31/08/13

Ketika Wangi, Bukan Hanya Milik Sang Putri

“You have to meet Ikar”

Kalimat promosi yang dilontarkan Ican, sahabat saya ketika saya menemani dia makan pertama kali disalah satu mall di Manado, membuat kening saya berkerut, sedikit penasaran mendengarnya.
Entah seistimewa apa mahluk bernama Ikar ini, sehingga membuat mulut seorang Ican sering kali menceritakan tentang dia. Saya malah sempat berpikir sahabat saya ini kehilangan orientasi seksual selama masa petualangannya keliling Indonesia, haha.

Otot kering ala Fauzi Badilah, kembaran Fiersa Badilah...ZzzzZzzOtot kering ala Fauzi Badilah, kembaran Fiersa Badilah...ZzzzZzz

Pertemuan pertama saya dengan Maychard R Pelambi (bagus yaa namanya), nama asli Ikar, ketika saya menemani Ican bertandang ke sekretariat alias markas Mapala Pahyagaan, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi. Ikar, yang kala itu bercelana khas anak gunung bermotif loreng tentara plus bertelanjang dada, dimata saya terlihat persis seperti Indian. Bocah bertubuh mungil namun kekar ala Fauzi Badila (pinjam istilah Ican “berotot kering”), mata sipit namun berkulit coklat mengkilat, hidung kecil mancung, rambut hitam pekat, ikal sebahu dan dipotong skin (pendek 1 centimeter) samping plus digulung keatas, nampak seperti tentara Mongolia kelebihan berjemur.

kemesraan yang tak terpisahkan hahahakemesraan yang tak terpisahkan hahaha

“Luwuk? Pantai Kilo 5 yah, ahh…dari dulu pengen kesana” kata saya ketika mendengar Ikar menyebut daerah asalnya. Entah kenapa, menyebut nama Luwuk, dan mendengar aksennya yang masih kental, membuat ingatan saya seolah terbang ke masa sepuluh tahun lalu, ketika saya mengenal dekat seseorang yang pernah melewati masa kecilnya disalah satu daerah di Sulawesi Tengah itu, dan sering bercerita tentang betapa indahnya laut disana.

“Aku mo jalan ama Ikar, gak bisa nemenin kamu” adalah kalimat yang sering dilontarkan Ican selama dia menginap dirumah saya. Ajaib memang, betapa sahabat saya ini terhipnotis oleh bocah itu, dan konyolnya, sebagai sahabat yang merasa mengenal Ican lebih lama, saya tadinya sedikit cemburu, haha. Sampai pada malam takbiran, Ican yang berjanji membantu saya untuk memasak hidangan Lebaran, sejak siang tak kunjung pulang, dengan alasan “masih sama anak-anak Pahyagaan lain, tapi Ikar belum datang, nunggu dia jemput dulu”. Kenapa sih, Ikar lagi…Ikar lagi!!! Saya yang agak kesal, akhirnya menyiapkan makanan terlebih dahulu. Ingin rasanya marah-marah karena Ican ingkar janji, tapi kok rasanya berlebihan, lagipula kan Ican juga tamu, dan ini malam Lebaran, terlebih marah karena Ican lebih memilih Ikar itu terkesan dangkal tanpa alasan. Mungkin karena merasa bersalah, Ican lalu memberikan kejutan dengan mengajak anak-anak Pahyagaan, termasuk Ikar untuk membantu saya malam itu dirumah. Betapa senang hati saya, bukan hanya karena banyak bala bantuan yang datang, tetapi karena rumah jadi ramai, seperti kenangan Lebaran jaman dahulu ketika almarhumah mama masih ada dan banyak saudara yang datang untuk membantu keluarga kami. Memasak sambil bercanda, membuat hati saya seketika hangat. Melihat ketulusan mereka untuk membantu saya, teman yang baru dikenal mereka, mata pun sepertinya ingin mengalirkan sejumlah air, namun setengah mati saya tahan, gengsi donk!! Hahaha. Alhasil, malam itu Ican justru bebas tugas membantu. Dia hanya sesekali memotret kami yang sedang memasak, kemudian mengobrol diteras bersama Billy.

Ican sering bercerita tentang Ikar yang selalu menyiapkan makanan sahur untuknya ketika Ican menginap disekretariat Pahyagaan, maupun selama perjalanan mereka ke Pulau Siladen dan Gunung Klabat. Saya pun membuktikan cerita Ican tentang Ikar yang jago memasak pada malam itu. Tangannya yang cekatan memotong-motong buah, serta mulutnya yang tidak pernah berhenti bertanya tentang bahan-bahan masakan yang kami masak, otomatis membuat Ikar jadi asisten memasak utama saya saat itu. Malam itu juga, satu fakta tentang Ikar yang saya perhatikan, dia adalah orang yang perfeksionis dan sangat bersih. Entah berapa kali Ikar mencuci tangannya ketika memegang makanan, dan setengah memaksa saya untuk mengambil alih memotong buah strawberi untuk salad. Mungkin Ikar tidak betah melihat saya yang mengerjakan apapun serba lama,  haha.

koki cantik yang bawel kalo digangguin lagi masakkoki cantik yang bawel kalo digangguin lagi masak

Keesokan harinya, Ikar bersama teman-teman lain dari Pahyagaan ikut berlebaran dirumah saya. Mereka datang bertamu pada jam 11 malam. Bukan jam yang tepat untuk bertamu, tetapi anak-anak nokturnal ini memang hanya bisa terkumpul bersamaan dengan jam bencong pergi melancong. Ican langsung keluar tabiat aslinya, kembali bersemangat setelah kecapaian berjaim ria menemani tamu-tamu keluarga saya sedari siang sehabis sholat Ied. Malam itu saya dan Ican menyematkan gelar baru untuk Ikar, yaitu “Lelaki Onani”. Bukan karena Ikar rajin melakukan pekerjaan masturbasi (eh tapi gak tau juga sih, haha), tetapi karena menurut pengamatan Ican yang diamini oleh saya, Ikar termasuk golongan lelaki yang perfeksionis, terlalu percaya dengan tangannya sendiri, jadi selalu melakukan hal-hal sendiri dengan sempurna sesuai standarnya. Ikar mengingatkan saya dan Ican pada Tama, salah seorang sahabat kami yang juga termasuk golongan lelaki seperti itu. Kami juga bertukar cerita tentang mimpi dan pengalaman masing-masing, dan malam itu Ikar berikrar, setelah lulus kuliah, ingin bekerja lalu menabung dan melakukan perjalanan keliling Indonesia seperti Ican, sebelum nantinya dia menetap dan hidup secara normal dan berkembang biak, haha. Senang sekali mendengar tentang mimpi optimis seperti itu, dan malam itu juga dalam hati saya berdoa dan mengaminkan niatnya.

Perkenalan saya dengan kamera Ikar, tepat pada hari saya akan mengantar Ican berangkat melanjutkan perjalanan keliling Indonesianya. Kami terlebih dahulu singgah ke sekretariat Mapala Pahyagaan, untuk menjemput Ikar (lagi-lagi yang keluar dari mulut Ican), dan anak-anak yang lain. Ketika saya asyik tiduran di hammock (kain yang digantung dengan tali, seperti ayunan tapi bisa ditiduri) sambil bermain dengan Noir, kamera kesayangan saya, sementara Ican dan Ikar sedang asyik bercengkrama (yaa, mereka tiduran, pelukan, cubit-cubitan, dan kegiatan lainnya yang membuat saya bergidik lalu tertawa), tiba-tiba Ikar mengambil kameranya, menyalakan lampu meja yang diarahkan kearah saya, dan memotret saya beberapa kali, kemudian selanjutnya memotret objek kipas angin didekatnya. Saya yang penasaran dengan hasilnya, meminjam kamera tersebut, dan seketika berseru dalam hati “F*CK”. Hasilnya lumayan keren, foto sederhana yang diambil dari sudut yang tidak biasa, membuat saya yang jarang mengganti foto profil di akun jejaring sosial mendadak ingin menggantinya dengan foto tersebut,haha. Ketika sampai didermaga tempat kapal yang akan membawa Ican menuju Ternate, Ikar kembali mengeluarkan kameranya, bahkan mengganti lensanya. Kali ini saya tidak kuasa untuk meminjamnya, sekali jepret dan “F*CK!!!”, saya spontan memekik (dan membuat orang disekeliling terperanjat kaget) ketika melihat hasil jepretan dari kamera tersebut. Kamera yang waktu itu diatur dengan profil hitam putih, benar-benar hanya mengeluarkan efek hitam putih, klasik dan jernih. Dua kali F*CK dalam sehari, tampaknya setimpal untuk hasil foto dari kamera dan lensa yang katanya murah oleh pemiliknya. Ican sampai menggoda saya akan “berpindah agama” (istilah dalam dunia fotografi, agama sama dengan merek kamera), karena akan beralih membeli kamera bermerek seperti kepunyaan Ikar, saking berbinar-binarnya mata saya ketika melihat hasil-hasil foto kami dikamera tersebut. Ikar sangat menyayangi kameranya, layaknya para pemotret (dia ogah saya sebut fotografer), dia menjaga kameranya seperti menjaga bayi. Bersih dan terawat, persis seperti dirinya. Tas kameranya tertata rapi, dengan kamper pengisap lembab disetiap kantongnya, lengkap dengan kain penutup tas kamera anti air berwarna kuning terang yang menambah cinta saya terhadap kamera tersebut, haha.

Saya senang mengajak diskusi berbagai topik dengan lelaki yang polos namun sok dewasa ini. Salah satu cerita yang kami bahas adalah perjalanan menggunakan alat transportasi umum dengan biaya murah meriah. Ikar lalu menceritakan tentang dirinya yang beberapa kali pulang ke kampung halamannya dengan modal minim, bertukar pengalaman tentang taktik naik angkutan dengan cara yang membuat saya terbahak-bahak. Raut wajah tegas yang bercerita lugas namun penuh antusias, tanpa memandang lawan bicara, sambil sibuk mengerjakan hal yang lain, membuat dia tampak seperti ibu-ibu PKK yang multi talenta. Saya juga sempat menanyakan, jika Ikar diberi tiga pilihan antara wanita yang jago mempercantik diri demi dia, jago memasak makanan-makanan enak untuk menyenangkannya, atau jago mengelola uang demi masa depan mereka, mana yang akan dia pilih. Ikar memilih pilihan kedua dengan alasan sederhana, dia hobi makan, hahaha!

“Nanti kalo naik gunung ama Ikar aja ndak apa-apa, trusted mate kok. Kamu jangan khawatir”.

Kira-kira itu pesan Ican ketika saya mengutarakan ajakan anak-anak Pahyagaan untuk mengikuti upacara di gunung Soputan. Saya memang senang berpetualang, tetapi saya adalah anak pantai yang takut naik gunung. Fisik lemah dan akrab dengan rumah sakit ini, membuat saya ngeri membayangkan harus menyusahkan orang disana. Lagipula, gunung terkenal dingin, sama sekali bukan pasangan yang serasi dengan alergi yang saya derita. Belum lagi saya yang belum terlalu mengenal anak-anak yang akan menjadi teman perjalanan saya ke gunung. Bagaimana kalau mereka kerepotan dengan saya yang tidak cocok dengan situasi gunung? Kasihan juga kan. Akan tetapi, hasutan Ican yang setiap hari tidak bosan-bosannya menghampiri pikiran, membuat saya menguatkan hati untuk menghubungi Ikar dan menyatakan ikut mendaki. Saya memilih percaya dengan rekomendasi sahabat saya tentang Ikar. Sejak sore, saya dan Ikar tawar menawar untuk waktu keberangkatan kami. Seharusnya, kami ikut rombongan yang berangkat naik truk kesana, tetapi karena saya masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan, jadi Ikar mengalah dan menunggu saya selesai kerja. Dia menjemput saya diberanda hotel tempat saya pelatihan, dan mengatakan baru selesai membeli kartu memori baru untuk kameranya, karena kartu memori yang dipakai kemarin untuk merekam Ican bernyanyi didermaga pelabuhan, tidak sengaja diformat oleh teman yang meminjam kameranya, dan Ikar belum menemukan perangkat lunak untuk mengembalikan file video tersebut, jadi mau tidak mau dia harus membeli lagi kartu memori untuk kami memotret digunung, demi menyelamatkan video sahabat barunya. Ahh, satu lagi alasan yang  membuat saya mengerti betapa sayangnya Ican terhadap anak ini.

Kejadian yang membuat saya hampir terbahak ditengah jalan malam itu, ketika Ikar menjemput saya, dan dia hanya membawa satu helm. Kami nekad naik motor menuju sekretariat Mapala Pahyagaan, dengan saya yang membonceng tanpa helm. Tadinya kami mengambil jalan memutar, tetapi sialnya, diperempatan jalan yang akan kami lewati, ada polisi. Karena hampir dicegat polisi, akhirnya membuat kami memilih kembali ke jalan utama (yang ternyata bebas polisi), lalu sampai disekretariat dengan selamat, fiuhh.

“Sudah terlanjur naik, ngapain turun. Tenang aja” ujar Ikar, menolak niat saya ketika kami memutar kembali melewati jalan utama tadi, dan saya mengatakan akan turun saja lalu naik mikrolet menuju sekretariat karena takut dicegat polisi lagi. Kalimat datar penuh penekanan yang keluar dari mulut seorang lelaki yang malam itu mampu membungkam saya yang senang membantah.

 “Ikar itu wangi banget, kamu bisa rajin mandi kalo jalan bareng dia”

Penyataan Ican tersebut ternyata tidak berlebihan. Beberapa hari mengenal Ikar, dan pada akhirnya menginap digunung selama tiga hari dua malam berada satu tenda dengannya, membuat saya mengamini pernyataan sahabat saya itu. Sepanjang perjalanan, berboncengan dengan Ikar adalah kegiatan memanjakan hidung. Ikar mengaku hanya menggunakan pewangi cucian, tetapi entah pewangi itu dicampur dengan apa, sehingga angin malam yang menerjang kami sepanjang perjalanan selama hampir dua jam itu, tidak melunturkan harum wangi yang menerpa hidung saya. Sarung tangan yang menjadi perantara tangan saya dan jaket Ikar juga mendadak sangat wangi karena hampir dua jam menempel dijaketnya. Untung saja saya tidak tertidur (seperti kebiasaan saya kalau naik motor dan perjalanannya jauh), karena terlena dengan kenyamanan yang ditawarkan oleh angin malam dan wangi semerbak kembang setaman yang berasal dari jaket pengemudi didepan saya. Belum lagi ketika dia membuka helm karena kami tiga kali berhenti untuk membeli keperluan yang tertinggal, aroma segar sampo dari kunciran rambutnya seketika membuat saya hampir amnesia, haha. Tidur di kantung tidur mungil dan tenda miliknya juga, serasa tidur dikamar putri raja. Bahkan kamar saya saja tidak pernah sewangi itu, haha. Harum lembut yang melekat diingatan siapapun yang pernah menciumnya. Saya mendoakan Ikar langgeng dengan pacarnya, karena kasihan membayangkan betapa susahnya menghapus ingatan tentang bau khas itu kalau mereka putus, haha (agak curcol).

“Katanya Backpacker?!?”

Kalimat menyebalkan yang selalu keluar dari mulut Ikar ketika melihat saya yang tertatih-tatih menyusul dia dan rombongan lainnya yang seperti bajing, meloncat-loncat dengan gembira menuju puncak anak gunung Soputan. Ikar memang senang sekali menggoda saya dengan kalimat-kalimat ejekan yang membuat saya ingin melemparnya dengan sepatu. Sejak awal kami diperkenalkan oleh Ican, saya memang melihat bakat tengil melekat kuat dalam diri lelaki trendi yang sangat dekat dengan sahabat saya itu. Tatapan jahil plus senyum isengnya, apalagi ditambah kalimat-kalimat ledekan yang dilontarkannya, membuat saya harus ekstra keras menahan diri untuk tidak menarik kunciran rambutnya ketika hobinya itu kumat.

Walaupun begitu, dibalik tampang jahil dan kelakuan minus khas bocahnya, Ikar adalah lelaki yang sabar dan bertanggung jawab (menurut saya lhooo). Dengan kesabaran seluas samudera Hindia, Ikar dengan tabah menemani saya yang selalu tertinggal jauh dibelakang rombongan. Tanpa banyak bicara, saya tau dia mengawasi saya dari belakang. Senter yang dibawanya juga diberikan kepada saya, dan dia hanya menggunakan senter dari korek api gas yang menyala ala kadarnya. Melihat pembawaannya, saya semakin menguatkan diri untuk tidak mengeluh manja dan benar-benar memperhatikan jalan didepan saya agar tidak terjatuh dan menyusahkan teman perjalanan yang selalu memanggil saya dengan sebutan “Senior” karena usia kami yang terpaut lumayan jauh. Karena kami berangkat terpisah dengan rombongan Pahyagaan, Ikar menitipkan saya ditenda rombongan Aesculap, Mapala dari Fakultas Kedokteran. Setelah memastikan saya sudah aman disitu, Ikar lalu berpamitan untuk menyusul rekannya yang mengambil jalur pendakian dari desa yang berbeda.

Ketika Ikar hampir hilang di gunung malam itu karena nekad menyusul rekan-rekannya yang kesasar, jujur saya sangat khawatir, karena selain hari sudah malam dan hujan, Ikar belum makan sejak pagi. Ketika dia akhirnya pulang dalam keadaan mengenaskan (haha), basah dan terlihat marah karena gagal bertemu rekan-rekannya, saya menanyakan bagaimana perasaannya, apakah dia menangis putus asa karena hari sudah gelap dan takut sendirian. Ikar hanya tersenyum dan berkata bahwa dia masih yakin akan Tuhan. Berdoa dan berserah hanya kepada Dzat yang menciptakan manusia, percaya penuh bahwa kita tidak akan pernah dibiarkan sendirian. Sambil lalu Ikar menambahkan, dia hanya menangis jika teringat mamanya yang jauh disana. Mendengar itu, saya hanya tersenyum maklum. Ikar, malam itu kembali menjadi perantara Tuhan dalam mengingatkan kembali tentang keyakinan dan kepercayaan terhadap sang Pencipta, tanpa sedikitpun keraguan. Ingin rasanya saya mengobati tangan mulusnya yang malam itu luka-luka karena menerobos hutan dikala matahari sudah istirahat berganti gelap malam plus kabut gunung yang mencekam, tetapi melihat kemandirian lelaki yang selalu sigap dengan kotak obat lengkap ditas nya itu, saya mengurungkan niat dan hanya menyuruhnya untuk makan dan segera beristirahat. Dasar lelaki pesolek, dia malah memilih untuk berganti baju dan celana terlebih dahulu sebelum akhirnya makan bersama saya dan rombongan Aesculap lainnya. Rifa, si calon dokter ketua rombongan Aesculap bahkan menjulukinya mirip artis Ayu Dewi, karena malam itu Ikar mengurai kunciran rambutnya, memakai jaket oranye yang menyala dikegelapan malam, tampak cantik diterangi cahaya api unggun didepan tenda. Fantastik!!!

si tengil nan wangi yang doyan meledeksi tengil nan wangi yang doyan meledek

Hal lain tentang Ikar yang membuat saya takjub adalah dia tidak menghiasi tubuhnya dengan seni tato, merokok dan minum minuman keras. Hal yang jarang terjadi ketika menjadi anggota Mapala. Suhu gunung dan laut yang dingin, menambah alasan panjang untuk mengkonsumsi dua hal terakhir itu sebagai penghangat. Apalagi dia berteman akrab dengan Jibie, salah satu seniman pembuat tato berbakat dikampusnya. Ikar punya alasan tersendiri yang tidak perlu saya ceritakan disini tentang prinsipnya itu. Alhasil selama digunung, saya dan Ikar hanya asyik melinting tembakau untuk para anggota rombongan yang lain, minum susu panas, lalu ikut tertawa-tawa melihat kelakuan anak-anak yang mabuk ketika meminum minuman keras tradisional yang sengaja dibawa untuk menghangatkan badan mereka.

Tipikal lelaki idola kaum hawa beberapa tahun lagi, pikir saya ketika melihat sosok lelaki yang dengan gaya tenangnya memotret hamparan pemandangan yang terlihat dari atas puncak anak gunung Soputan. Ikar, mengingatkan saya akan seorang sahabat dekat saya yang sekarang sedang berkeliling dunia. Harry Sudirman Kawanda, si lelaki pemimpi yang berniat menaklukkan semesta. Mungkin seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, Ikar akan bertransformasi menjadi lelaki idaman dengan segala pesonanya. Sorot mata tajam yang mampu membuat sejuta wanita bertekuk lutut, dan semilyar pria menyembah, haha. Tinggal menunggu tanggal mainnya.

kehilangan koneksi dengan dunia luar ketika asyik dengan mainannya :))kehilangan koneksi dengan dunia luar ketika asyik dengan mainannya :))

Malam terakhir didalam tenda, kami berdiskusi tentang pasangan. Ikar berceloteh tentang cerita cintanya yang unik, dan saya pun balik menceritakan sedikit kisah kasih saya yang absurd, haha. Saya tidak menyebut itu ajang curhat. Hanya berupa obrolan ringan, bertukar pikiran tentang pengalaman kami masing-masing. Lagi-lagi saya dibuatnya terkikik dengan cerita yang menurutnya konyol namun membuat saya teringat akan masa lalu. Kenangan lucu yang dulu juga pernah saya alami. Lelaki yang berusia jauh dibawah saya itu tampak jauh lebih dewasa ketika dia menatap saya dan mengatakan “Menikah itu memang harus dipikirkan matang, karena orang itu yang akan kamu lihat sebelum kamu tidur dan ketika kamu bangun, seumur hidup. Tidak seperti baju, ketika salah beli, kita bisa memberikan kepada orang lain atau menjualnya kembali”. Analogi seorang lelaki modis yang menggambarkan kehidupan perkawinan dengan filosofi membeli pakaian, membuat saya geli sendiri. Dia juga bertanya dengan heran (sambil sedikit meledek), kenapa saya belum juga mengakhiri masa lajang dan masih asyik berpetualang, dan saya hanya bisa tertawa dan melemparnya dengan kaus kaki.

Assalamualaikum mbak Ayu Dewi hahahahaahahAssalamualaikum mbak Ayu Dewi hahahahaahah

Ikar, selalu menenangkan saya dengan semua kalimat lugunya. Ketika saya mengutarakan tentang pandangan mata heran semua orang yang melihat saya tiba dibase camp menggunakan celana legging yang lebih cocok dipakai ke mall daripada ke gunung, tanpa melihat kearah saya Ikar berujar “Aku juga kalo naik kadang pake lapis celana legging kok, demi keselamatan kaki, daripada tergores ditengah jalan”. Hampir terbahak saya membayangkan lelaki dihadapan saya itu bersepatu khas pendaki, bertampang ala samurai, tetapi memakai legging ala Cherry Belle. Waktu alergi saya kambuh pun, Ikar selalu mengatakan “Gak apa-apa, ini gak dingin kok. Masuk aja ke dalam tenda, biar hangat”. Saya tau, Ikar hanya menghibur saja, mencoba mengalihkan perhatian saya yang mulai gelisah karena tersugesti dengan udara dingin. Ikar bahkan meminjam kantung tidur milik Panjul, teman perjalanan kami, sebagai tambahan selimut untuk saya yang sejak habis makan malam meringkuk ditenda karena tidak kuat dengan hawanya. Setengah sadar saya melihat Ikar menyelimuti saya, menutup resleting jendela tenda bagian atas, dan kembali bergabung dengan teman-teman lainnya diluar yang asyik bernyanyi dengan ukulele mengelilingi api unggun.


Satu kesamaan saya dengan Ikar, kami itu Pelor alias Nempel Molor, gampang tertidur dimana saja dan kapan saja ketika kantuk menyerang, plus sama-sama susah bangun pagi. Tertidur dalam posisi duduk, menyender di batu, atau ditengah keramaian sekalipun. Ajaibnya, dua malam tidur bersebelahan dengan Ikar, menyebabkan mata saya lebih cepat terjaga dipagi hari. Entah karena harum mewangi yang menguar darinya, atau keadaan tenda yang rapi karena selalu dia bereskan sebelum kami beranjak istirahat. Saya yang selalu terbangun lebih dulu, sering kehabisan cara membangunkannya. Awalnya saya menepuk tangannya dengan sopan sambil memanggil namanya perlahan, tidak berhasil. Mengguncangnya dengan semena-mena dan membuat tenda kami bergoyang hebat hanya akan membuat orang diluar tenda berpikiran macam-macam, hahaha. Tampang polos Ikar ketika tertidur pun tidak luput dari jepretan kamera saya. Ekspresi kekanakkan Ikar yang sedang pulas, menambah koleksi foto saya yang memang hobi memotret raut wajah orang ketika tidur. Segala cara saya lakukan, sampai akhirnya Ikar bangun dengan nyawa separuh, mendengus kesal dan menatap saya dengan garang ibarat macan siap menerkam mangsa karena dibangunkan secara terpaksa. Alih-alih ketakutan melihatnya marah, saya malah tertawa-tawa melihat wajah cemberut dan tatapan sinis yang ingin marah namun terpaksa ditahannya.


putri tidur, cantik dengan jemari lentik :Dputri tidur, cantik dengan jemari lentik :D

Saling menguji kesabaran juga terjadi disaat kami berkemas. Saya yang berniat membantu, merapikan tas kami berdua, sementara Ikar membongkar tenda. Ikar berkata untuk tidak membereskan miliknya, karena nanti pasti akan dirapikannya kembali. Jiwa cacing kepanasan yang tidak bisa diam milik saya, melawan jiwa lelaki perfeksionis miliknya, menjadi sangat kontras saat itu. Saya tetap membereskan tas miliknya, setelah terlebih dahulu membereskan tas milik saya, memilah pakaian dan barang-barang berlainan jenis kedalam kantong-kantong tas yang berbeda, dengan tujuan agar acara berkemas cepat selesai. Ikar menyaksikan kesibukan saya sambil melengos dengan tatapan “ini orang gak ngerti bahasa manusia apa yah? Udah gw bilang jangan diberesin!!”. Seperti pernyataan awalnya, selesai membongkar tenda, dia kembali merapikan tas miliknya, mengeluarkan semua barang yang sudah saya atur rapi, dan mengaturnya kembali, diiringi tatapan ingin menggampar dari saya, yang merasa pekerjaan saya barusan sia-sia dimata anak ini. Anehnya, saya yang biasanya kalau diperhadapkan dengan keadaan seperti itu akan mengomel ala ibu-ibu sinetron, sore itu memilih diam dan mendengarkan Ikar yang juga bertutur kata dengan sabar tentang kesalahan-kesalahan saya dalam pengaturan tempat barang-barang dalam tasnya tersebut. Sore itu, emosi menjadi hal tabu diantara kami. Menyenangkan!”

“Bahagia itu adalah ketika kita lebih sering tersenyum, lebih berani bermimpi, lebih mudah tertawa, dan lebih banyak bersyukur” –Merry Riana-

Maafkan saya yang terkesan sok tahu dalam membuat tulisan tentang sosok lelaki yang baru saya kenal kurang dari sebulan ini. Mungkin masih banyak sahabatnya yang lain yang jauh lebih mengenal pemuda yang tidak terlalu suka dengan makanan pedas ini. Masih banyak hal misterius tentang lelaki yang bernaung dibawah rasi bintang Taurus ini yang belum saya ketahui. Ikar juga bukan pria sempurna layaknya pangeran berkuda putih dicerita dongeng sebelum tidur. Dia masih berego tinggi khas lelaki, masih suka kontradiktif dengan perkataannya, masih cuek dengan keadaan sekelilingnya, serta masih bisa marah ketika saya berbuat hal yang menurutnya salah. Namun satu hal yang saya yakini, lelaki yang juga senang menyanyi sambil memainkan gitar dengan jemari lentiknya ini, adalah teman baru yang dikirimkan Tuhan, bukan karena kebetulan. Ada makna dan tujuan disetiap pertemuan. Buat saya, selalu menyenangkan bisa mengenal sosok seperti Ikar, layaknya buku, kami dipertemukan mengenal satu sama lain, sebagai media untuk saling belajar.

ukulele dan nyanyian, alat modus paling manjurukulele dan nyanyian, alat modus paling manjur



Manado, 31 Agustus 2013  13 : 31 WITA

Sabtu siang disebuah restoran pinggir pantai dengan pemandangan teluk Manado, ketikat langit cerah ceria, sambil skype-an dan cekikikan dengan seorang sahabat yang berada nun jauh dinegeri orang :)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar