17/09/13

Aku, Kamu, dan Sebuah Cerita Tentang Rindu

suatu waktu


Tangkoko - Bitung, 2000

“Kamu tau, kamu itu cantik, emang sih agak tomboy, tapi suatu saat, kamu pasti akan sadar bahwa kamu cantik, dan tau mempergunakannya untuk memikat pria lain, siapapun dia”.

Ucapan bernada memuji cenderung merayu yang keluar dari mulut seorang mahasiswa tingkat tiga, kepada seorang gadis lugu, ditengah hutan, disebuah perkemahan, ketika tangannya yang kekar merangkul pundak kurus seorang gadis yang kala itu menjadi adik binaannya disebuah organisasi pencinta alam tingkat sekolah menengah atas. Gelap malam tak mampu menyembunyikan rona merah yang menyemburat dari pipi gadis itu.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu hanya mencibir. Katamu itu hanya gombalan basi yang lazim diobral seorang mahasiswa kepada siswi SMU yang minim pengalaman. Percaya akan omongan manis seperti itu, hanya akan membuatku terlena dan lupa diri. Lidahmu memang tajam, tapi aku tidak pernah marah, aku hanya membalasmu dengan melemparimu buku.

Jl. Siswa – Manado, 2001

“Beb, lu tuh asyik,gak rewel kayak cewek-cewek lain. Ngobrol ama lu, bisa bikin gw tertawa dan lupa waktu. Sayang kita beda agama, kalo gak udah lama gw tembak lu”

Percakapan yang terjadi dikantin sekolah, dikala kelas sedang berlangsung, terlontarkan dari mulut seorang siswa berseragam abu-abu kepada teman seangkatannya yang sedang asyik menyeruput minuman dingin. Kami memang senang bercanda, tapi siang itu, aku mengerti teman yang baru saja dekat denganku itu serius dengan pernyataan ditengah canda tawanya. Aku hanya bisa tertawa menanggapinya, sadar dengan perbedaan mendasar yang ada, dan umur yang tertera dikartu pelajarku saat itu, berbanding lurus dengan besarnya nyali untuk melanggar peraturan orang tua dan lingkunganku kala itu.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu mendelik marah. Katamu jangan pernah sekalipun terpikir untuk mengorbankan prinsip dasar yang kita anut sejak lahir hanya demi orang yang baru kita kenal. Aku tau kamu pun jarang beribadah, tapi entah kenapa, dengan segala khotbahmu mengenai dosa dan segala tetek bengeknya itu, aku hanya tertunduk pasrah dan terdiam seribu bahasa. Memilih untuk bersungut dalam hati, tanpa bisa protes lebih lagi.

Pandu – Manado, 2003

“Maaf, aku tidak tahu kalo ayahku datang tiba-tiba. Sepupuku itu memang brengsek, lupa memberitahu kalau ayahku akan datang membawa kiriman ibu dari kampung. Kamu gak apa-apa cinta? Mau aku ambilkan minum dulu?”

Pernyataan maaf yang keluar dari wajah pucat seorang lelaki yang saat itu berstatus pacar pertamaku dikampus, ketika dia membopongku yang pingsan karena ketakutan. Kami hampir tertangkap basah sedang berduaan dikamar oleh ayahnya yang tiba-tiba datang berkunjung. Keadaan konyol dua insan yang mencoba nakal tetapi hampir kehilangan akal ketika Tuhan mengirimkan sekedar peringatan. Aku yang meringkuk dibelakang pintu, mungkin pingsan karena terlalu lama menahan napas karena tegang. Lelakiku, mendadak menjadi binaragawan yang mampu mengangkat beban gadisnya yang lunglai. Kami hanya bisa saling menatap mata, tanpa bisa banyak bicara.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu terpingkal-pingkal dan menatapku dengan geli. Katamu aku bodoh dan masih harus banyak belajar. Ucapan sok tahu dari seseorang yang waktu itu bahkan belum pernah berstatus jadi pacar orang. Sambil sesekali menyeka airmata dari sudut matamu karena terlalu banyak tertawa, kamu lagi-lagi menasihatiku dengan berbagai kalimat ala jaman kolonial. Katamu, kelak aku akan menertawakan kebodohanku ketika teringat dengan peristiwa itu. Kamu memintaku berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Aku hanya bisa mengangkat dua jariku, simbolisasi sebuah janji, tapi hatiku merasa bahwa jari tidak cukup kuat untuk menjadi tali pengikat janji.

Megamas – Manado, 2005

“Kita memang udah gak cocok lagi. Kamu selalu membuatku merasa seperti berpacaran dengan polisi yang selalu mengawasi dan menginterogasi. Padahal dulu kamu orang yang menyenangkan, kita dulu pernah bahagia. Sekarang terserah maumu apa, aku lelah”.

Suara bernada tinggi penuh emosi, yang jarang terdengar dari mulut lelaki dihadapanku,membuatku menangis. Lelaki tampan yang membuatku berpindah hati dengan sengaja dari pacarku yang sebelumnya. Perih yang terpenjara lama, membuat mulutku tidak kuasa membantah. Airmata tidak mampu menyapu bersih luka, ketika mengetahui dia lebih memilih wanita selingkuhannya, dan menyalahkanku yang tidak lagi menyenangkan dihatinya. Hilang sudah mimpi muluk dua anak muda yang saat itu sedang beranjak dewasa. Berganti dengan duka nestapa, menyisakan kenangan pahit dikepala.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu hanya diam tak acuh. Katamu itu karma yang berlaku, ketika aku memilih meninggalkan kekasih lamaku, dan juga merebut lelakiku dari wanitanya yang terdahulu. Sakit hatiku, ketika kamu menolak kujadikan sekutu. Semesta seakan turut memusuhiku, ketika kamu dengan wajah masam menatapku tanpa bermaksud menghibur. Kamu membiarkanku belajar dari akibat perbuatanku yang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain demi kesenanganku sendiri. Suka ria semu yang berakhir pilu.

Grogol - Jakarta – 2006

“Sebaiknya kamu disini saja, aku tidak bisa menjamin apakah kita bisa terus bersama jika berbeda kota. Semarang terlalu jauh dari Jakarta. Aku bisa mengusahakan tempat untukmu disini, melalui beberapa kenalanku. Tapi semua terserah kamu sih, aku hanya memberikan opini”.

Suasana diatas bus angkutan umum yang membawaku bersama sosok lelaki dihadapanku itu mendadak menjadi suram. Anehnya, pernyataan bernada mengancam yang keluar dari mulut lelaki yang dulu menjadi idola para gadis dikampusku ini tidak sedikitpun membuatku mengurungkan niatku untuk mengambil kesempatan bekerja dikota yang sama sekali asing bagiku. Membayangkan serunya berbagai petualanganku kelak dikota yang akan menelurkan banyak pengalaman baru, membuat ucapan sang lelaki yang dulu mati-matian kuperebutkan itu seakan angin lalu yang sekedar lewat.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu hanya mengeluarkan bunyi aneh dari seberang sana. Suaramu ditelpon terdengar mengantuk, karena aku menelponmu ketika waktu menjelang hampir subuh. Aku tidak perduli dengan responmu yang acuh tak acuh. Kamu sangat mengerti aku, bahwa tidak seorang lelaki pun yang mampu membendung niatku. Keputusanku untuk pergi merantau jauh dari kampung halaman kita, sudah membuktikan betapa keras kepalanya diriku. Kamu tahu, aku hanya butuh kamu untuk mendengarkan, tanpa perlu meminta jawaban. Katamu ketika aku telah mengambil keputusan, jangan pernah lari dari resiko yang akan datang. Susah ataupun senang, harus kuhadapi dengan dada lapang.

Simpang Lima – Semarang, 2006

“Maafkan tunanganku yang sudah lancang menerormu. Dia tiba-tiba datang kesini, mengamuk dirumahku, membanting semua barang-barang ketika melihat foto kamu di ponselku. Kamu gak apa-apa kan? Untuk sementara jangan menghubungiku dulu, aku takut dia semakin nekad mencarimu. Aku takut kamu dilukai wanita gila itu”

Belum hilang keterkejutanku akan suara teriakan ditelpon oleh seorang wanita yang tidak kukenal sama sekali, mencaci maki tanpa henti, tiba-tiba terdengar suara lelaki yang baru dua bulan akrab denganku berbicara dengan nada perlahan. Dunia sekitarku serasa buram, selentingan gambar demi gambar bermain dibenakku malam itu. Peristiwa unik nan menarik yang belum pernah kualami. Seumur hidup, dilabrak oleh calon istri seorang lelaki yang setiap hari tidak pernah absen menelponku untuk sekedar mengingatkan makan, adalah pengalaman absurd yang membuatku sejenak amnesia kosa kata.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu malah menanyakan apakah aku malam itu sudah menghabiskan makan malamku. Kamu persis tau, kalau aku sedang bingung memikirkan sesuatu, aku tidak akan menyentuh makananku. Kamu hanya menyuruhku pulang dan melupakan kejadian aneh dimalam minggu itu. Aku yang kesal, terus-terusan mengomelimu dengan segala sumpah serapah yang tadi tak kuasa kutumpahkan kepada sepasang tunangan gila yang sudah berani mempermainkanku. Diseberang sana kamu tergelak dan balik meledekku untuk lebih selektif dalam memilih teman dekat baru.

Parapat – Medan, 2007

“Resiko ini, kita yang pilih. Aku akan tetap menjagamu, bahkan sampai nanti rambutmu memutih, atau ragaku mudah letih. Buatku, asal ada kamu disini, kita bisa sama-sama menghadapi dunia. Toh kita yang menjalani, peduli setan dengan tanggapan orang tentang kita yang berbeda”.

Ungkapan bernada tegas yang pagi itu keluar dari bibir lelaki manis bertatapan teduh dihadapanku. Berlatar belakang sebuah danau yang menambah keromantisan suasana sore itu. Perjanjian dua anak manusia yang gentar menghadapi sanksi sosial masyarakat disekitar mereka. Perbedaan adat, budaya, serta prinsip dasar yang menjadi jurang menganga, membuat kekhawatiran semakin beranak pinak dari waktu ke waktu. Kata-kata penghiburan seperti itu, hanya semacam angin surga yang ditiupkan sekedar untuk menambah persediaan nyawa sementara.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu mengirimkan gambar simbol kuning berbentuk wajah yang memeluk lewat percakapan kita didunia maya. Saat itu kamu sudah lebih mengerti perasaanku, karena kudengar kabar bahwa kamu juga telah melewati pengalaman itu. Kamu memang tidak pernah berbagi cerita mengenai kisah cinta berbeda itu, tapi dari berbagai kalimat bernada simpati yang kamu ketikkan dilayar komputer malam itu, aku tau kamu bisa merasakan pedihnya perasaan ingin memiliki namun diperhadapkan dengan kenyataan bahwa cinta harus segera diakhiri. Konsekuensi sebuah perjalanan hati yang nekad dijalani.

Kuta – Bali, 2007


“Aku tidak bisa secepat ini menikah. Kita masih muda, masih banyak yang bisa kita lihat, masih banyak mimpi yang bisa kita gapai. Bukannya aku tidak mencintaimu, toh aku sudah berjanji pada mamamu untuk menjagamu selalu. Kamu tau aku sayang kamu, tapi jangan dulu membicarakan hal-hal serius seperti itu. Aku takut”

Kejujuran yang keluar dari mulut lelaki yang waktu itu mengisi hari-hariku, mendadak membuat lututku kaku. Aku bahkan belum memintanya kepastian, hanya mengutarakan pesan keluargaku secara sambil lalu. Namun ego yang sudah menempel erat disetiap penjuru tubuhku, mampu membuat raut wajah ini tetap terlihat ceria, bahkan mendukung pernyataan itu dengan berbagai kalimat tentang optimisme masa muda. Perasaan tertolak perlahan menghampiriku, mengisi setiap sel dalam diriku, membentuk luka yang menganga. Ketenangan mengerikan yang ternyata menyisakan dendam dalam dada. Liburan yang seharusnya menyenangkan, tetap terlewati dengan tawa canda, namun menyisakan bara neraka yang nantinya menjadi amunisi perang dua sejoli yang berujung malapetaka.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu hanya sibuk mengagumi oleh-oleh dari perjalanan liburanku. Tanpa menatapku, kamu berkata bahwa tidak seharusnya aku selalu mengikuti kata hatiku. Keegoisan seorang gadis yang melindungi dirinya secara keterlaluan karena takut dilukai, tanpa berpikir panjang tentang akibat dari perasaan berlebihan. Lagi-lagi kamu berpetuah tentang karma dan segala teori percintaan yang kamu baca entah dimana. Kamu menyuruhku menghitung untung dan rugi ketika aku melepaskan kekasihku yang satu ini. Perasaanmu mengatakan bahwa lelaki ini baik dan bisa aku jadikan pegangan dimasa depan.

Gajahmada - Semarang, 2008

“Entahlah, sudah lama aku tidak pernah memeluk seorang gadis tanpa berbuat lebih seperti sekarang. Hangatnya nyata. Terima kasih sudah mengenalkanku dengan pengalaman seperti ini. Kamu memang berbeda, aku suka”.
Setengah samar aku masih mendengar suara berat dibelakangku. Lelaki yang sudah kukenal baik selama dua tahun sebelum kejadian itu, memelukku dari belakang ketika fajar hampir menyingsing. Kami bertemu untuk sebuah acara reuni, dikota yang mempertemukan kami untuk sama-sama mencari sesuap nasi. Tidak ada kejadian lain ala tayangan film dewasa setelah itu. Posisi kami yang tidak berhadap-hadapan, serta logika yang mengatasnamakan pertemanan, membuat aku maupun dia memutuskan kami hanya berbagi kehangatan melalui pelukan.

Ketika aku bercerita tentang itu, terdengar nada sedikit ragu dibalik suara datarmu diseberang sana. Kamu memang tidak lagi menghakimiku dengan pernyataan-pernyataan ala jaksa penuntut ketika aku berceloteh tentang kejadian subuh itu, tetapi ucapan skeptis yang kamu lontarkan meyakinkanku kalau kamu tidak seratus persen percaya dengan ceritaku. Kamu tau aku tidak perlu memangkas ceritaku demi membuatmu terkesan. Pelan, kamu menambahkan agar aku lebih menahan hasratku, dan memperingatkanku lagi dan lagi soal konsekuensi dibalik semua perbuatanku dikemudian hari. Menurutmu, pertemanan mesra tanpa tendensi apa-apa hanya ilusi belaka. Aku hanya tertawa lirih dan menenangkanmu dengan berkata aku tau apa yang harus kuperbuat. Kamu mengakhiri perbincangan dipagi itu dengan menyuruhku segera mandi dan sarapan.

Sudirman  – Jakarta, 2009

“Mungkin menyenangkan rasanya menjadi orangtua tunggal. Tidak banyak orang yang bisa mengerti kita apa adanya seperti hubungan murni antara anak dan orang tua. Manusia itu terlalu egois untuk mencintai orang lain tanpa berharap balasan yang dia inginkan. Seperti ungkapan kita bahagia ketika melihat orang lain bahagia, bukankah itu artinya kita justru mengedepankan pemuasan rasa kita terlebih dahulu, dan menjadikan orang lain alat pemuas belaka?”

Dialog panjang tentang pemikiranku mengenai ide menjadi orang tua tunggal, disambut dengan berbagai teori menakjubkan oleh lelaki yang mendadak menjadi tumpangan gratisku dari tempat kursus menuju rumah tinggalku. Lelaki bertampang kekanakkan, tengil namun berwawasan luas ini awalnya memang membuatku terpesona karena pola pikirnya. Walaupun akhirnya aku lebih menyayanginya sebagai saudara tidak sedarah yang dikirimkan Tuhan, sosoknya tetaplah menjadi salah satu panutanku untuk menentukan kriteria lelaki nyaris sempurna.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu hanya berkelakar bahwa aku terhipnotis oleh kata-kata indah yang menurutmu tanpa makna. Kamu memang tidak pernah berbakat menjadi pujangga, melainkan pencinta logika. Aku pun tak pernah memaksamu untuk mengerti seleraku tentang kicauan jari yang tertuang dalam tautan puisi yang dipakai para lelaki untuk memikat lawan jenisnya seperti padaku kali ini. Aku bersikeras kami hanya berteman biasa, dan kamu memandangiku dengan tatapan menyebalkan.

Kemandoran – Jakarta, 2010

“Jaga diri baik-baik nyet. Titip salam kepada setiap tanah negeri kita yang nanti akan kamu jejaki. Tetap sehat dan terus bahagia dimanapun kamu berada nanti.”

Aku hanya bisa tersenyum dan memeluk lelaki bertato yang hari itu sedang mengemasi barang-barangnya, bersiap untuk menaklukkan dunia, mewujudkan mimpinya. Dadaku seketika sesak menyadari sahabatku ini akan pergi dan entah kapan kembali. Kemajuan jaman yang bisa setiap saat menghubungkan kami, seakan tidak ada artinya dibandingkan dengan pertemuan langsung yang menyenangkan. Rasa haru yang setengah mati kutahan, demi memperlihatkan senyuman terbaikku sebagai bentuk dukungan penuh kepada saudara tidak sedarahku ini.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu sedang sibuk mengutak-atik gadget barumu. Aku yang hampir menangis karena merasa kehilangan sahabat yang selalu membuatku terbahak dengan segala tingkah konyolnya itu, merasa terhibur dengan kata-katamu yang sejuk seperti embun pagi. Katamu sahabat itu seperti bintang, tidak selalu terlihat wujudnya, tapi akan selalu ada disana untuk kita. Kata-kata yang membuatku menempatkan bintang menjadi benda langit  favoritku sejak saat itu.

Perbanas -  Jakarta, 2011

“Maaf kalau aku sudah mengecewakan. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi kata-katamu barusan membuatku sakit hati, membuatku merasa tidak dihargai. Maaf kalau aku bukan orang yang sempurna, aku tetap saja bisa salah, walaupun itu merupakan pekerjaanku sehari-hari”

Rangkaian kalimat yang muncul dilayar ponselku, sesaat setelah aku dan lelaki yang tabah mendengarkan semua keluh kesahku sejak kami duduk dibangku sekolah menengah atas, bertengkar hebat karena suatu alasan yang membuat emosi kami tersulut. Aku benar-benar merasa bersalah waktu membaca pesan singkat itu, tetapi entah mengapa egoku memaksaku untuk melupakan rasa sayang yang terjalin selama hampir satu dekade itu.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu menggelengkan kepalamu dan menyuruhku menurunkan emosi. Katamu perbuatan menyakitkan ibarat kita memaku sebatang pohon. Walaupun pakunya telah kita cabut, tapi bekasnya akan lama tertinggal disitu. Memang akan hilang seiring waktu, tapi membutuhkan proses panjang dan melelahkan. Katamu meminta maaflah lebih dulu, karena dalam pertemanan, tidak ada pihak yang salah maupun benar, yang ada hanyalah proses untuk sama-sama saling mengerti dan memahami. Aku hanya mangut-mangut sambil memakan coklat yang kamu berikan.

Mampang – Jakarta, 2012

“Aku akan menikah sebentar lagi. Maaf kemarin aku tidak bisa menjengukmu, kata mama kamu sekarang kurus sekali. Aku ingin sekali kamu datang, kamu sudah seperti bagian murni dari keluarga besarku. Aku sayang kamu, tapi isi kepalamu terlalu rumit untuk pemikiranku yang sederhana. Semoga nanti kamu bertemu orang yang bisa mewujudkan impianmu”.

Hampir saja ponselku terlepas dari genggaman mendengar kabar itu. Aku memang sudah menduga hari itu akan datang cepat atau lambat. Kabar dari seseorang yang dulu pernah setia menjadi penjaga hatiku ditengah kerasnya kehidupan ibukota. Emosi yang kulatih selama bertahun-tahun lamanya membuatku menjawab kabar darinya dengan suara yang penuh canda. Aku berusaha melawan derasnya airmata yang hanya akan menghancurkan sandiwaraku sore itu.

Ketika aku bercerita tentang itu, kamu tetap serius menatap layar laptopmu. Membiarkanku menangis tersedu-sedu, kali ini benar-benar membiarkanku menumpahkan segala uneg-uneg yang menyesakkan dadaku, tanpa sekalipun memotong apa yang aku cecarkan. Setelah puas meraung dan meratap, kamu menatapku dengan senyuman yang menenangkan. Katamu itu resiko untuk mencintai sebuah ciptaan Tuhan dengan berlebihan. Bahkan sepasang suami istri pun bisa berpisah karena proses kematian. Kamu memintaku untuk mengikhlaskan sebuah hubungan yang berbeda tujuan, karena hanya semata menyisakan angan.
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..

Soputan – Minahasa, 2013

“Menikah itu memang harus dipikirkan matang, karena orang itu yang akan kamu lihat sebelum kamu tidur dan ketika kamu bangun, seumur hidup. Tidak seperti baju, ketika salah beli, kita bisa memberikan kepada orang lain atau menjualnya kembali”.

Percakapan yang terjadi sore hari didalam tenda yang menjadi sarangku ketika hawa dingin menyerangku. Saran yang keluar dari sosok modis nan wangi serta berlidah setajam parang, duplikat dirimu. Menasihatiku sambil sibuk mengerjakan hal lain, membuatku terbahak dan melemparinya dengan kaus kaki. Kenyataan yang membuatku kesal karena tiba-tiba kamu seakan hadir lagi ditengah kedamaian suasana gunung yang bahkan sama sekali tidak kamu sukai.

Siladen – Manado, 2013

“Suatu saat, aku ingin hidup sederhana. Membangun rumah ditepi pantai, menjadi nelayan dan hidup bersama keluargaku disana selamanya. Aku bercita-cita menikmati hidup dimasa muda, berkelana keliling dunia untuk melihat sampai batas cakrawala, kemudian menetap dirumahku yang berhalamankan samudera. Kelak, meninggalkan dunia disamping keluarga tercinta, ditengah alam bebas yang membuat hati tentram, damai yang paripurna”.

Curahan hati seorang teman ditepi pantai ketika kami sedang asyik menikmati malam didepan api anggun yang menghangatkan suasana. Untaian cerita yang sontak membuat perhatianku yang sejak tadi memandangi bintang, mendadak teralih padanya. Senyumku tersamar pekatnya malam ketika mendengar penuturannya tentang impianku yang sama persis dengan yang dia gambarkan. Impian yang menurut sebagian orang itu gila dan terlalu sederhana dijaman yang serba maju ini. Impian yang membuatku dulu selalu terlihat bodoh dihadapanmu.

Bahumall  – Manado, 2013

“Jangan pernah sekali-kali berpikir untuk meninggalkan pasanganmu hanya karena ada orang lain yang lebih dari dirinya. Ingatlah, bahwa masih banyak yang lebih dari dirimu diluar sana dan dia tetap memilih untuk bertahan denganmu”

Status dari akun jejaring sosial seorang kawan berambut lurus panjang ala bintang iklan sampo. Lelaki melankolis yang hobi melarikan sepeda motornya tanpa perduli dengan nyawa sebagai taruhannya. Status yang malam itu kubaca disaat sedang duduk sendiri diresto pinggir pantai, membuatku tertegun, seperti mendengarmu sedang berbicara padaku melalui media orang lain. Layaknya telepati karena turut merasakan perasaan aneh yang melandaku akhir-akhir ini.

Kampus Unsrat - 2013

“Mendekati perempuan itu ibarat berburu ikan menggunakan senjata air. Ketika kamu memberikan umpan pertama kali, pantang untuk langsung membidiknya. Sabar dan biarkan dia menikmati umpanmu yang pertama, karena ketika dia telah merasakan rasa yang berbeda, apapun umpan yang kamu berikan kedua kalinya, dia akan mengikutimu kemana saja”.

Sambil menegak minuman keras tradisional yang menjadi penghangat mereka malam itu, lelaki yang senang bernyanyi itu bertutur lancar dihadapanku tentang pelajaran serius berdasarkan pengalamannya. Lelaki yang dijuluki Piala Hitam karena kepiawaiannya dalam membidik ikan dan tentu saja perempuan. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya bercerita dengan mimik meyakinkan tentang teori ikan dan perempuan ala dia. Sosok yang dewasa nan bersahaja dibalik segala kelakuan minusnya, pantas menjadi idola dengan segala kelebihannya. Andai kamu ada disitu bersama kami, matamu tentu saja akan melihat kearahku dengan tatapan penuh arti.

Berbagai cerita unik tentang orang-orang yang baru kutemui. Komunitas baru yang membawaku menapaki berbagai sudut daerah yang sama-sama kita cintai. Menemaniku menjalani hari tanpa harus menghitung berapa detik yang kulewati tanpamu disisi, seperti bulan kehilangan arah matahari.

“Tampaknya aku harus pulang, aku sudah kelamaan disini”, tuturku melalui pesan singkat yang kukirimkan kepada sahabatku yang sedang berburu pengalaman dengan keliling negeri kita yang eksotik. Tiga kata balasannya, seketika membuatku terdiam. “Definisikan kata pulang”. Pulang, menjadi kata yang kehilangan esensinya buatku saat ini. Mungkin, ketika pulang tidak lagi menjadi sebuah keharusan untukku ketika aku terlalu lama berjalan. Mungkin, ketika rasa nyaman yang menjadi satu paket dengan kata itu, telah lama menghilang bersamaan dengan bentangan tanganmu dan senyum lebar khasmu yang menyambutku setelah lelah berjalan atau sekedar peringatan bernada candaan “hoyyy…kapan pulang? Jangan kelamaan berpetualang”.

Hidup itu pilihan, aku tau persis kamu harus terus berjalan. Aku mulai melatih diri, berusaha tidak lagi mencarimu untuk sekedar berbagi kisah perjalananku, seperti selama ini. Banyak hal yang telah terjadi, peristiwa nyata dan sandiwara satu babak kehidupan yang penuh warna, kali ini akan mulai kusimpan rapi dalam hati. Belajar untuk tidak membuatmu menjadi poros hidupku lagi, awalnya terasa berat untuk dilakoni. Butuh ribuan atau jutaan, mungkin milyaran bahkan satuan tak terhingga untuk mengumpulkan serpihan keyakinan dan rasa percaya diri, sekedar mandiri tanpa merasa sepi, sampai nanti kutemukan tempat untuk kembali.

“I’d talk to you if only I could speak, and I’d dream of you if I could fall asleep. Then I stand up and go talk to you. You start to smile like you want me to. And we stay together for the end of time, but this is only happening in my mind” –If Only I : John McLaughlin-

Aku, menyayangimu dengan caraku yang berbeda. Kamu menemaniku dengan caramu yang sederhana. Kita hanya butuh berbahagia, walaupun tak lagi bersama.
Ini bukan cerita tentang cinta pangeran dan putri raja. Ini juga bukan sebuah melodrama yang berakhir duka.
Aku hanya mencoba bercerita tentang rindu yang membelenggu, tentang sebuah kisah semu, tentang masa yang telah berlalu.

Aku, kamu, waktu, nostalgia masa muda. Kita hanya bertumbuh dewasa. Itu saja…


Manado, 17 September 2013 18:51 masih waktu Indonesia Bagian Kita :)

Disini, masih menatap laut yang dulu pernah sama-sama kita arungi, kita selami sambil bertukar mimpi, menatap bulir hujan yang turun ke bumi, tanpamu disisi, denganmu dihati. Sukacita abadi.