Tuhan memang sutradara yang ciamik. Setelah setengah tahun saya menjalani hidup dengan emosi seperti roller coster, naik turun dan mengaduk jiwa, saya akhirnya diberi karunia enam bulan berikut dengan lebih banyak peristiwa yang spektakuler. Enam bulan terakhir di tahun 2013 adalah deretan bulan yang luar biasa dan pastinya mengajarkan saya banyak hal lagi dan lagi. Catatan saya kali ini akan lebih panjang karena jika hati merasa senang, niscaya semua peristiwa akan tetap terkenang secara detail di dalam memori otak. Catatan yang panjang dan (mungkin) membosankan serta tidak berarti apa-apa untuk orang lain, tapi buat saya sangatlah berharga. Deretan cerita yang pantas saya tuliskan sebagai bentuk penghargaan kepada para orang-orang yang mengisi hidup saya dengan corak yang berbeda.
JULI 2013
Saya berharap Ramadhan tahun ini bisa sedikit mengembalikan kepercayaan saya akan belas kasih Tuhan kepada umatnya. Seminggu sebelum Ramadhan saya berangkat ke Semarang untuk mendampingi Churie, anggota tim di kantor sekaligus sahabat saya sejak duduk di bangku SMP. Bekerja dengan teman sendiri ternyata bisa menjadi batu sandungan dan itu sempat terjadi dengan kami berdua. Pertemanan yang tadinya santai berubah memanas karena saya yang tidak sabar menghadapi kekurangan sahabat saya dalam hal pekerjaan lalu melupakan kelebihan lain yang dia miliki. Churie yang pintar ketika kami masih sekelas dulu tampak menjadi begitu bodoh buat saya yang berekspektasi lebih terhadapnya. Saya menuntut banyak, sementara saya sendiri tidak becus dalam mengarahkan. Ditambah dengan kondisi emosi saya yang tidak stabil karena perasaan yang tertekan selama beberapa bulan terakhir, membuat saya jadi sering marah-marah serta tak jarang menangis ketika menghadapi sahabat saya itu.Salah satu akibat kecil ketika kami terlalu sering bertengkar dan melamun adalah kami hampir saja mengalami kecelakaan motor di malam yang sangat dingin dalam perjalanan pulang dari Salatiga menuju Semarang.
Satu-satunya yang dapat saya pelajari dalam Ramadhan kali ini adalah bakti anak kepada orang tuanya. Hal yang diperlihatkan Tuhan melalui Dito, adik bungsu Irma, sahabat saya di Semarang. Dito adalah mahasiswa tingkat akhir yang setelah ibunya meninggal dunia merawat ayahnya (yang akhir tahun 2013 akhirnya menyusul ibunya) yang terkena stroke. Dito secara telaten selalu mengutamakan kepentingan ayahnya yang memang sudah tidak bisa melakukan apapun. Pemuda yang terpaksa berjuang dengan takdir yang tidak bisa dipilih. Ironis ketika anak seusianya masih bersenang-senang tanpa harus repot memikirkan orang lain. Betapa keadaan memaksa seseorang untuk mandiri sebelum waktunya. Dito membuat saya merasa kecil sebagai mahlukNya.
Tahun 2013 saya merasa kalah total dalam peperangan melawan hawa nafsu. Ramadhan yang penuh hikmah tidak berhasil menyejukkan hati saya yang sedang panas. Saya menyepelekan kewajiban sholat, melupakan indahnya perasaan setelah membaca kitab suci, bahkan saya menolak keinginan hati yang seperti menyuarakan kerinduannya untuk sekedar berdzikir untuk meneduhkan pikiran saya yang kacau. Jiwa saya sedang berada di puncak kegelapan. Sampai pada suatu siang, Tuhan mengirimkan secercah harapan melalui satu pesan singkat yang masuk ke ponsel saya. Pesan dari Ican sahabat saya yang saat itu berada di Manado dalam rangka perjalanan keliling Indonesianya. Bunyi pesannya panjang dan sukses membuat saya melonjak kegirangan siang itu. “Nta, aku lagi di kotamu nih. Ntar lagi mo ke Miangas, ujung ter-Utara Indonesia kita tercinta. Kemungkinan aku nda pulang ke Bandung pas Lebaran. Boleh aku berlebaran dengan keluargamu?”. Antara kesal karena iri bahwa bocah eksentrik itu akan menginjakan kaki di pulau yang bahkan saya sendiri yang berasal dari Sulawesi Utara belum pernah kesana, serta senang karena membayangkan keseruan yang akan kami lewati di kota kelahiran saya nanti, saya membalas pesan tersebut dengan sukacita. Akhirnya saya menemukan alasan untuk pulang Manado selain hanya berlebaran bersama keluarga yang menurut saya membosankan karena telah menjadi rutinitas tahunan.
AGUSTUS 2013
Saya pulang dengan keriaan anak kecil menyambut liburan. Sahabat saya telah kembali dari pulau Miangas dan waktu itu menyuruh saya untuk segera menyusulnya ke pulau Siladen. Tidak mau dianggap anak durhaka yang baru tiba tanah kelahiran langsung “mantai”, saya memilih menunggu Ican di rumah saja. Dia diantarkan ke rumah oleh Billi, rekannya di Mapala Pahyagaan (saya juga pernah menceritakan tentang mereka di catatan Napak Tilas Sumpah Pemuda Bersama Mapala Pahyagaan). Ican yang saya temui saat itu, sudah sangat berubah dari Ican yang dulu saya kenal. Dia terlihat sangat kumal dengan kulit hitam dan rambut acak-acakan, namun anehnya dia tampak sangat bahagia. Kami bertemu dalam keadaan sama-sama berubah. Nasib membuat kami bermetamorfosis menjadi pribadi yang baru. Jujur, saya sangat berhati-hati memperlakukan Ican selama dia di Manado. Kehilangan orang-orang terdekat dalam kurun waktu beruntun membuat saya trauma dan tidak mau mengulangnya pada sahabat saya yang satu ini. Tetapi seperti yang saya katakan tadi, Ican sangat berubah. Keangkuhan khas seniman independen yang merasa tidak butuh orang lain seperti yang kami teman-temannya kenal dulu, seperti hilang ditiup angin. Ican mengajarkan saya tentang rasionalitas ditengah maraknya masalah. Kesamaan yang kami miliki tidak menutup kenyataan bahwa kami berbeda kelamin. Saya tetaplah perempuan yang meskipun tomboy tetapi selalu mengedepankan perasaan. Sementara Ican tetaplah lelaki dengan segala logika dibalik kecantikan parasnya, haha. Ican pun menyampaikan simpatinya akan kondisi saya yang kurang stabil dan mengenalkan saya pada sebuah komunitas baru yang menampungnya selama di Manado, Mapala Pahyagaan. Seperti yang sudah saya ceritakan di beberapa catatan singkat saya sebelumnya, saya sangat senang bertemu Ican dan para Yaga, sebutan untuk para anggota Mapala Pahyagaan. Rasanya makna “Kemerdekaan” benar-benar saya rasakan tahun ini, menjadikan Agustus bulan favorit saya sepanjang tahun 2013.
Para Yaga datang membantu saya menyiapkan hidangan Lebaran hingga pukul setengah empat subuh. Paginya, saya dan Ican kocar-kacir karena telat bangun dan hampir saja kami telat sampai ke mesjid. Rupanya perjalanan memberikan banyak pengaruh positif buat sahabat saya. Kadar sabar yang tadinya minus, sekarang menjadi sangat plus. Walaupun Ican tetaplah menjuluki saya dengan nama “Emak-emak bawel”, kesabaran yang dia tunjukkan untuk menghadapi saya tetaplah membuat saya terheran-heran. Saya pun belajar untuk meniru caranya meredam emosi, walaupun terkadang masih tertawa geli melihatnya yang menarik nafas dengan tatapan yang sanggup membunuh seekor gajah, ketika menghadapi kelakuan saya yang sukar ditolelir.
metamorfosis si cowok cantik dan si cewek ganteng hahaha
Ican yang melanjutkan perjalanan ke Maluku, membuat saya mengakrabkan diri dengan para Yaga. Mapala Pahyagaan yang pernah saya ceritakan dalam catatan sebelumnya, sangat membantu saya dalam menikmati liburan Lebaran tahun 2013. Nongkrong di sekretariatnya di bilangan kampus Teknik - Universitas Sam Ratulangi, membuat saya merasa awet muda tanpa perlu perawatan mahal, hohoho. Tawa dan canda khas mahasiswa yang menjunjung tinggi moto “Everyday is Sunday” membuat saya bisa sejenak mengistirahatkan hati dan pikiran. Tangan saya semakin lancar menuliskan beberapa catatan sebelumnya yang terinspirasi dari momen-momen yang saya lalui sepanjang bulan Agustus, menandakan saya amat sangat menikmati setiap detik pada bulan ini. Sungai airmata yang rajin bertandang di wajah berganti senyum riang terkembang bak layar kapal yang tenang mengarungi samudera. Awalnya, saya hanya dekat dengan segelintir Yaga yang memang sangat dekat dengan Ican selama dia di Manado. Ikar si lelaki wangi nan modis, Billi si pembalap melankolis yang lebih cocok membintangi iklan sampo, Adhy alias Jibi si gitaris yang menguasai lagu dari berbagai jaman dan berprofesi sebagai tukang tato, dan Tebo si pencinta vespa yang jago berdansa dan mempunyai penggemar di setiap fakultas. Saya bahkan sempat ikut merayakan hari kemerdekaan Republik Indonesia di gunung Soputan bersama para Yaga (lagi-lagi cerita lengkapnya bisa dibaca di catatan sebelumnya). Disana saya bertemu banyak sekali teman baru yang berasal dari organisasi mapala lainnya.
Ada pepatah yang mengatakan “Dunia akan terasa mengecil jika kita mempunyai hobi yang sama”. Ikar yang saat itu menjadi teman perjalanan awal bersama saya dan rombongan Aesculap (Mapala Fak. Kedokteran), mendadak seperti pak lurah yang menyapa hampir semua orang yang kami jumpai disana. Walaupun saya adalah orang baru, saya tidak merasa asing berada diantara mereka. Suasana kekeluargaan yang kental membuat saya nyaman. Saya jadi paham, mengapa Herman Lantang, sang legenda pendiri organisasi Mapala UI bisa tetap terlihat sehat dan bersemangat di umurnya yang menginjak 73 tahun. Dekat dengan alam, tidak menjadikan manusia kembali ke jaman purba, melainkan lebih melatih diri mereka untuk mandiri. Ada tiga perempuan cantik namun senang menaklukkan gunung yang saya temui disana. Tiko, si seksi yang lebih suka dipanggil Rinjani, Indry si imut-imut yang lebih cocok bergaya ala Cherry Belle dan Dewi si cantik nan periang yang nantinya sering mengajak berpetualang bersama para mapala Zoox, komunitas tempat Dewi bernaung di fakultas Perikanan dan Kelautan. Saya senang mengenal ketiganya. Kulit mereka yang mengkilat kecoklatan ditimpa sinar mentari, tampak eksotik dengan kecantikan alami yang menyatu dengan indahnya semesta.
Akhirnya saya memutuskan untuk tinggal sehari lagi di Soputan, bersama rombongan yang tersisa. Menjadi satu-satunya perempuan dalam rombongan tidak membuat saya was-was. Saya sangat percaya dengan ketulusan mereka, lagipula saya tidak bertampang Asmiranda dan berbodi Miyabi yang patut mengkhawatirkan diri secara berlebihan berada di tengah para lelaki. Mereka terdiri dari para lelaki konyol yang menyenangkan. Selain Ikar dan Jibi, ada Yeremia alias Abuy, si ganteng dan pemalu kesayangan saya, koki kebanggaan para Yaga yang selalu mencuci semua bahan makanan dan peralatan memasak yang akan dia pakai. Abuy memudarkan pandangan saya tentang anak mapala yang jorok dan tidak peduli dengan kebersihan. Belakangan setelah kami akrab, Abuy juga lebih memilih membereskan sampah dan menyapu halaman sekretariat serta memberi makan ikan di kolam Pahyagaan daripada duduk mengobrol dengan saya, hahaha. Melihat sifat dan tingkah lakunya, saya seperti melihat bayangan Papa dalam versi muda. Ada pula Panjul, si Yaga yang baru dilantik yang tidak punya ponsel atau akun jejaring sosial satupun. Bayangkan ketika jaman secanggih ini dan masih ada anak masa kini yang berprinsip cuek sepertinya, salut! Ada Naga, anggota mapala Avestaria-Fisip, si anak perantauan asal Medan yang sangat lucu dan senang bercanda. Celetukan-celetukan khasnya sering membuat saya terbahak di tengah hutan belantara (yang sebagian sering saya tahan mengingat tidak lucu andaikan tengah malam ada “mahluk lain” yang ikut nimbrung di tengah rombongan kami). Terakhir ada Valent, si anak punk yang juga jago memainkan gitar. Valent juga sukses “menghadirkan” Ican di tengah kami ketika menyanyikan lagu-lagu ciptaan sahabat saya itu. Valent yang akhirnya tidur diluar tendanya sendiri sambil mengomel panjang (padahal tenda itu baru dibelinya hahaha) karena tendanya dimuntahi Aji, rekannya yang saat itu mabuk.
Rombongan pengacau Soputan yang membahana
Setelah pulang dari Soputan, saya berjanji untuk sering-sering berolah raga (yang nyatanya tetap gagal saya laksanakan hingga sekarang). Malu rasanya menjadi teman perjalanan yang menyusahkan ketika saya lebih sering tertinggal di belakang dan menyebabkan Ikar harus menyediakan stok ekstra kesabaran untuk menunggu saya. Tak jarang saya juga harus ditarik seperti anak kucing yang sering terjatuh ketika berjalan dalam keadaan gelap. Bulan ini, saya belajar tentang betapa kuatnya seorang manusia ketika dia benar-benar ingin melaksanakan sesuatu yang telah diniatkan. Saya sendiri takjub dengan pencapaian saya yang tadinya menolak untuk mengenal kegiatan seperti naik gunung. Hal yang mustahil bisa terjadi ketika niat dan kesempatan bertemu untuk saling melengkapi.
SEPTEMBER 2013
Saya yang tergabung dalam komunitas Couch Surfing (komunitas yang menolong para pengelana untuk mendapatkan penginapan gratis atau paling tidak teman perjalanan di negara tujuan) kali ini kedatangan tamu istimewa dari Swiss. Magdalena singgah ke Manado setelah 7 bulan berkeliling Asia. Saya mengenalnya justru tidak melalui situs resmi Couch Surfing, melainkan dikenalkan oleh sepupunya sahabat saya di Manado yang menemaninya selama di Gorontalo. Saya langsung menduga Lena adalah tipe “backpacker” ala saya ketika melihat dandanannya ketika saya dan Dian (sahabat sejak jaman kuliah) menjemputnya pertama kali. Lena yang kelaparan langsung kami bawa menikmati kuliner malam ala Manado, nasi kuning Komo Luar. Tak disangka, si bule yang usianya sepantaran dengan kami ini sangat menyukai makanan pedas. Tampaknya dia telah menyesuaikan diri selama perjalanannya di Asia. Karena itu malam minggu, kami mengajaknya ke Kawasan Mega Mas, tempat anak gaul Manado nongkrong (cieee yang anak gaul gak sadar umur, haha). Disana Lena terpana melihat ada anak punk di Manado (bahkan dia mengira kalau di Indonesia tidak ada komunitas ini). Saya yang kebetulan mengenal Jibi dan Valent juga Ikar (ya…Ikar, si pangeran ajaib, mapala pesolek nan wangi itu juga anak punk, hahaha) langsung mengenalkan Lena kepada mereka dan berjanji esoknya akan mengunjungi Rumah Kosong, markas tempat berkumpulnya para punkers.
Dua hari awal Lena menginap di rumah Dian. Paginya kami makan di restoran bubur Manado dan jalan-jalan ke danau Linouw bersama Dian dan suaminya, Wetli. Setelah sebelumnya kesasar, kami malah menemukan tempat berpemandangan indah. Kami berempat menyewa perahu kayuh dan bermaksud mengelilingi danau. Entah kami yang jarang berolahraga, atau memang angin sedang kencang siang itu, bebek-bebekan yang kami tunggangi hanya beranjak sepersekian meter walaupun kami menggenjot dengan tenaga kuda pacu. Kegiatan mengayuh yang tadinya riang gembira, berubah menjadi kepanikan menyadari kami hanya berputar-putar di satu tempat. Posisi Lena disamping saya akhirnya digantikan Wetli. Tenaga lelaki memang tidak bisa dipungkiri. Perahu kami perlahan kembali ke arah yang benar. Puji Tuhan. Sepulangnya dari danau, kami singgah ke vihara Ekayana. Lena terpukau dengan keragaman agama yang hidup damai di Indonesia. Hidung saya jadi kembang kempis mendengar pujiannya, hahaha.
narsis sebelum hampir tenggelam di danau :))
Ketika Lena akhirnya pindah ke rumah saya, tercetus ide untuk mengenalkannya dengan para Yaga. Saya berpikir perjalanan berbiaya minim mungkin lebih cocok dengan Lena, dan Pahyagaan adalah komunitas yang tepat. Siang itu juga saya bawa Lena ke sekretariat Pahyagaan. Ikar yang saat itu hanya mengenakan celana pendek dan menguncir rambutnya ala Indian terdampar sambil berceloteh ramah, langsung menarik perhatian Lena. Mereka berdua pun langsung akrab bercanda walaupun hanya menggunakan bahasa isyarat dan bahasa Inggris ala pantomim. Lena tampak gembira ditengah para Yaga yang mengerubunginya. Sikap kekeluargaan mereka juga berhasil menyamankannya, persis seperti saya dulu. Mumpung di sekretariat, saya pun langsung menyusun rencana untuk pergi ke Siladen, wisata pantai murah meriah memenuhi keinginan Lena. Usul Ikar untuk berkemah ditepi pantai disambut gembira oleh saya dan Lena. Malamnya kami menepati janji untuk mengunjungi markas para anak punk. Awalnya mereka malu-malu untuk mengajak Lena mengobrol karena kendala bahasa. Saya yang mencoba sopan, menawari mereka untuk menjadi penerjemah. Yah, hitung-hitung latihan memperlancar kemampuan bahasa Inggris yang sudah terlupakan sejak Pangeran William lebih memilih Kate untuk dinikahi, hahaha. Keputusan yang akhirnya agak saya sesali, karena sejak mereka mendapatkan penerjemah, mereka tak berhenti mengobrol, Lena bertanya tentang sejarah punk di Indonesia, sementara para punkers bertanya tentang perkembangan sosial punk di Swiss. Empat jam lamanya kami bertukar pikiran sambil bercanda, perlahan otak saya jadi kacau mencari padanan kata dan menuntut istirahat. Maklumlah, bukan bahasa ibu (alasan klasik, padahal kapasitas otak rendah, hahaha).
rusuh di Siladen
Esoknya saya dan Lena ditemani Ikar dan Jibi berangkat ke pulau Siladen menggunakan perahu angkutan umum. Pengalaman pertama bagi saya pergi kesana tidak menggunakan perahu sewaan. Sesampainya di Siladen, hujan deras menyambut kami. Untunglah kami tetap bisa mendirikan tenda ditepi pantai karena hujannya tidak lama. Tenda kami bertetangga dengan tenda satu keluarga dari Polandia. Anak-anak mereka yang lucu tampak kurang lucu ketika pada malam hari yang gelap tubuh mungil pucat mereka sering tiba-tiba muncul dari balik semak belukar di samping tenda kami. Lena lagi-lagi dibuat terpukau dengan keahlian Ikar dan Jibi dalam memasak. Di rumahnya, ayah dan kakak lelakinya haram menyentuh dapur. Salah satu Yaga senior menyusul kami malam itu. Kak Wawan yang lumayan fasih berbahasa Inggris jadi teman bicara baru untuk Lena ketika saya asyik menyendiri di tepi pantai dan Ikar asyik berburu foto galaksi bintang kegemarannya. Rencana kami sebenarnya hanya tiga hari dua malam disana karena Ikar akan menghadiri sidang pemilihan pengurus baru Pahyagaan. Apa daya, sikap pelor kami gara-gara bergadang semalaman mengakibatkan kami terlambat bangun dan ketinggalan kapal yang hanya berangkat ke Manado di pagi hari. Kami yang tetap bergembira walaupun ketinggalan kapal, akhirnya menghabiskan hari itu dengan snorkeling, foto-foto sambil tertawa-tawa di bawah rindangnya pohon kelapa, lalu mengobrol hingga larut malam dengan Erin, manager di salah satu penginapan disana, lelaki asal Karibia yang fasih berbahasa Manado lengkap dengan umpatan-umpatan khas yang diucapkan dengan dialek yang kocak.
What a fun nite in Bitung
Saking serunya, Lena memperpanjang masa tinggalnya di Manado. Kak Wawan kemudian mengajaknya untuk bertandang ke rumahnya di Bitung. Saya, Lena dan kak Wawan hanya berangkat bertiga karena para Yaga sedang menghadiri sidang pemilihan terakhir. Kebetulan malam itu rumah kak Wawan ramai oleh penghuni kompleksnya. Kami disuguhi masakan ibunya yang enak-enak, lalu diajak menari tarian Gemufa yang sedang hits kala itu. Sehabis makan, kami diajak ke kebun binatang yang berada didepan kompleks perumahan orangtuanya. Sebelum pulang kami singgah ke pasar malam dan Lena menjadi pusat perhatian warga pengunjung. Kak Wawan tiba-tiba mengusulkan untuk pergi ke air terjun Tinoor esok paginya. Para Yaga yang begadang malamnya, baru siap pukul satu siang, molor lima jam dari perjanjian awal. Lena tampaknya sudah terbiasa dengan jam karet ala Indonesia. Perjalanan sehari yang seru dan penuh canda. Malamnya, kembali Kak Wawan merencanakan pesta perpisahan karena Lena akan berangkat menuju Togean keesokan harinya. Seakan tak kehabisan tenaga, kami semua berjoged, berputar-putar seperti gasing dan bernyanyi riang sepanjang malam. Pesta sederhana yang diracik meriah membuat kami lupa waktu. Lena berkata, kunjungannya ke Manado adalah salah satu yang akan dirindukannya sepulangnya ke negara asal. Terima kasih sekali lagi untuk para Yaga yang menjadi tuan rumah yang luar biasa.
Leha-leha di air terjun Tinoor
OKTOBER 2013
Saya berencana untuk merayakan Lebaran Idul Adha di Manado, itu berarti melewatkan acara pernikahan Kharisti Melati a.k.a Mela, anak gank Doz, kumpulan orang sableng yang menjadikan les bahasa Perancis hanya tempat mereka untuk melepas penat di ibukota. Mela terdengar kecewa ketika saya menelponnya untuk memberitahukan keabsenan saya. Satu kejutan yang saya ketahui minggu itu, sahabat saya yang sedang berpetualang keliling dunia, Harry Sudirman Kawanda (saya juga pernah membuat catatan pada tahun 2011 tentang si anak ajaib sejagad raya ini), saat itu kebetulan akan pulang ke Indonesia untuk mengurus keperluan visanya dan menghadiri kawinan Mela. Tak disangka, ketiga sahabat gank Doz yaitu Mela, Lyana dan Harry juga kebetulan akan bertolak ke Bali untuk kepentingan berbeda pada waktu yang bersamaan. Jadilah mereka memanas-manasi saya untuk ikut kesana dengan alasan “reuni” yang tertunda karena saya batal ke acara Mela. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kesana, toh saya juga akan menghadiri pesta perkawinan Aji, sahabat di kantor lama yang juga diadakan di Bali. Saya yang tidak langsung membeli tiket, akhirnya gagal mendapatkan tiket penerbangan langsung ke Bali dan harus via Jakarta (pelajaran hidup nomer sekian: jangan pernah menunda suatu keinginan, karena harga penundaan itu bisa setara dengan ongkos naik haji, huhuhu). Dari Jakarta, saya berangkat bersama dengan Ichi, sahabat saya ketika SMA. Saya dan Ichi pun selalu bersama-sama disana, baik ketika saya bertemu teman-teman saya, maupun Ichi yang memang berencana untuk mengunjungi beberapa temannya disana. Ketika Harry pulang ke Indonesia tahun 2012 lalu, saya tidak bertemu dengannya karena sedang berada di Manado. Kali ini, demi si bocah fenomenal yang selalu sukses membuat kami kawan-kawannya ini kesal sekaligus kangen, saya bela-belain untuk menguras tabungan dan pergi ke Bali. Harry tidak banyak berubah, hanya bertambah dewasa. Harry tetap lucu dengan segala celotehannya yang selalu sukses membuat kami terbahak sampai mengeluarkan airmata dan darah. Kejadian sebenarnya ketika kali pertama saya bertemu dan Harry disana, dia yang bertindik di bawah bibir mendaratkan kecupan perjumpaan mautnya yang melukai dahi saya sampai darah mengucur dengan indahnya. Lyana yang memang sangat mengidolakan Harry, sejenak amnesia status ketika kami berada disana, hahaha. Bulan madu Mela pun harus dipasrahkan jauh dari nuansa syahdu ketika dia dan suaminya berpetualang bersama kericuhan kami.
kalo CCFers ngumpul, rahang gw butuh reparasi -_-
Saya yang sangat penasaran dengan kehidupan tokoh Diva Anastasya yang ekstrim dalam novel Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, merasa Bali adalah tempat yang cocok untuk mempelajari seluk beluk kehidupannya. Keluar masuk club ternama dan deretan club di daerah Kuta dan Legian, pesta semalam suntuk di berbagai komunitas, serta kegiatan hura-hura yang dulu sangat saya gilai, anehnya kali ini membuat saya kembali tertarik ke kehampaan yang panjang. Kesunyian yang merasuk, malah sering membuat saya ketiduran di tengah hingar bingar musik yang jika didengarkan secara konstan bisa menghilangkan kewarasan permanen. Tak jarang saya sering dianggap aneh oleh para bule yang sering bersama saya dan teman-teman saat itu. Kebisuan saya semakin membuat saya teralienasi dengan lingkungan sekitar. Kala itu, membaca buku yang saya tenteng kemana-mana bukanlah sebuah modus untuk menarik lelaki, melainkan cara satu-satunya mengembalikan jiwa ke bumi.
upacara Manis Galungan
Sepeninggalan Ichi yang lebih dulu kembali ke Jakarta, saya menginap ke rumah bang Nyo, teman petualang yang sekarang membuka studio tato dan menetap di Bali. Bang Nyo yang bosan dengan hiruk pikuk di ibukota memutuskan untuk pindah ke Bali dan mengikuti kata hatinya daripada menjadi budak kapitalis di Jakarta. Hidup sederhana bersama Ayu, Donny dan Gemboz, “keluarga kecil” yang dia temui di Bali, sambil mengasah kemampuannya dalam merajah tubuh. Berdiskusi tentang banyak hal bersama keluarga unik itu, malah membuat saya tentram. Ayu yang asli Bali juga sangat memelihara adat istiadatnya. Kebetulan waktu itu umat Hindu merayakan hari raya Galungan. Kami semua diajak pulang ke kampungnya Ayu di desa adat Klungkung. Lain dengan Kuta yang ramai dan cenderung sumpek, Klungkung masih asri dan terpelihara budayanya. Disana saya seperti berada di surga dunia. Ayu meminjamkan baju adat Bali untuk mengikuti upacara di pura dan saya yang memang menyenangi semua hal yang berbau budaya, langsung mengenakannya dengan kegirangan yang agak norak, haha. Rangkaian upacara yang kami lalui membuat saya jadi bahan tertawaan orang-orang disana karena saya menempelkan beras upacara doa tanda kemakmuran di jidat dengan semena-mena dalam jumlah yang sanggup untuk sarapan ayam sekelurahan. Seketika saya meneteskan air liur melihat isi sesajen yang akan mereka persembahkan kepada para Dewa. Keinginan untuk memakan aneka buah dan kue-kue enak itu saya utarakan pada Ican melalui sms. Tak disangka, Ican yang tidak percaya takhyul malah melarang saya melakukan niat saya dengan alasan itu tabu. Masa makanan buat “Tuhan” diembat juga? Dasar rakus, saya tidak mengindahkan larangannya. Malamnya, ketika saya menonton sambil memotret pertunjukkan Tari Barong yang agak mistis sambil mengunyah buah sesajen tadi, si Noir (nama kamera kesayangan saya) tiba-tiba ngadat dan tidak mau menyala. Hampir menangis saya ketika menelpon Ican, disambut dengan lengkingan tawa jeleknya yang meledek saya karena melanggar tabu. Namun dibalik kesialan itu semua, saya malah semakin belajar. Ketika tidak memegang kamera, saya malah bisa sepenuhnya menikmati perjalanan saya tanpa harus sibuk mengabadikannya agar nanti bisa dipamerkan. Bukannya tidak ingin membagi kisah perjalanan, tetapi ada kedamaian yang nyata ketika kita bisa santai menghayati inti perjalanan. Akhirnya saya dan rombongan Bang Nyo mengelilingi sebagian pulau Bali tanpa kamera, mengabadikan kenangan hanya menggunakan mata dan hati saja.
Bali knows how to party
Bali mengusik sisi spiritual saya yang tahun 2013 kemarin agak goyah. Ketika mempelajari tata cara agama lain yang sama sekali asing, saya kembali bertemu dengan “Ketuhanan” saya sendiri. Tuhan memang ada dimana-mana, bahkan ketika kita para hambaNya sejenak lupa dan terlena. Tuhan bersama ketika saya mabuk dan meracau tentang betapa rusaknya tatanan hidup ini, datang memanggil melalui bunyi hempasan ombak kala senja di tepi pantai ketika saya bahkan lupa bagaimana caranya merapal rangkaian doa, atau mengusap jiwa saya dengan ketenangan batin yang luar biasa melalui air suci yang Ayu basuhkan ke wajah saya sehabis dia melakukan upacara penyucian seisi rumah. Meditasi yang saya lakukan dalam keadaan setengah melayang karena pengaruh Arak Bali dan selinting ganja, malah mengarahkan saya untuk kembali ke ibukota. Bayangan patung selamat datang di Bundaran HI ketika saya menutup mata dan berdialog dengan Sang Pencipta, seakan menjadi petunjuk untuk pikiran buntu dan insting yang mati rasa.
NOVEMBER 2013
November adalah bulan istimewa karena saya dilahirkan pada bulan ini. Katanya sih para Novemberian di karuniai sifat periang dan spontan. Padahal kan saya aslinya agak pendiam! Hahaha. Tahun ini banyak teman saya yang akhirnya insaf dan mengakhiri masa lajang. Nadif, sahabat dekat saya jaman masih bekerja di kantor lama juga salah satunya. Si jangkung gaul nan ajaib ini sudah mewanti-wanti saya agar datang ke acara perkawinannya. Saya tidak menyangka, hari perkawinannya menjadi salah satu hari terseru saya sepanjang tahun. Pagi itu, saya dibangunkan oleh Ari (cerita tentangnya ada di bulan Desember) yang baru tiba dari Negeri Sakura. Bunyi pesan singkat Ari membuat saya loncat dari kasur, bergegas mandi dan pergi ke ATM yang berada satu gedung dengan kantor saya (kostan letaknya di belakang dengan kantor). Masuk kamar mandi, saya terkejut karena air di kostan mati. Seakan kurang dramatis nasib saya, tiba-tiba terdengar bunyi hujan deras cenderung badai diluar rumah. Mantap!!!
Kengerian memenuhi otak ketika saya membayangkan raut murka Nadif jika saya, sahabat yang mengaku sehidup semati sesurga seneraka ini batal menghadiri pesta perkawinannya. Ditambah dengan Ari yang sedang kebingungan di bandara menunggu saya, maka dengan sangat terpaksa saya pergi ke ATM dalam keadaan tidak mandi dan menembus hujan badai. Berpapasan dengan ratusan teman kantor yang saat itu sedang mengikuti seminar dalam keadaan kacau balau, saya harus menebalkan muka dan hanya bisa tersenyum pasrah. Setelah urusan dengan ATM selesai, saya cuci muka, sikat gigi dan berdandan ala kadarnya di kamar mandi kantor, lalu langsung kabur menjemput Nadya, teman yang akan berangkat ke pestanya Nadif. Menggunakan sendal jepit tapi berdandan ala pemain lenong sangatlah menarik perhatian para penumpang busway. Saya menjadi mendadak religius siang itu, berdoa dalam hati semoga tidak ada penumpang yang mengenal saya. Tiba di kampus Nadya, perut saya keroncongan. Tahu toge goreng menjadi pilihan yang pas, mengingat saya berniat akan makan banyak di pesta, hahaha. Sebenarnya kamar mandi di kampus Al-Azhar (kampusnya Nadya) sangatlah bersih, namun entah apa yang melintas dalam otak ini menyebabkan saya berpikir “ahh…nanti aja mandi di Stasiun deket rumahnya Nadif”. Jarak menuju lokasi pesta ternyata sangat jauh men! Kami harus menempuh perjalanan naik kereta dari stasiun Sudirman ke arah Bojong (dekat Bogor) dan melanjutkan dengan naik mikrolet yang disupiri oleh anak muda yang terobsesi menjadi pembalap karena terlalu banyak menonton film Fast and Furioust. Oh yah, seperti yang sudah diduga, saya tetap tidak mandi sesampainya di stasiun Bojong. Sepanjang pesta, saya selalu terkikik geli karena menyadari bahwa itu pertama kalinya saya menghadiri acara dalam keadaan berantakan, naik angkutan umum selain taxi dengan dandanan wajah lengkap dan yang paling mengagumkan adalah tidak mandi!! Dobel WOW!!!
|
kawinan tanpa mandi wkwkwkw |
Tadinya saya berencana terbang ke Ambon dan lanjut ke pulau Banda, seminggu sebelum hari ulang tahun saya. Manusia memang bisa berencana, tapi hasil akhir tak pernah terduga. Saya batal kesana karena sesuatu dan lain hal. Tak ingin larut dalam kekecewaan, saya memutuskan untuk hibernasi ke Bandung. Kebetulan, Ican yang asli sana sudah kembali dari petualangannya keliling Indonesia. Saya bertanya (basa-basi tentu saja, haha) apakah nanti bisa tinggal dirumahnya. Ican mengijinkan, namun meminta maaf terlebih dahulu jika nanti dia tidak bisa sering menemani saya kemana-mana karena kesibukannya. Saya lupa, Bandung adalah sarang terbesar para penggemarnya. Saya yang memang tidak berniat (terlalu) merepotkannya sepakat dan berjanji tidak akan menjadi teman yang mengganggu selama saya disana. Akhirnya setelah menyelesaikan semua pekerjaan yang perlu saya lakukan bulan itu, saya berangkat ke Bandung menggunakan mobil travel. Saking semangatnya, saya datang kepagian di travel dan malah berkenalan dengan mahasiswa ITB yang menegur saya karena melihat buku Filosofi Kopi karya Dewi “Dee” Lestari yang sedang saya baca. Ah, modus “buku bacaan” ini memang selalu berlaku di semua jaman, haha.
Sesampainya di Bandung, energi saya seperti disuntik penambah stamina dosis tinggi. Melihat gerbang tol Pasteur yang terpampang membuat mata saya berkaca-kaca. Berlebihan memang, tapi itulah perasaan saya yang sebenarnya setiap kali saya melihat Bandung. Kali ini, saya langsung menuju Universitas Maranatha untuk menghampiri Ugha, gadis manis asal Sulawesi yang besar di Bandung. Sebelum kami berangkat menyaksikan penampilan perdana Ican di acara peluncuran buku, Ugha mengajak saya makan di dekat kampusnya. Agak pangling menatap sahabat saya itu, mengingat dulu pertama kenal ketika Ugha belum mengenakan jilbab. Ugha tampak cantik dan bersahaja dengan hijab dan baju modis khas anak Bandung, kontras dengan saya yang tampak seperti seniman kesiangan yang mengenakan celana batik dan kaos kuning tipis, sepatu bermotif rasta, kalung dan gelang warna-warni, plus riasan mata agak gotik dan gincu merah. Maafkan selera saya yang fantastis. Dari jauh, kami berdua terlihat seperti wanita katalog majalah muslimah berdampingan dengan drakula berdandan ala Nyai Dasima yang terobsesi pada Bob Marley.
Terakhir saya bertemu Ican di Manado, kulitnya hitam jelek dan rambutnya masih gondrong, kusut masai seperti habis dihantam badai. Sore itu, Ican muncul dengan menunggangi Jane, motor tua kesayangannya lengkap dengan gitar kebanggaannya. Rambut cepaknya diberi gel ala landak, runcing dan mengkilat. Kulit wajahnya juga sudah kembali putih, bersih terawat. Anak Bandung memang ajaib. Mereka bisa terlihat sangat cuek tapi sekaligus sangat pesolek. Saya menahan diri untuk tidak menampar atau menjambak rambutnya, memastikan kalau mahluk didepan saya benar asli wujud sang sahabat. Keinginan anarkis yang berhasil saya redam, digantikan dengan pelukan unyu sambil tertawa-tawa. Menyaksikan pertunjukan pertamanya setelah kembali ke Bandung, saya benar-benar tercengang sekaligus terharu. Ican bertransformasi menjadi seorang penyanyi yang sekarang lumayan dikenal masyarakat. Para penggemar yang kebanyakan berusia belasan tampak antusias cenderung beringas ketika menyaksikan Ican bernyanyi. Tampang mereka yang kegirangan setelah berhasil berfoto dengan idolanya, membuat saya tersadar akan satu hal. Betapa sesuatu yang kita anggap sederhana bisa menjadi sangat mewah di mata orang lain. Saya bisa setiap saat menghubungi Ican jika saya mau, saling meledek via pesan singkat atau curhat panjang nan mengenaskan. Menyambangi rumahnya di Buah Batu pun merupakan hal yang biasa buat saya. Tapi semuanya bisa menjadi sesuatu yang istimewa buat para penggemar Ican. Ketika para penggemar itu merengek untuk sekedar mendapatkan ucapan selamat ulang tahun oleh sang idola melalui rekaman suara yang dikirim ke ponsel mereka, saya malah dikerjai secara sukarela dengan sandiwara “rumah kecurian tengah malam”. Ketika saya kaget sekaligus ketakutan laptop lenyap digondol maling (bukti ternyata saya masih menyayangi pekerjaan saya,haha), Ican sukses melakukan kejutan ulang tahun jaman dinosaurus yaitu memecahkan telur di kepala dan menyirami saya dengan gula pasir tengah malam (kejutan yang kurang berhasil karena kebodohannya yang tidak menemukan tepung dan terlalu mencintai bedaknya, hahaha). Tuhan kembali membuka mata saya tentang konsep bersyukur dengan cara berbeda.
Disana saya juga berkenalan dengan Fahd, si bontot dalam trio Besari. Adiknya Ican yang baru beranjak dewasa ini, tampak lebih bongsor dari perkiraan saya. Pinjam istilah kakaknya, Anak Baru Gede yang Kegedean, hahaha. Ade (melupakan badannya yang jauh lebih besar dari saya, hari itu juga saya mengganti nama Fahd menjadi Ade) datang bersama beberapa temannya yang belakangan saya tahu adalah anggota managemen Gentlemen of The Road (GoTR), managemen yang bertugas mengurusi Ican. Gaya emang tu bocah! Konser selesai, kami pulang ke studio yang menyatu dengan kediaman Besari. Banyak sekali teman baru yang saya temui. Andika, Ebrend, Kide, Rian, Poke, Botak, Wide, Budi dan Nico. Sebagian adalah anggota managemen, sebagian lagi teman satu bandnya Ade. Mereka riuh sekali di ruang tamu studio. Dengan bangganya Ican mengenalkan saya sebagai “teman dari timur”. Ican bahkan sempat berbicara menggunakan bahasa Manado yang saya balas dengan bahasa Sunda. Soal pamer dan tidak mau kalah, kami berdua memang ahlinya, haha. Malam itu saya juga berkenalan dengan Ibu dan Bapak. Orang tua gaul yang memfasilitasi bakat seni ketiga anak lelakinya.
|
Gentlement of The Road |
Keluarga dan teman-teman baru yang sangat ramah, membuat saya yakin, keputusan untuk berulang tahun di Bandung tidaklah salah. Saya berusaha tidak menyentuh pekerjaan saya selama sepuluh hari disana. Menikmati hibernasi menjelang pertambahan usia. Bangun pagi, jogging keliling kompleks, dan memasak menjadi rutinitas selama beberapa hari (walaupun pada hari-hari terakhir saya hanya bertahan dalam hal memasak, ucapkan salam kepada bangun pagi dan jogging, hihihi). Hari kesekian saya disana, ketika sedang ada rapat di studio, datang sahabat kental Ican sekaligus manager GoTR, David. Melihat tampilan lelaki modis nan wangi (padahal saya yakin malam itu dia belum mandi), saya jadi tahu siapa orang yang berhasil mengubah Ican. David yang juga seorang fotografer merupakan sosok berpengaruh (ya iyalah manager) dalam GoTR. Usianya yang berada jauh dibawah saya dan Ican, tidak mempengaruhi sikap tegasnya menangani GoTR. Insting bisnis David menyeimbangi jiwa independen Ican yang masih senang dengan kebebasan dengan mengarahkan karya-karyanya ke arah yang lebih serius. Selama di Bandung, Ican dan David adalah duet maut dalam hal berdiskusi. Pengetahuan yang luas dan pola pikir kritis mereka benar-benar hiburan buat saya. Kata-kata “I love you” sering terlontar dari mulut saya untuk mereka berdua karena kagum gaya pemikirannya. Kami bertiga memang berkiblat pada pola pertemanan ala Barat namun tetap menerapkan norma Timur untuk menyeimbangkan. Berdebat dan berbagi ilmu dengan dua lelaki yang bertampang menarik. Cuci otak sekaligus cuci mata. Alhamdulillah yah, hahaha.
|
mana artis, mana manager, mana fans...agak rancu difoto ini hahahaha |
Saya juga sempat melakukan reuni dengan adik tingkat saya dari Manado. Sewaktu saya menginap di rumah Ugha selama dua hari, Tommy si pramugara ganteng yang kebetulan hari itu terbang ke Bandung, mengajak saya bertemu ketika mengetahui kami ada di kota yang sama. Masih melekat di ingatan saya tentang perjuangan kami ketika dulu sama-sama menjadi pengangguran yang mengejar impian di ibukota. Tuhan menampar saya sekali lagi melalui kisah hidup lelaki yang usianya terpaut beberapa tahun dibawah saya ini. Datang ke ibukota berbekal ijasah sarjana, tidak direstui oleh orang tuanya plus dikhianati kekasih tercinta, seperti kisah sinetron Indonesia yang penuh nestapa. Tengah malam berlari di jalan Sudirman mengejar buskota yang masih penuh sesak, keuangan yang memaksa kami hanya bisa makan di restoran murah sambil bertukar cerita penyemangat, atau saling menguatkan untuk tidak menyerah kepada ganasnya Jakarta, adalah sederetan kenangan pahit yang pernah kami lalui. Tommy berkata, dia ingin pulang nanti dalam keadaan sukses, bukan dalam keadaan susah, membuktikan pada ibunya bahwa pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studi tapi sesuai kata hati bisa membuatnya berhasil. Malam itu, dua tahun kemudian, melihatnya tersenyum ceria menyambut saya dan Ugha yang menjemputnya di lobi hotel, tak terasa pelupuk mata saya menghangat. Tommy tampak seperti mutiara yang telah diasah, berkilauan dan mahal (dalam arti yang sebenarnya diukur dari penampilannya sekarang haha). Tommy juga janjian dengan satu teman SMAnya yang kuliah di Bandung untuk makan bersama kami. Jadilah kami berempat seperti perkumpulan anak Sulawesi yang nyasar di Bandung. Menghabiskan malam di mall Ciwalk sambil belanja, bercanda, dan tentu saja, berfoto narsis keliling mall. Menyenangkan ^_^
|
bersama mutiara dari ufuk timur....angellll...pwueleeeesss |
Satu orang yang juga berhasil saya temui di Bandung adalah Akbar, teman sekantor sekaligus tetangga kostan di Jakarta dulu. Akbar yang akrab saya sapa dengan panggilan “Abang”, mengajak saya untuk jalan-jalan. Nongkrong mendengarkan musik sambil makan dan tentunya ngobrol ngalor ngidul adalah kebiasaan saya dan abang dulu. Abang tetaplah abang, orang yang selalu baik dengan saya. Dia bahkan masih hafal dengan kebiasaan saya yang tidak kuat dengan angin malam. Dengan sabar memperhatikan saya makan dua porsi kue surabi oncom dan susu panas sambil tertawa dan geleng-geleng kepala. Abang bahkan masih meladeni kenarsisan saya yang berfoto didepan Factory Outlet dengan membujuk pelayan untuk memotret kami. Kehangatan abang menyadarkan saya bahwa masih banyak sahabat lama yang menyayangi saya dengan cara yang masih sama.
Kisah November yang menyenangkan ditutup dengan telepon dari bos sekaligus kawan baik saya, sejam setelah saya pergi memesan tiket travel untuk balik ke Jakarta. Suara bassnya terdengar merdu ketika si bos berkata “Woy, jangan dulu balik lu. Esok gw ma bini gw kesana, belanja sekalian jemput lu”. Satu surat dalam Al-Quran terbukti siang itu “Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?”. Yihaaa…
dijemput untuk berbelanja hahaha
DESEMBER 2013
Tidak terasa tahun 2013 sudah sampai pada bulan terakhir. Sekembalinya di Jakarta, hidup saya seakan bermakna lagi. Ada yang berubah ketika saya sudah menemukan apa sebenarnya visi dan misi hidup yang sebenarnya. Impian yang seumur hidup samar, perlahan membentuk mozaik yang kemudian menjadi lukisan cita-cita indah.
Saya mengenal sosok Ari sejak tahun 2010. Lelaki Novemberian yang memelihara kumis karena tidak ingin terlihat imut-imut ini sudah saya idolakan sejak pertama bertemu. Pendiam namun punya segudang talenta, membuat saya terpesona. Sesama Novemberian, kami selalu bertukar hadiah. Tahun ini, kesibukan menyebabkan kami tidak bisa bertemu di bulan November. Betapa sedihnya saya ketika mengetahui hari yang sama ketika saya pulang dari Bandung, Ari berangkat ke Papua, dan masih akan lanjut ke Bali sampai saya nantinya pulang ke Manado. Nampaknya kami tak berjodoh untuk bertukar hadiah tahun ini. Suatu siang, ketika saya melihat jam analog di ponsel saya menunjukkan angka 11:11, saya sontak merapal doa, agar saya bisa bertemu Ari sebelum tahun 2013 berakhir. Saya bersungguh-sungguh saat itu, dan kekuatan kata yang dijalin dalam sebait doa, mengakhiri derita saya (halah). Mukjizat itu nyata kawan. Ari gagal lolos kompetisi ke Bali dan saya ternyata salah melihat tanggal keberangkatan. Mepet memang, karena Ari baru tiba dari Papua sore hari dan saya juga akan berangkat tengah malam ke Manado. Saya ingin menertawakan jantung saya sendiri yang berdetak lebih kencang menunggu pertemuan kami. Saya menunggunya di Gramedia, di pojok tempat buku pengarang favorit saya. Sedang asyik membaca, dia muncul di samping saya dalam diam. Ketika saya menoleh, dia hanya tersenyum dengan tatapannya yang mencemari udara, membuat saya sejenak amnesia aksara. Untuk mengusir kegugupan, saya kabur ke mushola, menitipkan semua tas dan segala isi kepadanya. Sekembalinya dari mushola, tanpa menelpon (karena semua ponsel di tas), saya menuju deretan buku yang merupakan bacaan kami berdua. Dari jauh, melihat pemandangan dirinya yang menenteng tas saya sambil berdiri dan cuek membaca, senyum kembali menghiasi wajah saya. Sore itu Ari mengenakan kemeja kotak-kotak andalannya. Jika nantinya saya diminta untuk menghapus banyaknya kenangan tidak terpakai yang memenuhi pikiran, kenangan tentang Ari ini termasuk salah satu yang tidak akan saya jual di situs jual beli online yang sedang marak, haha.
|
maple dan angrybird. bahagia itu sederhana |
Kami bertukar hadiah sambil berjalan mengelilingi mall, bukan hal romantis ala novel remaja. Makan sambil bertukar cerita selama tahun 2013 secara langsung merupakan momen langka bagi kami berdua. Ari terbahak ketika saya menceritakan tentang kabar Ican yang juga sahabatnya itu. Ari lalu menemani saya mencari titipan orang rumah, sementara saya menemaninya mencari jas semi formal. Katanya sih dia memenangkan kuis berhadiah voucher gratisan dan nilainya lumayan untuk membeli jas dan sepatu. Untuk tipe pribadi seunik Ari, mencari sepotong jas bukan hal yang mudah. Kami harus berkeliling dari satu toko ke toko lainnya, mencoba berbagai model jas. Senyuman meminta pendapat darinya sering kali ditanggapi oleh gelengan kepala dari saya. Anggukan kepala saya tak jarang ditanggapi kerutan jelek di wajahnya. Saya membiarkannya mematut diri didepan cermin sambil berputar-putar menilai penampilannya sendiri, sesekali mengomentarinya dengan pendapat ala kolumnis dunia fashion. Akhirnya setelah perdebatan seru tentang model, warna, harga dan kualitas, setelah langkah kami hampir menuju parkiran dan menunda keinginan membeli jas itu, Ari tiba-tiba berubah pikiran dan memutuskan untuk membeli jas pilihan terfavorit saya yang mengharuskan dia malah mengeluarkan dana tambahan karena nilai vouchernya tidak mencukupi. Saya terpaksa menahan tawa melihat dia yang melengos sambil mengeluarkan voucher dan sejumlah uang dari dompetnya dengan tampang kurang rela, hahaha. Celetukan “gara-gara kamu nih aku batal beli sepatu…huuu” membuat saya gagal menahan tawa. Tambah keras tawa saya melihat dia sok cemberut sambil melenggang menenteng tas belanjaan dengan gaya lelaki metroseksual. Malam itu kami bolak balik sebanyak tiga kali ke dua mall yang bersebelahan. Di tengah perjalanan, Ari yang memang baru pulang dari Jepang menegur saya yang tidak patuh dengan menyebrang bukan pada tanda zebra cross. Ketika kami mengulangi jalur yang sama, saya sengaja meledeknya dengan berjalan tepat di atas zebra cross dengan wajah meledek. Ari pun tertawa melihat keisengan saya. Ari yang kalem, malam itu sering sekali tertawa bahkan bersenandung ketika mendengarkan lagu yang diputar di beberapa toko yang kami singgahi. Saya sampai curiga dia salah makan selama di Jepang atau Papua, hahaha. Satu lagi hal yang menurut saya agak aneh malam itu ketika Ari tiba-tiba bergumam “Gak terasa yah udah mau akhir tahun aja. Tahun depan teman-temanku udah mulai ngundang kawinan nih. Waktu tuh berlalu cepet banget yah Ta”. Saya yang tertegun mendengar penuturannya hanya bisa menanggapi dengan kalimat ngaco “Nah, teman-temanku malah sekarang udah pada ngerayain ultah anaknya. Tante jadi abis duit nih ngasih kado mulu”. Pertemuan singkat kami hari itu diakhir dengan saya yang menumpang motornya sampai ke perempatan kemudian berganti taksi menuju rumah bos saya yang akan berangkat ke Manado juga malam itu. Memandangi punggungnya dari belakang, sambil sesekali mengobrol dengan suara yang tersapu angin. Bersama Ari, bahagia itu sederhana.
Setibanya di rumah bos saya, hujan deras menerpa Jakarta. Beruntung, hujan turun bukan saat saya diatas motor bersama Ari. Saya ogah beradegan India diatas motor dibawah derasnya hujan walaupun itu terdengar sensasional. Teddy yang adalah atasan kantor dan sekaligus adalah teman baik saya sejak jaman putih biru dulu, sudah menunggu saya dirumahnya. Malam itu saya akan menemani Teddy dan Tesar, anak semata wayangnya untuk mudik Natal dan Tahun Baru ke Manado. Sari, sahabat saya sekaligus ibunda Tesar si bayi bongsor belum bisa ikut pulang karena cutinya masih seminggu kemudian. Saya menyambut tugas menjadi pengasuh dadakan dengan bersukaria. Malam itu, mata saya dibukakan tentang konsep menjadi orang tua. Saya mengenal Teddy sejak SMP, tahu persis kelakuan sahabat saya itu. Tumbuh besar dimanjakan karena merupakan anak lelaki terakhir satu-satunya penerus marga. Hampir mirip dengan saya dalam hal keegoisan dan besar kepala. Namun rupanya kehidupan sama-sama mengubah kami berdua. Bertemu dengan Sari, istri cantik berlatar belakang berbeda yang akhirnya membuat hidupnya selaras. Wataknya yang keras malam itu berubah drastis dimata saya. Teddy yang biasanya garang selalu terlihat menatap anaknya dengan penuh sayang. Saya yang hanya kebagian menjaga Tesar selama proses check-in pun tak kuasa menahan beban si bongsor dan memilih mengkudeta kursi petugas bandara agar bisa duduk tentram sambil memeluk Tesar yang tertidur. Teddy yang dengan cekatan mengurus semua keperluan administrasi keberangkatan kemudian mengambil alih semua tugas pengasuh yang tidak becus ini. Teddy bahkan yang membuatkan susu, menina bobokan, dan mengganti baju Tesar yang basah karena ketumpahan air dari botol minuman saya yang lalai ditutup rapat. Saya terharu melihat kejadian malam itu. Menjadi orang tua memang butuh proses panjang namun bukan hal yang mustahil dilakukan. Kita hanya butuh bersabar dan terus belajar. Tesar hanya perpanjangan tangan Tuhan sebagai media orangtuanya menjadi dewasa. Maafkan kakak Shinta nak, kelak diri ini akan banyak belajar dari kinerja mama papamu tersayang dalam hal merawat anak dalam segala keterbatasan.
belajar jadi orangtua ^_^
Setibanya di Manado, saya langsung mencari Fairus, teman satu gank saya jaman kuliah untuk membicarakan rencana bertahun baru ke Wakatobi. Kami memang berencana untuk kesana bersama Sarah dan Muslim (anak gank kuliah juga). Sarah yang waktu itu masih liburan di Bandung setiap malam menanyakan perkembangan rencana kami. Tak disangka, Fairus membatalkan kepergiannya karena alasan yang mengejutkan. Tak ingin memperkeruh suasana, saya akhirnya mengusulkan untuk memindahkan tujuan ke pulau Saronde, Gorontalo. Letaknya yang dekat dengan Manado memudahkan kami untuk menuju kesana. Pemandangan ala Puket Thailand di Saronde juga tak kalah menarik dibandingkan dengan Wakatobi. Setidaknya bisa menghibur kami yang gagal kesana. Saya juga sebenarnya sedikit kesal, mengingat ada beberapa rencana liburan tahun 2013 yang batal terlaksana. Setibanya Sarah di Manado, kami bertiga semakin intens bertemu untuk membicarakan rencana ini. Keliling mall atau makan di warung saraba tempat kami dulu biasa berkumpul, atau bahkan uji nyali tengah malam ketika mengajari Fairus menyetir mobil, tanpa sadar malah semakin mengakrabkan kami. Ada banyak rahasia yang akhirnya saling kami ceritakan satu sama lain. Tentang pekerjaan yang semakin membebankan atau tentang desakan keluarga kami masing-masing yang mengeluhkan tentang status kami bertiga yang masih betah melajang. Saya yang ceplas ceplos, Fairus yang periang dan Sarah yang polos, lama kelamaan menjadi trio yang tak terpisahkan.
girls nite out in Manado
Saya juga tak lupa untuk mengunjungi sekretariat Pahyagaan untuk membawa oleh-oleh dari Bali kemarin. Clary, sepupu jauh dari pihak mama yang juga senior di Pahyagaan, kebetulan sudah pulang dari tugasnya di Papua. Sifat dan umur kami yang hampir sama menyebabkan saya makin sering nongkrong disana. Mengobrol dengan sang Don Juan Pahyagaan ini pun seakan tak akan kehabisan bahan karena pola pikirnya yang sejalan dengan saya. Clary pun menyuguhkan kisah cinta ajaib ala dia yang sukses membuat saya geleng-geleng kepala sekaligus ingin melemparinya dengan sepatu, haha. Saya juga mengenal beberapa teman baru. Uje, si calon arsitek yang lebih senang menjadi musisi. Kegemarannya pada Sigur Ross dan Sheila on 7 membuat saya sering bernyanyi-nyanyi dengannya. Nyoli, si pemanjat modis yang berwajah cantik yang sering jadi bahan celaan Clary karena baru patah hati. Pribadi mereka memperkaya pemahaman saya tentang kehidupan manusia. Sekeras apapun watak lelaki, mereka tetaplah punya hati. Logika yang mendominasi bisa seketika hilang berganti keresahan panjang.
Saya pun tahun ini bisa turut memeriahkan Natal di kota Manado setelah delapan tahun lamanya tidak pernah pulang di bulan Desember. Suasana Natal yang menjadi ciri khas kota ini sudah lama saya rindukan ketika berada di perantauan. Saya memang tidak merayakan, namun saya yakin siapapun yang pernah tinggal disini akan selalu merindukan suasana khas menjelang Natal yang meriah. Harum kue mentega dan hujan bulan Desember merupakan kombinasi yang sakral. Bulan ini pun saya kembali diajarkan tentang toleransi umat beragama oleh figur yang saya hormati. Papa saya yang terkenal pendiam dan belakangan lebih menarik diri dari lingkungan setelah kepergian almarhumah mama, kemarin menghadiri undangan ibadah perayaaan menjelang Natal yang diadakan di kompleks perumahan kami. Ketika saya bertanya tentang boleh tidaknya kami menghadiri acara yang (katanya) diharamkan oleh agama kami, Papa menjawabnya dengan deretan kalimat santun yang membuat saya bangga menjadi anaknya. Deretan kalimat yang sempat saya jadikan status di akun jejaring sosial saya itu mendapatkan jempol dan komentar terbanyak sepanjang karir saya di dunia maya, haha. Papa hanya ingin mengajarkan kami anak-anaknya cara bersilaturahmi dan hidup rukun di tengah masyarakat yang heterogen. Kami sekeluarga juga pulang ke kampung halaman mama, menghadiri acara ritual tahunan keluarga besar mama yang masih merayakan Natal. Acara yang dilematis karena bertemu keluarga besar itu memang menyenangkan setelah lama merantau, namun disana juga saya harus melebarkan senyuman ekstra karena mendengar pertanyaan dan pesan-pesan keluarga besar yang mempersoalkan kesendirian saya. Acara yang juga membuat saya meneteskan airmata karena banyak sekali anggota keluarga yang tidak saya kenal, memeluk saya dengan keharuan yang menyesakkan dada karena menganggap saya sangat mirip dengan sosok almarhumah mama yang mereka sayangi. Ahh…
Natal 2013 with the big family of Rotinsulu
Dua hari menjelang tahun baru, Fairus kembali membatalkan rencana ke Saronde. Tidak ingin mengakhiri tahun 2013 dengan kekecewaan, saya dan Sarah langsung merencanakan rencana cadangan untuk menyambut tahun baru di rumah saya dengan sisa semangat yang ada. Rencana yang jadi lumayan kacau karena acara masak memasak yang harusnya ramai karena mengundang banyak orang, tidak terealisasi karena yang datang hanyalah Sarah dan Muslim. Akhirnya kami bertiga hanya memasak dan bercanda sambil menunggu pergantian tahun.
Rasa gamang menyelimuti saya ketika tiba di tanggal terakhir di tahun 2013. Tuhan sudah menganugerahi saya banyak karunia tahun ini. Sementara saya sendiri merasa belum melakukan apapun untuk menjadi seorang hamba yang baik. Saya memang selalu haus untuk mengenalNya dengan cara saya sendiri. Mencari Tuhan di kedalaman mata hati setiap pemeluk fanatikNya, mempelajari ajaranNya yang terbaur dalam lingkup budaya manusia, kemudian mencoba berdamai dengan setiap kejadian yang dititahkan kepada saya walaupun hasil akhirnya tidak selalu sesuai dengan keinginan. Waktu yang berlalu membuat saya semakin mengerti cara merevitalisasi diri agar menjadi pribadi yang lebih kuat. Iman bahwa Tuhan seperti udara yang tak terlihat namun sangat dibutuhkan manusia, membuat saya hari itu berniat untuk menemuinya lima kali dalam sehari, seperti kewajiban dasar yang tertulis dalam kitab suci yang saya pelajari sejak kecil. Saya benci dengan kungkungan kewajiban, maka saya pun merubah paradigma bertemu Tuhan lima kali dalam sehari itu sebagai sebuah hak, sesuatu hal yang menyenangkan ketika kita berhasil mendapatkannya. Setidaknya dihari terakhir tahun 2013, saya telah berhasil menggunakan hak saya untuk menemuiNya, tanpa paksaan, tanpa embel-embel pahala dan dosa, diiringi senyum dan airmata paling tulus yang bisa saya persembahkan. Saya percaya, Dia yang telah menciptakan, lebih memahami saya dibanding apapun atau siapapun di dunia.
Menyaksikan lautan cahaya di angkasa, di atap rumah saya, diantara bentangan tali jemuran, bersama dengan kedua sahabat yang ribut mengalahkan bunyi petasan, papa yang dalam diamnya khusyuk melihat warna-warni langit, serta keponakan tertua saya yang sibuk memotret indahnya kembang api, membuat saya jadi terkenang dengan peristiwa awal tahun serta doa yang tidak sengaja saya panjatkan waktu itu. Ternyata Tuhan Maha Mengabulkan. Tidak ada kata tidak dalam setiap kalimat yang saya pinta. Tahun ini saya mengunjungi banyak kota di Indonesia, bertemu banyak manusia yang menganggap saya keluarga, dan pada akhirnya merayakan pergantian tahun dengan cara sederhana bersama para kerabat tercinta.
“There are only two ways to live your life. One is though nothing is a miracle. The other is as though everything is a miracle.” Albert Einstein
Maafkan akan mata kalian yang bertambah kadar minusnya ketika membaca cerita saya yang super panjang ini. Bukan bermaksud pamer, namun saya cuma terlalu antusias mendeskripsikan enam bulan terakhir yang selalu berhasil membuat saya tersenyum ketika mengingatnya kembali. Benar kata orang bijak, ketika satu pintu tertutup maka akan terbuka pintu yang lain. Peristiwa demi peristiwa yang menjatuhkan saya begitu dalam, tanpa sadar menjadi hal yang melatih pribadi untuk ikhlas dan berserah diri. Tuhan menjawab setiap pertanyaan dan permintaan saya melalui cobaan dan rentetan kisah hidup yang menakjubkan. Andaikan setiap harapan selalu berjalan sesuai rencana, maka saya tidak akan pernah belajar bahwa kecewa itu justru menguatkan. Saya bukanlah manusia yang menjalani kisah hidup yang maha sempurna, tetapi saya selalu percaya bahwa setiap kejadian selalu terjadi karena suatu alasan. Melalui catatan ini, saya hanya ingin sedikit berbagi, tentang pengalaman tahun 2013 yang saya alami. Semoga bisa sedikit menginspirasi ^_^
Manado, 10 Februari 2014 11:11 WIMO (Waktunya Indonesia Move On...eaaa)
Pantai Malalayang sambil menikmati pisang goreng dan melototin kerjaan dan si ganteng di meja seberang...