26/06/12

Sekilas Kenangan untuk Ulang Tahun Mama

Mam, ada rasa sesal dihati, ketika barusan saya membuka aplikasi memo diponsel saya ini, dan tidak menemukan tulisan hampir selesai yang semalam anakmu ini rangkai sebagai hadiah ulang tahunmu kali ini.
Tulisan yang hampir jadi, tulisan yang menandai kenangan dihati, tulisan yang mungkin bisa sedikit mengobati rasa rindu ini.

Mama, sosok yang bisa dibilang perpustakaan pertama saya. Ratusan buku bernyawa yang terangkum dalam sosok ibu berwibawa yang mendidik dua putrinya dengan tangan dingin dan dekapan hangatnya. Walaupun begitu, sejujurnya tidak banyak yang bisa saya ceritakan tentang wanita yang mengabdi pada negara ini, yang bahkan masih terus mengabdi diakhir hayatnya dulu. Mama, yang sibuk dikantor itu, dalam versi saya, hanya menyisakan kenangan malam-malam panjang dimana beliau dan ayah saya merawat putri kecilnya yang selama hampir setahun lebih sakit dan butuh perhatian ekstra, atau beragam obat tradisional yang dibuat untuk meredakan berbagai sakit yang menyerang anggota keluarganya, kenangan akan perintahnya untuk belajar dan jadi seperti kakak yang pintar disekolah, kenangan akan wangi parfum harum melati Estee-lauder yang selalu tercium dipagi hari yang melengkapi teriakan ramai ketika beliau membangunkan saya untuk meminum susu dan bergegas pergi ke kampus, kenangan akan buku resep yang beliau kumpulkan satu persatu dan saya yang kebagian untuk menuliskannya dalam satu buku catatan, dan sialnya saat ini buku kumpulan resep andalan keluarga itu hilang entah kemana (resep asli puding coklat dan puding orson itu pun tinggal secuil kenangan dikepala saya, yang seringkali ngaco ketika diaplikasikan), kenangan akan puluhan tas dan sepatu yang menjadi koleksi kebanggaannya (sekarang kebiasaannya itu diwarisi oleh kakak saya), kenangan akan sederet piring, perabotan, dan guci hiasan kembar untuk dua putri kecil kesayangannya, yang konon alasan dibeli kembar, katanya kalau nanti kami menikah dan pindah rumah, maka masing-masing kami akan menerimanya tanpa ada yang terlewatkan (yang konyolnya beberapa guci sudah pecah duluan ulah tingkah duo cucu kesayangannya,hahaha), kenangan akan berbagai tanaman bunga dan buah dipekarangan rumah, kenangan akan beragam kata mutiara pengganti kalimat amarah, kenangan akan rahasia sedekah yang dianutnya, kenangan akan ritual menggulung rambut, selalu tampil gaya dan senang mengenakan kebaya, kenangan akan cara mencuci baju dengan membilas terlebih dahulu sebelum merendam baju dengan alasan untuk mengurangi debu dalam rangka penghematan sabun (tetapi sayangnya jadi pemborosan air,hahaha), kenangan akan ratu kondangan dan berbagai acara lainnya (dan saya pun memilih untuk meneruskan kebiasannya ini,hahaha), serta berbagai kumpulan kenangan lain yang sudah tidak begitu jelas dalam ingatan.

Layaknya seorang ibu juara, beliau mengajarkan kami berbagai ilmu hidup yang selalu kami patuhi, tegas ketika bertitah, lembut ketika berkata, dan kelak caranya akan kami teruskan pada anak cucu nanti.

Mam, sedikit kenangan yang selalu membuat saya tersenyum sambil menitikkan beberapa bulir airmata.
Beliau memang bukan prioritas saya ketika dulu ia masih bernyawa.
Bukan pula sahabat teman diskusi, karena sejak dulu, suara yang keluar adalah titah, ajaran yang merupakan perintah, bukan komunikasi dua arah.
Teringat akan ulang tahunnya dulu yang hanya saya belikan jam yang harganya bahkan tidak ada seperempatnya dengan harga hadiah saya terhadap mantan belahan jiwa.

Namun, seperti kata ungkapan kasih ibu sepanjang masa, dan kasih anak sepanjang sekali melangkah, mama tetaplah bahagia, bahkan walaupun telepon atau pesan singkatnya diponsel saya hanya saya balas dengan kalimat pendek atau suara balasan yang tidak lama. Tidak jarang saya malah sengaja tidak mengangkatnya ketika sedang malas berbicara. Hal fatal yang mengakibatkan saya menjadi seperti orang bodoh selama hampir dua tahun lamanya setelah menyadari ketika beliau telah tiada, namun tetap berhalusinasi dengan melihat layar ponsel saya, berharap jutaan bahkan milyaran kali, ada panggilan masuk dari mama tercinta.

Mama, senyum tulus yang terukir ketika saya melongokkan kepala untuk menengoknya dirumah sakit tempat beliau menghembuskan nafas terakhir, pesan agar saya meneruskan hidup dengan sehat dan bahagia, tanpa pesan apapun yang memberatkan kedua putri kecilnya, menjadi kenangan terindah, yang lagi-lagi saya, harus berjuang untuk berhenti mengharapkannya, dan mengirimkan doa sebagai tanda cinta dan bakti saya.

Ma, bahkan ketika hari ini anakmu ini memasang status di bbm dan akun jejaring sosial, begitu banyak kerabat dan sahabat yang mengucapkan selamat ulang tahun dan turut mendoakanmu, membuat anakmu ini terharu dan berharap, semoga engkau tenang dan bahagia disana, sambil menunggu kami, untuk bergandengan tangan lagi.

Ma, selamat hari jadi, doa kami, semoga terus bahagia yah. Amin. 


Manado, 26 Juni 2012 
Kado kecil si putri kecil untuk sang ibu Suri :')

15/06/12

Ketika Air Menjadi Sebuah Kisah

Dari dulu,saya sangat suka dengan hal berbau air. Bermain air, apalagi dalam kapasitas debit yang banyak, selalu membuat saya betah.

Lautan, penyedia air terbesar dunia, diperkenalkan orangtua saya sejak kecil. Keluarga kecil kami senang berwisata pantai ditepi kota kelahiran saya. Apalagi sejak kami pindah dipinggiran kota yang dekat dengan pantai, hampir setiap akhir pekan kami berwisata ke pantai yang waktu saya kecil masih merupakan alternatif hiburan rakyat selain bioskop dan pusat perbelanjaan. Naik mobil bak terbuka kesayangan papa, saya kecil selalu terlihat gembira dan tak sabar ingin berenang sepuasnya. Tapi, jangan salah, kesukaan saya bermain diair tidak ditunjang dengan keahlian berenang standar. Ya, jujur saya akui, sejak kecil saya hanya bermodal nekad ketika berenang dipantai. Bermodal pelampung karet bekas ban truk yang bisa disewa dipinggiran pantai itu, saya pun nekad berenang sejauh-jauhnya dari bibir pantai. Bangga rasanya ketika mendengar orang lain berkata "tuh nak,lihat itu ada anak seumur kalian, udah berani berenang sendirian ke tengah laut". Menjadi pusat percontohan untuk anak sebaya memang sering membuat saya yang agak haus pujian ini besar kepala, jiahahaha.
Buat saya, ban karet itu sendiri sudah merupakan lambang rasa aman, jaminan keselamatan untuk berenang, padahal kemampuan renang saya saat itu masih jauh dibawah rata-rata. Beda dengan kakak saya yang sengaja kursus dikolam renang umum, sehingga membuat dia jago berenang sejak kecil, saya waktu itu hanya bermodal sedikit nyali untuk bisa bebas bermain di air. Terima kasih kepada orang tua saya yang memfasilitasi kenekadan saya tersebut dan tidak pernah mencoba menakuti saya dengan cerita-cerita anak tenggelam gara-gara membangkang pada larangan orang tua.

Masa sekolah dan kuliah, semakin memperparah hobi saya terhadap air itu. Saya sering sekali bermain ditempat-tempat berbau air, baik sungai maupun pantai (terkadang waduk, sungai kecil didekat rumah atau yah paling minim selokan,hahaha).
Teman-teman sekolah dan kuliah saya pun sering sekali mengadakan kegiatan yang berbau sungai dan pantai. Maklum, kami anak daerah yang kaya tempat wisata air, hohoho (tertawa jumawa).

Walaupun harus saya akui, sebesar apapun nyali saya, kemampuan berenang saya yang dibawah standar alias lebih menjurus ketidak bisa tersebut sering membuat saya ciut acapkali kami harus bermain ditepi sungai arus deras yang mampu menyeret siapa saja yang nekad berenang disana, ataupun berenang ditengah-tengah laut dalam yang sudah tidak nampak dasarnya. Ketika sudah tidak ada lagi ban karet yang bisa saya andalkan, dilengkapi dengan ketidakbisaan saya, seringkali saya hanya bisa melihat dengan iri ketika teman-teman saya terjun bebas ketengah laut. Iri dengan tawa riang mereka yang tidak takut akan tenggelam, bebas menyatu dengan air, dan saya bersumpah, sakit hati melihat keceriaan mereka kala itu hampir mirip ketika melihat mantan pacar menggandeng selingkuhan,jiahahaha (lho benar kan, tenggelam itu kan jadi susah bernapas, panik, dan akhirnya mungkin pingsan, agak mirip lah analoginya, hahaha).

Seperti kata ungkapan "orang-orang berhobi sama pasti akan selalu dipertemukan dengan komunitasnya", saya selalu berkenalan dengan berbagai manusia sesama pencinta air. Ketika saya merantau dipulau Jawa pun, saya tetap mencari kegiatan yang berhubungan dengan air tersebut. Berbagai komunitas jalan-jalan yang sebagian besar menghabiskan waktu liburan mereka mengelilingi berbagai objek wisata pantai seantero Indonesia, membuat hasrat saya akan lautan terpuaskan. Tetapi seperti biasa, rasa iri akan keriaan para teman seperjalanan yang bebas melompat tanpa takut tenggelam juga kerap menghampiri saya, dan semakin banyak perjalanan wisata yang saya lalui, saya pun bertekad, harus bisa, bahkan jago berenang!!! (Ambisi yang lumayan telat untuk anak yang mengaku pencinta berat air seperti saya,hahaha)

Alhamdulillah Puji Tuhan, dengan bergabung dengan salah satu komunitas olahraga diibukota, akhirnya saya benar-benar bisa belajar bagaimana cara berenang yang baik dengan mencontoh cara para senior diolahraga tersebut berenang lincah.

Air, buat saya membawa kedamaian yang abstrak dalam jiwa. Ada keheningan yang nyata, walaupun terkadang diselingi dengan keramaian yang menyeruak ketika saya berada didalamnya. Air, darimanapun asalnya, selalu mampu membuat saya terpesona. Air hujan yang selalu tercurah dari langit, tak usah ditanya, selalu menciptakan momen magis yang jika saya rangkai dalam kumpulan aksara, bisa menjadi pusaran tulisan sarat makna. Air yang mengalir disungai dekat rumah saya, tempat saya sering bermain dulu, maupun air terjun yang membentuk sungai-sungai besar diberbagai penjuru nusantara yang sudah pernah saya kunjungi, selalu berarti kegembiraan yang menjadi kenangan indah. Jangan ditanya apa artinya air yang berasal dari lautan buat saya. Dari semua asal air, air lautan posisinya berkejaran dengan air hujan dihati saya.

Entah mengapa, melihat air yang membentang membentuk lautan itu, berbagai buah pikiran singgah dibenak saya. Seakan air dari lautan itu membawa cerita dari berbagai penjuru dunia, menjadikan samudera sebagai perantara milyaran kisah dari ujung cakrawala.

Berenang pun menjadi salah satu cara untuk bersatu dengan unsur favorit saya itu. Mencoba mengerti, dengan berada didalamnya. Jadi, jangan ditanya betapa sakitnya hati ini ketika saya tidak bisa total bersatu dengannya dikarenakan kemampuan berenang saya yang dulu pas-pasan, sebaliknya betapa gembiranya hati, perasaan, dan seluruh jiwa raga ini ketika saya sudah benar-benar menguasai cara yang bisa membuat saya menyatu dengannya (ok, tampaknya saya jadi terdengar agak lebay,hahaha).

Kemarin, saya berkesempatan untuk mengunjungi kembali pantai tempat keluarga saya dulu bermain. Banyak perubahan terjadi disana. Arus pasang yang membuat air laut lebih mesra mendekati bibir pantai, yang sekarang sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh pemerintah setempat menjadi objek wisata dan tempat makan penganan gorengan khas kota kecil kami, membuat saya sedikit kecewa karena banyak tempat kenangan yang hilang karenanya. Banyak kenangan yang singgah dan bermain sejenak dibenak saya. Kenangan tentang masa kecil, kenangan tentang keceriaan diberbagai pantai, serta tanpa bisa dicegah, kenangan tentang banyak orang yang pernah mampir dihidup saya.

Filosofi air tenang namun menghanyutkan, atau arus liar sungai maupun amukan ombak lautan yang bisa menghantam karang dan menenggelamkan apa
saja , tanpa sadar menjadi cermin perilaku saya selama ini. Belajar mengenal air, sama saja dengan belajar memahami diri saya sendiri. Bagaimana saya yang terlalu angkuh mengaku bahwa bisa berenang, padahal sama sekali nol besar, sampai pada akhirnya mawas diri dan belajar dari awal. Seperti halnya semua ilmu yang telah dikuasai pun, harus selalu dilatih berulang-ulang, untuk mendapatkan hasil maksimal, dan pola yang terekam itulah yang akan jadi pedoman untuk lebih memperdalam, agar benar-benar paham.


Akhirnya saya sadar, air itu sudah mengantar saya ke berbagai hal. Bahkan ketika duduk ditepi pantai, melihat deretan ban karet yang dahulu menjadi pegangan saya (jaminan keamanan bawah sadar untuk mengatasi ketakutan akan tenggelam dan terjebak pada dunia gelap dibawah sana), saya juga jadi mengingat seseorang, yang selalu menjadi "ban karet" saya. Seseorang yang selalu ada ditengah lautan berombak, kala air tak lagi ramah dengan saya.
Perasaan asing disuatu tempat paling menyenangkan yang seharusnya bisa menyatu dengan saya, tetapi sekaligus menjadi tempat paling menyeramkan karena bisa menenggelamkan dan membawa saya ketempat yang sama sekali hampa udara, seketika hilang, karena perasaan aman yang ditawarkan uluran tangan itu. Ketika rasa takut ditukar dengan rasa aman, rasanya tak ada lagi yang dibutuhkan. Sama seperti pelukan yang hanya menawarkan perasaan nyaman, tangan itu pun hanya menawarkan perasaan aman. Tetapi buat saya, aman dan nyaman itu melahirkan kolaborasi perasaan tentram.
Dia, sangat membantu saya dalam mengatasi perang pikiran, antara rasa suka berenang dan murka ketika air bersekongkol untuk menggoda saya.
Jadi, bisa dikatakan, kombinasi dia dan air itu, JUARA!!!
(mulai detik itu, air terutama dalam bentuk lautan, dibenak saya akan identik dengan seseorang. Melihat dia, laksana melihat kumpulan air favorit saya, sama seperti ketika saya kangen dia, cukup lari saja ke pantai terdekat, solusi yang sederhana namun indah kan? ahayyy).

“Water does not resist. Water flows. When you plunge your hand into it, all you feel is a caress. Water is not a solid wall, it will not stop you. But water always goes where it wants to go, and nothing in the end can stand against it. Water is patient. Dripping water wears away a stone. Remember that, my child. Remember you are half water. If you can't go through an obstacle, go around it. Water does.”
― Margaret Atwood



Memoar Pantai Malalayang dipenghujung hari yang cerah.


Manado, 15 Juni 2012 17.43 waktu BB


Ketika angin terbang manja, dan laut tenang seperti biasa.