Sore hari saya yang indah (mengapa indah, karena saya menjalaninya
diatas sofa teras rumah, ditemani hujan dan susu coklat panas),
tiba-tiba dikacaukan dengan sebuah pesan singkat di telepon genggam yang
sedang tergeletak tenang disamping saya. Bunyinya kira-kira begini,
"Oiitt...udah balik Jekardah belom lu? Kemarin gw ketemu temen baek
lu yang gaul gila itu di GI. Makin ganteng aja, sayang kelakuannya makin
gak bener. Btw, lekongnya kali ini cakep akut"
Saya pun mengernyit, hmmm...sore hujan tenang beraroma gosip,
bukanlah perpaduan harmonis untuk ketenangan jiwa yang sedang galau
(halah). Saya lalu menjawab smsnya (karena saya malas mengunduh program
Whatsup, dan dia malas menggunakan blacberry, jadilah kami kembali ke
jaman romantis ketika sms menjadi penghubung yang manis kala itu)
seperti ini:
"Oh...iya kali,pacar barunya. Hehe,lucky him,rite ;)"
Mungkin karena jawaban saya yang terlalu pendek dan mencerminkan
"halo-guweh-gak-peduli-ama-gosip-lu-terimakasihbanyak", dia lalu
melanjutkan dengan membalas:
"Ih cyin, pendek amat balesnya. Gw kan say hello geto, trus tu cowo
senyum donk ama gw. Duh, sayang yah, cakep-cakep homo. Otaknya pada
kemana yak, gak liat apa kita-kita pada cantik begini"
Terusik saya membaca pesannya kali ini. Maunya apa sih?! Kenal
sahabat saya itu pun tidak kenal dekat, mana mungkin dia bisa mengukur
kapasitas otak sahabat saya dan pasangannya itu dengan hanya melihat
dari luar. Dengan sedikit emosi (tuh kan, maksud dan tujuan saya
berleha-leha menikmati hujan luntur sudah), saya pun membalas:
"Apaan nih ngomongin otak orang? Lagian mo lu cantik macem Kim
Kardasian juga kalo dia lebih doyan ama Channing Tatum, lu bisa apa? Ya
udah sih, terima nasib aja kalo lu cewe jomblo, dan temen gw yang COWO
GANTENG itu bisa dapetin COWO SPEKTAKULER lain buat digandeng di mall.
Eniwe, kemarin dia ngenalin ke gw cowo blasteran Jepang sih, mungkin itu
maksud lu yang ketemu semalam? ;) "
Menurut beberapa tontonan motivasi positif maupun berbagai buku dari
berbagai motivator pembersih jiwa (dan pencuci otak menurut saya),
memang tidak benar untuk meluapkan amarah secara langsung tanpa berpikir
matang terlebih dahulu, apalagi ketika kemungkinan dia, si tempat
pelampiasan, tidak terlalu kompeten untuk "dianugerahi" itu, namun puas
rasanya menikmati sensasi seperti yang barusan saya rasakan tadi. Jujur,
saya mulai merasa tidak nyaman saat menerima sms dari teman tersebut,
dan anehnya tidak ada perasaan bersalah ketika saya sedikit membentak
dia dalam balasan sms saya tadi. Orang yang dia bicarakan itu salah
seorang yang saya kenal di Jakarta, dan seiring berjalannya waktu, dalam
proses pencarian makna hidup disana, dia merupakan salah seorang yang
saya klasifikasikan dalam kelompok "sahabat dan keluarga".
Makanya saya heran ketika sudah menerima kata-kata lumayan tajam nan menyindir, tetap masuk lagi pesan dengan nada seperti ini:
"Doelah santai jeng. Apa coba namanya kalo punya otak, tapi
kelakuannya kayak gitu. Mereka sih gak mesra didepan umum, tapi anak
kecil juga tau kalo mereka itu gak normal. Gw sih males yah punya temen
kayak gitu, mending gw jauh-jauh, daripada gw masuk neraka".
Ok, habis sudah kesabaran saya. Pupus sudah harapan menikmati
buliran air hujan yang menciptakan simponi syahdu. Bahkan sejuknya udara
dikala hujan itu tidak mampu meredakan panasnya hati dan kepala saya
demi membaca pesan kurang ajar dari orang yang tadinya saya kira teman,
sesosok orang seperti yang saya ketahui notabene lulus dari salah satu
universitas terkenal di Jakarta, tapi ternyata pemikirannya masih
sedangkal comberan mampet didepan rumah saya.
Jemari saya pun menari, sebuah tarian penyampai pesan, pengganti
orkestra cacian pedas yang akan berasal dari mulut saya, seadainya kami
berhadapan secara langsung, akan saya nyanyikan tanpa mempedulikan tata
bahasa dan intonasi yang dihasilkan. Kata-kata yang sumbernya berasal
dari hati saya yang tidak kuasa menahan amarah, dan mata yang tak kuasa
menahan derainya.
"Hey, gw gak peduli ya, lu tuh keluaran pesantren mana, ato mungkin
berdoa berlutut dua puluh empat jam tiap hari, tapi setau gw, surga itu
juga gak nerima orang-orang yang mulutnya gak pernah sekolah macem lu.
Dan asal lu tau, otak sobat gw itu dipake buat nolongin penduduk miskin
di seantero Indonesia, dan kalo lagi di Jakarta, bukannya sibuk dugem
ngamburin duit bokap kayak lu, otaknya itu sibuk berbagi ilmu ke
anak-anak kurang mampu ditempat pembuangan sampah, yang baunya nggak
lebih bau daripada mulut sampah lu itu."
Masih belum puas melontarkan isi hati dan pikiran (dan sialnya
karakter huruf di telepon genggam saya juga habis), saya pun melanjutkan
sms kedua dan ketiga saya:
"Yang jelas, si Jepang aduhai yang cakep gila itu, sangat beruntung
karena kenal ama sobat gw. Karena selain bermuka bersih licin ala salju
Swiss, hatinya lebih bersih daripada muka palsu perawatan mahal lu itu.
Jadi, simpan opini otak picik lu itu, yang walopun kepala luarnya tiap
hari dicuci sampo wangi, tapi isinya tetap gak lebih bersih dari selokan
pasar induk. Jangan salahin takdir kalo muka cantik lu itu gak laku
darling, tapi salahin kaca dikamar lu, yang gak pernah ngomong jujur ama
mahluk gak punya hati kayak lu."
"Dan oh yah, mending lu cari kerjaan yang lebih ngasilin duit biar
lebih mampu jalan-jalan untuk normalin pikiran, karena dibanding sobat
gw yang kerjaannya sejak kuliah udah bisa ngebiayain dia dan
keluarganya, dan keliling dunia tentunya, karyawan gaji buta macem lu
gak ada apa-apanya. Well, kalo sekarang lu lowong, daripada duduk
diantrian dokter gigi ato nyalon, sekali lagi pake duit ortu lu, dan
iseng ngirimin gw sms gak penting tentang menghina kehidupan sobat gw
dan bagaimana gw harus bersikap terhadap dia dan pasangannya, mending lu
ke dokter saraf, atau ahli jiwa skalian"
Kali ini, sampai detik saya menuangkan kekesalan dalam bentuk
tulisan ini, tidak ada lagi balasan yang datang dari si jalang bermulut
lancang itu. Saya juga tidak peduli, apakah dia sudah menghapus nama
saya di daftar kontak telepon genggamnya, atau menghapus saya dari
daftar situs jejaring sosial miliknya, saking terkejut dengan pesan
balasan saya yang cukup panjang dan (mudah-mudahan) memberi dia sedikit
pelajaran hari ini.
Sungguh menyedihkan, ternyata saya harus mengetahui perilaku salah
seorang kenalan saya melalui kejadian konyol nan fantastis seperti ini.
Tapi apabila saya harus memilih, seribu kali saya akan bersujud
berterima kasih kepada Tuhan, ketika mempertemukan saya dengan sahabat
saya yang dicemooh melalui sms tadi, karena dia juga merupakan salah
satu hal terbaik saya di Jakarta .
Tangannya, adalah salah satu yang menarik tangan saya ketika saya
hampir jatuh dan mustahil bangkit dari masalah. Matanya, adalah salah
satu yang mengirimkan sorot tatapan meneduhkan setiap kali hati saya
memerlukan siraman ketenangan. Mulutnya, adalah salah satu yang
mengeluarkan saran cerdas dan mengagumkan, celotehan bodoh namun manis,
gurauan kocak sarat makna, kritik pedas nan sensasional, menghasilkan
berbagai obrolan panjang yang menyenangkan. Telinganya, adalah salah
satu yang mendengarkan saya, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, dengan
cerita beralur sama berlatar berbeda, dengan kesabaran tingkat dewa.
Bagian yang paling penting, Hatinya, adalah salah satu yang selalu
membuat saya berpikir, bahwa kolaborasinya dengan tangannya, matanya,
telinganya, menjadikan dia sosok yang luar biasa menurut saya,
sahabatnya yang merasakan bahwa Tuhan sudah mengirimkan sosok "malaikat"
untuk bisa saya kenal di dunia.
Dia, sahabat yang tadi dituduh pemegang tiket terusan ke neraka,
sudah membawa sedikit "angin surga", untuk para penduduk Indonesia yang
pernah merasakan program kerja yang selalu berhasil darinya, untuk para
anak berkekurangan yang pernah diajarkan secara gratis dan berkelanjutan
dengan berbagai ilmu berguna olehnya, dan untuk kami, para sahabat yang
telah lama mengenal kesantunan, kegigihan, dan kesetiakawanannya dalam
bersosialisasi dan berinteksi.
"We are all a little weird and life’s a little weird, and when we
find someone whose weirdness is compatible with ours, we join up with
them and fall in mutual weirdness and call it love.” *Dr.Seuss*
Maka jangan pernah salahkan saya atas balasan keras, ataupun makian
pedas yang akan terlontar dari mulut saya, karena siapa pun dia,
bagaimana pun anehnya dia dimata sebagian orang yang mengaku dirinya
sempurna, dia tetap punya hak yang sama dengan siapa saja, untuk tetap
merasa NORMAL sepanjang hidupnya.
Manado, 8 Juli 2012, 20.30 WITA
Teras rumah, ruang tamu, dan kamar tidur, senyamannya saya, ditemani
bunyi tetesan hujan diatap, ketika air langit berebut turun menjenguk
bumi.
"Tulisan ini buat dan demi lu mak. Dengan segala hormat, dan dengan
tidak mengurangi rasa sayang gw yang gak nyantumin nama kebanggaan lu,
ditulis dengan deraian air mata yang bekerjasama secara yahud dengan
emosi gw, yang menghasilkan efek lebay, dan gw tau pasti lu selalu benci
liatnya karena kata lu itu selalu sukses bikin tampang gw berantakan."
I Love You Darl, Just The Way You Are, Like I Always Do, Like You Also Do :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar