11/05/11

65 Tahun Abdul Rauf Saloewa: Napak Tilas dimata anak-anaknya

Papa, begitu sosok gagah bertinggi 181cm dengan berat 70 kg itu akrab saya sapa.

Sejak kecil, saya tidak begitu akrab dengan papa, karena papa sosok yang pendiam. Jauh dari kesan hangat. Saya malah sempat iri mendengar penuturan teman-teman sekantornya dulu, bahwa betapa lucunya bayolan papa dikantor. Bayangkan, sosok dingin nan pendiam dirumah itu, menjadi seorang pelawak penuh humor dimata teman-temannya. Anak mana yang tidak akan iri mendengarnya. Tanpa sadar, karakter saya pun terbentuk seperti layaknya papa. Menjadi sosok yang cuek dirumah sendiri, tetapi sosok yang super gaul dimata teman-teman saya. Bahkan, tanpa saya dan kakak sadar, sosok lelaki tenang dan misterius seperti papa yang menjadi kriteria kami dalam mencari pendamping, hahaha. Sosok yang kata mama sulit dimengerti tapi bersorot mata meminta dipahami. Jadi, merupakan suatu kesempatan yang langka jika kami anggota keluarga inti bisa membuat papa sekedar tersenyum apalagi tertawa.

Saya, sebenarnya merupakan anak ketiga, kalau saja kakak kedua saya tidaklah meninggal dalam kandungan mama pada umur 5 bulan. Mungkin papa mengharapkan anak laki-laki yang bisa menemani beliau membetulkan genteng, lari pagi kemudian memancing ikan dipantai atau sekedar bermain badminton sore-sore. Dulu banyak saudara kami yang berkelakar "sebenarnya yang diharapkan lahir itu lelaki, nanti mo dinamain Sandi. Eh, yang lahir kamu". Sempat berpikir, cueknya papa kepada saya, karena saya bukan anak lelaki yang dia harapkan hadir sebagai miniatur dirinya.

Papa, ibarat nomer telepon siaga 24 jam. Mempunyai slogan "SIAGA dan LAKSANAKAN". Genteng bocor, tinggal teriak "Pa, genteng bocor". Ledeng rusak "Pa, air gak ngalir". Gigi goyang waktu kecil "Pa, cabut giginya ade". Tanaman mati "Pa, itu tanaman kok mati? Diapain yak?". Lemari bermasalah "Pa, lemari ade rusak, gimana enehhh?". Mobil mati "Pa, apanya mobil yang rusakkk?". Tugas prakarya sekolah "Pa, anterin beli bahan. Ajarin bikin prakarya". Pengen warna baru dikamar "Pa, tolong cat kamar donk". Mama pulang kantor "Pa, udah dimana? Mama udah selesai bih". Kakak butuh rak jilbab "Pa, bikinin rak besi yang dari kawat itu yak". Televisi rusak "Pa, ini tipi apa antena yang rusak?". Guci pecah "Pa, guci mama jatohhh". Butuh surat-surat dari kampus "Pa,tolong ke kampus, ade mo legalisir ama daftar-daftar". KTP abis masa berlaku "Pa, tolong urusin KTPnya ade". Mo pulang ke Manado "Pa, jemput dibandara". Bungkusin oleh-oleh "Pa, tolong bungkusin sama sekalian diiket tali rafia biar kencang dan rapi trus enak dipegangnya". Papa, sosok pendiam yang selalu mengedepankan "action". Tanpa banyak bicara, papa selalu berusaha mengerjakan semua kewajiban beliau tanpa diminta oleh mama dan kami anak-anaknya. Seperti memindahkan saya yang tertidur dikursi ke kamar tidur tanpa diminta oleh mama, dan mencuci sendiri semua pakaiannya ketika pembantu kami sedang sakit.

Papa memang pendiam, tetapi tidak ada istilah demokrasi apabila papa sudah bertitah. Waktu kecil, ketika televisi dirumah kami cuma 1, saya selalu mengutuk papa dalam hati, karena selepas isya, papa selalu menonton "Siaran Pedesaan" (membuat Shinta kecil lebih menguasai pelajaran IPS daripada Matematika, dan bermimpi bisa keliling Indonesia) dan "Dunia Dalam Berita" (membuat Shinta kecil mengetahui banyak hal tentang perang, politik dan kesenjangan sosial, ketika anak lain masih sibuk dengan kartun jaman dulu) dan siaran kegemarannya papa ini tidak bisa diganggu gugat, tidak pernah berubah, setiap hari, selama bertahun-tahun. Terpaksa, kakak memilih belajar atau membaca buku, dan saya yang malas belajar, akhirnya ikut menonton siaran itu, sambil sesekali bertanya tentang isi acara tersebut, yang seringnya hanya dijawab dengan suara "hmmm". Kebiasaan tidak menjawab pertanyaan anak seperti itu, membuat seorang Shinta kecil bertekad bahwa nanti ketika punya anak, akan jadi orang tua yang senang bercerita dan menjelaskan segala bentuk pertanyaan dari anaknya kelak (untuk orang-orang terdekat saya, sekarang pasti mengerti kenapa saya senang sekali menjadi seorang "story teller").

Menjelang dewasa, barulah saya menyadari betapa papa berusaha untuk dekat dan bersosialisasi dengan teman-teman saya. Mungkin salah satu usaha beliau untuk mengenal putri bungsunya yang sejak kecil tidak begitu akrab dengannya, melalui kacamata orang-orang terdekat. Dikalangan teman-teman saya, papa dikenal sebagai papa yang mau membaur dengan teman-teman saya. Para mantan pacar saya juga bisa dibilang akrab dengan papa. Mereka bercerita dan terkadang tertawa bersama. Mungkin dia menemukan sosok anak lelaki impiannya dulu.Peristiwa meninggalnya mama karena sakit yang dideritanya selama dua tahun juga membuat saya semakin yakin bahwa papa adalah mahluk Tuhan yang dikaruniai kedataran emosi tingkat tinggi. Ada untungnya sifat diamnya kala itu. Meredam emosi orang yang sedang menderita sakit seperti mama, tidak bisa dihadapkan dengan orang-orang berdarah panas seperti saya dan kakak. Papa, lagi-lagi mendapat predikat "suster terbaik" dimata orang-orang yang melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana cara papa menemani dan merawat mama. Bahkan ketika mama meninggal dirumah sakit ibukota, dan proses membawa jenasah mama kembali ke kampung halaman kami membutuhkan tenaga dan kesabaran tambahan, papa pun dengan sigap mengurus segalanya, dimana saya waktu itu hanya sibuk tertawa-tawa dengan para sahabat yang datang melayat, sebagai kamuflase, mengusir duka tanda rasa tidak percaya akan kepergian mama. Selama seminggu acara pemakaman dilanjutkan dengan berbagai ritual keagamaan, Papa, lagi-lagi hanya terus diam, berwajah datar, sesekali mengatakan kepada kerabat yang datang melayat "mohon dimaafkan kesalahan ibu yah". Entah apa yang tersembunyi dibalik wajah datar beraura duka itu.

Satu kejadian yang membuat saya terharu, ketika suatu hari saya yang sudah menetap di ibukota, menelpon beliau untuk meminta tolong dibelikan bedak khusus wajah yang sejak dulu memang hanya saya temukan didaerah asal saya. Dua hari berikutnya sampailah paket yang ditujukan kepada "Shinta Irawatie Saloewa, SE". Dahi saya mengenyit heran, kenapa nama yang diketik menggunakan mesin ketik manual itu dibubuhi gelar sarjana saya.Ketika saya menelpon untuk mengabarkan bahwa paket itu sudah sampai, saya bertanya "Kok namanya ada gelar segala?" Dan dijawab dengan nada perlahan "Nda apa-apa De, papa cuma bangga menulis gelar kamu, biar orang lain tau, pegawai biasa kayak papa dan almarhumah mama juga bisa nyekolahin anaknya sampai sarjana"... Jrengggg... tak terlukiskan perasaan saya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sosok pendiam itu. Singkat dan sederhana, tetapi mampu membuat saya tersenyum dan menitikkan airmata. Sepintas terbayang kejadian dua tahun yang lalu ketika akhirnya saya diwisuda setelah dua tahun lamanya cuti kuliah. Papa, dengan senyum sumringah, untuk pertama kali memeluk saya dengan bangga didepan semua orang dan berkata "Selamat De, Papa senang sekali, Mama juga pasti akhirnya tenang disana". Kalau tidak ingat riasan wajah saya akan belepotan padahal belum berfoto studio, mungkin akan terjadi adegan sinetron yang sarat airmata dan raungan (halah).

Dalam beberapa hal, papa memang otoriter. Tetapi dalam hal menentukan pilihan masa depan anak-anaknya, papa membebaskan kami anak-anaknya untuk memilih. Papa tidak pernah terobsesi menjadikan kami ini dan itu. Pernah suatu ketika terjadi perdebatan kecil antara saya, papa dan alm mama tentang pilihan saya dalam memilih pasangan yang waktu itu berbeda prinsip. Alm mama bersikeras untuk tidak boleh dengan alasan macam-macam, seakan lupa dengan pengalamannya sendiri, rela mengalah dengan prinsipnya demi hidup bersama orang yang dicintai. Papa, dikala itu hanya bertanya satu kalimat "Selama 16 tahun kami nyekolahin kamu di bangku pendidikan formal, ada pendidikan tentang agama yang kita anut kan?". Saya jawab "Ada Pa. Knapa emang?". Papa cuma menjawab "Bagus, maka sekarang kalau kamu berkeputusan apapun, kami orang tua toh sudah menyekolahkanmu,dan mempercayakan dirimu dididik oleh orang2 yang lebih paham agama dibanding kami. Semua terserah padamu sekarang, apa yang terbaik menurutmu, sesuai dengan apa yang sudah kamu cerna dan pelajari". Sejenak saya terdiam, dan lebih dari dua bulan berpikir arti kalimat pendek penuh makna itu, lalu akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan saya itu.Seingat saya, papa tidak pernah mengajarkan saya tata cara sholat dan mengaji, tetapi bersama mama, papa mencarikan kami guru-guru terbaik untuk memberikan kami pengajaran dan pengertian, sehingga agama bukan hanya menjadi sekedar warisan turunan orangtua melainkan menjadi suatu prinsip hidup yang dianut berdasar pelajaran, pengamalan dan pengalaman.

Pun ketika satu setengah tahun yang lalu saya memutuskan untuk keluar dari zona nyaman saya, yaitu berhenti dari pekerjaan saya yang terbilang mampu menyokong hidup foya-foya dan berencana memakai tabungan saya untuk berkelana mencari jatidiri, dimana kakak saya sedikit terkejut sehingga agak histeris ditelepon, ayah saya seperti biasa hanya berkomentar dengan suaranya yang datar "Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah bulat. Asal tetap bertanggung jawab pada diri sendiri. Mudah-mudahan ketemu hikmah dalam setiap kejadian". Ahhh...

Falsafah papa yang akan selalu saya ingat adalah "Kita tidak akan pernah miskin, jika kita mengikhlaskan sebagian harta kita untuk sekedar membantu orang lain, dan jangan pernah, sekalipun dalam hati, berharap balasan, sekecil apapun, bahkan dalam bentuk doa dalam hatipun".

Saya pun baru mengetahui kira-kira setahun yang lalu, kalau sewaktu muda, papa adalah seorang mantan wartawan, senang membaca dan menulis, senang memakai batik dan senang bertualang keberbagai daerah (haha, agak mirip dengan seseorang yang saya kenal). Sejak muda, papa sudah merantau untuk sekolah diluar kampung halamannya. Beda jenjang sekolah, beda pula daerahnya. Tidak heran papa menguasai bahasa Makassar, Bugis, dan Jawa (daerah tempat menuntut ilmu), selain bahasa Gorontalo (tempat lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak) dan bahasa Manado (tempat menetap hingga saat ini). Mungkin kalau nanti saya berjodoh dengan lelaki dari belahan benua lain, dan memboyong papa, bisa jadi papa akan menguasai bahasa tempat barunya tersebut (jiahaha, aminnn yak Pap).

Sampai detik ini pun, oleh-oleh dan semua pemberian saya yang disenangi papa adalah baju-baju batik, sendal berlambang buaya yang super ringan yang lagi ngetren sekarang, dan yang paling dia sukai (terlihat dengan senyum dan ketekunan dia "menghabiskan waktu" bersama hadiah itu) adalah buku-buku novel fiksi maupun novel sejarah hasil buruan saya pada saat toko buku favorit saya sedang diskon besar-besaran. Sejak kecil, ada 3 hal yang selalu mendapat dukungan dari papa, dan papa pun tidak segan-segan mengeluarkan uangnya yang sebenarnya pas-pasan itu untuk mendidik kami akan hobinya tersebut. Buku, Fashion, dan fotografi. Intinya, papa ingin mengajarkan kami anak-anaknya untuk senang membaca, sempurna dalam penampilan, dan mengabadikan setiap cerita hidup dalam bentuk gambar kenangan (saya dan kakak mengenal kamera manual sejak kami duduk dibangku sekolah dasar). Dan sangat saya akui, selera papa dalam ketiga hal tersebut yang membentuk hobi dan karakter saya sekarang.

Sosok gagah dan klimis itu kini sudah mulai menua. Perlahan menyerah pada usia yang membuat rambutnya beruban dan kulit mengeriput diberbagai sisi tubuhnya. Kesehatannya pun sudah mulai menurun, walaupun beliau masih rajin berolahraga lari pagi sendirian ditepi pantai dan rutin mengkonsumsi jamu serta madu andalannya. Sorot mata misterius khas dirinya pun sudah mulai melemah, seiring dengan keletihannya bertarung dengan dunia.

"Siapa ayah saya bukanlah masalah, yang terpenting adalah bagaimana ayah saya ketika saya mengingat dia. - Anne Sexton"

Saya, maupun kakak perempuan saya memang tidak pernah mengidolakan papa sejak dulu. Tidak pernah tercipta kedekatan yang cukup berarti diantara kami. Tidak terbiasa berakrab ria melalui pelukan hangat dan canda tawa ramai. Tetapi satu yang pasti, kami Shinta Irawatie Saloewa dan Santi Arwatie Saloewa, akan selalu menghargai segala kekurangan dan mencintai semua kelebihan seseorang yang telah menghadirkan duo cantik dan cerewet ini. 11 Mei 1946 - 11 Mei 2011. Selamat Ulang Tahun Papa, yang kami sebut dengan hormat, Bapak Abdul Rauf Saloewa. Doa kami Pa, untukmu agar tetap sehat dan terus bahagia. Amin...

Jakarta, 18 Mei 2011 23:42
*kamar papa mama diibukota, koja-tanjung priuk

*Untukmu papa, juga mama, kami ada, berdoa, berusaha, dan berkarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar