Kemarin, ketika aku pulang untuk
berlebaran dirumah papa, sekali lagu aku bertemu dengan wadah minuman bergambar
Angry Bird berwarna kuning transparan yang kamu hadiahkan. Hadiah yang
dibungkus dengan kertas kado bergambar peta dunia dan kompas berwarna coklat
muda, seakan menggambarkan sosokmu yang lembut dan pengembara. Hadiah yang
berpindah tangan terlambat dua hari dari hari ulang tahunku. Hadiah yang
membuatku tertawa karena makna burung pemarah nan cerewet itu seakan
menggambarkan sosokku dimatamu. Hadiah yang kamu tempeli secarik kertas berisi
pesan singkat yang membuat pelupuk mataku seketika menghangat. Hadiah yang
sengaja kubawa pulang, agar aku bisa mengingatmu ditanah kelahiranku. Hadiah yang
sampai detik ini tak pernah kubuka plastik pembungkusnya, karena aku ingin
mengabadikan jejakmu lewat si Burung Pemarah itu.
Tulisan ini, kubuat ketika sinar mentari masih terlihat ketika aku melongok keluar jendela. Untukmu, tak
perlu menunggu malam untuk sekedar menuliskan secarik kisah. Inspirasi tentangmu
berlarian sepanjang waktu, seperti aku yang selalu melihatmu disetiap ciptaan
Tuhan yang berlalu lalang disekitarku. Bangun pagi dibulan kesebelas
dipenghujung tahun, bulan dimana kita sama-sama dilahirkan untuk meramaikan
semesta, bulan yang selalu dihiasi hujan, sontak membuat pikiran melayang,
menembus ruang, mencarimu disudut ingatan.
Mendengar nama unikmu, aku jatuh
cinta. Kata pujangga, apalah arti sebuah nama. Tapi karenamu, aku bertekad
nanti akan menamai keturunanku dengan nama yang akan selalu dikenang oleh
orang-orang yang mengenal mereka. Nama yang sangat Nusantara, yang menandakan
identitas kita kemanapun kaki melangkah. Katamu, sepenuh apapun cap dipasspor
kita nanti, petugas berbagai bangsa akan langsung mengenali tanah air kita yang
indah hanya dari melihat nama yang tertera.
Melihat senyum teduhmu, aku jatuh
cinta. Simpul bibir yang merekah perlahan, pemandangan langka yang kulihat sembunyi-sembunyi
melalui sudut mata, ketika kita bergantian menyetir mobil, dimalam pertama kita
berjumpa. Aku bahkan mengabadikan momen “permintaan pertemanan” yang kamu
kirimkan malam itu juga di ponsel kuning kesayanganku, demi merasakan perasaan
nyaman ketika melihat senyum itu lagi dimanapun, tanpa harus sembunyi seperti
pencuri.
Kamu ibarat permen gulali, polos
dan klasik, namun selalu berhasil memaniskan dunia. Khayalan liar kita yang
terangkai melalui banyak celotehan dimalam panjang yang membuat aku tak lagi
peduli dengan satuan waktu. Gambar dirimu yang bertopang dagu dilayar ponselku,
selalu berhasil meminimalisir perasaan kalutku menghadapi ganasnya dunia. Pelukan
menentramkan lewat media kata penuh cerita dan sorot mata selalu yang sama. Aku
menjulukimu mentari yang bersahabat dengan bintang, bersinar dikala malam,
terang tanpa harus berselisih paham. Menghangatkan dinginnya suasana dengan
pijarmu yang tidak biasa, karena dari dulu kamu selalu mengatakan menjadi
seragam itu membosankan. Seperti cintaku yang sejak awal sudah terkatakan, dan
kamu tak pernah menganggapnya hina. Buatmu, cinta itu bahan bakar kehidupan
fana, merasakannya adalah sebuah anugerah, mendapatkannya bukanlah sebuah
bencana.
Kamu tidak suka memotret manusia,
pun menulis tentang mahluk Tuhan yang (katanya) paling sempurna. Bertolak belakang
denganku yang suka sekali dengan tema itu. Katamu ciptaan Tuhan itu tak lagi
elok jika terlalu sering diumbar. Sejak dulu aku ingin sekali memotretmu memakai
kemeja kotak-kotak kegemaranmu. Kesederhanaan penampilan yang menjadi ciri
khasmu, telah lama ingin kuabadikan lewat tulisan. Aku pernah berkelakar,
tentang ide menempatkan gambar dirimu didompetku, sebagai obat rindu. Delikan mata
penuh murka darimu, kubalas dengan lantangnya suara tawa, luapan kegembiraan
yang sukar kutahan.
Kepadamu, pengembara bangsaku, mohon
ijinkanku merangkai sedikit kenangan. Maaf jika namamu tidak kucantumkan
disini. Kearifan sosokmu tak butuh dipamerkan, seperti kisahmu yang selalu
menjadi misteri bagi seorang perempuan yang dulu pernah larut dalam malam-malam
penuh impian. Sebab bukan asmara yang menjadi latar kisah kita, melainkan
romansa perjumpaan dua anak manusia yang dirangkai menjadi drama satu babak
oleh Sang Sutradara Kehidupan.
“Aku cari kamu disetiap malam yang
panjang. Aku cari kamu disetiap bayang kau tersenyum. Kucari kamu dalam setiap
jejak. Seperti aku yang menunggu kabar dari matahari” *Kucari
Kamu – Payung Teduh*
Teruslah berkarya, duhai lelaki
mengagumkan. Lihatlah dunia melalui mata elang dan lensa yang selalu kamu
banggakan itu. Kabarkan cerita tentang ujung cakrawala melalui kicauan pena
yang menjadi senjata andalanmu. Selamat Bertambah Usia, wahai lelaki pemetik
mimpi. Dariku, hanyalah seuntai doa dan sejuta rasa cinta, agar kamu tetap
sehat dan bahagia.
Jakarta, 4 November 2013 17:11 WIB
Duduk manis di cafe kopi, tanpa memesan semua hal yang berbau kopi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar