31/08/13

Ketika Wangi, Bukan Hanya Milik Sang Putri

“You have to meet Ikar”

Kalimat promosi yang dilontarkan Ican, sahabat saya ketika saya menemani dia makan pertama kali disalah satu mall di Manado, membuat kening saya berkerut, sedikit penasaran mendengarnya.
Entah seistimewa apa mahluk bernama Ikar ini, sehingga membuat mulut seorang Ican sering kali menceritakan tentang dia. Saya malah sempat berpikir sahabat saya ini kehilangan orientasi seksual selama masa petualangannya keliling Indonesia, haha.

Otot kering ala Fauzi Badilah, kembaran Fiersa Badilah...ZzzzZzzOtot kering ala Fauzi Badilah, kembaran Fiersa Badilah...ZzzzZzz

Pertemuan pertama saya dengan Maychard R Pelambi (bagus yaa namanya), nama asli Ikar, ketika saya menemani Ican bertandang ke sekretariat alias markas Mapala Pahyagaan, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi. Ikar, yang kala itu bercelana khas anak gunung bermotif loreng tentara plus bertelanjang dada, dimata saya terlihat persis seperti Indian. Bocah bertubuh mungil namun kekar ala Fauzi Badila (pinjam istilah Ican “berotot kering”), mata sipit namun berkulit coklat mengkilat, hidung kecil mancung, rambut hitam pekat, ikal sebahu dan dipotong skin (pendek 1 centimeter) samping plus digulung keatas, nampak seperti tentara Mongolia kelebihan berjemur.

kemesraan yang tak terpisahkan hahahakemesraan yang tak terpisahkan hahaha

“Luwuk? Pantai Kilo 5 yah, ahh…dari dulu pengen kesana” kata saya ketika mendengar Ikar menyebut daerah asalnya. Entah kenapa, menyebut nama Luwuk, dan mendengar aksennya yang masih kental, membuat ingatan saya seolah terbang ke masa sepuluh tahun lalu, ketika saya mengenal dekat seseorang yang pernah melewati masa kecilnya disalah satu daerah di Sulawesi Tengah itu, dan sering bercerita tentang betapa indahnya laut disana.

“Aku mo jalan ama Ikar, gak bisa nemenin kamu” adalah kalimat yang sering dilontarkan Ican selama dia menginap dirumah saya. Ajaib memang, betapa sahabat saya ini terhipnotis oleh bocah itu, dan konyolnya, sebagai sahabat yang merasa mengenal Ican lebih lama, saya tadinya sedikit cemburu, haha. Sampai pada malam takbiran, Ican yang berjanji membantu saya untuk memasak hidangan Lebaran, sejak siang tak kunjung pulang, dengan alasan “masih sama anak-anak Pahyagaan lain, tapi Ikar belum datang, nunggu dia jemput dulu”. Kenapa sih, Ikar lagi…Ikar lagi!!! Saya yang agak kesal, akhirnya menyiapkan makanan terlebih dahulu. Ingin rasanya marah-marah karena Ican ingkar janji, tapi kok rasanya berlebihan, lagipula kan Ican juga tamu, dan ini malam Lebaran, terlebih marah karena Ican lebih memilih Ikar itu terkesan dangkal tanpa alasan. Mungkin karena merasa bersalah, Ican lalu memberikan kejutan dengan mengajak anak-anak Pahyagaan, termasuk Ikar untuk membantu saya malam itu dirumah. Betapa senang hati saya, bukan hanya karena banyak bala bantuan yang datang, tetapi karena rumah jadi ramai, seperti kenangan Lebaran jaman dahulu ketika almarhumah mama masih ada dan banyak saudara yang datang untuk membantu keluarga kami. Memasak sambil bercanda, membuat hati saya seketika hangat. Melihat ketulusan mereka untuk membantu saya, teman yang baru dikenal mereka, mata pun sepertinya ingin mengalirkan sejumlah air, namun setengah mati saya tahan, gengsi donk!! Hahaha. Alhasil, malam itu Ican justru bebas tugas membantu. Dia hanya sesekali memotret kami yang sedang memasak, kemudian mengobrol diteras bersama Billy.

Ican sering bercerita tentang Ikar yang selalu menyiapkan makanan sahur untuknya ketika Ican menginap disekretariat Pahyagaan, maupun selama perjalanan mereka ke Pulau Siladen dan Gunung Klabat. Saya pun membuktikan cerita Ican tentang Ikar yang jago memasak pada malam itu. Tangannya yang cekatan memotong-motong buah, serta mulutnya yang tidak pernah berhenti bertanya tentang bahan-bahan masakan yang kami masak, otomatis membuat Ikar jadi asisten memasak utama saya saat itu. Malam itu juga, satu fakta tentang Ikar yang saya perhatikan, dia adalah orang yang perfeksionis dan sangat bersih. Entah berapa kali Ikar mencuci tangannya ketika memegang makanan, dan setengah memaksa saya untuk mengambil alih memotong buah strawberi untuk salad. Mungkin Ikar tidak betah melihat saya yang mengerjakan apapun serba lama,  haha.

koki cantik yang bawel kalo digangguin lagi masakkoki cantik yang bawel kalo digangguin lagi masak

Keesokan harinya, Ikar bersama teman-teman lain dari Pahyagaan ikut berlebaran dirumah saya. Mereka datang bertamu pada jam 11 malam. Bukan jam yang tepat untuk bertamu, tetapi anak-anak nokturnal ini memang hanya bisa terkumpul bersamaan dengan jam bencong pergi melancong. Ican langsung keluar tabiat aslinya, kembali bersemangat setelah kecapaian berjaim ria menemani tamu-tamu keluarga saya sedari siang sehabis sholat Ied. Malam itu saya dan Ican menyematkan gelar baru untuk Ikar, yaitu “Lelaki Onani”. Bukan karena Ikar rajin melakukan pekerjaan masturbasi (eh tapi gak tau juga sih, haha), tetapi karena menurut pengamatan Ican yang diamini oleh saya, Ikar termasuk golongan lelaki yang perfeksionis, terlalu percaya dengan tangannya sendiri, jadi selalu melakukan hal-hal sendiri dengan sempurna sesuai standarnya. Ikar mengingatkan saya dan Ican pada Tama, salah seorang sahabat kami yang juga termasuk golongan lelaki seperti itu. Kami juga bertukar cerita tentang mimpi dan pengalaman masing-masing, dan malam itu Ikar berikrar, setelah lulus kuliah, ingin bekerja lalu menabung dan melakukan perjalanan keliling Indonesia seperti Ican, sebelum nantinya dia menetap dan hidup secara normal dan berkembang biak, haha. Senang sekali mendengar tentang mimpi optimis seperti itu, dan malam itu juga dalam hati saya berdoa dan mengaminkan niatnya.

Perkenalan saya dengan kamera Ikar, tepat pada hari saya akan mengantar Ican berangkat melanjutkan perjalanan keliling Indonesianya. Kami terlebih dahulu singgah ke sekretariat Mapala Pahyagaan, untuk menjemput Ikar (lagi-lagi yang keluar dari mulut Ican), dan anak-anak yang lain. Ketika saya asyik tiduran di hammock (kain yang digantung dengan tali, seperti ayunan tapi bisa ditiduri) sambil bermain dengan Noir, kamera kesayangan saya, sementara Ican dan Ikar sedang asyik bercengkrama (yaa, mereka tiduran, pelukan, cubit-cubitan, dan kegiatan lainnya yang membuat saya bergidik lalu tertawa), tiba-tiba Ikar mengambil kameranya, menyalakan lampu meja yang diarahkan kearah saya, dan memotret saya beberapa kali, kemudian selanjutnya memotret objek kipas angin didekatnya. Saya yang penasaran dengan hasilnya, meminjam kamera tersebut, dan seketika berseru dalam hati “F*CK”. Hasilnya lumayan keren, foto sederhana yang diambil dari sudut yang tidak biasa, membuat saya yang jarang mengganti foto profil di akun jejaring sosial mendadak ingin menggantinya dengan foto tersebut,haha. Ketika sampai didermaga tempat kapal yang akan membawa Ican menuju Ternate, Ikar kembali mengeluarkan kameranya, bahkan mengganti lensanya. Kali ini saya tidak kuasa untuk meminjamnya, sekali jepret dan “F*CK!!!”, saya spontan memekik (dan membuat orang disekeliling terperanjat kaget) ketika melihat hasil jepretan dari kamera tersebut. Kamera yang waktu itu diatur dengan profil hitam putih, benar-benar hanya mengeluarkan efek hitam putih, klasik dan jernih. Dua kali F*CK dalam sehari, tampaknya setimpal untuk hasil foto dari kamera dan lensa yang katanya murah oleh pemiliknya. Ican sampai menggoda saya akan “berpindah agama” (istilah dalam dunia fotografi, agama sama dengan merek kamera), karena akan beralih membeli kamera bermerek seperti kepunyaan Ikar, saking berbinar-binarnya mata saya ketika melihat hasil-hasil foto kami dikamera tersebut. Ikar sangat menyayangi kameranya, layaknya para pemotret (dia ogah saya sebut fotografer), dia menjaga kameranya seperti menjaga bayi. Bersih dan terawat, persis seperti dirinya. Tas kameranya tertata rapi, dengan kamper pengisap lembab disetiap kantongnya, lengkap dengan kain penutup tas kamera anti air berwarna kuning terang yang menambah cinta saya terhadap kamera tersebut, haha.

Saya senang mengajak diskusi berbagai topik dengan lelaki yang polos namun sok dewasa ini. Salah satu cerita yang kami bahas adalah perjalanan menggunakan alat transportasi umum dengan biaya murah meriah. Ikar lalu menceritakan tentang dirinya yang beberapa kali pulang ke kampung halamannya dengan modal minim, bertukar pengalaman tentang taktik naik angkutan dengan cara yang membuat saya terbahak-bahak. Raut wajah tegas yang bercerita lugas namun penuh antusias, tanpa memandang lawan bicara, sambil sibuk mengerjakan hal yang lain, membuat dia tampak seperti ibu-ibu PKK yang multi talenta. Saya juga sempat menanyakan, jika Ikar diberi tiga pilihan antara wanita yang jago mempercantik diri demi dia, jago memasak makanan-makanan enak untuk menyenangkannya, atau jago mengelola uang demi masa depan mereka, mana yang akan dia pilih. Ikar memilih pilihan kedua dengan alasan sederhana, dia hobi makan, hahaha!

“Nanti kalo naik gunung ama Ikar aja ndak apa-apa, trusted mate kok. Kamu jangan khawatir”.

Kira-kira itu pesan Ican ketika saya mengutarakan ajakan anak-anak Pahyagaan untuk mengikuti upacara di gunung Soputan. Saya memang senang berpetualang, tetapi saya adalah anak pantai yang takut naik gunung. Fisik lemah dan akrab dengan rumah sakit ini, membuat saya ngeri membayangkan harus menyusahkan orang disana. Lagipula, gunung terkenal dingin, sama sekali bukan pasangan yang serasi dengan alergi yang saya derita. Belum lagi saya yang belum terlalu mengenal anak-anak yang akan menjadi teman perjalanan saya ke gunung. Bagaimana kalau mereka kerepotan dengan saya yang tidak cocok dengan situasi gunung? Kasihan juga kan. Akan tetapi, hasutan Ican yang setiap hari tidak bosan-bosannya menghampiri pikiran, membuat saya menguatkan hati untuk menghubungi Ikar dan menyatakan ikut mendaki. Saya memilih percaya dengan rekomendasi sahabat saya tentang Ikar. Sejak sore, saya dan Ikar tawar menawar untuk waktu keberangkatan kami. Seharusnya, kami ikut rombongan yang berangkat naik truk kesana, tetapi karena saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, jadi Ikar mengalah dan menunggu saya selesai kerja. Dia menjemput saya diberanda hotel tempat saya pelatihan, dan mengatakan baru selesai membeli kartu memori baru untuk kameranya, karena kartu memori yang dipakai kemarin untuk merekam Ican bernyanyi didermaga pelabuhan, tidak sengaja diformat oleh teman yang meminjam kameranya, dan Ikar belum menemukan perangkat lunak untuk mengembalikan file video tersebut, jadi mau tidak mau dia harus membeli lagi kartu memori untuk kami memotret digunung, demi menyelamatkan video sahabat barunya. Ahh, satu lagi alasan yang  membuat saya mengerti betapa sayangnya Ican terhadap anak ini.

Kejadian yang membuat saya hampir terbahak ditengah jalan malam itu, ketika Ikar menjemput saya, dan dia hanya membawa satu helm. Kami nekad naik motor menuju sekretariat Mapala Pahyagaan, dengan saya yang membonceng tanpa helm. Tadinya kami mengambil jalan memutar, tetapi sialnya, diperempatan jalan yang akan kami lewati, ada polisi. Karena hampir dicegat polisi, akhirnya membuat kami memilih kembali ke jalan utama (yang ternyata bebas polisi), lalu sampai disekretariat dengan selamat, fiuhh.

“Sudah terlanjur naik, ngapain turun. Tenang aja” ujar Ikar, menolak niat saya ketika kami memutar kembali melewati jalan utama tadi, dan saya mengatakan akan turun saja lalu naik mikrolet menuju sekretariat karena takut dicegat polisi lagi. Kalimat datar penuh penekanan yang keluar dari mulut seorang lelaki yang malam itu mampu membungkam saya yang senang membantah.

 “Ikar itu wangi banget, kamu bisa rajin mandi kalo jalan bareng dia”

Penyataan Ican tersebut ternyata tidak berlebihan. Beberapa hari mengenal Ikar, dan pada akhirnya menginap digunung selama tiga hari dua malam berada satu tenda dengannya, membuat saya mengamini pernyataan sahabat saya itu. Sepanjang perjalanan, berboncengan dengan Ikar adalah kegiatan memanjakan hidung. Ikar mengaku hanya menggunakan pewangi cucian, tetapi entah pewangi itu dicampur dengan apa, sehingga angin malam yang menerjang kami sepanjang perjalanan selama hampir dua jam itu, tidak melunturkan harum wangi yang menerpa hidung saya. Sarung tangan yang menjadi perantara tangan saya dan jaket Ikar juga mendadak sangat wangi karena hampir dua jam menempel dijaketnya. Untung saja saya tidak tertidur (seperti kebiasaan saya kalau naik motor dan perjalanannya jauh), karena terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan oleh angin malam dan wangi semerbak kembang setaman yang berasal dari jaket pengemudi didepan saya. Belum lagi ketika dia membuka helm karena kami tiga kali berhenti untuk membeli keperluan yang tertinggal, aroma segar sampo dari kunciran rambutnya seketika membuat saya hampir amnesia, haha. Tidur di kantung tidur mungil dan tenda miliknya juga, serasa tidur dikamar putri raja. Bahkan kamar saya saja tidak pernah sewangi itu, haha. Harum lembut yang melekat diingatan siapapun yang pernah menciumnya. Saya mendoakan Ikar langgeng dengan pacarnya, karena kasihan membayangkan betapa susahnya menghapus ingatan tentang bau khas itu kalau mereka putus, haha (agak curcol).

“Katanya Backpacker?!?”

Kalimat menyebalkan yang selalu keluar dari mulut Ikar ketika melihat saya yang tertatih-tatih menyusul dia dan rombongan lainnya yang seperti bajing, meloncat-loncat dengan gembira menuju puncak anak gunung Soputan. Ikar memang senang sekali menggoda saya dengan kalimat-kalimat ejekan yang membuat saya ingin melemparnya dengan sepatu. Sejak awal kami diperkenalkan oleh Ican, saya memang melihat bakat tengil melekat kuat dalam diri lelaki trendi yang sangat dekat dengan sahabat saya itu. Tatapan jahil plus senyum isengnya, apalagi ditambah kalimat-kalimat ledekan yang dilontarkannya, membuat saya harus ekstra keras menahan diri untuk tidak menarik kunciran rambutnya ketika hobinya itu kumat.

Walaupun begitu, dibalik tampang jahil dan kelakuan minus khas bocahnya, Ikar adalah lelaki yang sabar dan bertanggung jawab (menurut saya lhooo). Dengan kesabaran seluas samudera Hindia, Ikar dengan tabah menemani saya yang selalu tertinggal jauh dibelakang rombongan. Tanpa banyak bicara, saya tau dia mengawasi saya dari belakang. Senter yang dibawanya juga diberikan kepada saya, dan dia hanya menggunakan senter dari korek api gas yang menyala ala kadarnya. Melihat pembawaannya, saya semakin menguatkan diri untuk tidak mengeluh manja dan benar-benar memperhatikan jalan didepan saya agar tidak terjatuh dan menyusahkan teman perjalanan yang selalu memanggil saya dengan sebutan “Senior” karena usia kami yang terpaut lumayan jauh. Karena kami berangkat terpisah dengan rombongan Pahyagaan, Ikar menitipkan saya ditenda rombongan Aesculap, Mapala dari Fakultas Kedokteran. Setelah memastikan saya sudah aman disitu, Ikar lalu berpamitan untuk menyusul rekannya yang mengambil jalur pendakian dari desa yang berbeda.

Ketika Ikar hampir hilang di gunung malam itu karena nekad menyusul rekan-rekannya yang kesasar, jujur saya sangat khawatir, karena selain hari sudah malam dan hujan, Ikar belum makan sejak pagi. Ketika dia akhirnya pulang dalam keadaan mengenaskan (haha), basah dan terlihat marah karena gagal bertemu rekan-rekannya, saya menanyakan bagaimana perasaannya, apakah dia menangis putus asa karena hari sudah gelap dan takut sendirian. Ikar hanya tersenyum dan berkata bahwa dia masih yakin akan Tuhan. Berdoa dan berserah hanya kepada Dzat yang menciptakan manusia, percaya penuh bahwa kita tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Sambil lalu Ikar menambahkan, dia hanya menangis jika teringat mamanya yang jauh disana. Mendengar itu, saya hanya tersenyum maklum. Ikar, malam itu kembali menjadi perantara Tuhan dalam mengingatkan kembali tentang keyakinan dan kepercayaan terhadap sang Pencipta, tanpa sedikitpun keraguan. Ingin rasanya saya mengobati tangan mulusnya yang malam itu luka-luka karena menerobos hutan dikala matahari sudah istirahat berganti gelap malam plus kabut gunung yang mencekam, tetapi melihat kemandirian lelaki yang selalu sigap dengan kotak obat lengkap ditas nya itu, saya mengurungkan niat dan hanya menyuruhnya untuk makan dan segera beristirahat. Dasar lelaki pesolek, dia malah memilih untuk berganti baju dan celana terlebih dahulu sebelum akhirnya makan bersama saya dan rombongan Aesculap lainnya. Rifa, si calon dokter ketua rombongan Aesculap bahkan menjulukinya mirip artis Ayu Dewi, karena malam itu Ikar mengurai kunciran rambutnya, memakai jaket oranye yang menyala dikegelapan malam, tampak cantik diterangi cahaya api unggun didepan tenda. Fantastik!!!

si tengil nan wangi yang doyan meledeksi tengil nan wangi yang doyan meledek

Hal lain tentang Ikar yang membuat saya takjub adalah dia tidak menghiasi tubuhnya dengan seni tato, merokok dan minum minuman keras. Hal yang jarang terjadi ketika menjadi anggota Mapala. Suhu gunung dan laut yang dingin, menambah alasan panjang untuk mengkonsumsi dua hal terakhir itu sebagai penghangat. Apalagi dia berteman akrab dengan Jibie, salah satu seniman pembuat tato berbakat dikampusnya. Ikar punya alasan tersendiri yang tidak perlu saya ceritakan disini tentang prinsipnya itu. Alhasil selama digunung, saya dan Ikar hanya asyik melinting tembakau untuk para anggota rombongan yang lain, minum susu panas, lalu ikut tertawa-tawa melihat kelakuan anak-anak yang mabuk ketika meminum minuman keras tradisional yang sengaja dibawa untuk menghangatkan badan mereka.

Tipikal lelaki idola kaum hawa beberapa tahun lagi, pikir saya ketika melihat sosok lelaki yang dengan gaya tenangnya memotret hamparan pemandangan yang terlihat dari atas puncak anak gunung Soputan. Ikar, mengingatkan saya akan seorang sahabat dekat saya yang sekarang sedang berkeliling dunia. Harry Sudirman Kawanda, si lelaki pemimpi yang berniat menaklukkan semesta. Mungkin seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, Ikar akan bertransformasi menjadi lelaki idaman dengan segala pesonanya. Sorot mata tajam yang mampu membuat sejuta wanita bertekuk lutut, dan semilyar pria menyembah, haha. Tinggal menunggu tanggal mainnya.

kehilangan koneksi dengan dunia luar ketika asyik dengan mainannya :))kehilangan koneksi dengan dunia luar ketika asyik dengan mainannya :))

Malam terakhir didalam tenda, kami berdiskusi tentang pasangan. Ikar berceloteh tentang cerita cintanya yang unik, dan saya pun balik menceritakan sedikit kisah kasih saya yang absurd, haha. Saya tidak menyebut itu ajang curhat. Hanya berupa obrolan ringan, bertukar pikiran tentang pengalaman kami masing-masing. Lagi-lagi saya dibuatnya terkikik dengan cerita yang menurutnya konyol namun membuat saya teringat akan masa lalu. Kenangan lucu yang dulu juga pernah saya alami. Lelaki yang berusia jauh dibawah saya itu tampak jauh lebih dewasa ketika dia menatap saya dan mengatakan “Menikah itu memang harus dipikirkan matang, karena orang itu yang akan kamu lihat sebelum kamu tidur dan ketika kamu bangun, seumur hidup. Tidak seperti baju, ketika salah beli, kita bisa memberikan kepada orang lain atau menjualnya kembali”. Analogi seorang lelaki modis yang menggambarkan kehidupan perkawinan dengan filosofi membeli pakaian, membuat saya geli sendiri. Dia juga bertanya dengan heran (sambil sedikit meledek), kenapa saya belum juga mengakhiri masa lajang dan masih asyik berpetualang, dan saya hanya bisa tertawa dan melemparnya dengan kaus kaki.

Assalamualaikum mbak Ayu Dewi hahahahaahahAssalamualaikum mbak Ayu Dewi hahahahaahah

Ikar, selalu menenangkan saya dengan semua kalimat lugunya. Ketika saya mengutarakan tentang pandangan mata heran semua orang yang melihat saya tiba dibase camp menggunakan celana legging yang lebih cocok dipakai ke mall daripada ke gunung, tanpa melihat kearah saya Ikar berujar “Aku juga kalo naik kadang pake lapis celana legging kok, demi keselamatan kaki, daripada tergores ditengah jalan”. Hampir terbahak saya membayangkan lelaki dihadapan saya itu bersepatu khas pendaki, bertampang ala samurai, tetapi memakai legging ala Cherry Belle. Waktu alergi saya kambuh pun, Ikar selalu mengatakan “Gak apa-apa, ini gak dingin kok. Masuk aja ke dalam tenda, biar hangat”. Saya tau, Ikar hanya menghibur saja, mencoba mengalihkan perhatian saya yang mulai gelisah karena tersugesti dengan udara dingin. Ikar bahkan meminjam kantung tidur milik Panjul, teman perjalanan kami, sebagai tambahan selimut untuk saya yang sejak habis makan malam meringkuk ditenda karena tidak kuat dengan hawanya. Setengah sadar saya melihat Ikar menyelimuti saya, menutup resleting jendela tenda bagian atas, dan kembali bergabung dengan teman-teman lainnya diluar yang asyik bernyanyi dengan ukulele mengelilingi api unggun.


Satu kesamaan saya dengan Ikar, kami itu Pelor alias Nempel Molor, gampang tertidur dimana saja dan kapan saja ketika kantuk menyerang, plus sama-sama susah bangun pagi. Tertidur dalam posisi duduk, menyender di batu, atau ditengah keramaian sekalipun. Ajaibnya, dua malam tidur bersebelahan dengan Ikar, menyebabkan mata saya lebih cepat terjaga dipagi hari. Entah karena harum mewangi yang menguar darinya, atau keadaan tenda yang rapi karena selalu dia bereskan sebelum kami beranjak istirahat. Saya yang selalu terbangun lebih dulu, sering kehabisan cara membangunkannya. Awalnya saya menepuk tangannya dengan sopan sambil memanggil namanya perlahan, tidak berhasil. Mengguncangnya dengan semena-mena dan membuat tenda kami bergoyang hebat hanya akan membuat orang diluar tenda berpikiran macam-macam, hahaha. Tampang polos Ikar ketika tertidur pun tidak luput dari jepretan kamera saya. Ekspresi kekanakkan Ikar yang sedang pulas, menambah koleksi foto saya yang memang hobi memotret raut wajah orang ketika tidur. Segala cara saya lakukan, sampai akhirnya Ikar bangun dengan nyawa separuh, mendengus kesal dan menatap saya dengan garang ibarat macan siap menerkam mangsa karena dibangunkan secara terpaksa. Alih-alih ketakutan melihatnya marah, saya malah tertawa-tawa melihat wajah cemberut dan tatapan sinis yang ingin marah namun terpaksa ditahannya.


putri tidur, cantik dengan jemari lentik :Dputri tidur, cantik dengan jemari lentik :D

Saling menguji kesabaran juga terjadi disaat kami berkemas. Saya yang berniat membantu, merapikan tas kami berdua, sementara Ikar membongkar tenda. Ikar berkata untuk tidak membereskan miliknya, karena nanti pasti akan dirapikannya kembali. Jiwa cacing kepanasan yang tidak bisa diam milik saya, melawan jiwa lelaki perfeksionis miliknya, menjadi sangat kontras saat itu. Saya tetap membereskan tas miliknya, setelah terlebih dahulu membereskan tas milik saya, memilah pakaian dan barang-barang berlainan jenis kedalam kantong-kantong tas yang berbeda, dengan tujuan agar acara berkemas cepat selesai. Ikar menyaksikan kesibukan saya sambil melengos dengan tatapan “ini orang gak ngerti bahasa manusia apa yah? Udah gw bilang jangan diberesin!!”. Seperti pernyataan awalnya, selesai membongkar tenda, dia kembali merapikan tas miliknya, mengeluarkan semua barang yang sudah saya atur rapi, dan mengaturnya kembali, diiringi tatapan ingin menggampar dari saya, yang merasa pekerjaan saya barusan sia-sia dimata anak ini. Anehnya, saya yang biasanya kalau diperhadapkan dengan keadaan seperti itu akan mengomel ala ibu-ibu sinetron, sore itu memilih diam dan mendengarkan Ikar yang juga bertutur kata dengan sabar tentang kesalahan-kesalahan saya dalam pengaturan tempat barang-barang dalam tasnya tersebut. Sore itu, emosi menjadi hal tabu diantara kami. Menyenangkan!”

“Bahagia itu adalah ketika kita lebih sering tersenyum, lebih berani bermimpi, lebih mudah tertawa, dan lebih banyak bersyukur” –Merry Riana-

Maafkan saya yang terkesan sok tahu dalam membuat tulisan tentang sosok lelaki yang baru saya kenal kurang dari sebulan ini. Mungkin masih banyak sahabatnya yang lain yang jauh lebih mengenal pemuda yang tidak terlalu suka dengan makanan pedas ini. Masih banyak hal misterius tentang lelaki yang bernaung dibawah rasi bintang Taurus ini yang belum saya ketahui. Ikar juga bukan pria sempurna layaknya pangeran berkuda putih dicerita dongeng sebelum tidur. Dia masih berego tinggi khas lelaki, masih suka kontradiktif dengan perkataannya, masih cuek dengan keadaan sekelilingnya, serta masih bisa marah ketika saya berbuat hal yang menurutnya salah. Namun satu hal yang saya yakini, lelaki yang juga senang menyanyi sambil memainkan gitar dengan jemari lentiknya ini, adalah teman baru yang dikirimkan Tuhan, bukan karena kebetulan. Ada makna dan tujuan disetiap pertemuan. Buat saya, selalu menyenangkan bisa mengenal sosok seperti Ikar, layaknya buku, kami dipertemukan mengenal satu sama lain, sebagai media untuk saling belajar.

ukulele dan nyanyian, alat modus paling manjurukulele dan nyanyian, alat modus paling manjur



Manado, 31 Agustus 2013  13 : 31 WITA

Sabtu siang disebuah restoran pinggir pantai dengan pemandangan teluk Manado, ketikat langit cerah ceria, sambil skype-an dan cekikikan dengan seorang sahabat yang berada nun jauh dinegeri orang :)


27/08/13

Melangkah Sampai Ke Batas Waktumu

Lebaran kali ini sedikit berbeda untuk saya. Tahun ini, saya kedatangan salah satu sahabat yang dulu saya kenal melalui cerita dari mulut ke mulut oleh para sahabat petualang. Kami pertama kali bertemu didunia maya. Melalui layar ponsel pintar, kami sering mengobrol. Sesama mahluk nokturnal, aktif dikala malam hari, betah berdiskusi berjam-jam, dan hanya akan berhenti jika salah satu tertidur.

Melalui obrolan demi obrolan, perlahan saya mulai mengenal sosok yang tenar dengan nama Fiersa Besari. Anak pendiam yang sering menyebut dirinya sendiri gila, tetapi selalu membuat saya tertawa dengan topik berat yang dia bahas dengan gaya bahasa unik ala anak muda. Musik, fotografi, petualangan ala ransel, serta baca buku adalah hal-hal yang menyatukan isi kepala kami. Saya, yang sering merasa teralienasi dengan dunia sekeliling, merasa menemukan salah satu teman sejiwa yang bisa memahami alur pikir otak saya yang terkadang sering tidak sejalan dengan lingkungan sekitar.

istri pertama = ponsel, istri kedua = rokokistri pertama = ponsel, istri kedua = rokok

Fie, Icha, Pika, dan banyak nama lain yang disematkan para sahabatnya untuk penanda kedekatan mereka. Saya, sejak pertama melihat foto profilnya, memutuskan untuk memanggil si pencinta cemilan ini dengan nama Ican, singkatan dari Icha Cantik (hahaha, dan dia selalu kesal dengan nama ini). Berpostur tinggi kurus ala model, berambut sebahu (kala itu), berwajah kuning langsat dan mulus khas anak Bandung, sepertinya tidak berlebihan untuk berpredikat cantik. Dulu pertama kali bertemu, saya yang berpotongan rambut pendek tomboy malah terlihat lebih macho dari dia, hahaha.

Karimun Jawa adalah petualangan kami yang pertama, sekaligus kali bertatap muka pertama secara langsung tanpa perantara ponsel kesayangan. Saya bersama rombongan dari Jakarta, bertemu dengan Ican yang membawa rombongan dari Bandung dipelabuhan Kartini Jepara, untuk kemudian bertolak ke kepulauan Karimun Jawa. Enam jam perjalanan kami habiskan dengan tidur, makan, mengobrol sesama anggota rombongan, dan bernyanyi riang ala anak pramuka dengan ukulele yang dia bawa. Ican bahkan sempat mengerjai saya dengan mengirimkan pesan ke semua kontak BBM saya yang isinya saya boker dicelana. Dasar anak iseng!!! Empat hari tiga malam berlalu dengan sangat cepat namun menyenangkan. Dari mulai berenang dilaut, bercengkrama dengan hiu dipenangkaran, bermain memutar botol minuman “Truth or Dare” dan tertawa tidak tau diri sampai ditegur oleh warga sekitar karena rombongan terlalu ribut, sampai api unggun tengah malam ditengah hutan yang menyeramkan. Satu lagi fakta tentang dia yang saya ketahui, bahwa Ican tidak sependiam dan seaneh bayangan saya sebelumnya (karena banyak cerita yang beredar kalau dia itu mahluk aneh dan galau sedunia). Celotehan dan candaan selalu keluar dari mulutnya ketika kami berhadapan langsung. Sejak saat itu saya belajar untuk tidak menilai orang lain tanpa mengenalnya terlebih dahulu.

penampilan perdana Duo Maia diatas kapal menuju Karimun Jawapenampilan perdana Duo Maia diatas kapal menuju Karimun Jawa

Sejak dulu, saya juga mempunyai kebiasaan yang menurut teman-teman saya yang lain aneh, yaitu berdoa dan menyebutkan satu harapan ketika kebetulan melihat jam, entah ditangan, didinding, diponsel, ataupun dikomputer, menunjukkan angka yang sama, yaitu 11:11. Kenapa 11:11, karena selain 11 adalah bulan lahir saya, angka tersebut merupakan simbol istimewa buat saya, entah kebetulan atau tidak, deretan angka tersebut selalu membawa keberuntungan buat saya. Mungkin itu hanya sebuah sugesti, tapi saya sangat percaya dengan kekuatan magis dari deretan angka tersebut. Betapa terkejutnya saya ketika dulu pertama kali mendengar judul album perdana sahabat saya. Deretan angka tersebut juga ternyata mempunyai kisah tersendiri buat dia dan mantan pacarnya waktu itu (bisa dibaca diblog pribadinya Ican). Akhirnya, kami sepakat menamai deretan angka tersebut dengan deretan angka harapan, perantara mimpi dan logika, penyambung daya imajinasi dan ilmu pengetahuan.

cover album 11:11 yang happening itu ;)cover album 11:11 yang happening itu ;)

Pertemuan kedua kami sewaktu saya mengunjungi Bandung, dan menginap dirumahnya. Nongkrong diwarung roti bakar yang menjadi favorit anak gaul Bandung dikala malam minggu, nonton dvd dan akhirnya tidur berdesak-desakan dengan anak-anak rombongan Bandung dikamar Ican yang super berantakan (beda tipis dengan keadaan kamar saya lah, makanya kami cocok, hahaha), ngobrol ngalor ngidul dengan menggunakan bahasa Inggris acak adut ala saya dan lancar jaya ala dia (dan sekarang menjadi kebiasaan kami berdua ketika membicarakan hal yang serius, haha! gaya banget!!!), sampai beramai-ramai menemani teman kami yang waktu itu melancarkan serangan PDKT (dan akhirnya gagal,haha) disalah satu warung kopi didaerah Lembang.

Ican, menjadi lebih sering berpetualangan kesana kemari, karena waktu kerjanya yang fleksibel, sementara saya yang waktu itu kembali kerja kantoran hanya bisa mendengus kesal melihat foto-foto yang dia unggah di akun jejaring sosial miliknya. Sebelum film 5cm heboh dibuat, sahabat saya ini menghubungi saya dan mengatakan “Nta, aku mo ke Semeru, kita ketemu di Sarinah yah. Aku naik kereta dari Jakarta ke Malang esok pagi. Siang ini naik travel dari Bandung”. Isi pesan singkat yang mampu membuyarkan konsentrasi saya yang sedang rapat koordinasi dikantor. Buyar karena teramat sangat iri dengan rencana perjalanannya, sekaligus senang karena artinya saya bisa sejenak bercerita dengan teman sesama penikmat imajinasi walaupun hanya beberapa jam, karena dia hanya transit di Jakarta. Duduk di jalan Sabang, menikmati makan malam sambil mendengar nyanyian belasan pengamen bersama seorang vokalis dihadapan saya, membuat suasana hati yang siangnya seperti padang tandus menjadi sedikit sejuk mendengar celotehan bersemangatnya yang menceritakan tentang rencana dia dan komunitas yang baru dikenalnya di dunia maya untuk mendaki puncak tertinggi dipulau Jawa tersebut.

Pertemuan ketiga, ketika dia harus manggung disebuah acara musik di Jakarta. Saya yang selalu merasa bersalah ketika selalu tidak bisa menghadiri konser kecil-kecilannya di Bandung, kali itu berjanji untuk datang dan menonton. Seperti biasa, banyak sekali cerita ketika kami bertemu. Seperti lelaki normal lainnya, dia terpukau melihat penampilan beberapa band yang manggung dipanggung utama, juga histeris minta difoto dengan latar belakang band yang personelnya cewek ABG berpakaian mini dan bergaya kenes manja. Ican memang selalu punya cerita menarik untuk dibahas, sambil menemani saya makan, dia berceloteh panjang lebar tentang pertemuannya dengan salah seorang legenda Wanadri yang sudah tua namun kuat menaklukkan puncak gunung-gunung tertinggi didunia. Saya selalu tersenyum ketika melihat raut muka riangnya ketika sedang bertutur kata. Ibarat bocah lelaki yang antusias menceritakan pengalaman barunya disekolah. Hari itu saya sengaja mengajak dia untuk berfoto bareng dengan alasan “Kalo kamu ntar sok ngartis, setidaknya aku kan udah punya foto bareng, jadi kali aja bisa aku jual, hahaha”.

anak alay yang ganjen minta difoto ama girl band -_-anak alay yang ganjen minta difoto ama girl band -_-

Akhir tahun 2012, Ican sempat mengutarakan niatnya untuk keliling Indonesia, dan mengajak saya untuk ikut serta. Jujur, saya ingin sekali ikut berpetualang, tetapi apa daya, saat itu saya terikat dengan pekerjaan yang sangat menyita waktu. Saya hanya bisa mendoakan agar sahabat saya dan rombongannya selalu sehat sepanjang perjalanan, mengingat tubuh ringkihnya yang sangat akrab dengan rumah sakit, serta menitipkan salam kepada tanah Nusantara lewat langkah mereka itu, kemanapun mereka singgah.

Ketika dia mengunduh video rekamannya di Youtube sewaktu konser di Makassar, saya ikut merasakan euforia kegembiraan sahabat saya itu. Ribuan kilometer dari kota Bandung, ketika seisi restoran disana turut menyanyikan lagu ciptaannya, sahabat saya ini tampak bernyanyi dengan berbagai emosi yang campur aduk. Ican, membuktikan kata-katanya bahwa musik bisa jadi pemersatu dunia. Sewaktu Ican tiba di Manado untuk pertama kali, dia mengirimkan pesan singkat dengan bunyi “Udah dikotamu nih Nta, gak nyangka yah bisa nginjek Manado, kota kebanggaanmu nih”. Mereka lalu bertolak ke titik Ter-Utara Indonesia, pulau Miangas. Saya yang waktu itu berada di Semarang untuk kerja, lagi-lagi merasa iri dan berkata dalam hati “sial, gw aja yang orang Manado belum pernah ke Miangas, ni bocah udah nyampe kesana aja”. Beberapa hari setelah saya kembali ke Jakarta untuk persiapan mudik Lebaran ke Manado, Ican kembali mengirimkan pesan singkat “Nta, aku boleh Lebaran bersama keluargamu?”, saya kaget campur gembira, karena berarti Lebaran kali ini akan sedikit berbeda, dan tentu saja saya sangat antusias membayangkan berbagai petualangan seru ketika kami bertemu nanti, dikota kelahiran saya!!! Wohoooooo!!!!!

Entah bagaimana melukiskan betapa terharunya saya ketika pertama kali melihat sahabat saya ini muncul diteras rumah saya di Manado, diantarkan oleh temannya yang berwajah khas Manado pula. Ah, sampai juga niat kami dulu untuk bertemu di kota kelahiran saya yang rasanya tidak mungkin terjadi mengingat kesibukan kami masing-masing dulu. Ican nampak sangat kurus, hitam terbakar matahari jalanan, dekil, tapi terlihat semakin dewasa. Pengalamannya selama dijalan membuat dia terlihat sangat kumal namun bahagia. Gembel ceria, pikir saya sambil tertawa. Saya awalnya kecewa karena melihat dia datang tanpa ditemani Prem dan Baduy, kawan seperjalanannya, namun akhirnya hanya bisa mengangguk maklum ketika Ican menceritakan alasannya. Ican datang dengan tidak membawa ransel raksasa khas pengelana, melainkan hanya satu tas plastik berisi baju kotor dan seperangkat alat mandi. Katanya sih dua hari lagi dia diajak mendaki gunung Klabat, salah satu gunung tertinggi di Sulawesi Utara. Rambut basah dan muka berkilat terkena cahaya matahari karena baru pulang dari Pulau Siladen, membuatnya tampak seperti putri duyung berkumis yang terdampar dan kelaparan.

Karena itu bulan puasa, spontan pertanyaan saya adalah “Kamu puasa gak Can?”

Dengan muka serius dia menjawab “Gak euy, semalam aku gak sempat sahur jadi hari ini gak puasa, lagian lemes banget beberapa hari ini”

Jadilah setelah dia mandi dan saya membereskan cuciannya, saya mengantarkan dia ke mall dikota kami untuk mencari makan. Sepanjang jalan, Ichan mengomentari tentang penampilan orang Manado yang menurutnya bisa mengurangi pahala orang puasa, hahaha. Ican juga bercerita betapa terkesannya dia tentang toleransi umat beragama disini, ketika dia di Pulau Miangas dan Pulau Siladen yang notabene penduduknya mayoritas Nasrani, dan kawan-kawannya yang juga mayoritas non Muslim.

“Jadi mereka kan ngerokok ato makan minum didepan aku, pas tau aku puasa, spontan langsung minta-minta maaf dengan agak berlebihan gitu dan dengan tampang gak enak banget lho. Padahal di Bandung mah orang makan depan orang puasa juga cuek-cuek aja. Gila, keren lho disini”.

Saya hanya tersenyum melihat antusiasmenya dalam bercerita. Lelaki cerewet dan heboh ini masih Fiersa yang sama dengan sosok yang saya kenal tiga tahun yang lalu. Begitu memasuki parkiran mall, dia berteriak “Arghhh…akhirnya aku nginjek peradaban lagi!!! Nanti kita makan dimana atuh??? Trus keliling ahh liat-liat”. Bagaikan anak kecil yang diajak ke pusat perbelanjaan, siang itu dia tampak segar dan berbinar-binar. Ican memesan soto ayam dan memakannya dengan sangat menghayati. Mungkin buat dia, soto ayam itu mengingatkannya akan masakan ibunya tercinta di Garut, yang saya tau persis, adalah orang yang selalu
dikangeninya setiap hari, dimanapun sahabat saya ini berada.

“Aku bosan makan ikan Nta, sejak di Sulawesi, aku makan ikan ikan dan ikan. Bisa-bisa pulang Bandung aku jadi pinter saking keseringan makan ikan”.

Mau tidak mau saya terbahak mendengar celotehannya yang konyol itu. Ican, adalah salah satu sahabat saya yang bisa diajak ngobrol tentang apa saja karena berkapasitas otak diatas rata-rata. Bernama belakang Besari, membuatnya cerdas dan lancar membahas soal sastra, filsafat dan fisika dengan bahasa yang mudah dicerna, bahkan oleh keponakan lelaki saya yang masih berusia lima belas tahun. Ican bahkan pernah membahas sejarah film Superman dengan berbagai dalil dan ragam informasi yang membuat film pahlawan bercelana dalam diluar itu tampak seperti film kolosal serius dan sarat ilmu sejarah. Luar biasa!!!

“Nta, udah tidur?” adalah bunyi sms ato whatssap konyol yang tiap malam dia kirimkan ke ponsel saya, ketika kami tidur terpisah. Akhirnya pada malam selanjutnya dia menginap dirumah, saya memutuskan untuk ikut tidur dengannya dikamar saya agar kami bisa bercerita tentang apa saja sampai masing-masing tertidur, sama seperti dulu, hanya bedanya kali ini kami berhadapan secara langsung. Tidak usah ditanya dimana dan bagaimana posisi kami tidur, yang pasti kami tidak pernah melewati batas norma dan melupakan esensi sahabat yang telah tiga tahun kami jalani. Sangat menyenangkan ketika sama-sama menutup mata, tetapi mulut terus bercerita tentang impian dan cita-cita, tentang kehidupan, tentang cinta, tentang petualangan, tentang politik, tentang imajinasi terliar, bersama seorang sahabat yang mengenal kita. Kembali pada kebiasaan anak kecil, berkisah tentang angan dan impian, tanpa banyak pertimbangan. Satu hal yang tidak menyenangkan adalah dia yang selalu tidur paling akhir dan selalu bangun lebih awal, paginya membangunkan saya dengan semena-mena, tetapi selalu tidak bisa membuat saya marah, karena dengan tampang polosnya dia selalu tersenyum dan menyapa “Sudah siang Nta, mandi sana”, dan ketika selesai Lebaran berganti dengan “Sudah siang Nta, sarapan yuk”.

Sejak keliling, Ichan selalu ingin dipanggil Bung. Katanya, Bung itu sangat Indonesia, tanpa mengenal suku maupun ras. Bukan kang, kaka, mas, atau abang. Sebelum saya pulang mudik, Ican dan rombongannya menginap disekretariat Mapala Pahyagaan, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi. Katanya, disana lagi-lagi diajak berfoto oleh salah satu anggota yang kebetulan mengunduh lagu-lagunya dari internet, dan lagi-lagi saya hanya tertawa mendengarnya. Saya pun akhirnya dikenalkan kepada para anggota Mapala tersebut. Ada empat orang yang sangat akrab dengan sahabat saya. Ikar, si anak perantau asal Luwuk yang super wangi, fotografer yang juga jago masak dan bertampang cantik, Billy, pemuda asli Minahasa yang berambut panjang ala bintang iklan sampo yang hobi menceritakan kisah-kisah lucu namun selalu galau, Adhi yang akrab dipanggil Jibie, si seniman pembuat tato yang bertampang seperti Bob Marley muda, serta Valent atau Tebo, humas Mapala yang bertampang manis berambut kribo ala Kaka Slank. Seketika mereka juga menjadi teman baru saya, yang selalu membuat saya terbahak dengan tingkah konyol mereka yang spontan memanggil saya dengan sebutan “Kak” ketika mengetahui umur kami yang terpaut lumayan jauh, Siyal!!! Hahaha…

Gadis-gadis bintang Iklan sampo dari Mapala Pahyagaan =))))Gadis-gadis bintang Iklan sampo dari Mapala Pahyagaan =))))

“Kayaknya kamu butuh anak secepatnya. Orang yang bisa kamu suruh-suruh, tanpa bisa melawan. Kamu gak butuh suami sih, karena kamu itu kebiasaan ngatur orang, tapi hati susah menetap pada satu orang, hahaha”.

Ican, membuat jiwa ibu-ibu saya makin kuat. Saya selalu menyuruhnya makan banyak, sering mandi (padahal saya sendiri jarang mandi) dan ganti baju, memaksanya minum madu campur jeruk dua kali sehari gara-gara kasihan melihatnya tersiksa dengan batuk, serta ingin tahu dengan hal-hal kecil yang tidak diceritakannya.
“You are starting like my mom. Please, stop it!! Yolanda banget deh (tau lagu Kangen Band berjudul Yolanda? Yang liriknya Kamu dimana, dengan siapa, sedang berbuat apaaa)!!!” ujarnya memprotes tindakan pemaksaan saya yang dia anggap terlalu membuatnya merasa seperti anak kecil.Perdebatan yang diakhiri dengan saya yang tertawa melihat muka memelas campur kesalnya.
Dia menjuluki saya “emak-emak bawel”, bahkan berkonspirasi dengan keponakan saya untuk meledek saya karena kebiasaan tersebut. Saya pun jadi sangat menghargai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, karena dengan kedatangan Ican menginap dirumah, otomatis saya harus bisa jadi tuan rumah yang baik. Bangun lebih dulu untuk menyiapkan teh dan makanannya, menemani dia makan, memastikan dia betah ketika berada disini. Percayalah kawan, itu sangat menguras energi (apalagi untuk gadis pemalas dan berjiwa lelaki seperti saya), dan akhirnya membuat saya teringat akan jasa besar para asisten rumah tangga.

Bahkan ketika hari Lebaran pun, saya harus menyeretnya ke kamar mandi (padahal saya juga waktu itu lelah plus mengantuk tingkat kecamatan) dan mengetuk pintunya setiap lima menit sekali (dan dijawab dengan erangan sebal olehnya,haha) , was-was kalau saja dia tertidur didalam, karena kami baru selesai menyiapkan hidangan Lebaran pada pukul setengah empat pagi, dan bakal mengakibatkan kami terlambat mengikuti sholat Ied. Syukurlah kami bisa hadir tepat waktu dimesjid, dan Ican tampak bersahaja dengan baju koko putih gading yang dikenakannya (walaupun tetap saja dimobil kami berdebat tentang rambutnya yang kusut dan basah tapi dia menolak untuk dirapikan, huh!).

Duo Maia mengucapkan Selamat Lebaran 1434HDuo Maia mengucapkan Selamat Lebaran 1434H

Malam takbiran memang Ican berjanji untuk membantu saya memasak, tetapi tiba-tiba dia minta ijin untuk nongkrong dengan Billy dan kawan-kawan. Sebenarnya saya tidak marah ketika dia belum pulang, padahal waktu sudah tengah malam, dan makanan belum ada yang dimasak, tetapi karena ponsel saya letakkan dikamar, beberapa kali panggilan Ican tidak terjawab, dan mungkin dia mengira saya merajuk lalu tidak mau mengangkat telepon darinya. Ican akhirnya memboyong rombongan Billy, Ikar, Jibi, Tebo, dan beberapa anak Mapala lainnya untuk membantu saya memasak dirumah. Terbayang kehebohan kami malam itu, para anggota Mapala cantik yang cekatan dalam hal dapur, membuat pekerjaan kami cepat selesai. Alhasil, malam itu Ican justru bebas tugas sama sekali. Akal bulusnya mengajak anak-anak, membuatnya yang memang malas memasak itu bisa berleha-leha diteras depan rumah saya, merokok dan mengobrol bersama Billy, yang saat itu baru mengalami kecelakaan sehingga tangannya luka, jadi tidak bisa ikut membantu kami didapur. Cakep!!!

rombongan asisten malam Lebaranrombongan asisten malam Lebaran

Saya juga merasa sangat terbantu dalam mengenalkan tentang dunia luar pada keponakan saya, Jordan, yang baru berusia lima belas tahun. Kebetulan, tahun ini Jordan dibelikan kamera profesional oleh ayahnya. Ican yang memang hobi fotografi, sering mengobrol dengan Jordan. Mereka berdua juga punya bahasa khas “lelaki” yang asing buat saya. Orang luar mengenal Jordan sebagai anak yang jarang mengobrol jika belum akrab, begitupun Ican, jadilah mereka seperti menemukan benang merah penghubung. Terkadang mereka tertawa dan melihat kearah saya dengan tampang jahil. Ican jadi om favorit baru buat Jordan. Dimana ada Ican, disitu Jordan menempel. Bahkan kebiasaan Ican makan nasi dicampur saus mayones pun dijadikan percontohan buatnya. Ketika Ican bermain gitar diteras, Jordan pun selalu disampingnya. Suatu malam Jordan merengek mengajak keluar untuk membeli pulsa, ketika saya dan Ican sedang asik mengobrol. Saya langsung menolak melihat jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Spontan Ican yang waktu itu asyik bermain dengan ponselnya, menanyakan berapa nomor ponsel Jordan, dan langsung mentransfer sejumlah pulsa dinomor itu. “Kamu mah gak tau perasaan gantung cowo yang lagi pedekate tapi pulsa abis. Itu tersiksa banget tau”. Sejak malam itu, posisi saya langsung turun satu peringkat dimata keponakan saya, digantikan om-om cantik yang mengerti perasaannya hahaha.

Jordan and his new auntie -_-Jordan and his new auntie -_-

Pengalaman seru lainnya ketika kami menonton salah satu film horor yang sedang tren saat ini. Saya yang memang tidak bisa dikagetkan dengan suara keras, selalu berteriak latah dan mencengkram lengan Ican yang juga duduk ketakutan disamping saya, hahaha. Dia malah mengajari saya tips menonton film horor, yaitu memakai jaket yang bertudung, agar tidak kelihatan terlalu memalukan ketika menutup mata saat adegan menyeramkan, atau menutup wajah dengan jari yang terbuka dibagian mata. “Biar ngerasa lebih aman Nta, kalo ditutupin gini entah kenapa aku ngerasa aman aja”. Tentu saja saya tidak ikut mempraktekkan tips konyolnya, karena toh tinggal menutup mata kalau setannya keluar. Seperti kelakuan dua anak kecil yang tidak mau kalah, diakhir film kami saling meledek tentang siapa yang lebih ketakutan selama film diputar.

Bersama Ican, saya menghabiskan waktu di Manado dengan keseruan yang berbeda. Saya, seperti kembali terbang ke masa beberapa tahun silam, ketika hidup terasa lebih ringan dan menyenangkan. Ceria dan penuh canda, membuat hari-hari terasa begitu cepat berlalu. Nongkrong dimall, berbuka puasa di Jarod (tempat nongkrong dipusat kota yang berisi semua lapisan masyarakat, dari politisi, musisi, seniman, maupun mahasiswa dan warga biasa) yang merupakan tongkrongan paling juara ketika saya masih mahasiswa, bangun sahur dan heboh menonton acara sahur yang sedang tren dengan goyangan cesarnya, berdebat dengan bahasa campur aduk tentang hal-hal sepele yang diakhiri dengan saling meminta maaf kemudian tertawa ngakak, keliling kota naik angkot Manado yang memutar musik sekencang-kencangnya, makan martabak dipinggir jalan protokol sambil menunggu angkot yang tak kunjung datang sambil membahas filsafat (dan selalu dilirik pengendara yang lewat karena dikira dua wanita yang menunggu “jemputan”, haha), serta banyak hal menarik lainnya. Ican sampai kecapaian menemani tamu dirumah kami ketika Lebaran, menemani teman-teman keluarga saya yang tidak henti-hentinya datang, bercerita berulang-ulang tentang perjalanannya keliling Indonesia kepada setiap kerabat yang bertanya kenapa dia sampai bisa terdampar berlebaran dirumah kami, haha…kasihan sekali melihatnya waktu itu.

Hari terakhir dikota ini, Ican dan saya hanya dirumah saja. Ican yang memang waktu itu merasa kurang enak badan, membatalkan rencana hari itu untuk mencari perlengkapan perjalanannya. Sepanjang hari kami hanya duduk diteras, bercanda, mengobrol, berdebat, menonton youtube dan bernarsis ria dengan kamera sampai subuh. Malam itu juga Ican “merampok” koleksi buku-buku saya untuk menemaninya bertualang. Berat rasanya melepas buku-buku yang sebagian saya dapat dari hasil buruan diluar kota, tapi hanya kepada mereka saya bisa menitipkan Ican, sahabat yang sebentar lagi akan melanjutkan perjalanannya mengelilingi tanah air yang dicintainya. Ican berjanji akan mengembalikannya dengan selamat sepulangnya dia berkelana, dan saya juga berjanji akan menjemput buku-buku itu dirumahnya, sambil mendengar oleh-oleh kisah spektakulernya nanti.

Keesokan harinya, setelah terlebih dahulu berdebat tentang persoalan ganti baju dan soal waktu makan saya yang (kata Ican) sangat amat lambat, kami berkejaran membereskan hal-hal untuk keberangkatannya pada sore hari. Saya dan Ican menuju sekretariat Mapala Pahyagaan untuk menjemput beberapa teman yang akan mengantar ke pelabuhan. Bersama Ikar dkk, kami mengantar Ican dan Qnoy, seorang gadis tomboy yang memiliki kecantikan khas perempuan Timur, teman perjalanan barunya menuju Indonesia Timur, melalui pelabuhan Manado. Di dermaga pelabuhan, Ican masih sempat menyanyikan tiga lagu dialbumnya sambil direkam oleh kamera saya dan Ikar, melantunkan nyanyian dengan penuh penghayatan menggunakan ukulele tua kesayangannya. Sebelum naik kapal, Ukulele itu diminta oleh Jibie, si seniman tato yang juga jago memainkan ukulele. Ican, dengan sangat berat hati merelakan ukulele itu untuk tinggal di Manado, menemani kami para sahabatnya disini, menggantikan hadirnya yang akan pergi jauh. Kami juga sempat mengabadikan momen dengan berfoto narsis ala model menggunakan kamera Ikar yang hasilnya selalu sukses membuat saya berkata “F*CK”.

rombongan pengantar pengacau pelabuhanrombongan pengantar pengacau pelabuhan


Bunyi peluit kapal baru berbunyi dua kali, ketika ponsel saya berbunyi, panggilan kerja dari atasan saya. Alasan yang tepat untuk pamit, karena jujur walaupun saya tau beberapa bulan lagi saya pasti sudah berada diatas kasur dikamar Ican di Bandung, tiduran sambil ngemil cakwe dan mendengarkan dia berceloteh tentang cerita perjalanannya, tetap saja berat rasanya melihat kapal itu menjauh dari dermaga membawa sahabat saya besertanya. Saya memang membenci perpisahan, meskipun itu merupakan resiko istimewa sebuah pertemuan. Saya, pamit untuk pulang duluan, melayangkan salam tinju ulat bulu dadah kupu-kupu ala anak alay kepada Ican, kemudian berjalan tanpa menoleh lagi, takut tidak bisa menahan airmata dan jadi memalukan. Malam itu saya kembali tidur sendirian, dan tiba-tiba merasa sangat kehilangan.

til we meet again dude :')til we meet again dude :')

“Whenever you make a mistake or get knocked down by life, don’t look back at it too long. Mistakes are life’s way to teaching you. Your capacity for occasional blunders is inseparable from your capacity to reach your goals. No one wins them all, and your failures, when they happen, are just part of your growth. Shake off your blunders. How will you know your limits without an occasional failure? Never quit. Your turn will come” –Og Mandino-

Ukulele tua, saksi sejarah :))Ukulele tua, saksi sejarah :))

Ican, tidak pernah benar-benar meninggalkan saya dengan tenang (tentu saja). Teman-teman yang dia kenalkan, sekarang bersahabat dekat dengan saya. Ukulele yang dia tinggalkan, selalu dimainkan oleh Jibie disetiap kesempatan. Bahkan ketika merayakan hari kemerdekaan di gunung Soputan, (ya!!! saya yang anti gunung berhasil diracuni oleh Ican untuk ikut mendaki bersama para Mapala dalam rangka merayakan hari kemerdekaan RI disana), saya sangat terharu ketika sore itu, diantara pepohonan pinus yang menjulang, ditengah sapuan angin gunung yang super dingin menusuk tulang, didepan api unggun yang menghangatkan para pendaki, ada salah seorang pendaki bernama Valent, anak punk super gaul nan galau, yang sama sekali tidak saling mengenal dengan Ican, memainkan ukulele kesayangan sahabat saya dan menyanyikan lagu berjudul Hidup Kan Baik-Baik Saja, salah satu lagu milik Ican. Pesimisme takut mati kedinginan karena alergi (dan yang pasti bakal menyusahkan anggota rombongan), seketika meluap berganti kehangatan dipelupuk mata yang setengah mati saya tahan. Sahabat saya seakan berada disitu, tepat disamping saya, melalui media lagu dan ukulele tuanya, menguatkan raga terlebih jiwa, bahwa hidup itu indah, nikmatilah setiap hal yang ada didalamnya.


Melangkahlah kawan, selama kaki tanganmu belum kaku dan jiwamu belum merengek untuk pulang kepelukan ibu. Kami titip debu, cerita seru, gambar samudera biru, bau harum belantara hutan yang sederhana itu, serta kisah tentang Nusantara kita yang hanya bisa dilihat melalui buku. Kami memang selalu rindu, tapi tenanglah, doa ini selalu terpanjat untukmu Bung, semoga Tuhan selalu besertamu.

Sehat Bahagia Selalu, Fiersa Besari. Titip salamku, bersama enam partikel itu. Sampai jumpa lagi dilain waktu.


Manado, 27 Agustus 2013 15:15 WITA
Teras rumahnya papa, diatas kursi oranye, ketika angin bertiup manja :D