Gunung dan Pencinta(alam)nya |
“Nta,
kamu jadi gak ikut anak-anak mendaki Soputan?”
Bunyi
watsap Ican, sahabat nyentrik yang sedang keliling Indonesia dan kebetulan
sempat menginap dirumah papa saya di Manado, waktu Lebaran kemarin. Berondongan
watsap yang saya terima diatas tempat tidur ketika jam diponsel menunjukkan
pukul dua siang itu membuat saya galau. Ican, yang saat itu sudah berada di
Ternate, mengusik tidur siang saya yang indah dengan menanyakan kepastian saya
untuk mendaki Soputan, salah satu gunung di daerah Minahasa, Sulawesi Utara,
untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia disana. Ican memang
tidak setengah-setengah dalam meracuni saya untuk mencoba kegiatan mengguncang
adrenalin yang selalu saya hindari ketika berada di ibukota.
Saya
memang senang jalan-jalan, datang ke tempat baru yang asing, sekedar untuk
menikmati suasana tanpa pemandangan gedung pencakar langit, melarikan diri dari
hiruk pikuk ibukota. Namun semua orang yang mengenal saya, pasti tau persis
kalau saya seorang pencinta lautan. Istilah kerennya, anak pantai. Gunung,
adalah hal tabu bagi saya. Dulu saya main ke gunung sewaktu jaman masih
berseragam putih abu-abu, itu pun demi keperluan organisasi pencinta alam
ketika saya menjabat sebagai pengurus, juga demi menarik simpati seorang kakak
mahasiswa yang waktu itu jadi pembina disekolah kami, hahaha. Selain perjalanan
menuju kesana yang membutuhkan ekstra perjuangan dan tenaga, letak gunung yang
berada dekat dengan langit itu membuatnya bersuhu dibawah normal alias dingin,
dan saya benci dingin!!! Dingin berarti malapetaka bagi saya yang bertubuh
ringkih dan selalu didatangi berbagai penyakit ketika berada disuhu tersebut.
Kesimpulannya, perjalanan ke gunung itu bukan liburan, karena saya hanya akan
menyusahkan diri sendiri dan rekan seperjalanan.
Jangan
ditanya tentang kesiapan perlengkapan saya untuk mendaki Soputan. Keputusan
berangkat atau tidak saja baru bisa saya ambil beberapa menit setelah membalas
“iya, kayaknya aku ikut” ke ponsel Ican, sementara rencana keberangkatan
sekitar jam lima sore, sesuai dengan kesepakatan awal. Setelah berpikir “Kapan
lagi bisa merayakan hari kemerdekaan Indonesia diatas gunung, toh tahun depan
belum tentu kamu bisa bebas kayak sekarang Shin”, saya pun mengeluarkan ransel
kuning kesayangan, hadiah ulang tahun dari sahabat saya di Jakarta, mengisinya
dengan pakaian yang cukup untuk menginap tiga malam, alat mandi, serta
menyediakan ruang kosong yang cukup banyak untuk mengisinya dengan bekal
makanan yang belum juga saya beli disupermarket, seperti persiapan yang lazim
dilakukan oleh para pendaki gunung yang sudah terbiasa.
Tidak
biasanya saya tidak siap ketika akan melakukan sebuah perjalanan. Saya selalu
bersemangat ketika hendak ke tempat baru yang belum pernah saya kunjungi.
Jujur,ada perasaan kurang bersemangat yang saya rasakan saat itu, mungkin
karena waktu itu keadaan hati sedang tidak stabil dan saya sendiri sudah lama
tidak melakukan perjalanan dalam rangka liburan (isi otak saya beberapa bulan belakangan
memang hanya ada kerja dan kerja). Entah
apa yang merasuki otak saya ketika akhirnya saya memberanikan diri untuk
menerima tantangan sahabat saya itu. Saya adalah manusia yang sangat
mempercayai intuisi, dan hari itu ada perasaan sangat kuat yang membuat saya
memutuskan untuk menghubungi Ikar, salah seorang anggota mapala yang
direkomendasikan Ican, menyatakan saya siap untuk ikut rombongan mereka mendaki
hari itu. Rencananya, kami akan naik truk bersama dengan teman-teman Ikar yang
tergabung dalam organisasi Mapala Pah’yaga’an Fakultas Teknik Universitas Sam
Ratulangi (Unsrat) lainnya yang akan turut merayakan hari kemerdekaan di
Soputan. Ketika sedang bersiap-siap, tiba-tiba saya ditelpon oleh salah seorang
rekan kerja, lagi-lagi masalah pekerjaan, dan membuat saya hampir membatalkan
niat mendaki malam itu. Saya akhirnya menelpon Ikar, meminta maaf karena saya
tidak bisa ikut dengan rombongan yang akan berangkat sore hari karena tanggung
jawab pekerjaan yang harus saya selesaikan hari itu juga, sambil bertanya bagaimana
caranya untuk bisa menyusul sendirian kesana. Ikar, yang mungkin masih waras
dan tidak akan membiarkan saya yang sok tahu ini mati konyol dengan ide itu,
akhirnya memutuskan kami menyusul saja pada malam hari, setelah pekerjaan saya selesai.
Horee!!!
Perlengkapan
saya ke gunung malam itu membuat Ikar tertawa. Betapa tidak, malam itu saya
mengenakan celana legging ketat bergambar akar-akar dan bunga mawar, sandal
karet berlambang buaya yang anti air berwarna oranye terang, kaus lengan panjang
model kerah tinggi plus syal yang saya lilit dileher serta ransel kecil yang
penuh berisi makanan ringan, kamera, sarung plus dua buah jaket serta sepasang
kaus tangan dan kaus kaki (Ican mewanti-wanti saya tentang alergi dingin yang
saya derita). Penampilan yang katanya hanya cocok untuk jalan-jalan ke mall.
Tanpa sepatu gunung, tanpa senter (konyol karena kami akan mendaki tengah
malam), dan tanpa peralatan mendaki lainnya. Sambil mengamati Ikar mengemasi
barang-barangnya, saya pun hanya menyimpan dalam hati kegalauan saya ketika
menyadari bahwa saya lupa membawa obat alergi dan persediaan obat cidera lutut.
Saya hanya tidak mau menambah kekhawatiran calon teman perjalanan saya yang
malam itu tampak siap dengan tenda, senter, kamera, serta beberapa perlengkapan
lainnya (Ikar bahkan menyiapkan kantung tidur terwangi seumur hidup buat
saya,haha).
Setelah
menunggu hampir dua jam di sekretariat Pahyagaan, mengawasi Ikar yang hilir
mudik berkemas, memastikan kelengkapan kami, akhirnya saya dan Ikar berangkat
menggunakan sepeda motor, tepat jam satu tengah malam, setelah terlebih dahulu
berdoa bersama sebelum berangkat yang dipimpin oleh seorang senior di Pahyagaan
(saya selalu salut dengan kebiasaan mereka berdoa sebelum berangkat).
Perjalanan malam yang tadinya menyiksa karena hawa dingin yang menusuk tulang,
lumayan terobati dengan celotehan Ikar yang tak jarang membuat saya terbahak
ditengah jalan. Perlahan, kekhawatiran saya mengenai perjalanan ke gunung kali
ini memudar, seiring dengan obrolan kami sepanjang perjalanan. Kami sempat
memutar arah beberapa kali ketika mencari rombongan mapala Aesculap (mapala
Fakultas Kedokteran Unsrat) yang malam itu juga menyusul mendaki Soputan. Ikar
yang ternyata juga belum pernah mendaki Soputan melalui jalur desa To’ure,
tampak tenang dan terus menghubungi Rifa, ketua rombongan Aesculap. Setelah
akhirnya bertemu mereka, yang ternyata semuanya lelaki (dan entah kenapa saya
sangat bersyukur ketika itu, menyadari saya bertemu dengan empat calon dokter
yang pasti siap sedia dengan obat-obatan plus keahlian mereka bilamana saya
semaput ditengah jalan), kami pun melanjutkan perjalanan ke Soputan menggunakan
motor, yey!
Mimpi
tinggal mimpi, ketika akhirnya sepeda motor yang dikendarai Rifa dan Bryan yang
berada didepan kami berhenti dan mereka terlihat hendak memarkirnya. Saya yang
dalam hati bersukaria membayangkan perjalanan yang mudah karena menggunakan
sepeda motor, langsung loyo menyadari kenyataan kami harus melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Untung saat itu gelap dan satu-satunya sumber
penerangan kami hanya senter yang ada dikepala lima lelaki didepan saya, agak
memalukan jika mereka bisa melihat dengan jelas raut muka pucat pasi saya yang
membayangkan perjalanan mendebarkan (dan yang pasti sangat melelahkan) yang
akan kami mulai malam itu. Berbagai pikiran ngawur menghampiri otak saya.
Bagaimana kalau saya terpeleset dan jatuh ke jurang? Bagaimana kalau diatas
sana ada harimau yang akan memangsa saya yang kegendutan setelah kalap memakan
semua hidangan Lebaran kemarin? Bagaimana kalau ternyata diatas ada psikopat
yang berniat menghabisi kami para pendaki satu persatu dengan tombak? Terima kasih Tuhan, terkadang dikaruniai daya
imajinasi berlebihan itu sangat tidak membantu dalam situasi seperti ini.
Namun, melihat Ikar yang dengan cekatan memakai senter kepala, mengatur tas
dipunggung saya agar nyaman, dan hal-hal lain dengan teliti, serta melihat
senyum ramah keempat calon dokter yang bahkan belum berkenalan dengan saya
waktu itu, saya menguatkan hati saya, dan mengusir semua imajinasi liar tadi.
Saya yang hanya berbekal senter korek api gas yang dibeli Ikar dalam
perjalanan, disuruh berjalan diposisi ketiga, diapit oleh mereka berlima yang
berjalan didepan dan dibelakang saya. Cahaya senter korek api yang seadanya,
membuat saya harus ekstra hati-hati pun sukses membuat saya berjalan
tertatih-tatih karena beberapa kali terantuk batu dihadapan saya. Baru berjalan
sepuluh menit, napas saya sudah turun naik seperti habis lari keliling lapangan
bola tujuh kali. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” milik Ican yang biasanya
menjadi mantra ajaib saya ketika berada dalam kondisi memprihatinkan, agaknya
tidak mempan malam itu. Ikar yang kasihan melihat kondisi saya, memberikan
senter dikepalanya untuk saya pakai, dan menyuruh rombongan Aesculap untuk
berjalan saja lebih dulu tanpa harus menunggu kami. Sesampainya diketinggian
tertentu, saya sedikit terkesima dengan pemandangan yang disuguhkan oleh cahaya
lampu yang berasal dari deretan kampung dikaki gunung Soputan yang malam itu
tampak indah sekali. Saya yang tadinya berceloteh sendiri sepanjang perjalanan,
mulai berdiam diri, menyadari kegiatan itu hanya akan menghabiskan tenaga
sia-sia.
Sepanjang
perjalanan, saya terus merutuki Ican sahabat saya, karena telah berhasil
menghasut saya untuk melakukan kegiatan pendakian itu. Saya bersumpah akan
meninju si lelaki cantik itu kalau nanti saya menyambangi studionya di Bandung.
Ikar pun terus menyemangati saya dengan kalimat-kalimat ala motivator
pembangkit semangat. Saya kesal dengan kalimat “Dikit lagi, udah dekat banget”
yang selalu dia ulang setiap lima puluh meter kami berjalan, tapi kenyataannya
kami tak kunjung tiba. Ditengah perjalanan menuju pos Pinus Satu, kami
mendengar suara ribut-ribut. Ikar langsung berjalan mendahului saya dan
menyuruh saya untuk berhenti sejenak agar dia bisa bertanya kearah pondokan
yang terdengar ramai tadi. Ternyata disitu ada beberapa pendaki senior yang
membawa serta keluarga kecilnya untuk turut merayakan peringatan hari
kemerdekaan di Soputan. Saya tertegun mendengar penuturan Ikar tentang
kebiasaan para pendaki senior itu, yang ternyata setiap tahun selalu membawa
keluarga mereka untuk menghadiri upacara 17-an digunung. Teringat kata-kata Ican dulu, bahwa
nanti kalau dia menikah dan punya anak, dia ingin membawa keluarga kecilnya
untuk mendaki gunung, sama seperti saya yang ingin membawa anak saya nanti
berenang dilaut dan berkemah ditepi pantai. Kami sesama petualang punya impian
yang sama, ingin mengenalkan alam sejak dini kepada keturunan kami kelak.
upacara 17-an pertama seumur hidup yang membuat saya nangis terharu,hahaha |
Sesampainya
kami di Pinus Dua, saya langsung merebahkan badan diatas rumput sambil menutup
mata sepersekian detik karena kelelahan. Ketika saya membuka mata, saya melihat
banyak sekali bintang dilangit, disela-sela pohon pinus diatas saya. Entah
karena faktor kelelahan atau terharu, tidak terasa airmata saya mengalir
melihat pemandangan itu. Seketika saya merasa sangat kecil dihadapan Sang
Pencipta keindahan. Sebuah ungkapan syukur pertama sejak saya menginjakkan kaki
disana. Alhamdulillah. Ikar pun
memberitahu bahwa medan selanjutnya berair karena kami akan melewati sungai
berarus sedang. Saya pun tetap memakai sandal buaya karet yang konyol itu, tetapi melepas kaus kaki yang tadinya saya pakai. Saya teringat hanya membawa
satu celana panjang, yang saat itu sedang dipakai (saya akhirnya memakai celana
dua lapis, mengingat suhu gunung yang tidak bersahabat). Dengan berat hati dan
menahan malu, saya pun melepas celana panjang yang saya kenakan, dan hanya
memakai legging bermotif memalukan itu, demi menjaga celana panjang saya tetap
kering, mengingat saya lebih membutuhkannya ketika nanti tidur diatas gunung
yang berhawa mematikan (buat saya).
Ternyata
saya memang anak air!!! Melewati medan berair selama hampir sejam, pada waktu
hampir menunjukkan pukul empat subuh, saya malah seperti disuntikkan suplemen
penambah energi. Semangat saya bertambah berkali lipat melewati sungai kecil
yang kadang jernih kadang berlumpur itu. Tak ada rasa lelah sama sekali,
hanya perasaan riang ketika kaki lagi-lagi menyentuh air sungai. Saya bahkan menolak ketika Ikar menyuruh saya
memilih jalur disamping sungai yang kering. Ikar hanya tersenyum melihat
kelakuan saya yang seperti anak kecil bermain-main dengan air sungai pada jam
ayam jago bersiap untuk dinas pagi. Ketika kami beristirahat sejenak sebelum
mencapai lokasi perkemahan, kami bertemu dengan beberapa pendaki, yang beberapa
anggotanya juga wanita. Mereka melihat celana legging saya dengan takjub.
Melihat itu, saya bertanya pada Ikar apakah dia tidak malu ketika berjalan dengan
saya yang berdandan ajaib kala itu, dan jawaban ngawurnya membuat saya ingin
terbahak namun terpaksa menahannya karena tidak ingin mengusik “penghuni”
gunung dengan suara tertawa saya yang lantang. “Aku juga terkadang memakai
legging panjang kok kalo ke gunung, kan yang penting keselamatan, daripada kaki
tergores dimana-mana, makin susah jalannya kalau luka”. Membayangkan Ikar yang
bertampang ala tentara Mongolia kelebihan berjemur, rambut gondrong diikat ala
samurai, dan bercelana legging ala Cherrybelle, membuat saya hampir terjungkal
ke sungai karena menahan luapan tertawa.
Setiba
dilokasi perkemahan, saya terkejut melihat banyaknya tenda yang sudah terlebih
dahulu didirikan disana. Suasana yang lebih mirip perumahan subsidi pemerintah
daripada lokasi perkemahan, saking banyaknya tenda disitu. Warna warni
tenda-tenda tersebut seperti menggambarkan Indonesia yang juga terdiri dari
beragam suku, yang membuat negara ini semakin semarak dengan keberagaman yang
ada. Saya yang melihat pemandangan itu langsung antusias membayangkan keseruan
upacara kami pada pukul sepuluh pagi nanti. Rifa yang ternyata lumayan terkenal
dikalangan anak pendaki, langsung menyapa kanan kiri, layaknya pak Lurah yang
sedang menyambangi warganya. Lain dengan Ikar yang waktu itu langsung mencari
lokasi tempat teman-teman sesama mapala Pah’yaga’an yang telah terlebih dahulu
berangkat sore kemarin.
Sesuatu yang menyenangkan memang membuat kita bisa lupa akan keadaan. Waktu hanya kumpulan angka yang tidak terlalu dipedulikan. Tiga hari dua malam saya habiskan waktu bersama para pendaki di Soputan. Derai tawa dan candaan mengalir lepas diantara kami, membuat saya tetiba dirasuki perasaan nyaman. Kegiatan mendaki puncak Soputan yang melelahkan (dan membuat saya berjanji untuk lebih rajin olahraga), serta masak memasak dan bersenda gurau didepan api unggun, menihilkan perasaan stres akut yang melanda pikiran. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” dan “Edelweiss” karya Ican pun selalu didendangkan disana, diiringi petikan gitar mini kesayangannya yang sengaja dititipkan kepada para “keluarga” barunya di Manado, menemani saya yang menikmati hamparan bintang yang terasa dekat ketika berada diatas gunung.
warna warni tenda "Nusantara" |
Sesuatu yang menyenangkan memang membuat kita bisa lupa akan keadaan. Waktu hanya kumpulan angka yang tidak terlalu dipedulikan. Tiga hari dua malam saya habiskan waktu bersama para pendaki di Soputan. Derai tawa dan candaan mengalir lepas diantara kami, membuat saya tetiba dirasuki perasaan nyaman. Kegiatan mendaki puncak Soputan yang melelahkan (dan membuat saya berjanji untuk lebih rajin olahraga), serta masak memasak dan bersenda gurau didepan api unggun, menihilkan perasaan stres akut yang melanda pikiran. Lagu “Hidup Kan Baik-Baik Saja” dan “Edelweiss” karya Ican pun selalu didendangkan disana, diiringi petikan gitar mini kesayangannya yang sengaja dititipkan kepada para “keluarga” barunya di Manado, menemani saya yang menikmati hamparan bintang yang terasa dekat ketika berada diatas gunung.
Api Unggun, dapur dan ruang keluarga bagi para pendaki :') |
Saya terharu melihat rasa
persaudaraan para pencinta alam yang kuat selama saya berada disana. Rasa
solidaritas yang terlihat nyata dihadapan saya, keramahan yang tidak
dibuat-buat, kebaikan tanpa tendensi apa-apa, tanpa harus memperhitungkan
untung rugi seperti yang kerap terjadi dikota-kota besar. Mereka menghargai alam
dengan tulus, tertawa dan bergembira bersama sesama pencinta alam yang baru
mereka temui diatas gunung, pemandangan tak ternilai yang jarang saya lihat di
ibukota, dimana manusia dinilai berdasarkan latar belakang serta tingkat
ekonomi mereka. Aroma kopi dan mie instan, santapan sederhana yang menjadi
mewah karena disantap dengan rasa kebersamaan yang indah.
rombongan pengacau Soputan :') |
Mungkin
memang saya harus sering-sering naik gunung. Aura positif yang saya bawa dari
Soputan, membuat saya sedikit lebih santai dalam menjalani hidup. Melihat
segala sesuatu itu dari berbagai sisi, menghargai setiap langkah yang saya
capai setiap hari, memaknai setiap peristiwa yang terjadi. Mensyukuri sekecil
apapun nikmat dan karunia Pencipta yang selama ini kurang saya maknai. Bahkan
sepulangnya dari gunung Soputan, saya yang dijuluki “shio bantal” karena selalu
gagal bangun pagi, bisa menikmati hangatnya mentari pagi karena selalu sukses
terjaga setiap jam enam pagi.
“Dunia itu seluas langkah kaki.
Jelajahi dan jangan pernah takut melangkah, hanya karena dengan itu kita bisa mengerti
kehidupan dan menyatu dengannya” –Soe Hok Gie-
“Cieee….yang baru turun gunung.
Jadi udah menemukan tempat untuk pulang nih sekarang?” ledek Ican ketika saya
menelpon bocah sableng itu, sepulangnya saya dari Soputan. Ingin rasanya saya
menimpuknya dengan sendal, sekaligus memeluknya sampai dia terbatuk-batuk,
sebagai ganjaran karena memaksa saya “mengenal” gunung. Ikatan persahabatan yang
membuatnya mengenal saya dengan baik, menjadi dasarnya dalam memaksa saya untuk
belajar tentang makna hidup melalui hal yang saya anggap mustahil sebelumnya.
Gunung dan pencintanya, mengobati luka saya yang menganga tentang kehidupan.
Mengajari saya bahwa mengejar suatu keinginan yang besar itu memang tidak
mudah, namun setidaknya itu bernilai pada akhirnya. Kita akan bertumbuh dewasa,
ketika kita merubah presepsi tentang hal yang tadinya kita anggap susah.
Ternyata, bahagia itu sederhana.
Jakarta, 3 November 2013 20:20
WIB
Saya bener-bener menikmati tulisan ini, dan foto pertama bener-bener jadi bikin kangen naik gunung lagi. Suasana persahabatan seperti itu yang selalu dicari. Betewe Ican itu Bang Fiersa Besari kah? Saya sukak lagu-lagunya hehehe :)
BalasHapusHehehe, iya banget!!! Itu obat hati yang sederhana tapi "mahal" nilainya buat saya :') ayooo naik gunung lagi (sok iye, padahal dengkul gemeteran, hahaha). Iya, Ican itu Fiersa Besari, si racun yang berhasil ngenalin "keindahan dunia dari sisi yang berbeda" berupa gunung ke saya. Ah, senangnya nemu penulis dan petualang yang juga jadi penikmat karyanya :')
Hapus