03/11/13

Soputan, Karena Bahagia Itu Sederhana

Gunung dan Pencinta(alam)nya


“Nta, kamu jadi gak ikut anak-anak mendaki Soputan?”

Bunyi watsap Ican, sahabat nyentrik yang sedang keliling Indonesia dan kebetulan sempat menginap dirumah papa saya di Manado, waktu Lebaran kemarin. Berondongan watsap yang saya terima diatas tempat tidur ketika jam diponsel menunjukkan pukul dua siang itu membuat saya galau. Ican, yang saat itu sudah berada di Ternate, mengusik tidur siang saya yang indah dengan menanyakan kepastian saya untuk mendaki Soputan, salah satu gunung di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia disana. Ican memang tidak setengah-setengah dalam meracuni saya untuk mencoba kegiatan mengguncang adrenalin yang selalu saya hindari ketika berada di ibukota.

Saya memang senang jalan-jalan, datang ke tempat baru yang asing, sekedar untuk menikmati suasana tanpa pemandangan gedung pencakar langit, melarikan diri dari hiruk pikuk ibukota. Namun semua orang yang mengenal saya, pasti tau persis kalau saya seorang pencinta lautan. Istilah kerennya, anak pantai. Gunung, adalah hal tabu bagi saya. Dulu saya main ke gunung sewaktu jaman masih berseragam putih abu-abu, itu pun demi keperluan organisasi pencinta alam ketika saya menjabat sebagai pengurus, juga demi menarik simpati seorang kakak mahasiswa yang waktu itu jadi pembina disekolah kami, hahaha. Selain perjalanan menuju kesana yang membutuhkan ekstra perjuangan dan tenaga, letak gunung yang berada dekat dengan langit itu membuatnya bersuhu dibawah normal alias dingin, dan saya benci dingin!!! Dingin berarti malapetaka bagi saya yang bertubuh ringkih dan selalu didatangi berbagai penyakit ketika berada disuhu tersebut. Kesimpulannya, perjalanan ke gunung itu bukan liburan, karena saya hanya akan menyusahkan diri sendiri dan rekan seperjalanan.

Jangan ditanya tentang kesiapan perlengkapan saya untuk mendaki Soputan. Keputusan berangkat atau tidak saja baru bisa saya ambil beberapa menit setelah membalas “iya, kayaknya aku ikut” ke ponsel Ican, sementara rencana keberangkatan sekitar jam lima sore, sesuai dengan kesepakatan awal. Setelah berpikir “Kapan lagi bisa merayakan hari kemerdekaan Indonesia diatas gunung, toh tahun depan belum tentu kamu bisa bebas kayak sekarang Shin”, saya pun mengeluarkan ransel kuning kesayangan, hadiah ulang tahun dari sahabat saya di Jakarta, mengisinya dengan pakaian yang cukup untuk menginap tiga malam, alat mandi, serta menyediakan ruang kosong yang cukup banyak untuk mengisinya dengan bekal makanan yang belum juga saya beli disupermarket, seperti persiapan yang lazim dilakukan oleh para pendaki gunung yang sudah terbiasa.

Tidak biasanya saya tidak siap ketika akan melakukan sebuah perjalanan. Saya selalu bersemangat ketika hendak ke tempat baru yang belum pernah saya kunjungi. Jujur,ada perasaan kurang bersemangat yang saya rasakan saat itu, mungkin karena waktu itu keadaan hati sedang tidak stabil dan saya sendiri sudah lama tidak melakukan perjalanan dalam rangka liburan (isi otak saya beberapa bulan belakangan memang hanya ada kerja dan kerja). Entah apa yang merasuki otak saya ketika akhirnya saya memberanikan diri untuk menerima tantangan sahabat saya itu. Saya adalah manusia yang sangat mempercayai intuisi, dan hari itu ada perasaan sangat kuat yang membuat saya memutuskan untuk menghubungi Ikar, salah seorang anggota mapala yang direkomendasikan Ican, menyatakan saya siap untuk ikut rombongan mereka mendaki hari itu. Rencananya, kami akan naik truk bersama dengan teman-teman Ikar yang tergabung dalam organisasi Mapala Pah’yaga’an Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) lainnya yang akan turut merayakan hari kemerdekaan di Soputan. Ketika sedang bersiap-siap, tiba-tiba saya ditelpon oleh salah seorang rekan kerja, lagi-lagi masalah pekerjaan, dan membuat saya hampir membatalkan niat mendaki malam itu. Saya akhirnya menelpon Ikar, meminta maaf karena saya tidak bisa ikut dengan rombongan yang akan berangkat sore hari karena tanggung jawab pekerjaan yang harus saya selesaikan hari itu juga, sambil bertanya bagaimana caranya untuk bisa menyusul sendirian kesana. Ikar, yang mungkin masih waras dan tidak akan membiarkan saya yang sok tahu ini mati konyol dengan ide itu, akhirnya memutuskan kami menyusul saja pada malam hari, setelah pekerjaan saya selesai. Horee!!!
 
Perlengkapan saya ke gunung malam itu membuat Ikar tertawa. Betapa tidak, malam itu saya mengenakan celana legging ketat bergambar akar-akar dan bunga mawar, sandal karet berlambang buaya yang anti air berwarna oranye terang, kaus lengan panjang model kerah tinggi plus syal yang saya lilit dileher serta ransel kecil yang penuh berisi makanan ringan, kamera, sarung plus dua buah jaket serta sepasang kaus tangan dan kaus kaki (Ican mewanti-wanti saya tentang alergi dingin yang saya derita). Penampilan yang katanya hanya cocok untuk jalan-jalan ke mall. Tanpa sepatu gunung, tanpa senter (konyol karena kami akan mendaki tengah malam), dan tanpa peralatan mendaki lainnya. Sambil mengamati Ikar mengemasi barang-barangnya, saya pun hanya menyimpan dalam hati kegalauan saya ketika menyadari bahwa saya lupa membawa obat alergi dan persediaan obat cidera lutut. Saya hanya tidak mau menambah kekhawatiran calon teman perjalanan saya yang malam itu tampak siap dengan tenda, senter, kamera, serta beberapa perlengkapan lainnya (Ikar bahkan menyiapkan kantung tidur terwangi seumur hidup buat saya,haha).

Setelah menunggu hampir dua jam di sekretariat Pahyagaan, mengawasi Ikar yang hilir mudik berkemas, memastikan kelengkapan kami, akhirnya saya dan Ikar berangkat menggunakan sepeda motor, tepat jam satu tengah malam, setelah terlebih dahulu berdoa bersama sebelum berangkat yang dipimpin oleh seorang senior di Pahyagaan (saya selalu salut dengan kebiasaan mereka berdoa sebelum berangkat). Perjalanan malam yang tadinya menyiksa karena hawa dingin yang menusuk tulang, lumayan terobati dengan celotehan Ikar yang tak jarang membuat saya terbahak ditengah jalan. Perlahan, kekhawatiran saya mengenai perjalanan ke gunung kali ini memudar, seiring dengan obrolan kami sepanjang perjalanan. Kami sempat memutar arah beberapa kali ketika mencari rombongan mapala Aesculap (mapala Fakultas Kedokteran Unsrat) yang malam itu juga menyusul mendaki Soputan. Ikar yang ternyata juga belum pernah mendaki Soputan melalui jalur desa To’ure, tampak tenang dan terus menghubungi Rifa, ketua rombongan Aesculap. Setelah akhirnya bertemu mereka, yang ternyata semuanya lelaki (dan entah kenapa saya sangat bersyukur ketika itu, menyadari saya bertemu dengan empat calon dokter yang pasti siap sedia dengan obat-obatan plus keahlian mereka bilamana saya semaput ditengah jalan), kami pun melanjutkan perjalanan ke Soputan menggunakan motor, yey!

Mimpi tinggal mimpi, ketika akhirnya sepeda motor yang dikendarai Rifa dan Bryan yang berada didepan kami berhenti dan mereka terlihat hendak memarkirnya. Saya yang dalam hati bersukaria membayangkan perjalanan yang mudah karena menggunakan sepeda motor, langsung loyo menyadari kenyataan kami harus melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Untung saat itu gelap dan satu-satunya sumber penerangan kami hanya senter yang ada dikepala lima lelaki didepan saya, agak memalukan jika mereka bisa melihat dengan jelas raut muka pucat pasi saya yang membayangkan perjalanan mendebarkan (dan yang pasti sangat melelahkan) yang akan kami mulai malam itu. Berbagai pikiran ngawur menghampiri otak saya. Bagaimana kalau saya terpeleset dan jatuh ke jurang? Bagaimana kalau diatas sana ada harimau yang akan memangsa saya yang kegendutan setelah kalap memakan semua hidangan Lebaran kemarin? Bagaimana kalau ternyata diatas ada psikopat yang berniat menghabisi kami para pendaki satu persatu dengan tombak?  Terima kasih Tuhan, terkadang dikaruniai daya imajinasi berlebihan itu sangat tidak membantu dalam situasi seperti ini. Namun, melihat Ikar yang dengan cekatan memakai senter kepala, mengatur tas dipunggung saya agar nyaman, dan hal-hal lain dengan teliti, serta melihat senyum ramah keempat calon dokter yang bahkan belum berkenalan dengan saya waktu itu, saya menguatkan hati saya, dan mengusir semua imajinasi liar tadi. Saya yang hanya berbekal senter korek api gas yang dibeli Ikar dalam perjalanan, disuruh berjalan diposisi ketiga, diapit oleh mereka berlima yang berjalan didepan dan dibelakang saya. Cahaya senter korek api yang seadanya, membuat saya harus ekstra hati-hati pun sukses membuat saya berjalan tertatih-tatih karena beberapa kali terantuk batu dihadapan saya. Baru berjalan sepuluh menit, napas saya sudah turun naik seperti habis lari keliling lapangan bola tujuh kali. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” milik Ican yang biasanya menjadi mantra ajaib saya ketika berada dalam kondisi memprihatinkan, agaknya tidak mempan malam itu. Ikar yang kasihan melihat kondisi saya, memberikan senter dikepalanya untuk saya pakai, dan menyuruh rombongan Aesculap untuk berjalan saja lebih dulu tanpa harus menunggu kami. Sesampainya diketinggian tertentu, saya sedikit terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan oleh cahaya lampu yang berasal dari deretan kampung dikaki gunung Soputan yang malam itu tampak indah sekali. Saya yang tadinya berceloteh sendiri sepanjang perjalanan, mulai berdiam diri, menyadari kegiatan itu hanya akan menghabiskan tenaga sia-sia. 

Sepanjang perjalanan, saya terus merutuki Ican sahabat saya, karena telah berhasil menghasut saya untuk melakukan kegiatan pendakian itu. Saya bersumpah akan meninju si lelaki cantik itu kalau nanti saya menyambangi studionya di Bandung. Ikar pun terus menyemangati saya dengan kalimat-kalimat ala motivator pembangkit semangat. Saya kesal dengan kalimat “Dikit lagi, udah dekat banget” yang selalu dia ulang setiap lima puluh meter kami berjalan, tapi kenyataannya kami tak kunjung tiba. Ditengah perjalanan menuju pos Pinus Satu, kami mendengar suara ribut-ribut. Ikar langsung berjalan mendahului saya dan menyuruh saya untuk berhenti sejenak agar dia bisa bertanya kearah pondokan yang terdengar ramai tadi. Ternyata disitu ada beberapa pendaki senior yang membawa serta keluarga kecilnya untuk turut merayakan peringatan hari kemerdekaan di Soputan. Saya tertegun mendengar penuturan Ikar tentang kebiasaan para pendaki senior itu, yang ternyata setiap tahun selalu membawa keluarga mereka untuk menghadiri upacara 17-an digunung. Teringat kata-kata Ican dulu, bahwa nanti kalau dia menikah dan punya anak, dia ingin membawa keluarga kecilnya untuk mendaki gunung, sama seperti saya yang ingin membawa anak saya nanti berenang dilaut dan berkemah ditepi pantai. Kami sesama petualang punya impian yang sama, ingin mengenalkan alam sejak dini kepada keturunan kami kelak. 

upacara 17-an pertama seumur hidup yang membuat saya nangis terharu,hahaha

Sesampainya kami di Pinus Dua, saya langsung merebahkan badan diatas rumput sambil menutup mata sepersekian detik karena kelelahan. Ketika saya membuka mata, saya melihat banyak sekali bintang dilangit, disela-sela pohon pinus diatas saya. Entah karena faktor kelelahan atau terharu, tidak terasa airmata saya mengalir melihat pemandangan itu. Seketika saya merasa sangat kecil dihadapan Sang Pencipta keindahan. Sebuah ungkapan syukur pertama sejak saya menginjakkan kaki disana. Alhamdulillah. Ikar pun memberitahu bahwa medan selanjutnya berair karena kami akan melewati sungai berarus sedang. Saya pun tetap memakai sandal buaya karet yang konyol itu, tetapi melepas kaus kaki yang tadinya saya pakai. Saya teringat hanya membawa satu celana panjang, yang saat itu sedang dipakai (saya akhirnya memakai celana dua lapis, mengingat suhu gunung yang tidak bersahabat). Dengan berat hati dan menahan malu, saya pun melepas celana panjang yang saya kenakan, dan hanya memakai legging bermotif memalukan itu, demi menjaga celana panjang saya tetap kering, mengingat saya lebih membutuhkannya ketika nanti tidur diatas gunung yang berhawa mematikan (buat saya). 

Ternyata saya memang anak air!!! Melewati medan berair selama hampir sejam, pada waktu hampir menunjukkan pukul empat subuh, saya malah seperti disuntikkan suplemen penambah energi. Semangat saya bertambah berkali lipat melewati sungai kecil yang kadang jernih kadang berlumpur itu. Tak ada rasa lelah sama sekali, hanya perasaan riang ketika kaki lagi-lagi menyentuh air sungai. Saya bahkan menolak ketika Ikar menyuruh saya memilih jalur disamping sungai yang kering. Ikar hanya tersenyum melihat kelakuan saya yang seperti anak kecil bermain-main dengan air sungai pada jam ayam jago bersiap untuk dinas pagi. Ketika kami beristirahat sejenak sebelum mencapai lokasi perkemahan, kami bertemu dengan beberapa pendaki, yang beberapa anggotanya juga wanita. Mereka melihat celana legging saya dengan takjub. Melihat itu, saya bertanya pada Ikar apakah dia tidak malu ketika berjalan dengan saya yang berdandan ajaib kala itu, dan jawaban ngawurnya membuat saya ingin terbahak namun terpaksa menahannya karena tidak ingin mengusik “penghuni” gunung dengan suara tertawa saya yang lantang. “Aku juga terkadang memakai legging panjang kok kalo ke gunung, kan yang penting keselamatan, daripada kaki tergores dimana-mana, makin susah jalannya kalau luka”. Membayangkan Ikar yang bertampang ala tentara Mongolia kelebihan berjemur, rambut gondrong diikat ala samurai, dan bercelana legging ala Cherrybelle, membuat saya hampir terjungkal ke sungai karena menahan luapan tertawa.

Setiba dilokasi perkemahan, saya terkejut melihat banyaknya tenda yang sudah terlebih dahulu didirikan disana. Suasana yang lebih mirip perumahan subsidi pemerintah daripada lokasi perkemahan, saking banyaknya tenda disitu. Warna warni tenda-tenda tersebut seperti menggambarkan Indonesia yang juga terdiri dari beragam suku, yang membuat negara ini semakin semarak dengan keberagaman yang ada. Saya yang melihat pemandangan itu langsung antusias membayangkan keseruan upacara kami pada pukul sepuluh pagi nanti. Rifa yang ternyata lumayan terkenal dikalangan anak pendaki, langsung menyapa kanan kiri, layaknya pak Lurah yang sedang menyambangi warganya. Lain dengan Ikar yang waktu itu langsung mencari lokasi tempat teman-teman sesama mapala Pah’yaga’an yang telah terlebih dahulu berangkat sore kemarin. 

warna warni tenda "Nusantara"


Sesuatu yang menyenangkan memang membuat kita bisa lupa akan keadaan. Waktu hanya kumpulan angka yang tidak terlalu dipedulikan. Tiga hari dua malam saya habiskan waktu bersama para pendaki di Soputan. Derai tawa dan candaan mengalir lepas diantara kami, membuat saya tetiba dirasuki perasaan nyaman. Kegiatan mendaki puncak Soputan yang melelahkan (dan membuat saya berjanji untuk lebih rajin olahraga), serta masak memasak dan bersenda gurau didepan api unggun, menihilkan perasaan stres akut yang melanda pikiran. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” dan “Edelweiss” karya Ican pun selalu didendangkan disana, diiringi petikan gitar mini kesayangannya yang sengaja dititipkan kepada para “keluarga” barunya di Manado, menemani saya yang menikmati hamparan bintang yang terasa dekat ketika berada diatas gunung. 

Api Unggun, dapur dan ruang keluarga bagi para pendaki :')


Saya terharu melihat rasa persaudaraan para pencinta alam yang kuat selama saya berada disana. Rasa solidaritas yang terlihat nyata dihadapan saya, keramahan yang tidak dibuat-buat, kebaikan tanpa tendensi apa-apa, tanpa harus memperhitungkan untung rugi seperti yang kerap terjadi dikota-kota besar. Mereka menghargai alam dengan tulus, tertawa dan bergembira bersama sesama pencinta alam yang baru mereka temui diatas gunung, pemandangan tak ternilai yang jarang saya lihat di ibukota, dimana manusia dinilai berdasarkan latar belakang serta tingkat ekonomi mereka. Aroma kopi dan mie instan, santapan sederhana yang menjadi mewah karena disantap dengan rasa kebersamaan yang indah. 

rombongan pengacau Soputan :')

Mungkin memang saya harus sering-sering naik gunung. Aura positif yang saya bawa dari Soputan, membuat saya sedikit lebih santai dalam menjalani hidup. Melihat segala sesuatu itu dari berbagai sisi, menghargai setiap langkah yang saya capai setiap hari, memaknai setiap peristiwa yang terjadi. Mensyukuri sekecil apapun nikmat dan karunia Pencipta yang selama ini kurang saya maknai. Bahkan sepulangnya dari gunung Soputan, saya yang dijuluki “shio bantal” karena selalu gagal bangun pagi, bisa menikmati hangatnya mentari pagi karena selalu sukses terjaga setiap jam enam pagi.

“Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahi dan jangan pernah takut melangkah, hanya karena dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya” –Soe Hok Gie-

“Cieee….yang baru turun gunung. Jadi udah menemukan tempat untuk pulang nih sekarang?” ledek Ican ketika saya menelpon bocah sableng itu, sepulangnya saya dari Soputan. Ingin rasanya saya menimpuknya dengan sendal, sekaligus memeluknya sampai dia terbatuk-batuk, sebagai ganjaran karena memaksa saya “mengenal” gunung. Ikatan persahabatan yang membuatnya mengenal saya dengan baik, menjadi dasarnya dalam memaksa saya untuk belajar tentang makna hidup melalui hal yang saya anggap mustahil sebelumnya. Gunung dan pencintanya, mengobati luka saya yang menganga tentang kehidupan. Mengajari saya bahwa mengejar suatu keinginan yang besar itu memang tidak mudah, namun setidaknya itu bernilai pada akhirnya. Kita akan bertumbuh dewasa, ketika kita merubah presepsi tentang hal yang tadinya kita anggap susah. Ternyata, bahagia itu sederhana.

Jakarta, 3 November 2013 20:20 WIB

Diatas kasur kamar tercinta, ketika jemari menari ditemani suara merdu sang sahabat yang sedang onair di radio internet mempromosikan lagu single terbarunya. 

karena bahagia itu sederhana

2 komentar:

  1. Saya bener-bener menikmati tulisan ini, dan foto pertama bener-bener jadi bikin kangen naik gunung lagi. Suasana persahabatan seperti itu yang selalu dicari. Betewe Ican itu Bang Fiersa Besari kah? Saya sukak lagu-lagunya hehehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, iya banget!!! Itu obat hati yang sederhana tapi "mahal" nilainya buat saya :') ayooo naik gunung lagi (sok iye, padahal dengkul gemeteran, hahaha). Iya, Ican itu Fiersa Besari, si racun yang berhasil ngenalin "keindahan dunia dari sisi yang berbeda" berupa gunung ke saya. Ah, senangnya nemu penulis dan petualang yang juga jadi penikmat karyanya :')

      Hapus