27/08/13

Melangkah Sampai Ke Batas Waktumu

Lebaran kali ini sedikit berbeda untuk saya. Tahun ini, saya kedatangan salah satu sahabat yang dulu saya kenal melalui cerita dari mulut ke mulut oleh para sahabat petualang. Kami pertama kali bertemu didunia maya. Melalui layar ponsel pintar, kami sering mengobrol. Sesama mahluk nokturnal, aktif dikala malam hari, betah berdiskusi berjam-jam, dan hanya akan berhenti jika salah satu tertidur.

Melalui obrolan demi obrolan, perlahan saya mulai mengenal sosok yang tenar dengan nama Fiersa Besari. Anak pendiam yang sering menyebut dirinya sendiri gila, tetapi selalu membuat saya tertawa dengan topik berat yang dia bahas dengan gaya bahasa unik ala anak muda. Musik, fotografi, petualangan ala ransel, serta baca buku adalah hal-hal yang menyatukan isi kepala kami. Saya, yang sering merasa teralienasi dengan dunia sekeliling, merasa menemukan salah satu teman sejiwa yang bisa memahami alur pikir otak saya yang terkadang sering tidak sejalan dengan lingkungan sekitar.

istri pertama = ponsel, istri kedua = rokokistri pertama = ponsel, istri kedua = rokok

Fie, Icha, Pika, dan banyak nama lain yang disematkan para sahabatnya untuk penanda kedekatan mereka. Saya, sejak pertama melihat foto profilnya, memutuskan untuk memanggil si pencinta cemilan ini dengan nama Ican, singkatan dari Icha Cantik (hahaha, dan dia selalu kesal dengan nama ini). Berpostur tinggi kurus ala model, berambut sebahu (kala itu), berwajah kuning langsat dan mulus khas anak Bandung, sepertinya tidak berlebihan untuk berpredikat cantik. Dulu pertama kali bertemu, saya yang berpotongan rambut pendek tomboy malah terlihat lebih macho dari dia, hahaha.

Karimun Jawa adalah petualangan kami yang pertama, sekaligus kali bertatap muka pertama secara langsung tanpa perantara ponsel kesayangan. Saya bersama rombongan dari Jakarta, bertemu dengan Ican yang membawa rombongan dari Bandung dipelabuhan Kartini Jepara, untuk kemudian bertolak ke kepulauan Karimun Jawa. Enam jam perjalanan kami habiskan dengan tidur, makan, mengobrol sesama anggota rombongan, dan bernyanyi riang ala anak pramuka dengan ukulele yang dia bawa. Ican bahkan sempat mengerjai saya dengan mengirimkan pesan ke semua kontak BBM saya yang isinya saya boker dicelana. Dasar anak iseng!!! Empat hari tiga malam berlalu dengan sangat cepat namun menyenangkan. Dari mulai berenang dilaut, bercengkrama dengan hiu dipenangkaran, bermain memutar botol minuman “Truth or Dare” dan tertawa tidak tau diri sampai ditegur oleh warga sekitar karena rombongan terlalu ribut, sampai api unggun tengah malam ditengah hutan yang menyeramkan. Satu lagi fakta tentang dia yang saya ketahui, bahwa Ican tidak sependiam dan seaneh bayangan saya sebelumnya (karena banyak cerita yang beredar kalau dia itu mahluk aneh dan galau sedunia). Celotehan dan candaan selalu keluar dari mulutnya ketika kami berhadapan langsung. Sejak saat itu saya belajar untuk tidak menilai orang lain tanpa mengenalnya terlebih dahulu.

penampilan perdana Duo Maia diatas kapal menuju Karimun Jawapenampilan perdana Duo Maia diatas kapal menuju Karimun Jawa

Sejak dulu, saya juga mempunyai kebiasaan yang menurut teman-teman saya yang lain aneh, yaitu berdoa dan menyebutkan satu harapan ketika kebetulan melihat jam, entah ditangan, didinding, diponsel, ataupun dikomputer, menunjukkan angka yang sama, yaitu 11:11. Kenapa 11:11, karena selain 11 adalah bulan lahir saya, angka tersebut merupakan simbol istimewa buat saya, entah kebetulan atau tidak, deretan angka tersebut selalu membawa keberuntungan buat saya. Mungkin itu hanya sebuah sugesti, tapi saya sangat percaya dengan kekuatan magis dari deretan angka tersebut. Betapa terkejutnya saya ketika dulu pertama kali mendengar judul album perdana sahabat saya. Deretan angka tersebut juga ternyata mempunyai kisah tersendiri buat dia dan mantan pacarnya waktu itu (bisa dibaca diblog pribadinya Ican). Akhirnya, kami sepakat menamai deretan angka tersebut dengan deretan angka harapan, perantara mimpi dan logika, penyambung daya imajinasi dan ilmu pengetahuan.

cover album 11:11 yang happening itu ;)cover album 11:11 yang happening itu ;)

Pertemuan kedua kami sewaktu saya mengunjungi Bandung, dan menginap dirumahnya. Nongkrong diwarung roti bakar yang menjadi favorit anak gaul Bandung dikala malam minggu, nonton dvd dan akhirnya tidur berdesak-desakan dengan anak-anak rombongan Bandung dikamar Ican yang super berantakan (beda tipis dengan keadaan kamar saya lah, makanya kami cocok, hahaha), ngobrol ngalor ngidul dengan menggunakan bahasa Inggris acak adut ala saya dan lancar jaya ala dia (dan sekarang menjadi kebiasaan kami berdua ketika membicarakan hal yang serius, haha! gaya banget!!!), sampai beramai-ramai menemani teman kami yang waktu itu melancarkan serangan PDKT (dan akhirnya gagal,haha) disalah satu warung kopi didaerah Lembang.

Ican, menjadi lebih sering berpetualangan kesana kemari, karena waktu kerjanya yang fleksibel, sementara saya yang waktu itu kembali kerja kantoran hanya bisa mendengus kesal melihat foto-foto yang dia unggah di akun jejaring sosial miliknya. Sebelum film 5cm heboh dibuat, sahabat saya ini menghubungi saya dan mengatakan “Nta, aku mo ke Semeru, kita ketemu di Sarinah yah. Aku naik kereta dari Jakarta ke Malang esok pagi. Siang ini naik travel dari Bandung”. Isi pesan singkat yang mampu membuyarkan konsentrasi saya yang sedang rapat koordinasi dikantor. Buyar karena teramat sangat iri dengan rencana perjalanannya, sekaligus senang karena artinya saya bisa sejenak bercerita dengan teman sesama penikmat imajinasi walaupun hanya beberapa jam, karena dia hanya transit di Jakarta. Duduk di jalan Sabang, menikmati makan malam sambil mendengar nyanyian belasan pengamen bersama seorang vokalis dihadapan saya, membuat suasana hati yang siangnya seperti padang tandus menjadi sedikit sejuk mendengar celotehan bersemangatnya yang menceritakan tentang rencana dia dan komunitas yang baru dikenalnya di dunia maya untuk mendaki puncak tertinggi dipulau Jawa tersebut.

Pertemuan ketiga, ketika dia harus manggung disebuah acara musik di Jakarta. Saya yang selalu merasa bersalah ketika selalu tidak bisa menghadiri konser kecil-kecilannya di Bandung, kali itu berjanji untuk datang dan menonton. Seperti biasa, banyak sekali cerita ketika kami bertemu. Seperti lelaki normal lainnya, dia terpukau melihat penampilan beberapa band yang manggung dipanggung utama, juga histeris minta difoto dengan latar belakang band yang personelnya cewek ABG berpakaian mini dan bergaya kenes manja. Ican memang selalu punya cerita menarik untuk dibahas, sambil menemani saya makan, dia berceloteh panjang lebar tentang pertemuannya dengan salah seorang legenda Wanadri yang sudah tua namun kuat menaklukkan puncak gunung-gunung tertinggi didunia. Saya selalu tersenyum ketika melihat raut muka riangnya ketika sedang bertutur kata. Ibarat bocah lelaki yang antusias menceritakan pengalaman barunya disekolah. Hari itu saya sengaja mengajak dia untuk berfoto bareng dengan alasan “Kalo kamu ntar sok ngartis, setidaknya aku kan udah punya foto bareng, jadi kali aja bisa aku jual, hahaha”.

anak alay yang ganjen minta difoto ama girl band -_-anak alay yang ganjen minta difoto ama girl band -_-

Akhir tahun 2012, Ican sempat mengutarakan niatnya untuk keliling Indonesia, dan mengajak saya untuk ikut serta. Jujur, saya ingin sekali ikut berpetualang, tetapi apa daya, saat itu saya terikat dengan pekerjaan yang sangat menyita waktu. Saya hanya bisa mendoakan agar sahabat saya dan rombongannya selalu sehat sepanjang perjalanan, mengingat tubuh ringkihnya yang sangat akrab dengan rumah sakit, serta menitipkan salam kepada tanah Nusantara lewat langkah mereka itu, kemanapun mereka singgah.

Ketika dia mengunduh video rekamannya di Youtube sewaktu konser di Makassar, saya ikut merasakan euforia kegembiraan sahabat saya itu. Ribuan kilometer dari kota Bandung, ketika seisi restoran disana turut menyanyikan lagu ciptaannya, sahabat saya ini tampak bernyanyi dengan berbagai emosi yang campur aduk. Ican, membuktikan kata-katanya bahwa musik bisa jadi pemersatu dunia. Sewaktu Ican tiba di Manado untuk pertama kali, dia mengirimkan pesan singkat dengan bunyi “Udah dikotamu nih Nta, gak nyangka yah bisa nginjek Manado, kota kebanggaanmu nih”. Mereka lalu bertolak ke titik Ter-Utara Indonesia, pulau Miangas. Saya yang waktu itu berada di Semarang untuk kerja, lagi-lagi merasa iri dan berkata dalam hati “sial, gw aja yang orang Manado belum pernah ke Miangas, ni bocah udah nyampe kesana aja”. Beberapa hari setelah saya kembali ke Jakarta untuk persiapan mudik Lebaran ke Manado, Ican kembali mengirimkan pesan singkat “Nta, aku boleh Lebaran bersama keluargamu?”, saya kaget campur gembira, karena berarti Lebaran kali ini akan sedikit berbeda, dan tentu saja saya sangat antusias membayangkan berbagai petualangan seru ketika kami bertemu nanti, dikota kelahiran saya!!! Wohoooooo!!!!!

Entah bagaimana melukiskan betapa terharunya saya ketika pertama kali melihat sahabat saya ini muncul diteras rumah saya di Manado, diantarkan oleh temannya yang berwajah khas Manado pula. Ah, sampai juga niat kami dulu untuk bertemu di kota kelahiran saya yang rasanya tidak mungkin terjadi mengingat kesibukan kami masing-masing dulu. Ican nampak sangat kurus, hitam terbakar matahari jalanan, dekil, tapi terlihat semakin dewasa. Pengalamannya selama dijalan membuat dia terlihat sangat kumal namun bahagia. Gembel ceria, pikir saya sambil tertawa. Saya awalnya kecewa karena melihat dia datang tanpa ditemani Prem dan Baduy, kawan seperjalanannya, namun akhirnya hanya bisa mengangguk maklum ketika Ican menceritakan alasannya. Ican datang dengan tidak membawa ransel raksasa khas pengelana, melainkan hanya satu tas plastik berisi baju kotor dan seperangkat alat mandi. Katanya sih dua hari lagi dia diajak mendaki gunung Klabat, salah satu gunung tertinggi di Sulawesi Utara. Rambut basah dan muka berkilat terkena cahaya matahari karena baru pulang dari Pulau Siladen, membuatnya tampak seperti putri duyung berkumis yang terdampar dan kelaparan.

Karena itu bulan puasa, spontan pertanyaan saya adalah “Kamu puasa gak Can?”

Dengan muka serius dia menjawab “Gak euy, semalam aku gak sempat sahur jadi hari ini gak puasa, lagian lemes banget beberapa hari ini”

Jadilah setelah dia mandi dan saya membereskan cuciannya, saya mengantarkan dia ke mall dikota kami untuk mencari makan. Sepanjang jalan, Ichan mengomentari tentang penampilan orang Manado yang menurutnya bisa mengurangi pahala orang puasa, hahaha. Ican juga bercerita betapa terkesannya dia tentang toleransi umat beragama disini, ketika dia di Pulau Miangas dan Pulau Siladen yang notabene penduduknya mayoritas Nasrani, dan kawan-kawannya yang juga mayoritas non Muslim.

“Jadi mereka kan ngerokok ato makan minum didepan aku, pas tau aku puasa, spontan langsung minta-minta maaf dengan agak berlebihan gitu dan dengan tampang gak enak banget lho. Padahal di Bandung mah orang makan depan orang puasa juga cuek-cuek aja. Gila, keren lho disini”.

Saya hanya tersenyum melihat antusiasmenya dalam bercerita. Lelaki cerewet dan heboh ini masih Fiersa yang sama dengan sosok yang saya kenal tiga tahun yang lalu. Begitu memasuki parkiran mall, dia berteriak “Arghhh…akhirnya aku nginjek peradaban lagi!!! Nanti kita makan dimana atuh??? Trus keliling ahh liat-liat”. Bagaikan anak kecil yang diajak ke pusat perbelanjaan, siang itu dia tampak segar dan berbinar-binar. Ican memesan soto ayam dan memakannya dengan sangat menghayati. Mungkin buat dia, soto ayam itu mengingatkannya akan masakan ibunya tercinta di Garut, yang saya tau persis, adalah orang yang selalu
dikangeninya setiap hari, dimanapun sahabat saya ini berada.

“Aku bosan makan ikan Nta, sejak di Sulawesi, aku makan ikan ikan dan ikan. Bisa-bisa pulang Bandung aku jadi pinter saking keseringan makan ikan”.

Mau tidak mau saya terbahak mendengar celotehannya yang konyol itu. Ican, adalah salah satu sahabat saya yang bisa diajak ngobrol tentang apa saja karena berkapasitas otak diatas rata-rata. Bernama belakang Besari, membuatnya cerdas dan lancar membahas soal sastra, filsafat dan fisika dengan bahasa yang mudah dicerna, bahkan oleh keponakan lelaki saya yang masih berusia lima belas tahun. Ican bahkan pernah membahas sejarah film Superman dengan berbagai dalil dan ragam informasi yang membuat film pahlawan bercelana dalam diluar itu tampak seperti film kolosal serius dan sarat ilmu sejarah. Luar biasa!!!

“Nta, udah tidur?” adalah bunyi sms ato whatssap konyol yang tiap malam dia kirimkan ke ponsel saya, ketika kami tidur terpisah. Akhirnya pada malam selanjutnya dia menginap dirumah, saya memutuskan untuk ikut tidur dengannya dikamar saya agar kami bisa bercerita tentang apa saja sampai masing-masing tertidur, sama seperti dulu, hanya bedanya kali ini kami berhadapan secara langsung. Tidak usah ditanya dimana dan bagaimana posisi kami tidur, yang pasti kami tidak pernah melewati batas norma dan melupakan esensi sahabat yang telah tiga tahun kami jalani. Sangat menyenangkan ketika sama-sama menutup mata, tetapi mulut terus bercerita tentang impian dan cita-cita, tentang kehidupan, tentang cinta, tentang petualangan, tentang politik, tentang imajinasi terliar, bersama seorang sahabat yang mengenal kita. Kembali pada kebiasaan anak kecil, berkisah tentang angan dan impian, tanpa banyak pertimbangan. Satu hal yang tidak menyenangkan adalah dia yang selalu tidur paling akhir dan selalu bangun lebih awal, paginya membangunkan saya dengan semena-mena, tetapi selalu tidak bisa membuat saya marah, karena dengan tampang polosnya dia selalu tersenyum dan menyapa “Sudah siang Nta, mandi sana”, dan ketika selesai Lebaran berganti dengan “Sudah siang Nta, sarapan yuk”.

Sejak keliling, Ichan selalu ingin dipanggil Bung. Katanya, Bung itu sangat Indonesia, tanpa mengenal suku maupun ras. Bukan kang, kaka, mas, atau abang. Sebelum saya pulang mudik, Ican dan rombongannya menginap disekretariat Mapala Pahyagaan, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi. Katanya, disana lagi-lagi diajak berfoto oleh salah satu anggota yang kebetulan mengunduh lagu-lagunya dari internet, dan lagi-lagi saya hanya tertawa mendengarnya. Saya pun akhirnya dikenalkan kepada para anggota Mapala tersebut. Ada empat orang yang sangat akrab dengan sahabat saya. Ikar, si anak perantau asal Luwuk yang super wangi, fotografer yang juga jago masak dan bertampang cantik, Billy, pemuda asli Minahasa yang berambut panjang ala bintang iklan sampo yang hobi menceritakan kisah-kisah lucu namun selalu galau, Adhi yang akrab dipanggil Jibie, si seniman pembuat tato yang bertampang seperti Bob Marley muda, serta Valent atau Tebo, humas Mapala yang bertampang manis berambut kribo ala Kaka Slank. Seketika mereka juga menjadi teman baru saya, yang selalu membuat saya terbahak dengan tingkah konyol mereka yang spontan memanggil saya dengan sebutan “Kak” ketika mengetahui umur kami yang terpaut lumayan jauh, Siyal!!! Hahaha…

Gadis-gadis bintang Iklan sampo dari Mapala Pahyagaan =))))Gadis-gadis bintang Iklan sampo dari Mapala Pahyagaan =))))

“Kayaknya kamu butuh anak secepatnya. Orang yang bisa kamu suruh-suruh, tanpa bisa melawan. Kamu gak butuh suami sih, karena kamu itu kebiasaan ngatur orang, tapi hati susah menetap pada satu orang, hahaha”.

Ican, membuat jiwa ibu-ibu saya makin kuat. Saya selalu menyuruhnya makan banyak, sering mandi (padahal saya sendiri jarang mandi) dan ganti baju, memaksanya minum madu campur jeruk dua kali sehari gara-gara kasihan melihatnya tersiksa dengan batuk, serta ingin tahu dengan hal-hal kecil yang tidak diceritakannya.
“You are starting like my mom. Please, stop it!! Yolanda banget deh (tau lagu Kangen Band berjudul Yolanda? Yang liriknya Kamu dimana, dengan siapa, sedang berbuat apaaa)!!!” ujarnya memprotes tindakan pemaksaan saya yang dia anggap terlalu membuatnya merasa seperti anak kecil.Perdebatan yang diakhiri dengan saya yang tertawa melihat muka memelas campur kesalnya.
Dia menjuluki saya “emak-emak bawel”, bahkan berkonspirasi dengan keponakan saya untuk meledek saya karena kebiasaan tersebut. Saya pun jadi sangat menghargai pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, karena dengan kedatangan Ican menginap dirumah, otomatis saya harus bisa jadi tuan rumah yang baik. Bangun lebih dulu untuk menyiapkan teh dan makanannya, menemani dia makan, memastikan dia betah ketika berada disini. Percayalah kawan, itu sangat menguras energi (apalagi untuk gadis pemalas dan berjiwa lelaki seperti saya), dan akhirnya membuat saya teringat akan jasa besar para asisten rumah tangga.

Bahkan ketika hari Lebaran pun, saya harus menyeretnya ke kamar mandi (padahal saya juga waktu itu lelah plus mengantuk tingkat kecamatan) dan mengetuk pintunya setiap lima menit sekali (dan dijawab dengan erangan sebal olehnya,haha) , was-was kalau saja dia tertidur didalam, karena kami baru selesai menyiapkan hidangan Lebaran pada pukul setengah empat pagi, dan bakal mengakibatkan kami terlambat mengikuti sholat Ied. Syukurlah kami bisa hadir tepat waktu dimesjid, dan Ican tampak bersahaja dengan baju koko putih gading yang dikenakannya (walaupun tetap saja dimobil kami berdebat tentang rambutnya yang kusut dan basah tapi dia menolak untuk dirapikan, huh!).

Duo Maia mengucapkan Selamat Lebaran 1434HDuo Maia mengucapkan Selamat Lebaran 1434H

Malam takbiran memang Ican berjanji untuk membantu saya memasak, tetapi tiba-tiba dia minta ijin untuk nongkrong dengan Billy dan kawan-kawan. Sebenarnya saya tidak marah ketika dia belum pulang, padahal waktu sudah tengah malam, dan makanan belum ada yang dimasak, tetapi karena ponsel saya letakkan dikamar, beberapa kali panggilan Ican tidak terjawab, dan mungkin dia mengira saya merajuk lalu tidak mau mengangkat telepon darinya. Ican akhirnya memboyong rombongan Billy, Ikar, Jibi, Tebo, dan beberapa anak Mapala lainnya untuk membantu saya memasak dirumah. Terbayang kehebohan kami malam itu, para anggota Mapala cantik yang cekatan dalam hal dapur, membuat pekerjaan kami cepat selesai. Alhasil, malam itu Ican justru bebas tugas sama sekali. Akal bulusnya mengajak anak-anak, membuatnya yang memang malas memasak itu bisa berleha-leha diteras depan rumah saya, merokok dan mengobrol bersama Billy, yang saat itu baru mengalami kecelakaan sehingga tangannya luka, jadi tidak bisa ikut membantu kami didapur. Cakep!!!

rombongan asisten malam Lebaranrombongan asisten malam Lebaran

Saya juga merasa sangat terbantu dalam mengenalkan tentang dunia luar pada keponakan saya, Jordan, yang baru berusia lima belas tahun. Kebetulan, tahun ini Jordan dibelikan kamera profesional oleh ayahnya. Ican yang memang hobi fotografi, sering mengobrol dengan Jordan. Mereka berdua juga punya bahasa khas “lelaki” yang asing buat saya. Orang luar mengenal Jordan sebagai anak yang jarang mengobrol jika belum akrab, begitupun Ican, jadilah mereka seperti menemukan benang merah penghubung. Terkadang mereka tertawa dan melihat kearah saya dengan tampang jahil. Ican jadi om favorit baru buat Jordan. Dimana ada Ican, disitu Jordan menempel. Bahkan kebiasaan Ican makan nasi dicampur saus mayones pun dijadikan percontohan buatnya. Ketika Ican bermain gitar diteras, Jordan pun selalu disampingnya. Suatu malam Jordan merengek mengajak keluar untuk membeli pulsa, ketika saya dan Ican sedang asik mengobrol. Saya langsung menolak melihat jam sudah menunjukkan pukul 2 pagi. Spontan Ican yang waktu itu asyik bermain dengan ponselnya, menanyakan berapa nomor ponsel Jordan, dan langsung mentransfer sejumlah pulsa dinomor itu. “Kamu mah gak tau perasaan gantung cowo yang lagi pedekate tapi pulsa abis. Itu tersiksa banget tau”. Sejak malam itu, posisi saya langsung turun satu peringkat dimata keponakan saya, digantikan om-om cantik yang mengerti perasaannya hahaha.

Jordan and his new auntie -_-Jordan and his new auntie -_-

Pengalaman seru lainnya ketika kami menonton salah satu film horor yang sedang tren saat ini. Saya yang memang tidak bisa dikagetkan dengan suara keras, selalu berteriak latah dan mencengkram lengan Ican yang juga duduk ketakutan disamping saya, hahaha. Dia malah mengajari saya tips menonton film horor, yaitu memakai jaket yang bertudung, agar tidak kelihatan terlalu memalukan ketika menutup mata saat adegan menyeramkan, atau menutup wajah dengan jari yang terbuka dibagian mata. “Biar ngerasa lebih aman Nta, kalo ditutupin gini entah kenapa aku ngerasa aman aja”. Tentu saja saya tidak ikut mempraktekkan tips konyolnya, karena toh tinggal menutup mata kalau setannya keluar. Seperti kelakuan dua anak kecil yang tidak mau kalah, diakhir film kami saling meledek tentang siapa yang lebih ketakutan selama film diputar.

Bersama Ican, saya menghabiskan waktu di Manado dengan keseruan yang berbeda. Saya, seperti kembali terbang ke masa beberapa tahun silam, ketika hidup terasa lebih ringan dan menyenangkan. Ceria dan penuh canda, membuat hari-hari terasa begitu cepat berlalu. Nongkrong dimall, berbuka puasa di Jarod (tempat nongkrong dipusat kota yang berisi semua lapisan masyarakat, dari politisi, musisi, seniman, maupun mahasiswa dan warga biasa) yang merupakan tongkrongan paling juara ketika saya masih mahasiswa, bangun sahur dan heboh menonton acara sahur yang sedang tren dengan goyangan cesarnya, berdebat dengan bahasa campur aduk tentang hal-hal sepele yang diakhiri dengan saling meminta maaf kemudian tertawa ngakak, keliling kota naik angkot Manado yang memutar musik sekencang-kencangnya, makan martabak dipinggir jalan protokol sambil menunggu angkot yang tak kunjung datang sambil membahas filsafat (dan selalu dilirik pengendara yang lewat karena dikira dua wanita yang menunggu “jemputan”, haha), serta banyak hal menarik lainnya. Ican sampai kecapaian menemani tamu dirumah kami ketika Lebaran, menemani teman-teman keluarga saya yang tidak henti-hentinya datang, bercerita berulang-ulang tentang perjalanannya keliling Indonesia kepada setiap kerabat yang bertanya kenapa dia sampai bisa terdampar berlebaran dirumah kami, haha…kasihan sekali melihatnya waktu itu.

Hari terakhir dikota ini, Ican dan saya hanya dirumah saja. Ican yang memang waktu itu merasa kurang enak badan, membatalkan rencana hari itu untuk mencari perlengkapan perjalanannya. Sepanjang hari kami hanya duduk diteras, bercanda, mengobrol, berdebat, menonton youtube dan bernarsis ria dengan kamera sampai subuh. Malam itu juga Ican “merampok” koleksi buku-buku saya untuk menemaninya bertualang. Berat rasanya melepas buku-buku yang sebagian saya dapat dari hasil buruan diluar kota, tapi hanya kepada mereka saya bisa menitipkan Ican, sahabat yang sebentar lagi akan melanjutkan perjalanannya mengelilingi tanah air yang dicintainya. Ican berjanji akan mengembalikannya dengan selamat sepulangnya dia berkelana, dan saya juga berjanji akan menjemput buku-buku itu dirumahnya, sambil mendengar oleh-oleh kisah spektakulernya nanti.

Keesokan harinya, setelah terlebih dahulu berdebat tentang persoalan ganti baju dan soal waktu makan saya yang (kata Ican) sangat amat lambat, kami berkejaran membereskan hal-hal untuk keberangkatannya pada sore hari. Saya dan Ican menuju sekretariat Mapala Pahyagaan untuk menjemput beberapa teman yang akan mengantar ke pelabuhan. Bersama Ikar dkk, kami mengantar Ican dan Qnoy, seorang gadis tomboy yang memiliki kecantikan khas perempuan Timur, teman perjalanan barunya menuju Indonesia Timur, melalui pelabuhan Manado. Di dermaga pelabuhan, Ican masih sempat menyanyikan tiga lagu dialbumnya sambil direkam oleh kamera saya dan Ikar, melantunkan nyanyian dengan penuh penghayatan menggunakan ukulele tua kesayangannya. Sebelum naik kapal, Ukulele itu diminta oleh Jibie, si seniman tato yang juga jago memainkan ukulele. Ican, dengan sangat berat hati merelakan ukulele itu untuk tinggal di Manado, menemani kami para sahabatnya disini, menggantikan hadirnya yang akan pergi jauh. Kami juga sempat mengabadikan momen dengan berfoto narsis ala model menggunakan kamera Ikar yang hasilnya selalu sukses membuat saya berkata “F*CK”.

rombongan pengantar pengacau pelabuhanrombongan pengantar pengacau pelabuhan


Bunyi peluit kapal baru berbunyi dua kali, ketika ponsel saya berbunyi, panggilan kerja dari atasan saya. Alasan yang tepat untuk pamit, karena jujur walaupun saya tau beberapa bulan lagi saya pasti sudah berada diatas kasur dikamar Ican di Bandung, tiduran sambil ngemil cakwe dan mendengarkan dia berceloteh tentang cerita perjalanannya, tetap saja berat rasanya melihat kapal itu menjauh dari dermaga membawa sahabat saya besertanya. Saya memang membenci perpisahan, meskipun itu merupakan resiko istimewa sebuah pertemuan. Saya, pamit untuk pulang duluan, melayangkan salam tinju ulat bulu dadah kupu-kupu ala anak alay kepada Ican, kemudian berjalan tanpa menoleh lagi, takut tidak bisa menahan airmata dan jadi memalukan. Malam itu saya kembali tidur sendirian, dan tiba-tiba merasa sangat kehilangan.

til we meet again dude :')til we meet again dude :')

“Whenever you make a mistake or get knocked down by life, don’t look back at it too long. Mistakes are life’s way to teaching you. Your capacity for occasional blunders is inseparable from your capacity to reach your goals. No one wins them all, and your failures, when they happen, are just part of your growth. Shake off your blunders. How will you know your limits without an occasional failure? Never quit. Your turn will come” –Og Mandino-

Ukulele tua, saksi sejarah :))Ukulele tua, saksi sejarah :))

Ican, tidak pernah benar-benar meninggalkan saya dengan tenang (tentu saja). Teman-teman yang dia kenalkan, sekarang bersahabat dekat dengan saya. Ukulele yang dia tinggalkan, selalu dimainkan oleh Jibie disetiap kesempatan. Bahkan ketika merayakan hari kemerdekaan di gunung Soputan, (ya!!! saya yang anti gunung berhasil diracuni oleh Ican untuk ikut mendaki bersama para Mapala dalam rangka merayakan hari kemerdekaan RI disana), saya sangat terharu ketika sore itu, diantara pepohonan pinus yang menjulang, ditengah sapuan angin gunung yang super dingin menusuk tulang, didepan api unggun yang menghangatkan para pendaki, ada salah seorang pendaki bernama Valent, anak punk super gaul nan galau, yang sama sekali tidak saling mengenal dengan Ican, memainkan ukulele kesayangan sahabat saya dan menyanyikan lagu berjudul Hidup Kan Baik-Baik Saja, salah satu lagu milik Ican. Pesimisme takut mati kedinginan karena alergi (dan yang pasti bakal menyusahkan anggota rombongan), seketika meluap berganti kehangatan dipelupuk mata yang setengah mati saya tahan. Sahabat saya seakan berada disitu, tepat disamping saya, melalui media lagu dan ukulele tuanya, menguatkan raga terlebih jiwa, bahwa hidup itu indah, nikmatilah setiap hal yang ada didalamnya.


Melangkahlah kawan, selama kaki tanganmu belum kaku dan jiwamu belum merengek untuk pulang kepelukan ibu. Kami titip debu, cerita seru, gambar samudera biru, bau harum belantara hutan yang sederhana itu, serta kisah tentang Nusantara kita yang hanya bisa dilihat melalui buku. Kami memang selalu rindu, tapi tenanglah, doa ini selalu terpanjat untukmu Bung, semoga Tuhan selalu besertamu.

Sehat Bahagia Selalu, Fiersa Besari. Titip salamku, bersama enam partikel itu. Sampai jumpa lagi dilain waktu.


Manado, 27 Agustus 2013 15:15 WITA
Teras rumahnya papa, diatas kursi oranye, ketika angin bertiup manja :D

2 komentar: