalu lugu untuk mencerna apa yang beliau maksudkan. Dua ibu? Perempuan cantik ini siapa? Wajah asing yang menangis sambil memeluk erat tubuh kecilnya itu terlihat sangat emosional. Kaus Savant sampai basah oleh airmata yang mengucur deras oleh orang yang kata Eyang harus dipanggil “Mama”. Wajah Mami, sosok yang selama ini dia ketahui sebagai orang yang selalu mengantarnya ke sekolah, menyuapinya makan, atau memarahinya karena bermain kelewat sore, tampak sedih sekaligus haru. Hari itu Savant gembira karena rumah mereka ramai dan para “tamu” itu membawa banyak sekali mainan dan makanan kesukaan Savant. Ketegangan yang tengah berlangsung diantara para orang dewasa tak mempengaruhi dunia kanaknya. Wajah polos yang lucu itu terus bermain, tanpa menyadari bahwa hari itu adalah awal mula dimana seluruh hidupnya akan penuh warna. Savant masih terlampau kecil untuk memahami.

8 Tahun

“Saya akan membawa pulang Savant Bu. Dia seharusnya tinggal di tengah keluarga kami, keluarga aslinya. Saya berterima kasih atas pertolongan Ibu, Bapak serta Dwina dan Ryan yang sudah merawat Savant selama beberapa tahun ini. Tapi tolong Bu, ijinkan saya dan Bang Adam untuk membawanya pulang. Kami butuh Savant agar keluarga kami utuh kembali Bu. Saya mohon dengan sangat Bu.”

Coklat kegemarannya bahkan belum habis dimakan oleh Savant, ketika kejadian bak sinetron terjadi di lobi hotel siang itu. Savant kecil menjadi pemeran utama dalam adegan tarik menarik antara perempuan cantik yang baru empat tahun belakangan dia panggil dengan sebutan “Mama” dan Papi Ryan, orang yang belakangan dia ketahui bukan ayah kandungnya – melainkan suami dari Mami Dwina – adik kandung mamanya. Mendengar suara lantang sahut menyahut, Savant kecil mendadak ketakutan. Tangis kencang membahana seantero ruangan. Pihak keamanan hotel terpaksa turun tangan untuk melerai keributan antar keluarga mereka. Savant yang tadinya senang bukan kepalang ketika dijemput oleh mama, papa serta Maira, adik perempuan semata wayangnya di sekolah, akhirnya meraung karena tidak tahan ditarik-tarik sedemikian rupa. Perkelahian sengit yang melibatkan semua orang yang dia sayangi, berakhir ketika mama dan papa akhirnya mengalah dan membiarkan Savant, anak sulung mereka, kembali pulang ke rumah Eyang. Savant sebenarnya masih ingin bermain dengan Maira, namun dia tidak bisa membantah kemauan Eyang, Mami dan Papi yang tampaknya ingin segera pergi dari tempat tersebut. Kebisuan di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju kediaman Eyang sebenarnya membuatnya tidak nyaman. Savant ingin bertanya ada apa, kenapa mereka bertengkar, bukankah mereka keluarga? Kata ibu guru di sekolahnya, keluarga itu harus saling menyayangi satu sama lain. Tapi Savant takut untuk buka suara. Raut wajah Eyang yang sedih, airmata yang masih menggenang di pelupuk mata Mami, dan ekspresi tegang Papi membuat Savant menelan lagi semua pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya. Bocah yang tidak punya kuasa apa-apa untuk menyuarakan isi hati dan keinginannya. Savant masih terlampau kecil untuk melawan.

10 Tahun

“Ma, esok Savant terima raport. Kata Bu Guru, Savant masuk peringkat tiga besar kali ini. Mama dan Papa bisa datang kan? Savant tunggu yah Ma. Savant kangen Mama sama Papa. Dek Maira juga jangan lupa dibawa yah Ma.”

Hari ini Savant gembira. Ibu guru memberitahu kabar menyenangkan yaitu Savant masuk peringkat tiga besar pada semester ini. Setelah memberitahu Mami, Savant meminta ijin untuk menelpon Mama dengan maksud memberitahukan kabar gembira tersebut. Keluarga Mama memang tinggal di luar kota dan hanya sesekali datang menjenguk Savant. Hampir empat bulan lamanya Mama tidak datang menjenguknya, mungkin beliau sibuk atau apalah. Dengan adanya momen terima raport ini, Savant berharap Mama akan datang. Rasa rindu yang lumrah terjadi pada seorang anak yang tinggal terpisah dengan kedua orangtuanya sekaligus keinginan untuk membahagiakan orangtuanya seperti lazimnya anak lain menjadi pemicu Savant kali ini. Membayangkan raut wajah bangga Mama ketika melihat deretan nilai memuaskan serta mendengar pujian dari para guru tentang kehebatan Savant di sekolah, membuatnya bersemangat. Betapa kecewanya Savant, ketika pada hari yang dinantikan, Mama sekeluarga tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Mami yang datang sendirian pun hanya bisa menggeleng lemah ketika Savant menanyakan keberadaan Mama. Savant malu kepada Ibu Guru dan teman-temannya karena sudah gembar-gembor mengumumkan bahwa pada hari itu Mamanya akan datang dari luar kota. Savant memang tidak menangis, namun kesedihan membuatnya malas makan selama seharian walaupun sudah dibujuk bermain di pusat perbelanjaan oleh Mami dan Eyang. Ibarat bunga yang bertahan di musim kemarau. Tetap hidup namun tidak elok dipandang. Kering dan muram. Sejak hari itu Savant belajar satu hal, jangan pernah berharap banyak untuk sesuatu yang tidak pasti. Savant masih terlampau kecil untuk mendamba.   

13 Tahun

“Ini bukan Papa saya Pak. Ini paman saya, emang sih beliau wali saya, cuma beliau gak ada hubungan dengan kenakalan saya. Saya yang salah kok Pak, jadi saya yang harus bertanggung jawab”

Untung yang datang bukan Mami atau Mama, melainkan Papi Ryan. Sudah seminggu Savant tidak masuk sekolah dan hanya nongkrong di tempat gaul di kotanya. Surat yang dilayangkan ke rumah bisa disembunyikan oleh Savant. Hal yang tidak diduganya adalah ketika wali kelasnya menelpon langsung ke rumah dan berbicara dengan Papi. Ketika datang menghadap, wali kelasnya menceritakan semua sepak terjang Savant di sekolah. Bolos, kedapatan merokok di kantin sekolah, memakai anting di telinga sebelah, berkelahi atau ikut tawuran dengan sekolah lain adalah semua kenakalan yang membuat Papi terperangah saking terkejutnya. Savant tidak peduli. Selama bukan Mami atau Mama, sumber penghasilannya (yah, Savant sekarang lebih pintar untuk mengartikan fungsi kedua “Ibu” tersebut), Savant masih merasa dirinya aman. Namun kebaikan Papi selama ini membuat Savant jengah ketika wali kelasnya mengaitkan kenakalan tersebut dengan beliau, seolah-olah sebagai orangtua lelaki, beliau tidak bisa memberi contoh yang baik kepada Savant. Tidak seharusnya Papi dipojokkan seperti itu. Selama ini beliau berusaha menjadi figur ayah yang baik, bisa diajak kompromi dan mengerti dengan gejolak jiwa muda Savant. Sedangkan orang yang selama ini disebut-sebut sebagai “Papa” malah hanya seperti bayangan belaka. Orang yang tertera di akte kelahiran Savant tanpa punya andil apa-apa dalam tumbuh kembang Savant sejak kecil. Kata Eyang, Papa hanya sibuk bekerja untuk mencari uang agar Savant bisa sekolah. Papa lupa, Savant belajar bukan hanya di bangku sekolah formal. Ada “sekolah keseharian” yang beliau alpa berperan. Padahal sebagai sesama lelaki, Savant butuh Papa untuk mengisi pelajaran tentang kehidupan. Savant memang butuh uang untuk menopang kehidupan, tetapi lebih butuh pengalaman yang diajarkan oleh orang yang bersangkutan. Jangan salahkan Savant jika akhirnya mencoba belajar sendiri dan terkadang salah jalan. Tanpa nahkoda yang menjadi pegangan, bukan mustahil kapalnya akan bisa menerjang samudera dengan benar. Savant masih terlampau kecil untuk mengarahkan.   

19 Tahun

“Emang lu gak dimarahin orang tua lu Vant kalo bikin tato? Mana gede lagi tatonya, susah disembunyiin. Coba nyokap gw gaulnya kayak nyokap lu yah. Boro-boro tato, kemarin kuping ditindik aja gw dihukum selama sebulan gak boleh pake motor.”

Nada iri terlontar dari mulut Miko, sahabat Savant yang saat itu menemaninya pergi ke studio tato. Mereka sengaja bolos kuliah untuk pergi ke studio tato yang merangkap studio musik itu. Di mata kawanannya, Savant adalah anak gaul yang super keren dengan segala aktifitasnya. Savant memang sudah merencanakan niatnya itu sejak dua bulan yang lalu. Seniman tato yang dia pilih juga hasil rekomendasi teman bandnya. Savant bersedia membayar mahal untuk gambar yang akan dirajah pertama kali di tubuhnya. Berita tubuhnya telah “dilukis” sedemikian rupa akhirnya sampai juga di telinga mamanya. Sengaja. Sejak beranjak remaja, Savant menemukan cara lain untuk menarik perhatian para “orang tuanya”. Memberontak dengan hal-hal yang membuat mereka murka adalah cara paling jitu untuk menarik perhatian mereka secepatnya. Sebenarnya tak pernah terlintas ingin jadi anak durhaka. Savant hanya ingin mereka lebih memperhatikannya sedikit saja. Perhatian berupa kasih sayang dan kepekaan, bukan limpahan materi belaka. Savant masih terlampau kecil untuk berbakti.    

23 Tahun

“Gak ada tapi lagi Savant. Kamu memang sudah dewasa, tapi untuk menikah kamu masih terlalu muda. Lagian mau kamu kasih makan apa anak orang? Mama tau Mentari anak yang baik. Dia juga perhatian sama Mama. Tapi demi masa depan kamu, Mama belum akan mengijinkan kalian menikah sekarang. Kalo Mentari memang sayang kamu, dia akan sabar menunggu sampai waktu yang tepat.”

Membayangkan wajah Mentari yang kecewa ketika Savant nantinya mengabarkan kegagalan hasil negosiasi ketika mengutarakan niat untuk menikah muda pada Mama, Savant hanya bisa menelan ludah. Bukannya takut dengan reaksi Mentari nanti. Savant bukan tipikal lelaki yang takut kepada kekasih hati, lagipula Mentari bukan perempuan yang suka mengamuk dan melempar barang jika emosi. Namun kenyataan bahwa impian mereka untuk menikah muda harus ditunda sampai batas waktu yang tidak diketahui membuat Savant gamang. Savant terlanjur berjanji kepada Mentari. Kehidupan anak muda jaman sekarang membuat mereka berpikir untuk secepatnya meresmikan hubungan daripada nantinya terlanjur berbuat hal yang terlarang. Toh menikah muda bukan dosa. Malah dianjurkan oleh agama. Kata orang rejeki malah bisa terbuka ketika manusia bermaksud menghalalkan suatu jalinan di mata Pencipta. Savant juga sadar, dia masih manusia. Ketika hubungannya dijalani terlalu lama, akan timbul rasa bosan diantara keduanya. Hanya komitmen yang diikat oleh ikatan sah yang bisa menyadarkan mereka akan tanggung jawab yang harus dihadapi. Ketika tiba saatnya dia memberitahukan keputusan tersebut kepada Mentari, perempuannya itu hanya bisa menangis. Mereka memang sudah lama berhubungan dan orangtua Mentari juga terus menanyakan perihal keseriusan Savant. Bukannya Savant tidak mau melawan Mama, tetapi perkataan beliau cenderung ada benarnya. Mereka berdua sama-sama masih kuliah, belum bisa menghasilkan apa-apa. Selama ini Savant tumbuh menjadi anak manja yang masih berharap tunjangan dari para orangtuanya. Waktu akhirnya menjawab perihal hubungan mereka. Entah siapa yang memulai untuk merenggangkan benang yang selama ini dirajut bersama. Savant memang penganut paham “kalau jodoh pasti bertemu” dan hanya bisa pasrah ketika Mentari akhirnya terlepas dari genggaman. Savant tidak menyalahkan Mama atau siapa-siapa. Awalnya memang sakit dan terasa hampa. Savant harus berjuang memupus perasaan dan menghilangkan kebiasaan yang selama ini dijalani bersama Mentari. Tetapi logikanya sebagai lelaki yang beranjak dewasa membuatnya kuat dan terus berjalan. Savant masih terlampau kecil untuk menikah.

CERITA TENTANG HANASTA

24 Tahun

“Ma, tinggal seminggu lagi ulang tahunnya Asta Ma. Tahun kemarin Mama lupa kalo gak diingetin sama tante Tina. Masa tahun ini Mama jadinya gak ngucapin lagi. Mama gitu banget sama Asta. Mentang-mentang Asta udah gede. Nanti yang bangunin Asta kalo pagi siapa Ma? Nanti gak ada lagi yang telpon Asta buat ngingetin makan biar Asta gak sakit!”

Kepergian mama karena penyakit yang dideritanya selama dua tahun belakangan membuat Hanasta seperti manusia yang kehilangan jiwa. Mamanya pergi tepat seminggu sebelum hari ulang tahun Hanasta. Sambil duduk diam didepan kuburan yang tanahnya masih basah, Hanasta merengek seperti anak kecil berumur lima tahun. Terbayang olehnya kebiasaan mamanya yang dianggap sepele ketika mamanya masih hidup. Sapaan hangat serta bunyi tirai kamar yang disibak pagi-pagi yang ditujukan untuk membangunkan Hanasta agar segera memulai aktivitas, dering telepon genggam ditengah waktu rapat dari mamanya yang acapkali diabaikan karena dianggap mengganggu, pesan singkat sederhana yang menanyakan kabar anak bungsu kesayangannya yang jarang dibalas. Hanasta berkali-kali meneteskan airmata ketika mengingat semua hal kecil yang baru terasa berarti ketika sudah berlalu. Hanasta ingin protes kepada Tuhan. Kata saudara dan teman-teman yang mengenal mamanya, beliau itu orang baik. Kenapa Tuhan tega memanggil orang baik begitu cepat? Hanasta benci Tuhan. Kalau caranya seperti itu, berarti semua pelajaran di sekolah tentang kebaikan adalah bohong belaka. Hanasta tidak mau jadi orang baik. Hanasta tidak mau mati cepat. Hari itu, di depan nisan mamanya, Hanasta menjadi sosok yang baru. Anak manusia yang dendam karena kehilangan pegangan. Dalam kepedihannya, Hanasta merindukan mamanya.

25 Tahun

“Ma, ini buat Mama. Maaf telat Ma, maaf kalo Mama udah gak bisa liat Asta sarjana. Emang sih seperti dugaan Mama, Asta lulusnya biasa aja walaupun IPKnya tiga koma. Tadi aja Papa sama Wira nungguin giliran toga Asta diresmiin sama rektor lama banget. Kalo ada Mama, pasti Mama kepanasan dan lebih milih nunggu di studio foto aja kan Ma? Hahaha.”

Pagi itu Hanasta tampak girang dan sumringah sambil mengancungkan selembar ijasah yang baru dikeluarkan dari map khusus berwarna biru ke arah nisan berwarna hijau muda di hadapannya. Hanasta sengaja pergi ke tempat peristirahatan terakhir mamanya, sehari setelah wisuda, pagi-pagi sekali untuk memperlihatkan ijasah kelulusannya. Penanda satu lagi gelar untuk memperpanjang namanya, deretan huruf yang diidamkan almarhumah mamanya ketika beliau masih hidup. Gadis itu pergi menghadap mamanya sendirian tanpa mengajak pacarnya yang kala itu jauh-jauh terbang ke kota kelahirannya untuk menghadiri seremonial wisuda. Sempat terlintas kesedihan menyadari mamanya tidak bisa menyaksikan secara langsung anak bungsunya itu diwisuda, namun cepat-cepat ditepisnya dan diganti suasana riang dengan menceritakan kejadian demi kejadian sepanjang hari ketika dia diwisuda. Adegan monolog dimana Hanasta bercerita dengan batu nisan yang terukir nama mamanya mungkin akan terlihat aneh oleh orang lain. Hanasta terlalu sibuk bercerita dengan semangat layaknya anak kecil yang gembira, menuturkan hal menyenangkan yang dia alami. Dalam keceriaannya, Hanasta merindukan mamanya.  

26 Tahun

“Maaf Ma, lagi-lagi ngecewain Mama. Asta sudah berusaha sekuat tenaga buat menuruti pesan mama. Tapi mungkin ini yang namanya takdir Ma. Ada hal-hal yang berada diluar kuasa kita sebagai manusia. Termasuk soal jodoh. Mungkin nanti Asta akan ketemu lelaki lain pengganti Wira yang akan menjaga Asta. Memang Asta yang salah, makanya Asta pulang buat minta maaf langsung sama Mama.”

Lembayung senja seakan menambah suram hati Hanasta sore itu, ketika dia menyambangi nisan mamanya untuk mengabarkan kabar kurang enak yang dirasanya perlu disampaikan secara langsung. Wira, lelaki yang selama dua tahun belakangan menemani hari-harinya, memilih untuk tidak lagi bersamanya. Mereka memilih jalan sendiri-sendiri karena beberapa alasan yang sudah melampaui kuasa keduanya. Lelaki terakhir yang dikenalkan kepada mamanya dan diharapkan akan menjadi penjaganya itu ternyata tidak digariskan untuk bersamanya seumur hidup. Hanasta percaya pada suatu prinsip “semua hal terjadi karena sebuah alasan”. Ada rasa kehilangan yang susah payah dienyahkan. Hanasta sadar, memang susah menghapus perasaan, namun lebih susah menghapus kebiasaan. Kenangannya akan Wira akan dijadikan pelajaran berharga. Toh setelah putus mereka masih berteman, sesekali bertemu jika ada keperluan, apalagi mereka bekerja di perusahaan yang sama. Hanasta teringat pesan mamanya untuk selalu menjaga tali silaturahmi dengan siapa saja. Dulu mereka mengawali dengan berteman, apa salahnya jika mereka mengakhiri juga dengan tetap berteman. Dua jam dia bermonolog dengan nisan mamanya, sambil sesekali membersihkan rumput liar yang tumbuh diatas gundukan tanah tersebut. Ingin rasanya Hanasta memeluk nisan itu sebagai pengganti mamanya, kebiasaan menenangkan diri ketika dulu dia dirudung masalah. Mamanya membiasakan memeluk Hanasta dan kakaknya ketika mereka berhadapan dengan masalah apa saja. Tak ingin dikira gila, Hanasta mengurungkan niatnya. Dia hanya bisa menatap tulisan nama mamanya dengan muram sambil sesekali menghapus airmata yang jatuh di pipinya. Dalam kekecewaannya, Hanasta merindukan mamanya.

27 Tahun

“Ma, Asta pengen keluar dari zona nyaman yang sekarang. Asta mau berhenti kerja dan jalan-jalan sepuasnya. Asta lelah dengan semua rutinitas selama ini. Lagian sumpek juga di kota ini Ma. Asta mau ke pedalaman, mau berenang sepuasnya, mau menebus waktu bermain Asta yang dulu hilang gara-gara gak sempat ngambil jeda dari waktu kuliah dan kerja. Semacam perjalanan hati Ma, keren kan anak Mama nih?”

Menatap nisan mamanya, Hanasta menuturkan ide yang telah sejak lama berkecamuk di pikirannya.  Menunaikan panggilan jiwa untuk berpetualang dan melihat dunia luar yang selama ini hanya dia lihat pada deretan buku yang dia baca. Kegemaran Papanya menonton siaran pedesaan di stasiun televisi milik pemerintah sewaktu Hanasta masih kecil, mempengaruhi otaknya. Keinginan untuk menjelajahi negeri sendiri yang kata orang merupakan surga dunia, membuat Hanasta memutuskan untuk berhenti bekerja dan menggunakan tabungannya selama bekerja untuk berkelana. Keputusan yang awalnya ditentang Papa dan kakaknya, bahkan para sahabatnya. Tetapi Hanasta terlahir dengan kepala sekeras batu karang. Tidak ada yang bisa mencegah tekadnya yang sudah bulat. Biasanya, hanya mama yang bisa memberikan saran dan nasehat yang bisa diterima akal sehat Hanasta. Sore itu Hanasta datang “menemui” mamanya untuk sekedar meyakinkan dirinya sendiri akan keputusan besar yang akan diambilnya. Keputusan yang kelak akan membawanya ke pelbagai peristiwa penting dalam hidupnya sekaligus bertemu dengan banyak orang yang berperan dalam membentuk karakter dirinya. Dalam keyakinannya, Hanasta merindukan mamanya.

28 Tahun

“Ma, ternyata sendirian itu gak enak yah Ma. Apalagi kalo lagi sakit gini. Inget dulu waktu sakit Asta pasti manja banget sama Mama dan Papa. Asta sadar Ma, ini konsekuensi dari pilihan Asta yang ingin mandiri. Ternyata mandiri dan sendiri itu dua hal yang berbeda yah Ma. Tapi Asta anak mama yang kuat, Asta pasti bisa. Toh kemarin-kemarin juga Asta bisa. Mohon doanya yah Ma.”

Sepulangnya dari rumah sakit, tempatnya terbaring selama hampir dua minggu, Hanasta pergi “menghadap” mamanya. Dadanya masih terasa sakit paska perawatan kemarin. Hanasta duduk termenung dan mengenang waktu dia kecil dulu ketika menderita penyakit yang hampir sama. Mamanya dengan tekun merawatnya, mengganti bajunya yang basah oleh keringat, tanpa peduli dengan kenyataan bahwa keesokan paginya beliau harus bangun pagi untuk pergi ke kantor. Dulu, sesakit apapun Hanasta, mama adalah pengobat segala derita. Senyum yang terkembang di wajah perempuan yang dipujanya itu selalu manjur dalam menghilangkan rasa sakit yang mendera. Angin sore yang menerpa tubuh lemahnya mendadak membuatnya menggigil. Namun melihat nama mamanya yang tertera diatas nisan, Hanasta merasakan kehangatan yang nyata. Hanasta tahu persis, mama memeluknya dari atas sana. Bunyi telepon dari papa yang mengingatkan untuk segera pulang tak dihiraukannya. Hanasta hanya ingin berlama-lama bersama “obat mujarab”nya. Lagipula di rumah dia pasti akan disuruh macam-macam agar sakitnya cepat sembuh. Hanasta bosan tidur terus-terusan. Hanasta lelah menelan semua ceramah kakaknya tentang cara menjaga kesehatan. Namun Hanasta lupa, kondisi tubuhnya memang tidak bisa berdusta. Sepulangnya dari kubur mamanya, Hanasta kembali kambuh dan harus meringkuk di kamar selama beberapa hari. Siang dan malam berjuang melawan rasa sakit yang berkepanjangan. Dalam kesakitannya, Hanasta merindukan mamanya.

29 Tahun

“Ma, tadi Asta ditegur sama kakak. Katanya Asta keseringan pulang malam. Gak enak dilihat tetangga. Lagian Papa katanya khawatir sama Asta. Abisnya Papa diam aja sih Ma, gak pernah bilang apa-apa kalo bukain pintu tiap Asta pulang larut. Mungkin Papa pikir Asta udah dewasa, jadi udah gak perlu ditegur kayak anak kecil. Mungkin Papa pikir Asta udah punya kehidupan sendiri yang beliau gak ngerti. Asta kangen Mama.”

Perasaan asing merasuki tubuh Hanasta akhir-akhir ini ketika dia pulang ke kediaman yang sedari kecil ditinggali bersama keluarganya. Ada perasaan kosong yang melandanya setiap berada disana. Suasana rumah memang masih tetap sama. Sosok pendiam papa diimbangi dengan kecerewetan kakaknya. Kehebohan yang setiap hari ditimbulkan oleh kedua ponakannya. Akan tetapi, ada bagian yang hilang disana. Hanasta sadar, dia masih terus mencari bayangan mamanya. Kemanapun Hanasta bepergian, dia selalu berusaha mencari figur mama di setiap sosok perempuan yang dia temui. Ibu para sahabatnya, bunda mantan kekasihnya, bahkan perempuan tua penjual gorengan di dekat tempat tinggalnya di perantauan. Sorot mata mereka memang memancarkan kasih sayang, tapi Hanasta selalu merasa kekurangan. Di usianya yang hampir kepala tiga, Hanasta membutuhkan banyak sekali arahan dari sosok yang diyakini benar-benar berhak akan dirinya. Sosok yang mengerti perangainya lebih dari siapapun. Hanasta yang sejak kecil terlahir berjiwa pemberontak namun bermental puteri raja, menolak menerima saran atau koreksi dari orang-orang yang dianggapnya tidak tahu apa-apa. Hanasta iri melihat para sahabatnya yang masih selalu menerima doa dan meminta restu dari ibu mereka masing-masing dalam setiap sepak terjangnya. Senakal-nakalnya mereka, tetap ada ibu yang mengingatkan dan meluruskan jalan. Sejauh-jauhnya mereka melangkah, selalu ada ibu yang merentangkan pelukan lengkap dengan senyuman hangat, tempat untuk pulang yang tak pernah lelah menunggu. Sampai sebesar ini, Hanasta selalu menitikkan airmata ketika melihat siapapun sahabatnya menelepon ibu mereka dan tertawa-tawa mendengar ocehan di seberang sana. Dalam kesepiannya, Hanasta merindukan mamanya.

SAVANT - HANASTA

“Emang kapan sih rambutmu sependek itu Sta? Gokil juga, warna warni pula. Enak sih yah, gak ada lagi yang ngelarang-larang. Kebayang kalo masih ada mamamu, udah disuruh benerin kali tu rambut”

Gadis di sampingnya hanya tertawa sambil sibuk berkonsentrasi pada jalan di depan mobil mereka. Kali ini dia memang tidak ingin berperan sebagai lelaki sejati yang seharusnya berada di belakang kemudi. Dibiarkannya gadis itu sibuk menyetir sambil sesekali ikut memperhatikan jalan. Dengan ekor mata dia memperhatikan sosok gadis di sampingnya. Tipikal periang dan mandiri. Selalu tertawa terbahak ketika mereka membicarakan hal apa saja. Sorot matanya yang selalu berbinar layaknya anak kecil kontras dengan sikap dan pembawaannya yang dewasa. Namun dia mengenali topeng itu. Ada luka yang tersimpan rapi dibalik setiap canda yang keluar dari dirinya. Duka yang coba diselimuti dengan senyum dan tawa. Ingin sekali dia menepuk pundak gadis itu. Mengatakan bahwa hidup akan baik-baik saja. Walau dia sendiri pun tidak yakin, bagaimana caranya membuat tatanan kehidupan ideal seperti keinginan mereka. Dia hanya ingin gadis itu tahu, meskipun luka tidak bisa sepenuhnya terobati, setidaknya duka masih bisa dibagi. Toh hidup hanya satu kali. Mengapa harus terpaksa tertawa ketika kita sebenarnya terluka? Hidup mengajarkannya untuk selalu bersikap apa adanya, karena menjadi diri sendiri bukanlah sebuah dosa.

“Apa kabar mamamu Vant? Masih jarang nelpon yah? Kalo si Mami masih diluar kota kan yah? Mau dong oleh-oleh kalo Mami pulang nanti.”

Sambil membaca buku menu, sesekali ditatapnya sosok berbaju hitam dihadapannya. Lelaki itu tidak mengalihkan pandangan dari mainan barunya, sebuah ponsel pintar keluaran terbaru, seolah tak menghiraukan pertanyaan barusan. Lelaki itu pun hanya melihat sekilas daftar menu dan langsung memesan minuman tanpa terlalu banyak memilih. Tidak begitu peduli akan apa yang akan masuk ke dalam tubuhnya. Barangkali sejak kecil dia sudah terbiasa untuk menerima apapun yang diberikan tanpa bisa bertanya apalagi membantah. Keharusan menjalani kehidupannya dengan santai. Menampakkan dunianya yang terlihat ringan. Padahal kenyataannya sarat beban. Ahh, ingin sekali dia memeluk bahu yang tampak bidang namun sebenarnya rapuh itu. Seperti dirinya, lelaki dihadapannya ini sebenarnya tidak butuh apa-apa. Lelaki itu hanya ingin diterima. Dipeluk erat. Penerimaan tanpa syarat.

“Kamu enak yah Vant, masih punya ibu. Ada dua pula”

“Enak banget jadi kamu Sta. Gak ribet mesti nurutin kemauan ibu, apalagi punya dua”

Dialog ringan tanpa beban, sarat curahan pikiran, dikemas dalam obrolan penuh canda dalam setiap pertemuan. Saling iri satu sama lain, walaupun tak pernah terungkap. Mereka tak pernah ingin bertukar posisi, karena mereka sadar, kehidupan mereka yang tak sempurna itu justru guru yang paling paripurna. Dipertemukan satu sama lain, untuk melihat kesempurnaan dibalik kesenjangan kisah hidup mereka masing-masing. Seorang anak lelaki yang tak kuasa berbicara hati ke hati dengan para ibunya karena kurangnya kesempatan. Seorang anak perempuan yang tak bisa berbicara langsung dengan ibunya karena tuntutan keadaan.

"Too often we underestimate the power of touch, a smile, a kind kind word, a listening ear, an honest compliment, or the smallest act of caring, all of which have the potential to turn a life around". - Anonymous - 

Mereka hanya potret anak bangsa yang merindukan kehidupan wajar layaknya anak lain. Normal dan bahagia, tanpa kehilangan kepingan puzzle kecil yang membuat hidup mereka lengkap. Karena kasih sayang yang sempurna itu sepanjang masa, berasal dari sebuah nama. Mama, Mami, Ibu, Umi, Ambu, Emak, Bunda, apapun sebutannya.

Catatan penulis:

Savant: Diambil dari bahasa Perancis “Savoir” yaitu mengetahui, secara lengkap berarti “Seseorang yang dianugerahi bakat luar biasa.”

Hanasta: Berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “menguasai” atau “mengetahui”.

Keduanya memiliki makna yang serupa. Takdir yang hampir sama, dalam dunia mereka yang berbeda.

Tangerang, 14 Februari 2015 waktu Indonesia ketika aku masih mikirin kamu #eaaaa